"I..iya Rick, ada apa?"
"Pulang aja lo, biar gue yang urus ama cewek aneh itu."
Aku menggeleng kuat saat Rian menatapku, aku yakin, pasti inilah saatnya pembalasan bagi Ricky, mengunciku di dalam kelas sampai pagi, mungkin. Siapa yang tahu di dalam otak cowok jahat itu.
"Yan, sini aja ya, jangan pulang, sini aja." pintaku setengah memohon, sambil menarik ujung seragam Rian.
"Tapi, Lam –"
"Pulang gak elo cupu?!"
"I..iya Rick, gue pulang."
"Yan."
"Sorry ya Lam, ati-ati ya."
Rasanya ingin menangis, saat melihat punggung Rian menghilang di balik pintu. Sekarang matilah aku, hanya berdua saja dengan cowok ini, di kelas ini, ya Tuhan.
"Eh, aneh sini –"
"Gue yang ngelap, gue yang nyapu, gue yang nata bangku. Elo duduk aja, gue yang kerjain semuanya." jawabku cepat, karena aku yakin, dia pasti akan menyuruhku untuk melakukan semua pekerjaan itu. Tak apa aku melakukan semuanya, agar cepat selesai, agar aku bisa terbebas dari dia, agar dia kasihan dan tidak jadi menjadikanku bulan-bulanan.
"Dasar cewek aneh." Gumamnya, berjalan mendekat kemudian menarik bangku yang ada di depanku.
"Maaf."
"Mau sampai kapan lo minta maaf ama gue?"
"Maaf, maksud gue ---"
"Ck! Nyapu sana, biar kursi dan mejanya gue tata."
"Maaf ---"
Mulutku langsung ku tutup, saat mata coklatnya melotot, dia tampak tak sabaran sambil menarik kursi serta meja yang berantakan.
"Mau sampai kapan sih elo mau diginiin?" kini dia kembali membuka suara, saat aku kembali menyapu, ruang bagian belakang kelas. "Kalau lo terus ngalah, elo bakalan jadi bulan-bulanan mereka, sampai lulus. Seharusnya lo bisa kuat sedikit, dong."
Aku tidak tahu apa maksudnya dia berkata seperti itu, bukankah dia cowok utama yang dendam dan ingin menjadikanku bulan-bulanan?
Aku tak mengerti....
"Biar gak ribut, gue males ribut." lirihku, dia berhenti dari kegiatannya, menatapku lagi dengan pandangan anehnya.
"Bukan males ribut, tapi elo gak berani, elo takut."
Rasanya seolah dia memanah tepat di sasaran yang tak terelakan. Dia benar, malas ribut hanyalah kedokku, karena sejujurnya aku takut. Takut jika mereka semakin brutal, takut jika semua usahaku untuk menjadi siswa yang baik sampai memperoleh beasiswa akan hilang percuma. Aku hanya ingin hidup tenang, menikmati masa SMA dengan tenang, aku bukan siswa yang suka berulah, seperti dirinya.
Tapi, kenapa dia bersikap seperti ini? Seperti kemarin saat dia membantu membawa buku ke ruang guru. Sebenarnya, apa yang cowok ini inginkan dariku? Atau, apakah dia sedang memainkan sesuatu? Yang aku menjadi sasaran utama atas permaianan itu? Aku sama sekali tak tahu.
"Sudah petang, gue pulang." kataku setelah menyelesaikan semua tugasku, dia berdiri, karena setelah merapikan meja dan kursi dia hanya duduk sambil memandangiku menyapu.
"Bareng," ajaknya, dia meraih tas punggungnya kemudian mendekatiku.
Aku mundur menjauh, tapi dia semakin mendekat, dan itu semakin membuatku takut. "Elo takut ama gue? Apa lo fikir, gue akan bales dendam ama elo?"
Aku hanya bisa mematung di tempat, saat pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Keringatku terasa keluar semua, tubuhku panas-dingin.
"Ini bukan sinetron, atau drama-drama yang sering elo tonton. Gue bukan tipikal cowok pendendam yang akan nghancurin idup cewek hanya karena masalah tawuran, ngerti?"
Lalu, kenapa kamu bersikap baik padaku?
"Ya, gue ngerti." jawabku cepat.
Ku helakan nafasku saat tubuhnya agak menjauh, kemudian dia melangkah keluar kelas. Ku ekori langkahnya pelan-pelan karena masih takut, banyak hal yang semakin membingungkan. Karena ini adalah tahun kedua kami berada di kelas yang sama, dan selama itu pula baik aku ataupun dia tak pernah saling tegur sapa. Dia seolah tak melihat aku ada, begitupun sebaliknya. Aku tak pernah mau menganggapnya ada karena aku tak mau berurusan dengannya. Kecuali, mata ini selalu melihat saat guru membagikan nilai ulangannya yang selalu sempurna, hanya itu tidak lebih. Dan ada angin apa tiba-tiba dia bersikap seperti ini? Bersikap seolah kami ini teman baik?
"Elo pulang naik apa?"
"Angkot."
"Sendirian?"
Aku mengangguk, dia manggut-manggut. Padahal, saat ini dia berjalan di depanku, tapi anggukanku seolah dia berjalan di sampingku. Punggung tegapnya bergetar. Aku tidak tahu apakah dia tertawa atau melakukan apa, tapi saat dia berbalik, putung rokok itu sudah terselip di antara bibir merahnya.
Aku tak mengerti. Bagaimana bisa, ada seorang perokok yang bibirnya semerah itu, dan giginya seputih itu. Dia seolah seperti apel segar, yang baru saja dipetik dari pohonnya, dengan penampilan sederhana dan asal-asalan yang dia punya. Mungkin, itu salah satu penyebab kenapa para siswi jatuh hati padanya, tanpa memikirkan apakah cowok ini berandalan atau tidak.
"Nama lo Nilam Cahya, kan?" tanyanya, dia berjalan mundur saat aku berjalan maju, mungkin agar dia bisa menghadap ke arahku.
Aku mengangguk lagi sambil menunduk, sesaat ku hentikan langkahku saat dia berhenti melangkah. Bisa ku lihat, sepasang sepatu ket berwarna abu-abu dengan tali hampir lepas milik Ricky hampir tertelan celana abu-abu yang panjangnya semata kaki.
"Hari ini gue belum cinta ama elo, gak tahu besok. Yang jelas, gue akan kasih tahu elo kalau gue udah jatuh cinta ama elo."
Spontan aku mendongak, tapi Ricky sudah memutar tubuhnya, melangkah cepat sambil melambaikan tangannya padaku. Aku sama sekali tak mengerti, apa maksud semua ini? Apa maksudnya dia bilang seperti itu padaku? Apa dia mau mengerjaiku?