Télécharger l’application
77.06% TIKAM SAMURAI / Chapter 205: Menjauh dari sini, Han Doi…!

Chapitre 205: Menjauh dari sini, Han Doi…!

Han Doi menggerutu panjang pendek, sembari tiap sebentar menoleh ke arah rawa, di mana tadi dia baru saja melihat monster yang teramat dahsyat.

Setelah kayu itu terpotong menjadi tiga bahagian, Han Doi mencari rotan dan mengapitnya dengan kayu sebesar-besar betis. Si Bungsu tiba dengan memikul nangka hutan, pisang dan empat buah durian.

"Hei dari kebun mana kau panen buah-buahan itu?" ujar Han Doi berseloroh.

"Kau makanlah, saya akan merampungkan rakitmu ini…" ujar si Bungsu.

Dia mendekati rumpun bambu kuning yang tumbuh tak jauh dari tepi rawa. Memotongnya belasan batang. Kemudian dengan cepat mengikatnya menjadi lantai di bahagian atas rakit tersebut. Han Doi terkesima ketika melihat betapa bagusnya rakit itu kini.

"Mari kita apungkan ke air…" ujar si Bungsu.

Dengan mudah mereka berdua memikul rakit itu ke air. Ketika diletakkan di air, rakit itu mengapung dengan bagusnya.

"Ayo ambil buah-buahan tadi, kita jemput Thi Binh dan ayahnya…" ujar si Bungsu sambil membersihkan tiga batang bambu, masing-masing sepanjang sepuluh depa, untuk galah menjalankan rakit tersebut.

Mereka naik ke rakit itu. Kemudian perlahan si Bungsu yang tegak di bahagian depan rakit menancapkan bambu panjang itu ke dasar rawa.

Dengan menekan bambu tersebut si Bungsu berjalan sepanjang pinggir rakit tiga meter itu ke belakang. Rakit itu segera meluncur di atas air. Si Bungsu kemudian mencabut bambu itu, lalu berjalan ke depan. Menancapkan kembali, dan menekannya sambil berjalan ke belakang. Dengan cara demikian rakit itu meluncur cepat ke depan.

Hanya sekitar lima belas menit bergalah, mereka sampai ke pohon yang dimana Thi Binh dan ayahnya menunggu. Kedua anak beranak itu tercengang melihat rakit berlantai bambu kuning, yang terlihat amat elok tersebut.

"Kita akan memulai perjalanan ke selatan. Kita akan bergantian bergalah. Saya duluan. Namun yang lain harus memperhatikan dengan seksama setiap dahan dan cabang yang menggantung, serta setiap pohon atau dahan yang mengapung di air. Dalam rawa angker ini, benda-benda itu bisa saja bukan cabang, dahan atau pohon melainkan ular, buaya atau makhluk berbahaya lainnya, yang mungkin belum pernah kita temui…" ujar si Bungsu tatkala Thi Binh dan Duc Thio sudah berada di rakit tersebut.

Ketika si Bungsu bergalah, dan rakit itu bergerak maju di antara pepohonan rakasa, Thi Binh melahap durian dan nangka hutan yang amat harum dan nikmat rasanya itu. Setelah beberapa saat bergalah, dan melihat Thi Binh masih saja memakan buah-buahan itu dengan nikmat, si Bungsu tiba-tiba ikut merasa amat lapar. Dia menyerahkan galah kepada Han Doi.

"Hindari lewat di bawah cabang-cabang kayu, hindari menerobos belukar. Hindari kayu-kayu besar yang mengapung. Hindari kabut yang terlalu tebal. Tetaplah pertahankan posisi ke arah matahari terbenam," ujar si Bungsu pada Han Doi, saat dia akan duduk bersila di bahagian belakang rakit berhadap-hadapan dengan Thi Binh.

Si Bungsu segera ikut melahap durian yang isinya sebesar-besar lengannya itu. Dalam sebuah ruang hanya ada seulas atau sebuah isi durian. Bijinya tak sampai sebesar jempol tangan. Isi durian itu liat seperti ketan. Rasanya nikmat luar biasa.

"Di Indonesia ada buah seperti ini?" tanya Thi Binh ketika melihat betapa si Bungsu melahap buah yang kulitnya berduri itu seperti orang kalap.

Si Bungsu hanya mengangguk setelah menelan ulas ke empat, kemudian sendawa. Kemudian menatap ke depan. Han Doi yang tegak di sisi kanan rakit sedang menancapkan galahnya.

Dari bahagian galah yang tersisa di bahagian atas, si Bungsu tahu rakit mereka kini berada di tempat yang tak begitu dalam airnya. Paling-paling hanya sebatas paha. Sekitar lima depa di bahagian kiri mereka ada belukar lebat yang memanjang ke depan. Di depan, sekitar sepuluh depa dari rakit mereka, terdapat kumpulan kabut tebal. Han Doi tengah menggalah rakit menuju arah kabut tersebut. si Bungsu mencuci tangannya ke air rawa. Matanya nanap menatap kabut tebal yang mengapung di atas pepohonan di permukaan rawa di depan sana.

Thi Binh yang sejak tadi menatap si Bungsu melihat sikap aneh lelaki Indonesia tersebut. Kening lelaki itu berkerinyit. matanya disipitkan seolah-olah ingin menembus ketebalan kabut di depan sana, yang makin lama makin didekati rakit.

"Ada apa?" tanya Thi Binh perlahan.

Si Bungsu menggeleng. Namun tatapan matanya yang tajam tetap diarahkan ke depan. Sesaat dia mengalihkan tatapannya ke kiri. Kemudian ke kanan, kemudian ke kabut tebal itu. Dia berdiri.

"Berpegang erat-erat ke bambu lantai rakit…" ujarnya perlahan pada Thi Binh. Kemudian kepada Han Doi yang sedang bergalah dia berbisik.

"Han Doi… Hentikan rakit…."

Han Doi tak perlu bertanya lagi kenapa rakit harus dihentikan. Dia yakin, bahwa si Bungsu pasti mempunyai alasan yang kuat sekali untuk menyuruh menghentikan rakit.

Dia lihat si Bungsu mengambil bedil yang terletak di samping Thi Binh. Sementara Duc Thio segera pula paham, lelaki Indonesia ini mencium bahaya. Dia juga menyiapkan bedilnya serta matanya berusaha menatap keliling.

Si Bungsu menatap kepepohonan tinggi diatas kabut itu. Tak ada gerak apapun. Dia menatap ke kanan, dan disana ada beberapa burung di dahan. Ada kupu-kupu di permukaan rawa. Tapi di pohon-pohon di atas kabut itu, seperti tak ada kehidupan apapun.

Si Bungsu dengan cepat mencoba menaksir, berapa jauh sudah jarak yang mereka tempuh dari tempat mereka tersobok ular besar ketika akan membuat rakit tadi, dengan tempat mereka berada sekarang. Mungkin sudah jauh. Ular besar itu pun bergerak ketempat yang berlawanan dengan posisi mereka sekarang. Namun apa yang ada di balik kabut itu?

Dia yakin ada bahaya. Nalurinya membisikkan, bahaya itu adalah ular raksasa tadi.

"Belokkan rakit kearah kanan.. perlahan…"bisik si Bungsu kepada Han Doi.

Han Doi mengangkat galahnya, menancapkannya kedasar rawa. Kemudian menekannya. Haluan rakit berputar beberapa derajat. Kemudian bergerak ke arah kanan, menjauhi kabut tebal yang tinggal hanya beberapa meter dari depan mereka. Dalam kesunyian yang amat mencekam rakit itu bergerak perlahan.

Si Bungsu berjongkok, kemudian menatap ke air rawa yang merah kehitam-hitaman itu. Ada beberapa daun kayu tua mengapung. Dia mencoba menemukan sesuatu di dalam air tersebut. Tidak ada yang dapat dilihat dikarenakan kentalnya air. Si Bungsu kembali menatap ke arah pepohonan besar yang kini berada di sebelah kiri mereka, yang dipenuhi kabut.

"Han Doi, Duc thio, duduklah berjongkok…jangan berdiri…."bisik si Bungsu sambil menatap tajam kedalam kabut.

Han Doi dan Duc Thio kembali tak membantah. Perlahan mereka menurunkan tubuh, Duc thio tetap memegang bedilnya erat-erat. Tapi sebelum kedua orang itu sempurna berjongkok tiba-tiba bencana yang diduga si Bungsu segera menampakkan wujud! Dari balik kabut, sekitar dua depa dari air, dari palunan dedaunan yang tak terlihat dari rakit, tiba-tiba meluncur sebuah benda berbentuk pipih segi tiga dengan bahagian depan ternganga lebar dan memperlihatkan taring-taring besar dan lidah bercabang! Dengan suara mendesis tajam, kepala monster raksasa itu menyambar dengan tajam cepat ke arah rakit.

"Tiarap….!!"teriak si Bungsu.

Bersama dengan teriakan itu, bedil yang sudah ditangan kanannya memuntahkan peluru. Dalam detik yang sama pula, tangan kirinya merangkul tubuh Thi Binh saat dia menjatuhkan diri kelantai rakit.

Duc Thio dan Han Doi memekik histeris melihat besarnya kepala monster dengan panjang moncong lebih dari dua meter itu menyapu dengan cepat kearah mereka. Senjata Duc Thio juga menyalak. Namun pelurunya menghujam kedalam rawa, Duc Thio tanpa sadar menembak ketika dia sudah menelungkup dirakit. Namun kemudian kepala ular itu lenyap kembali masuk kedalam palunan dedaunan dua meter diatas permukaan air, yang memutih dipagut kabut tebal.

Si Bungsu segera memuntahkan peluru kearah palunan dedaunan kemana makhluk itu lenyap. Han Doi yang segera dapat menguasai diri juga memungut bedil, lalu ikut memuntahkan peluru ke arah yang sama. Demikian juga dengan Duc Thio. Sepi !

"Ada apa?" bisik Thi Binh yang terlungkup di bawah pelukan tangan kiri si Bungsu di lantai rakit.

Thi Binh sangat beruntung karena tak sempat melihat wujud monster yang menyerang rakit mereka sebentar ini.

"Ada bahaya…" bisik si Bungsu sambil matanya menatap ke dedaunan dalam arah kabut yang sudah mereka siram dengan peluru bedil itu.

"Tetaplah menelungkup, pejamkan mata dan berpegang erat-erat, Thi Binh…" bisik si Bungsu, kemudian berbisik ke arah Han Doi.

"Han Doi… potong dua galahmu itu. Kayuh rakit ini terus, namun posisimu harus tetap menelungkup…"

Han Doi tak perlu diberitahu sampai dua kali. Sambil tetap menelungkup dia memotong galahnya. Lalu potongan galah itu dia tancapkan ke air, dan menekannya. Rakit bergerak perlahan menjauhi kabut tersebut. Si Bungsu bangkit. Dia berdiri dan menatap ke arah pepohonan berkabut itu sambil mengerenyitkan kening. Dia yakin monster itu masih menatap ke arah mereka dan menunggu kesempatan. Tak ada sesuatu yang bergerak di dalam kabut itu. Si Bungsu mengangkat bedil dan menembak. Namun baru peluru pertama yang menyembur, tiba-tiba kepala monster itu muncul secepat kilat dan mendesis dengan mulut menganga lebar, menyambar ke arah rakit.

Duc Thio menembak, namun gerakan melengkung kepala ular itu dari arah kanan ke kiri, seperti gerakan sabit, amat cepat. Bahkan si Bungsu sendiri tak sempat beraksi. Pelurunya dan peluru dari bedil Duc Thio tak mengenai sasaran sebuah pun.

Tragisnya, moncong ternganga dengan taring yang panjangnya hampir setengah meter itu kini menyapu ke arah si Bungsu yang dalam posisi tegak. Si Bungsu tak sempat lagi menembak. Kepala monster yang menganga lebar itu, dengan dua biji mata merah sebesar tinju di kepalanya, hanya tinggal semeter di bahagian kanannya. Dengan gerakannya yang amat cepat, tubuh si Bungsu hanya tinggal hitungan detik untuk masuk ke dalam moncong makhluk dahsyat itu. Si Bungsu tidak menunduk, dia mencoba berkelit dengan memajukan kaki dan menundukkan badan.

Namun sambaran kepala itu sampai sudah. Kendati dia tidak kena terkam, namun tubuhnya kena sabet ular dahsyat itu. Saat itu si Bungsu melihat bahwa kepala ular besar ini memiliki dua tanduk yang panjang masing-masingnya sejengkal, tertancap tak jauh di atas kelompak matanya. Hanya itu yang sempat dia ingat. Sebab setelah itu tubuhnya tercampak amat jauh ke air akibat terkena senggolan kepala ular raksasa tersebut. Hanya dalam hitungan detik, kepala raksasa itu kemudian lenyap ke dalam kabut.

"Kayuh rakit itu terus, Han Doi…!" pekiknya sesaat sebelum tubuhnya tercemplung ke air.

Han Doi berhenti mengayuh rakit itu. Dia menatap ke arah si Bungsu yang tercampak sekitar sepuluh depa dari rakit. Thi Binh memekik.

"Menjauh dari sini, Han Doi…!" teriak si Bungsu, yang sudah tegak di dalam air sebatas pinggang.

Namun saat itu pula kepala naga raksasa itu muncul. Kali ini kepalanya menyapu rendah di atas permukaan air, dengan tubuh yang nampaknya melilit ke kayu besar di dalam kabut, moncongnya yang menganga lebar menyabet seperti lengkung sabit ke arah tubuh si Bungsu. Kali ini si Bungsu juga tetap tak bisa menembak. Waktunya sangat singkat, namun dengan tubuh tegak di dalam air, dia menghadap ke arah datangnya sambaran moncong kepala bertanduk yang amat menjijikkan, sekaligus mengerikan itu.

Baik Duc Thio, Han Doi maupun Thi Binh hanya bisa menatap dengan terpaku di rakit mereka, melihat moncong ular besar itu menganga lebar menyambar ke arah si Bungsu.

Menjelang moncong ular besar itu sampai, si Bungsu menegakkan posisi bedilnya lurus-lurus dan merentangkan tangan kanannya yang berbedil itu ke arah datangnya sambaran moncong ular itu. Thi Binh terpekik, Duc Thio dan Han Doi merasa dilumpuhkan tatkala melihat tubuh si Bungsu disambar ular itu dan terangkat tinggi ke udara. Namun hanya sesaat, tubuh si Bungsu kemudian terlempar kembali ke air. Sementara kepala raksasa itu kelihatan meliuk di udara. Liukannya kemudian makin keras, menghempas dan membanting serta membuncah kabut, pohon dan dedaunan di mana tubuhnya melilit kukuh. Kini kabut di selingkar pohon kayu besar dimana tubuhnya melilit, terkuak.

Ular besar itu tetap menghempas dan mulutnya tetap ternganga. Ternyata mulutnya tak bisa dikatupkan. Tersekang oleh bedil si Bungsu.


next chapter
Load failed, please RETRY

État de l’alimentation hebdomadaire

Rank -- Classement Power Stone
Stone -- Power stone

Chapitres de déverrouillage par lots

Table des matières

Options d'affichage

Arrière-plan

Police

Taille

Commentaires sur les chapitres

Écrire un avis État de lecture: C205
Échec de la publication. Veuillez réessayer
  • Qualité de l’écriture
  • Stabilité des mises à jour
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte du monde

Le score total 0.0

Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
Votez avec Power Stone
Rank NO.-- Classement de puissance
Stone -- Pierre de Pouvoir
signaler du contenu inapproprié
Astuce d’erreur

Signaler un abus

Commentaires de paragraphe

Connectez-vous