Pagi itu, Andine bekerja dengan bibir mengerucut maju. Hatinya masih kesal, dan beragam mood yang berantakan masih menggerogoti hatinya.
Wanita itu duduk di balik meja kerjanya dengan muka masam, sampai tiba-tiba Amira datang wajah yang semringah. Sangat berbeda dengan apa yang tampak di raut wajah sahabatnya.
"Cemberut aja tuh muka, ada apa sih?" tanya Amira dengan tatap mata penuh selidik, gadis itu kemudian mengambil duduk di sebelah Andine. "Masih berantem sama suami kamu?"
Andine menghentikan kegiatannya di depan layar laptop, ia menghela napas pendek lalu menoleh menatap sahabatnya.
Selarik senyum kemudian muncul di bibir wanita itu, ia terpaksa melakukannya demi membuat Amira tak mengira macam-macam. Ia tidak mau sahabatnya itu mengetahui apa yang sesungguhnya sedang ia rasa.
"Enggak kok, aku sama Mas Andra udah baikan," jawab Andine kemudian.
Helaan napas lega menguar dari bibir Amira, "Syukurlah kalau gitu," balasnya, "terus, itu muka kenapa kelihatan murung, ada apa? Kamu lagi ada masalah?"
Andine tersenyum sambil menggelengkan kepala, "Nggak ada masalah apa-apa, cuma kedatangan tamu bulanan, dan perut aku jadi sakit gara-gara dia," jelas Andine penuh alasan.
"Ohh …." sahut Amira dengan bibir membulat. "Oh iya, kemarin aku lihat postingan di Instagram, lupa akun siapa. Tapi, di sana aku lihat kamu sama, Andra."
Amira buru-buru membuka ponsel dan menelusuri sebuah postingan di sosial media yang kemarin baru ia lihat.
Andine yang penasaran tampak melongok sedikit ke layar ponsel sahabatnya tersebut. Sejurus kemudian, tampaklah foto itu.
"Untung aku simpan postingannya, sengaja mau kasih tunjuk ke kamu." Amira bergumam sambil menyodorkan benda elektronik tersebut kepada Andine.
Mata Andine membulat kaget, di foto itu ia dan sang suami tampak sangat bahagia sambil bergandengan tangan. Dari unggahan oleh akun yang sepertinya adalah fotografer di pesta kemarin, di sana Andine dan Andra berpose dengan begitu alami tanpa mereka ketahui.
Andine dan Andra tengah berbincang dengan seseorang pada malam itu, keduanya tertawa dan bercanda hingga membuat pasangan suami istri itu begitu tampak bahagia melepas kelakar mereka.
"So sweet banget, kalian beneran cocok. Mana, pas ketawa mirip lagi," seru Amira sambil memandangi layar ponselnya.
Perlahan, kedua sudut bibir Andine tersungging. Selarik senyum tulus terukir di wajah, semangat dalam dadanya kembali muncul seketika, bahkan lebih membara.
Andra adalah suaminya. Milik Andine seutuhnya. Maka, ia harus bisa memiliki hatinya, tak cuma raganya saja.
Jika batu yang keras dapat terkikis oleh sapuan air, maka hati manusia yang tak sekeras batu bentuknya, akan mampu melunak oleh kasih sayang dan cinta.
Andine akan mencobanya lagi, tekadnya dalam hati.
"Kirimin fotonya," titah Andine sambil menyerahkan benda pipih itu kepada Amira.
Amira pun bergegas melakukan apa yang diminta sahabatnya.
"Eh, aku balik dulu ya. Ntar ketahuan Pak Arya lagi. Bye-bye!" Amira berpamitan dan bergegas menuju meja kerjanya kembali.
Sepeninggalan Amira, wajah Andine kini jadi lebih semringah. Setelah sebelumnya tampak cemberut dengan suasana hati yang buruk sekali. Namun, kini tampak berbeda. Gadis itu bahkan tak henti diam-diam memandangi foto candid yang ada di ponselnya. Apalagi sang suami begitu tampan di foto itu.
Setelan jas yang pas di tubuh gagahnya, ditambah senyum yang merekah di bibir. Senyum yang sangat jarang dilihat oleh Andine, kecuali ketika lelaki itu sedang berada di muka umum, seperti saat itu.
"Aku akan mempertahankan pernikahan ini, Mas. Sekali pun kamu belum bisa menerimanya, aku akan menunggu sampai kamu ikhlas menganggapku sebagai istri kamu." Wanita itu bergumam dengan beragam harap memenuhi hatinya.
"Lagi ngapain, An?"
Gadis itu lantas tersentak kaget dan buru-buru menyimpan kembali ponselnya, ia menoleh cepat dengan wajah pucat dan mendapati sosok sang direktur sudah berdiri di depan meja kerjanya.
Arya, menatap manik kecoklatan gadis itu sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.
"Eh, P-pak Arya," sapa Andine sambil tersenyum kikuk, "Saya nggak lagi ngapa-ngapain, Pak. Cuma ngecek ponsel aja sebentar, ini mau lanjut kerja lagi," jelasnya, "kaget saya, Pak," sambungnya sambil tersenyum kecil.
Arya tersenyum sambil menggelengkan kepala, "Dua jam lagi kita meeting 'kan?" tanyanya kemudian.
Andine melirik sekilas ke arah jam di ujung layar laptopnya, ia kemudian mengangguk cepat. "Iya, Pak. Dua jam lagi," jelasnya.
Arya menganggukkan kepala, "Okey, lanjutkan pekerjaan kamu," tuturnya sebelum berlalu pergi menuju ke ruangan pribadinya.
Andine menghela napas lega, ia pikir sang bos akan menegurnya karena bekerja sambil bermain ponsel. Namun, ia langsung bersyukur begitu ingat bahwa sosok Arya bukanlah tipe pimpinan tersebut.
Arya memang tegas dan berwibawa, tetapi ia tak pernah bicara meninggi atau marah-marah saat melihat pekerjanya melakukan kesalahan atau melalaikan tugas-tugas. Arya akan berkata baik-baik kepada mereka, dan mengingatkan dengan cara yang lembut. Sikapnya yang bijak dan lebih banyak diam justru membuat banyak pekerja merasa segan dan penuh hormat padanya.
Di ruangannya, Arya tengah memikirkan sesuatu. Beberapa waktu lalu, saat ia tengah menegur Andine, lelaki itu sempat melihat apa yang sebenarnya dilihat sang sekretaris.
Wanita itu sedang mengamati sebuah foto di layar ponselnya, foto dirinya sedang bersama sang suami. Tampak cocok dan begitu serasi.
Arya tersenyum getir, ia menghela napas lalu menggelengkan kepala.
"Andine benar-benar bahagia dengan pernikahannya," gumamnya lirih.
Meski perih, meski ada sesuatu yang melukai hati. Namun, Arya tak mau terus-terusan seperti ini. Ia tidak boleh lemah, bagaimanapun juga, merelakan wanita yang dicinta adalah pilihan terbaik.
Ponsel di saku Arya berdering, pria itu bergegas mengambilnya.
"Tania?" gumam Arya dengan dahi berkerut halus. Ini kali pertama gadis itu menghubunginya melalui telepon, biasanya mereka hanya mengobrol di room chat.
"Halo?"
"Halo, Arya," sapa gadis di seberang sana.
"Ya?"
"Aku mau minta tolong."
Kerutan di dahi Arya semakin bertambah saja mendengar permintaan wanita itu.
"Minta tolong apa?"
"Minta tolong, temenin aku ke mall sore ini," pinta Tania, "kamu 'kan kemarin udah janji, mau nemenin aku?"
Arya tersenyum kecil, mendengar Tania menuntut haknya membuat pria itu menggelengkan kepala. Seperti anak kecil saja, pikirnya.
"Mau ngapain memangnya?"
"Ya … enggak ada sih, cuma jalan-jalan aja," jawab Tania.
Arya tampak berpikir sejenak, ia menyandarkan punggung di kursi kerjanya.
"Sore ini?"
"Ya, udah pulang kerja 'kan?"
Arya tak langsung menjawab.
"Oke," putus lelaki itu beberapa detik kemudian membiarkan hening menjeda percakapan.
"Thank you …!" Terdengar sahutan yang begitu gembira di ujung telepon.
Arya hanya tersenyum.
"Sampai ketemu nanti."
"Ya." Telepon pun terputus.
Arya menyimpan benda itu di sakunya kembali. Pria itu tidak mengerti apa yang sedang dilakukannya, ia hanya sedang berusaha untuk mencoba jatuh cinta lagi, pada wanita yang berbeda.