29 Desember, 2030.
Siapa tahu hari ulang tahun adikku Ilona yang keempat belas adalah hari terburuk yang pernah ia alami, aku harap kehidupan kami tidak semakin buruk. Republik Svartov dalam kekacauan besar, pemberontakan di mana-mana, dan siapa tahu ternyata negara kami juga mempunyai fasilitas laboratorium rahasia, mereka yang mengungsi dari pinggir sebelah timur kota Lutovka dan desa-desa sekitarnya terdampak oleh senjata biologis di fasilitas itu lepas. Orang-orang yang tidak beruntung mati dan menjadi mayat hidup atau orang gila. Sulit dipercaya tapi kemana pun bertanya, jawabannya sama.
Sekarang kami tengah berjalan bersama rombongan pengungsi dari kota Varushka ke perbatasan negara tetangga, kekaisaran Teikokuten. Aku tahu kehidupan kami di situ akan berat, terutama karena jelas-jelas ras-ras mayoritas di Teikokuten tidak suka dengan ras dari Svartov, terutama ras Vyr.
Aku dan Ilona merupakan ras campuran Vyr dan Elfar, telinga kami runcing seperti ayah kami yang ber-ras Elfar, dan kulit pucat, rambut putih, juga iris mata berwarna merah dari ibu kami yang ber-ras Vyr.
Kami dengan sekitar 70 warga sipil lainnya tengah berjalan melewati jalan tol yang kosong, tidak ada orang yang lewat jalan tol ini setelah kekacauan terjadi di mana-mana, terutama dengan adanya kelompok pemberontak anarkis sudah muncul di Varushka, kami harus mengendap-endap sampai bisa ke sini.
Aku menatap ke wajah pucat Ilona, dia terlihat kelelahan, kami telah berjalan tanpa henti selama satu jam lebih, dan berputar-putar untuk menghindari para pemberontak anarkis itu. Ilona balik menatapku dan bertanya "Kak Paula, kapan kita sampai?"
Aku melihat ke sekitar dan melihat sebuah rambu tol, di sana tertulis "Varushka 4 Km." Jika aku tidak salah dalam pelajaran geografi, guru geografi-ku pernah bilang jika jarak dari Varushka ke perbatasan terdekat Teikokuten itu 5 kilometer.
"Sebentar lagi. Bersabarlah, Ilona," jawabku.
Aku melihat lagi ke sekitarku, jalan tol yang kosong, dan kerumunan orang yang berjalan bersama kami, mereka juga terlihat cukup kelelahan. Kami kekurangan bekal, mau tidak mau harus irit.
Kami lanjut berjalan selama dua puluh menit, sampai akhirnya kami sampai di perbatasan Teikokuten, tapi jalannya dibarikade dengan pagar besi dan kawat berduri, terlihat juga banyak penjaga perbatasan mengenakan rompi anti peluru dan juga helm.
Aku melihat salah seorang dari mereka berteriak ke arah kami dari jauh "Diam di tempat! Orang-orang pucat!"
Kami semua terdiam di tempat, apakah dia baru saja mencela ras kami? Mayoritas dari kami yang ber-ras Vyr lah yang paling terkejut. Namun kedua pihak hanya terdiam dan saling menatap sampai seorang penjaga perbatasan Teikokuten datang membawa pengeras suara, melihat dua buah tanduk kecil di dahinya, dapat diketahui jika ras-nya adalah Onirin.
"Kekaisaran Teikokuten tidak menerima pengungsi Svartov, putar balik dan kembalilah dari manapun kalian berasal!" Ucap Onirin itu.
Mendengar itu seluruh pengungsi terlihat kecewa, dan beberapa terlihat marah.
"Apa maksudnya ini!? Kalian tidak punya rasa belas kasih dan akan menelantarkan kami!?" Teriak seorang pengungsi pria dengan ras Elfar.
"Kami tidak punya tanggung jawab untuk menampung warga negara lain. Pergilah dari sini, kalian tidak diterima," jawab penjaga ber-ras Onirin itu.
Setelah kata itu dikeluarkan oleh penjaga perbatasan itu, hampir seluruh pengungsi meledak emosinya dan beberapa mulai meneriaki para penjaga perbatasan, sampai beberapa mulai maju untuk meraih beberapa penjaga perbatasan sedangkan aku, Ilona dan beberapa pengungsi terutama wanita berjalan mundur.
Lalu semuanya menjadi sunyi setelah penjaga perbatasan Onirin yang tadi mengeluarkan pistolnya dan menembakannya ke udara dan berteriak tanpa menggunakan pengeras suara "Segera pergi dari sini, sebelum kami menggunakan kekerasan!"
Setelah mendengar itu semua pengungsi behenti mencoba menerobos maju, dan mulai mundur lalu pergi dari sana, berputar balik dari mana mereka pergi sebelumnya.
Sepanjang perjalanan semua pengungsi menggerutu sepanjang jalan. Aku melirik ke arah Ilona, dan ia terlihat murung.
Sekitar 30 menit kemudian, seluruh rombongan memutuskan untuk beristirahat di pinggir jalan tol itu untuk memulihkan stamina, aku dan Ilona duduk paling jauh dari tengah rombongan.
Aku membuka tas ku, dan mengambil sekaleng daging cincang, dan dua buah sendok dan memberikan satu kepada Ilona.
Ilona mengambil sendok itu kemudian menatap ke arah mataku, "Kak Paula, sekarang kita harus bagaimana?" Tanya nya.
"Aku juga tidak tahu... Paling tidak kita akan pergi ke Szybokova, atau Lutovka, tentara Svartov masih ada di Lutovka," jawabku sebelum mengambil memakan sesendok daging cincang kaleng itu.
Setelah selesai memakan sekaleng daging cincang yang hampir tidak mengenyangkan kami berdua, aku mengambil ponsel dari dalam tas ku, dan mengecek jam, ini 14:25. Kemudian aku memeriksa pesan yang masuk, untungnya internet di daerah ini masih tersedia, aku melihat satu pesan yang baru saja masuk satu menit yang lalu,itu dari temanku Denis dalam isi pesan itu ia menulis "Paula, kau di mana?"
Setelah membacanya aku segera mengetik balasan untuk pesan tersebut tol perbatasan Svartov-Teikokuten."
Mengejutkannya kontak Denis segera online, dan statusnya sedang mengetik, selang beberapa detik pesan baru sudah masuk "Kau ingin mengungsi?"
"Perbatasan ditutup."
Ilona menepuk pundak ku kemudian mengambil sebotol besar air dari tas ku. "Boleh aku minta?" Tanyanya.
Aku mengalihkan pandanganku dari ponsel dan menjawab dengan mengangguk.
"Berpesan dengan siapa? Pacar" Tanya Ilona penasaran sambil mencoba mengintip handphone yang berada di tanganku.
"Teman," Jawabku singkat. Pacar apanya, aku mati bosan jika pacaran dengan orang cuek seperti dia.
"Siapa?" Tanya Ilona lagi penasaran.
"Denis," Jawab ku singkat. Aku melihat ponsel ku lagi, dan Denis hanya membaca pesan terakhirku.
"Dih..." ucap Ilona sambil membuang muka.
"Kok 'dih'?" tanyaku heran, Ilona memang tidak suka dengan Denis karena sedari dulu suka menganggu nya.
"Tidak, lupakan," balas Ilona kemudian melihat ke arah kerumunan pengungsi yang tengah beristirahat.
Satu orang pengungsi berdiri, kemudian beberapa pengungsi lainnya, "Kami akan berpisah dari sini, dengan rombongan sebesar ini kami khawatir ketahuan oleh para pemberontak."
Mendengar itu pengungsi yang lain tidak dapat melakukan apa-apa, dan hanya membiarkan mereka pergi.
Ponselku berdering kemudian aku melihat ke layar ponsel ku, ada pesan dari Denis, isi pesan itu adalah "Temui aku di alun-alun kota Varushka, nanti aku jemput 17:30."
Pesan itu membuatku bertanya-tanya, tapi untuk sekarang aku hanya merespon dengan "ya."
Entah apa yang dia rencanakan, tapi melihat jam menunjukan 14:20, berangkat terlalu cepat saat matahari masih bersinar terang bukanlah ide yang baik.
"Ada apa?" Tanya Ilona penasaran.
"Kita akan ke alun-alun Varushka, Denis akan menjemput kita, entah kemana," jawabku sebelum mematikan ponsel ku dan memasukannya kembali ke dalam tas.