Juan menatap dengan takut kearah ayahnya, Mauren adalah tipe orang yang sangat keras. Ia bahkan tidak pandang bulu meski itu adalah putra semata wayangnya dari pernikahan pertamanya. Setelah kematian ibu Juan, Mauren seolah enggan memikirkan untuk menikah lagi, meski Juan sudah memberikan izin jika memang suatu saat ayahnya ingin menikah.
"Ayah.." panggil Juan.
"Hmm."
Saat ini keduanya tengah berada dimeja makan, Mauren juga terlihat asyik menikmati makanannya. Berbeda dengan Juan yang seolah kehilangan nafsu makannya. Ia hanya ingin bisa segera berbicara dengan sang ayah terkait keinginannya membatalkan perjodohan.
"Ayah memintaku untuk menikah bukan? Aku akan menikah dengan Karina tidak lama lagi ayah.." ucap Juan dengan suara yang tenang, ia tahu bahwa saat berbicara dengan ayahnya ia harus menggunakan bahasa yang santun, sopan, dan sangat berhati-hati. Seketika Mauren menghentikan gerakan sendoknya, ia menatap ke arah Juan yang duduk paling ujung dari meja makan.
Hanya dengan di tatap seperti itu, Juan sudah gemetar duluan. Ia menelan Salivanya, mencoba untuk tetap tenang. Namun tetap saja rasa bergidik karena tatapan penuh penekanan itu semakin terasa kala sang ayah justru diam dan belum mengatakan apapun.
"Siapa bilang kamu boleh menikah dengan orang sembarangan Juan?"
"Ta—tapi ayah.."
"Kalau mau menikah dengan wanita itu, silahkan saja."
Bola mata Juan membesar.
"Benarkah ayah?"
"Hmm.." Mauren mengangguk pelan. "Tapi dengan syarat berhentilah menjadi pewaris Bible group, aku tidak akan membiarkan perusahaanku dipegang oleh kamu setelah menikah dengan wanita tidak jelas itu." Imbuh Mauren.
Seketika tubuh Juan melemas, bagaimana bisa ia kehilangan sendok emas yang sudah ada dimulutnya sejak kecil. Belum lagi Karina belum tentu mau diajak merintis semuanya dari nol, Selama ini Juan selalu mencukupi kebutuhan Karina, mulai dari pakaian hingga perawatan wajah dan tubuh, baginya itu adalah bukti cintanya pada Karina.
"Aku sudah menyiapkan jodoh yang pas untukmu, yang bisa mengurusmu juga mendampingi mu untuk membesarkan perusahaan. Melisa bukan wanita sembarangan Juan, sekarang ia menjabat sebagai wakil CEO di Emeral Group, dia juga pandai memasak. Kau tidak mungkin seterusnya makan roti kan?" tanya Mauren, dia bisa melihat tubuh Juan yang semakin kurus setiap harinya karena hanya bisa mengkonsumsi roti dan buah.
Juan tertegun, ia benar-benar tidak bisa membayangkan menikah dengan wanita selain Karina. Meskipun Karina tidak pandai memasak tapi Karina cukup pandai memasak mie instan dan baginya itu tidak masalah. Toh, nantinya Juan akan membayar asisten rumah tangga yang akan memasak makanan lezat untuk mereka setiap harinya.
"Bagaimana? Apa kau tetap berkeras menikah dengan wanita itu?" tanya Mauren mengakhiri makan malamnya. Juan terdiam, ia berdiri pada pilihan yang sulit.
"A—akan aku pikirkan ayah, lagi pula aku belum bertemu dengan wanita bernama Melisa itu." Sahut Juan pasrah.
**
3 hari kemudian.
Melisa menatap tampilannya dikaca, penampilan yang anggun dengan pakaian yang elegan namun tetap tertutup. Ia bahkan memilih setelah gaun berwarna hitam. Melisa ada tipe wanita yang sedikit tomboy, itu sebabnya dia jarang mengenakan pakaian terbuka. Meski demikian, di kantor Melisa tetap berpenampilan rapi layaknya wanita karir pada umumnya.
"Ayo melisaaa, kau pasti bisa menemui pria itu." Ucapnya memberikan semangat pada diri sendiri.
Ditempat yang berbeda, Juan tengah bersiap. Dia mengenakan setelan jas navy yang membuat aura maskulinnya semakin memancar sempurna, ketampanannya bahkan meningkat 100%. Dia mengambil ponselnya dan menatap foto yang dikirim oleh Tirta, terlihat jelas wajah cantik Melisa yang kini dipandangi oleh Juan. Tatapan Juan datar dan dingin, seolah menyimpan dendam pada foto itu. Meski tidak pernah berurusan dengan Melisa sebelumnya, tapi Juan sudah lebih dulu membenci Melisa karena membuatnya semakin sulit untuk bersatu dengan Karina.
"Ayo kita lihat seberapa baik pilihan ayah!" gumamnya pelan.
Melisa pergi dengan ditemani seorang supir, ayahnya sengaja menyediakan supir untuk putri bungsunya. Bukan tanpa alasan, ia mencegah Melisa untuk kabur dari pertemuan pertamanya dengan Juan. Tapi sejujurnya Melisa tidak akan kabur kemana-mana, menurutnya tidak ada gunanya kabur dari masalah ini. Cepat atau lambat ia harus menghadapinya.
"Jangan sampai terintimidasi olehnya Melisa, wajah tampannya bukan apa-apa. Semua pasti akan baik-baik saja."
Melisa mencoba menyemangati dirinya, dari profil yang di sampaikan Hilda saat itu Juan terkenal sebagai CEO yang ramah dan murah senyum bahkan dengan wartawan. Hal itu memunculkan imagenya sebagai CEO muda baik hati. Ia bahkan sering terlibat bersama ayahnya dalam beberapa gelaran amal Bible Group.
Dengan langkah pasti Melisa berjalan masuk ke dalam hotel bintang lima tempat pertemuan pertamanya dengan Juan. Hanya satu yang terbesit dalam otaknya saat ini. meminta baik-baik kepada Juan untuk membatalkan pernikahan ini. Ia yakin pria itu pasti bisa dengan mudah menyetujuinya.
"Dia bahkan belum datang." Gumam Melisa saat melihat meja milik keduanya yang masih kosong. Ia bergegas duduk dikursi yang sudah direserfasi tersebut. Melisa menatap sekeliling, restaurant ini terbilang sepi untuk ukuran hotel bintang lima, bahkan satu orang pelanggan pun tidak ada disana selain Melisa seorang.
"Mbak, kenapa restaurantnya sepi seperti ini? Apa memang biasanya sesepi ini?" tanya Melisa.
"Ahh, restauran ini sudah di booking seluruhnya oleh tuan Mauren khusus untuk Anda dan tuan Juan." Jawabnya dengan senyuman ramah.
Melisa tercekat, membooking satu restaurant hotel bintang lima hanya untuk pertemuan ini adalah hal paling memboroskan yang pernah di dengar oleh Melisa. Melisa memang merupakan anak dari pengusaha besar, tapi ia terbiasa hidup biasa-biasa saja. Ia bahkan masih sering makan di angkringan bersama dengan teman-teman sekolah dan kuliahnya dahulu.
"Waahhh, Sultan bangeeet." Celetuk Melisa.
Cukup lama Melisa menunggu, hampir setengah jam lamanya Juan tak kunjung datang.
"Sial! Apa dia menyuruhku untuk menunggu seperti orang bodoh disini?" Gerutu Melisa, perutnya bahkan sudah keroncongan sejak tadi. Dia sengaja tidak makan dirumah karena mengingat akan pergi makan malam bersama calon tunangan dadakannya direstaurant hotel bintang lima yang pasti memiliki sajian yang lezat. "Kalau sampai 10 menit kedepan dia tidak datang juga, aku akan pergi—"
"Selamat datang tuan Juan." Sapa pelayan yang tadi berbicara dengan Melisa.
Deg!
Seketika jantung Melisa berdegup kencang, ia bahkan bisa mendengar suara langkah sepatunya yang mendekat. Melisa ingin menoleh dan melihat wajah itu, tapi ditahannya keinginan itu sekuat tenaga. Ia tidak ingin terlihat penasaran dengan wajah Juan. Melisa ingin Juanlah yang menyapanya terlebih dahulu. Saat langkah itu terhenti tepat disamping mejanya, Melisa memandang dari kaki hingga berakhir diwajah tampan milik Juan.
'Apa-apaan tatapan itu?' Batin Melisa kaget.
Tatapan Juan saat itu jauh dari keramahan, bahkan tidak ada senyum yang tergambar diwajahnya. Sorot mata tajam dan penuh penekanan seolah menggambarkan ketidaksukaannya pada Melisa. Melisa hanya berusaha untuk bersikap tenang, dia tidak ingin terlihat tertekan dengan tatapan itu.
"Melisa?" Tanyanya dengan suara dingin dan datar. Melisa mencoba membalas tatapan dingin itu dengan tatapan yang sama.
"Sepertinya kau terlambat lebih dari setengah jam." Hanya itu jawaban yang dilontarkan Melisa.
"Aku memang sengaja datang terlambat, aku pikir kau sudah pergi saat aku datang. Ternyata dugaanku salah."
Ucapan Juan membuat darah Melisa mendidih, dia sudah menunggu lama dengan perut keroncongan dan pria ini dengan santainya berkata sengaja datang terlambat. Melisa menarik napas dalam, mencoba untuk tetap bersikap setenang dan sedingin mungkin.
'Ramah apanya? Dia bahkan lebih buruk dari yang ku bayangkan.' Keluh Melisa dalam hati.
"Aku terbiasa datang tepat waktu saat berjanji, aku tidak tahu kalau CEO muda sepertimu gemar datang terlambat." Melisa mencoba membalik keadaan. Dahi Juan berkerut, seakan tidak senang dengan kalimat Melisa barusan. Juan langsung duduk dikursi yang berhadapan dengan Melisa.
"Aku hanya terlambat karena yang ku temui adalah kau, jika urusan pekerjaan sudah tentu aku—"
"Sekali lambat tetap saja lambat. Kesan pertama itu menentukan penilaian seseorang, bagiku kau adalah orang yang tidak tepat waktu." Melisa sengaja memotong ucapannya. Terlihat rahang Juan yang mengeras, tanda emosi yang tertahan.
"Ya, terserah kau saja. Jadi bagaimana jika kita bahas dengan cepat masalah perjodohan ini sehingga kita tidak perlu berlama-lama disini. Aku sangat—"
"Makan dulu." Lagi-lagi Melisa memotong ucapan Juan.
"Berhenti memotong ucapanku, itu sangat tidak sopan." Protes Juan kesal.
"Memangnya kau sudah sopan kepadaku sejak tadi?" sorot mata Melisa terlihat menakutkan sekarang, membuat Juan merinding sendiri melihatnya.
'Kenapa dengan wanita aneh ini?' batin Juan bingung.
"Aku lapar, makan dulu baru kita bicara." Ucap Melisa dan langsung memberi kode kepada pelayan untuk menyiapkan makanan yang sudah dipesannya sejak tadi. Juan tercengang, ia tidak menyangka Melisa akan bersikap seperti ini. Setelah menunggu beberapa saat, hidangan akhirnya tersaji. Melisa memandang heran dengan roti yang disajikan tepat di hadapan Juan.
"Kenapa roti?" Tanya Melisa penasaran.
"Aku tidak makan berat dan sudah terbiasa makan roti setiap hari." Jawab Juan. Melisa menatap heran, tapi kemudian ia tidak bertanya lebih lanjut. Melisa langsung menyantap makanannya tanpa segan. Ia sudah menahan lapar sejak awal datang kesini.
"Porsi makanmu boleh juga." Celetuk Juan.
"Aku memang menggemari makanan enak."
Juan menatap Melisa yang makan dengan lahap, meski Juan ada Dihadapannya Melisa terlihat tidak begitu peduli. Ia makan dengan lahap tanpa menghiraukan keberadaan Juan. Biasanya wanita akan bersikap lembut dan hati-hati saat makan didepan lawan jenis, apalagi jika itu adalah pertemuan pertama mereka, tapi sepertinya Melisa adalah pengecualian.
"Kau makan seperti kuli saja." Ejek Juan. Mendengar ejekan itu, Melisa mencoba tetap tenang dan tidak terprovokasi.
"Setidaknya lidahku bisa memilih makanan enak dengan makanan yang—" Melisa tidak melanjutkan ucapannya, tapi tatapannya tertuju pada roti yang sudah dimakan setengah oleh Juan. "Pantas saja badanmu kurus." Imbuhnya dengan suara lirih dan setengah berbisik.
"Apa katamu?"
"Ahh tidak, makanan disini sangat enak. Aku bahkan bisa menghabiskan semuanya sekali makan." Jawab Melisa dengan senyum tersungging di bibirnya.
'Dasar wanita aneh.' Kata Juan dalam hati.
Setelah selesai menghabiskan makanannya, Melisa langsung masuk pada inti pembahasan malam ini. Dia tidak ingin berlama-lama duduk semeja dengan pria dingin dan menyebalkan seperti Juan.
"Okeh, bagaimana kalau kita bahas sekarang juga, mengenai perjodohan kita." Kata Melisa langsung pada inti permasalahan. Juan tersenyum kecil, ini pertama kalinya Juan tersenyum dihadapan Melisa, membuat Melisa bisa melihat jelas ketampanannya dari senyuman itu.
"Itulah yang aku tunggu-tunggu sejak tadi." Jawab Juan dengan ekspresi tidak sabar.