Hari itu tidak akan terlupakan olehku. Masih hangat dalam ingatanku, saat aku pulang bermain bersama sahabatku—Han Nam Il Orabeoni— ayah dan ibu menunggu di halaman rumah. ketika aku masuk, mereka tersenyum. Awalnya aku merasa canggung dengan senyuman tersebut, hati kecilku berkata ada sesuatu yang aneh. Tepat seperti yang sudah kuduga, para tetua keluargaku hadir semua di rumah sore itu. Mereka tersenyum penuh arti dan mempersilakan aku untuk duduk dengan bahasa yang sangat sopan.
Aku jengah mendengar bahasa sopan yang mereka gunakan saat berbicara denganku. Keanehan tidak hanya terjadi sampai disitu, orangtuaku tidak lagi memanggil namaku. Mereka seperti enggan atau tabu untuk memanggil namaku.
Hatiku sakit. Sakit saat mereka memanggilku dengan panggilan Yang Mulia (Mama). Segera, aku tahu, aku lolos seleksi tahap dua pemilihan Putri Mahkota yang pernah kujalani beberapa waktu lalu. takdir seperti ingin merenggut kebahagiaanku.
Di usia sepuluh tahun, aku harus berpisah dengan kedua orangtuaku. Istana meminangku untuk menjadi pendamping dari Putra Mahkota Uiyang. Gadis lain mungkin akan berteriak kegirangan mengetahui dirinya terpilih menjadi Putri Mahkota Joseon. Tapi, aku merasa kebahagiaanku seperti direnggut paksa oleh surga. Pemilihan tersebut hanya berhenti sampai di tahap dua saja, semua atas keinginan dari tetua istana. Mereka memilihku sebagai kandidat terbaik untuk menduduk takhta calon ratu masa depan. Seharusnya aku merasa bangga dengan penilaian tersebut, nyatanya aku tidak sedikitpun merasa bangga. Aku merasa terbebani.
Seakan belum cukup dengan beban yang harus kutanggung sebagai Putri Mahkota, surga kembali memberikan kejutan tak terduga. Hari itu adalah hari keempat aku tinggal di istana, tepatnya di Byeolgung. Dayang senior berusaha keras melatih serta memberi pelajaran tentang etika istana.
Aku ingat betul, matahari bersinar sangat cerah, ketika seorang dayang istana muda berlari menerobos pintu masuk utama Byeolgung. Dayang muda itu menangis dan bersimpuh di hadapan sanggung senior yang melatihku. Dengan terbata – bata, dayang muda itu mengabarkan bahwa Jusang Jeonha— ayah mertuaku—telah mengembuskan napas terakhir.
Hatiku hancur.
Hancur bukan karena rasa sedih atas berita meninggalnya ayah mertuaku. Tapi, hatiku hancur saat menyadari kenyataan lain yang akan kuhadapi. Kenyataan bahwa aku akan langsung naik tahta sebagai seorang Ratu Joseon.
Aku takut. Sangat ketakutan. Aku takut dengan takhta yang akan kududuki kelak.
~TQS~
"Sampai bertemu besok Nam Il Orabeoni!"
Heo Jung Eun tersenyum sambil melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam rumah. Gadis manis itu tersenyum lebar pada sahabatnya, Han Nam Il, yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Setelah Nam Il tidak lagi terlihat oleh jarak pandangnya, Jung Eun pun masuk ke dalam rumah.
Jung Eun masuk ke dalam rumah dengan senyuman yang masih tersungging di wajah manisnya. Tapi, senyum itu pudar saat ia mendapati kedua orangtuanya seperti tengah menunggu dirinya. Jung Eun merasakan sesuatu yang aneh saat melihat tingkah orangtuanya. Orangtuanya tersenyum dan sedikit membungkukkan badan pada dirinya. Hal itu membuat gadis itu merasa tak nyaman.
"Eomeoni, Abeoji, kenapa kalian ada di luar rumah seperti ini?" Jung Eun bertanya sambil mengernyitkan dahi melihat tingkah kedua orangtuanya yang jelas sangat tak biasa.
Nyonya Min tersenyum dan melangkah mendekati putri tunggalnya. Tangannya dengan lembut merapikan anak – anak rambut di puncak kepala Jung Eun. "Silakan. Segeralah masuk, semuanya sudah menunggu kedatanganmu."
Jung Eun tak mengerti dengan sikap aneh ibunya. Di dalam hati, gadis manis itu bertanya – tanya. "Eomeoni, kenapa Eomeoni berbicara begitu formal padaku? Ada apa ini sebenarnya? Ho, kenapa juga kalian berpakaian sangat rapi di sore hari seperti ini?"
"Sebaiknya anda masuk lebih dulu. Di dalam ruangan anda akan menemukan jawabannya. Silakan."
Tuan Heo membuka suara. Pria itu tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan putrinya. Tangannya mengarahkan Jung Eun agar segera masuk ke dalam rumah.
Jung Eun terpaksa melangkah untuk menuruti perintah yang diberikan orangtuanya. Perlahan, gadis itu mengarahkan langkahnya menuju bangunan utama rumahnya. Di dalam hati, Jung Eun kebingungan dengan sikap yang diperlihatkan kedua orangtuanya. Gadis itu merasa ada sesuatu yang tak baik yang sedang terjadi.
Begitu pintu ruangan utama rumahnya terbuka, Jung Eun kembali mendapatkan kejutan yang tak pernah ia bayangkan. Di dalam ruang utama rumahnya, manik hitamnya mendapatkan pemandangan yang tak pernah terduga. Sudah ada sepuluh orang yang sepertinya menantikan kehadiran Jung Eun. Jung Eun mengenali wajah satu persatu yang duduk di ruang utama rumahnya itu sebagai para tetua keluarganya. perasaan tak nyaman semakin kuat menguasai hati Jung Eun saat ini.
Jung Eun menoleh dan mendapati kedua orangtunya tersenyum padanya. Tapi, senyum yang diperlihatkan kedua orangtunya bukanlah senyuman yang biasa Jung Eun dapatkan. Senyuman itu adalah senyuman penuh rasa hormat. Jung Eun tak suka dengan senyuman tersebut.
"Selamat atas terpilihnya nona muda keluarga Hong sebagai Wangsejabin. Kami sangat bangga dan terhormat karena sekali lagi, keluarga kami mendapatkan kehormatan terpilih menjadi keluarga istana. sekali lagi, selamat atas terpilihnya anda, nona muda Hong."
Seluruh tetua keluarga Jung Eun tersenyum dan membungkuk hormat pada dirinya yang masih berdiri di ambang pintu. Jung Eun terbelalak mendengar ucapan selamat yang baru saja diucapkan salah satu tetua keluarganya. Jung Eun kembali menoleh pada kedua orangtuanya yang masih berdiri di belakangnya. Tatapan gadis itu seperti memohon penjelasan atas semua kejadian aneh sore hari ini.
Seakan mengerti kebingungan yang tergambar di wajah Jung Eun, Nyonya Min kembali menyunggingkan sebuah senyuman. Wanita bangsawan itu menatap lembut putrinya.
"Selamat anda telah terpilih menjadi Wangsejabin, Mama. Kami berharap anda bisa membawa berkah dan kedamaian untuk negeri ini kelak."
Hati Jung Eun sakit saat mendengar orangtuanya kembali berbicara dengan bahasa yang formal pada dirinya. tapi, yang paling menyakitkan bagi Jung Eun adalah ayah dan ibunya tak akan pernah memanggil lagi dirinya dengan nama lahirnya. Airmata tanpa tertahan jatuh membasahi kedua pipi Jung Eun. Hati Jung Eun seperti dikoyak oleh pisau. Benar – benar pedih. Sore itu menjadi sore yang menyedihkan bagi Hong Jung Eun.
~TQS~
Jung Eun meringis sakit. Kepalanya benar – benar tak tahan lagi untuk menyangga mahkota berat yang kini sedang ia kenakan. Ini adalah hari keempat Jung Eun tinggal di istana. Setelah ia dinyatakan terpilih menjadi Putri Mahkota, esok harinya istana langsung mengirimkan tandu untuk menjemput Jung Eun dari rumah.
Jung Eun ingat betul, dirinya tak bisa menahan tangis pilu karena harus berpisah dari orangtuanya. Dengan berat hati, Jung Eun pun masuk ke dalam tandu. Gadis itu harus memulai pendidikan dan persiapan pernikahan kerajaannya. Seperti hari ini, Jung Eun mengenakan daesu dan jeokui lengkap untuk berlatih memberi hormat saat upacara pernikahan nanti.
Seorang dayang senior tengah memperhatikan cara memberi hormat yang dilakukan Jung Eun. Di kanan dan kiri Jung Eun terdapat dua dayang muda yang bertugas membantunya. Lagi – lagi, Jung Eun kehilangan keseimbangan saat hendak menunduk karena tak tahan menahan beban berat di kepalanya.
"Mama, anda tak boleh bergerak seperti itu. Anda harus menunduk secara perlahan. Mari kita ulang sekali lagi. Mohon untuk tidak membuat kesalahan lagi, Mama."
Dayang senior itu kembali menegur Jung Eun yang lagi – lagi membuat kesalahan. Jung Eun menghela napas lelah. Sudah seharian ini ia berlatih berjalan dan menghormat. Latihan seperti itu bukanlah sesuatu yang sulit jika tidak dilakukan dengan menggunakan pakaian berlapis – lapis dan mahkota besar yang sedang ia kenakan saat ini. Jung Eun hanya bisa mengangguk pasrah, sekalipun ia ingin sekali menendang dan melemparkan pakaian berat yang ia pakai.
Baru saja Jung Eun kembali ke posisi semula sebelum ia memberi hormat, telinganya mendengar suara keributan di halaman. Jung Eun menghentikan gerakannya dan memberikan tatapan penuh pertanyaan pada dayang senior yang melatihnya.
"Mamanim! Sanggung Mamanim !"
Suara panggilan seorang gadis terdengar di halaman Byeolgung, paviliun tempat tinggal Jung Eun selama berlatih di istana. dayang senior yang mendengar keributan itu segera memohon izin pada Jung Eun. Jung Eun hanya mengangguk singkat sebagai tanda ia memberi izin.
"Ada keributan apa ini? Kenapa kau bersikap begitu sembrono di kediaman Wangsejabin Mama, Dayang Jang?"
Pertanyaan bernada marah kini terdengar di telinga Jung Eun. Gadis itu memilih duduk untuk beristirahat sejenak sebelum kembali berlatih. Jung Eun menajamkan telinganya untuk mendengar keributan yang terjadi di halaman paviliunnya.
"Mohon maafkan sikap saya, Mamanim. Tapi, ada berita penting yang harus saya sampaikan pada anda." Balas dayang muda itu sambil bersimpuh di hadapan dayang senior tersebut.
"Ada apa sebenarnya? Segera katakan!"
Isak tangis mulai terdengar dari dayang Jung yang kini tengah bersimpuh di depan dayang senior tersebut.
"M-mamanim, J-jeonha... Jusang Jeonha baru saja mengembuskan napas terakhirnya." Ucap Dayang Jung sambil kembali terisak.
Jung Eun terhenyak mendengar berita yang baru saja ia dengar. Gadis itu terduduk lemas sambil memegangi dadanya yang kini berdenyut sakit. Sorot mata gadis manis itu terlihat kosong seakan baru saja di beri beban berat puluhan ton. Jung Eun sangat terkejut mendengar berita yang tak sengaja ia dengar.
Perlahan, rasa takut mulai menyerang dirinya. Jung Eun mulai ketakutan dengan segala hal yang akan terjadi kelak. Jung Eun tak sanggup dengan kenyataan seperti ini. Terpilih menjadi putri mahkota saja sudah membuat dirinya tersiksa setengah mati. Fakta baru bahwa ayah mertuanya—Raja Gwanghyo—telah berpulang membuat Jung Eun seperti tercekik. Rasa takut semakin kuat menguasai hatinya, hingga tanpa sadar airmata mengalir turun membasahi pipinya.
"Eomeoni, apa yang harus kulakukan sekarang? Beban menjadi Putri Mahkota saja sudah sangat berat bagi gadis sekecilku. Kenapa? Kenapa surga mengambil Jeonha secepat ini?" ucap Jung Eun dengan suara yang sangat lirih.
~TQS~
Malam itu angin berhembus kencang. Udara terasa sangat dingin. Suasana berkabung terasa begitu kuat menyelimuti istana malam ini. Malam itu paviliun Byeolgung masih terlihat terang benderang. Belum ada satupun cahaya lilin yang dipadamkan. Termasuk di ruangan tempat dimana Sang Putri Mahkota beristirahat.
Jung Eun belum juga beranjak tidur. Gadis itu tengah termenung dengan mata yang sembab. Seharian tadi, setelah kabar kematian Raja Gwanghyo disebarkan, pelatihan Jung Eun dihentikan untuk sementara waktu. Perintah resmi istana mengenai penundaan pernikahannya pun telah disampaikan padanya. Jung Eun dan Putra Mahkota Uiyang harus menunda pernikahan sampai masa berkabung selesai. Selama masa penundaan tersebut, Jung Eun tetap tinggal di istana.
Jung Eun menghela napas lelah. Dadanya terasa semakin sesak setelah mendapatkan perintah resmi mengenai penundaan pernikahannya. Masih terngiang di telinga Jung Eun kata – kata dayang senior yang melatihnya mengenai penundaan tersebut.
Kemungkinan besar, anda akan segera naik takhta. Setelah masa berkabung selesai, anda akan menikah dan langsung dinobatkan menjadi Ratu Joseon. Penobatan anda kelak bukan lagi penobatan sebagai Putri Mahkota Joseon, tapi sebagai Yang Mulia Ratu Joseon.
Ucapan dayang senior itu membuat hati Jung Eun semakin sakit. Menduduki takhta Sejabin saja bukanlah keinginannya. Kini, ia harus segera menduduki takhta sebagai Ratu Joseon. Tanpa sadar, airmata kembali jatuh dari kedua sudut mata Jung Eun. Gadis itu lelah. Gadis itu tak menginginkan takhta ini. Matanya kemudian melihat baju upacaranya yang masih disimpan di ruangannya.
Jung Eun jatuh terduduk sambil menangis. Gadis itu ketakutan. Jung Eun takut dengan segala yang akan terjadi di masa depannya. Gadis itu menatap nanar pada jubah upacaranya.
"Eomeoni, aku takut. Apa yang harus kulakukan sekarang? Beban ini terlalu berat untuk kutanggung." Ucapnya sambil menangis menatap baju upacaranya.
~TQS~
Pagi itu, seorang dayang senior datang menemuiku. Dayang wanita itu memperkenalkan diri sebagai dayang yang akan mendampingi dan melayaniku, tepatnya ia akan menjadi dayang terdekatku. Dayang senior itu bernama Dayang Choi.
Dayang Choi, wanita tua yang merawat seorang gadis rapuh sepertiku agar bisa bertahan di istana yang menyedihkan ini.
Di saat perkenalan tersebut, istana masih diselimuti suasana duka. Istana tampak sibuk mempersiapkan acara pemakaman dari mendiang Raja Gwanghyo. Di tengah persiapan itu, aku mendengar kabar dari Dayang Choi bahwa calon suamiku, Putra Mahkota Uiyang, dalam kondisi terguncang. Mendengar kabar tersebut, secara tak sadar aku merasa iba pada Putra Mahkota Uiyang. Aku seperti mengerti kesedihan yang dialami calon suamiku karena kehilangan ayah tanpa terduga.
Entah apa yang mendorongku saat itu, aku berniat menemui Putra Mahkota Uiyang dan bermaksud menghiburnya. Entah sejak kapan, rasa ingin menghibur pemuda yang belum pernah sekalipun kutemui itu muncul. Ibuku pernah mengatakan bahwa seorang pendamping harus bisa memahami perasaan pasangannya, sekalipun di dalam pernikahan tersebut tak pernah ada cinta. Secara tak langsung, perasaan kita telah disatukan oleh ikatan pernikahan, sekalipun tanpa cinta di dalamnya. Itulah bakti seorang istri.
Mungkin karena ajaran itulah yang mendorongku ingin menghibur Putra Mahkota Uiyang. Keinginanku untuk memahami calon suami yang kelak harus kulayani sekalipun aku tak ingin menjadi pendampingnya. Sekalipun aku ketakutan dengan takhta yang kelak akan kududuki. Setidaknya, aku ingin menjadi seorang istri yang berbakti pada suaminya.
Dengan keberanian yang kupunya, sore itu aku pergi menemui Putra Mahkota Uiyang di kediamannya, istana timur. Aku berusaha memberikan senyum terbaikku pada calon suamiku. Tapi, yang kudapatkan bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Putra Mahkota Uiyang mengatakan bahwa ia tak ingin melihatku di dalam hidupnya. Ia begitu berharap bahwa dengan adanya penundaan pernikahan ini, ia bisa memilih kembali calon pendampingnya. Hatiku sakit.
Aku tak tahu cobaan apa yang ingin diberikan Surga padaku. Aku berusaha menguatkan diri saat mendengar untaian kata menyakitkan darinya. Harga diriku sebagai seorang calon putri mahkota telah hancur. Tak sanggup mendengar rangkaian kata yang mungkin akan melukai hatiku, aku memilih pamit dan pergi dari hadapan Putra Mahkota Uiyang.
Dayang Choi yang merasa bersalah karena menyarankan pergi menemui Putra Mahkota Uiyang, memohon ampunan padaku. Pesannya yang selalu kuingat sampai saat ini adalah; jangan tunjukkan airmata anda di istana. Airmata adalah tanda kelemahan, sekali anda menunjukkan airmata anda di istana, semakin banyak musuh yang akan mengincar anda.
Aku tak pernah tahu jika takhta yang akan kududuki akan seperti itu. Dimataku saat itu, istana adalah tempat yang indah. Tapi, tidak ada yang tahu betapa sunyinya istana yang sebenarnya. Aku, gadis naif berusia muda, yang harus menduduki takhta berbahaya sendirian.
~TQS~
"Sejabin Mama, hamba Dayang Choi meminta untuk bertemu anda."
Jung Eun yang sedang melamun di ruangannya tersentak kaget saat mendengar sebuah suara di depan ruangannya. Jung Eun mengangkat wajahnya dan membenahi posisi duduknya sebelum memberikan jawaban. Gadis muda itu berdeham sejenak sebelum akhirnya bersuara.
"Ah ye. Silakan masuk."
Seorang dayang wanita mengenakan dangui hijau giok melangkah masuk begitu pintu ruangan terbuka. dayang wanita itu melangkah anggun dengan kepala tertunduk. Begitu sampai di hadapan Jung Eun, dayang tersebut membungkuk memberi hormat. Jung Eun mengangguk singkat untuk membalas salam yang diberikan dayang tersebut.
"Sejabin Mama, izinkan hamba memperkenalkan diri di hadapan Anda. Hamba adalah Dayang Choi. Hamba diperintahkan oleh Daebi Mama—Yang Mulia Ibu Suri— untuk melayani dan menjaga Anda. Mohon Anda terima salam hormat dan kesetiaan hamba, Mama."
Dayang Choi kembali bangkit dari duduknya dan memberikan salam secara formal pada Jung Eun. Sementara itu, Jung Eun merasa risih mendapatkan penghormatan begitu formal dari seseorang yang usianya lebih tua dari dirinya. Tapi, gadis itu tak bisa melarang Dayang Choi untuk berhenti. Karena secara status, posisi Jung Eun jauh lebih mulia dibandingkan Dayang Choi. Jung Eun hanya tersenyum risih pada Dayang Choi.
Dayang Choi tersenyum tulus saat melihat ekspresi risih di wajah gadis kecil yang kelak akan menjadi seorang ratu. Di dalam hati, Dayang Choi merasa iba pada gadis kecil yang terlihat polos harus masuk istana di usia yang masih sangat belia. Gadis manis itu harus masuk ke istana yang sarat dengan intrik kejam yang sewaktu – waktu bisa melukai gadis tersebut. Tanpa sadar, naluri ingin melindungi muncul di permukaan Dayang Choi.
"Mama, jika ada sesuatu yang Anda inginkan, silakan beritahu hamba. Hamba akan menyediakannya sebaik mungkin. Anda tak perlu sungkan untuk memberi perintah pada hamba, karena hamba memang diperintahkan untuk melayani Anda sebaik mungkin."
Jung Eun kembali menyunggingkan senyuman canggung di wajah cantiknya. "Ah Y-ye. Terima kasih karena Anda mau menjadi dayang pribadiku, Dayang Choi." Balas Jung Eun.
Dayang Choi kembali tersenyum memaklumi sikap canggung Jung Eun. "Anda tak perlu menggunakan bahasa seformal itu pada hamba, Mama."
Jung Eun tersipu malu mendengar balasan dari Dayang Choi. Gadis itu menundukkan kepalanya karena malu. Tingkah Jung Eun memancing tawa kecil dari Dayang Choi. Tapi, karena tak ingin dianggap sebagai dayang yang tak sopan, Dayang Choi menyembunyikan tawa kecilnya dengan berdeham.
"Mama, karena saat ini pernikahan kerajaan di tunda, maka seluruh pelatihan Anda pun akan di tunda. Apa Anda sudah mendapat perintah penundaan tersebut, Mama ?"
Dayang Choi ingin memastikan status dari gadis kecil di depannya. Setidaknya, Dayang Choi harus menjaga kedudukan resmi dari gadis kecil di depannya. Sebagai seseorang yang sudah tinggal cukup lama di istana, di masa berkabung seperti ini, intrik politik jahat biasanya sering bermunculan. Apalagi posisi putri penerus takhta yang dimiliki gadis ini rentan sekali untuk terkena intrik jahat istana.
Gadis kecil ini mengingatkan Dayang Choi pada mendiang Putri Myeonghwa—adik tiri Putra Mahkota Uiyang dari Selir Kang So Ui—yang meninggal beberapa tahun yang lalu. Putri kecil tak berdosa yang terpaksa menjadi korban intrik istana yang begitu kejam. Dayang Choi ingin melindungi gadis polos di depannya ini.
"Y-ye, Dayang Choi. A-aku sudah mendapatkan perintah penundaan tersebut sore kemarin. Apa ada sesuatu yang salah?" Dahi Jung Eun kini bertaut heran mendengar pertanyaan yang diajukan Dayang Choi.
"Animnida, Mama." Dayang Choi tersenyum seraya menggelengkan kepalanya singkat. "Hamba ingin memastikan bahwa Anda dalam keadaan baik – baik saja selama dalam masa berkabung ini, Mama."
Jung Eun semakin penasaran setelah mendengar jawaban yang diberikan Dayang Choi padanya. Gadis itu menggeser duduknya hingga tubuh bagian depan menghimpit meja takhta yang berada tepat di depannya. Mata Jung Eun memancarkan rasa penasaran yang begitu besar.
"Ho, memang apa yang akan terjadi di masa berkabung seperti ini, Dayang Choi? Apa... akan ada sesuatu yang terjadi padaku?"
Suara Jung Eun terdengar seperti bisikan. Tanpa perlu bertanya lebih jauh, Dayang Choi dapat merasakan perasaan takut yang dimiliki Jung Eun. Perasaan iba kembali merayapi hati Dayang Choi saat menyadari gadis kecil itu ketakutan dengan takhta yang didudukinya. Tekad Dayang Choi untuk melindungi gadis kecil ini semakin kuat.
"Mama, mohon Anda ingat pesan yang hamba berikan pada Anda. Pesan ini semata – mata untuk mengingatkan Anda betapa berbahayanya istana ini. Dalam kondisi berkabung seperti saat ini, istana menjadi tempat yang sangat berbahaya. Rentan terhadap pemberontakan dan perebutan kekuasaan."
Jung Eun tanpa sadar menggeser tubuhnya ke belakang. Ekspresi ketakutan tergambar semakin jelas di wajah manisnya. "Lalu, bagaimana dengan sekarang, Dayang Choi? Apakah hal mengerikan itu akan terjadi juga?"
"Animnida, Mama. Anda tak perlu khawatir lagi. Meskipun suasana berkabung masih begitu kental menyelimuti istana, tapi hamba bisa pastikan semua dalam keadaan baik – baik saja. Tampuk pemerintahan sementara di pegang oleh Daewang Daebi Mama—Yang Mulia Ibu Suri Agung— dan Daebi Mama sampai Seja Jeoha siap melaksanakan tugasnya. Sebenarnya, Seja Jeoha bisa saja langsung mengambil alih pemerintahan meski harus di dampingi tetua istana. tapi, saat ini Jeoha sedang dalam kondisi kurang baik. Jeoha...."
"Apa Jeoha dalam kondisi tidak baik?"
Jung Eun kembali di buat terkejut dengan informasi yang disampaikan Dayang Choi padanya. Gadis itu memotong penjelasan Dayang Choi.
Dayang Choi terdiam sejenak setelah mendengar Jung Eun memotong penjelasannya. Dayang Choi memperhatikan sejenak ekspresi yang tergambar di wajah Jung Eun. Dayang Choi cukup terkejut melihat ada ekspresi peduli yang terpancar begitu jelas di wajah Jung Eun.
"Ye, Mama. Saat ini Jeoha dalam kondisi tidak baik. Seja Jeoha memiliki hubungan yang sangat baik dengan Seondaewang—Mendiang Raja. Hubungan ini berbalik jika dibandingkan dengan hubungan antara Jeoha dan ibunya, Daebi Mama. Itu sebabnya, Jeoha pasti sangat terpukul dengan kepergian Seondaewang."
Jung Eun terdiam mendengar cerita dari Dayang Choi mengenai hubungan calon suaminya dengan kedua orangtuanya. Rasa iba dan sedih tanpa bisa Jung Eun cegah merayapi permukaan hatinya. Jung Eun seperti bisa memahami perasaan sedih dan terluka yang saat ini pasti dirasakan Putra Mahkota Uiyang.
"Jeoha... dia pasti sangat sedih karena kehilangan ayahnya. Akupun pasti akan sangat terpukul jika berada di posisinya. Kehilangan salah satu orangtua yang berharga pasti akan terasa berat untuknya." Ucap Jung Eun dengan suara yang sangat lirih. Gadis itu termenung memikirkan bagaimana hancurnya perasaan Putra Mahkota Uiyang saat ini.
"Terlebih kini Jeoha hanya memiliki seorang ibu yang hubungannya tak begitu baik. pasti akan sangat sulit menerima kenyataan pahit seperti itu." lanjut Jung Eun.
Dayang Choi terperangah mendengar ucapan perhatian Jung Eun pada calon suaminya. Dayang Choi tak pernah menyangka jika Jung Eun bisa merasakan rasa sedih yang kini sedang dialami Putra Mahkota Uiyang. Seluruh dayang istana ini tahu bagaimana buruknya hubungan Putra Mahkota Uiyang dengan Sang Ibu, Ibu Suri Min.
Seulas senyum tersungging di wajah Dayang Choi. Dayang wanita itu berharap Sang Putri Mahkota ini bisa menjadi pendamping yang baik untuk Putra Mahkota Uiyang. Sebuah ide tiba – tiba melintas di kepala Dayang Choi. Dayang tersebut berpikir mungkin ide tersebut bisa membuat Jung Eun terlihat sebagai pendamping baik untuk Putra Mahkota Uiyang.
"Mama, jika Anda tak keberatan. Bolehkah hamba memberi saran untuk Anda?"
Jung Eun yang melamun memikirkan perasaan Putra Mahkota Uiyang saat ini tersentak kaget. Gadis itu mengangkat wajahnya dan mengarahkan perhatiannya pada Dayang Choi.
"Ye? Apa ada yang kulewatkan?"
"Animnida, Mama. Hanya saja, bolehkah hamba memberi saran pada Anda?" Dayang Choi mengulangi permohonannya pada Jung Eun.
Alis Jung Eun terangkat tinggi mendengar permohonan Dayang Choi. "Ah katakan saja, Dayang Choi. Aku akan senang mendengar saran yang kau berikan."
"Jika Anda begitu mengkhawatirkan Jeoha, kenapa Anda tak menjenguknya saja, Mama? Bukankah itu akan bagus jika Anda memperlihatkan sedikit perhatian dan ketulusan hati Anda pada Jeoha? Dengan begitu, Jeoha akan menilai Anda adalah pendamping yang sangat baik untuknya."
"Akupun berpikir seperti itu, Dayang Choi. Sejak tadi aku teringat dengan ucapan ibuku. Seorang perempuan harus memahami perasaaan pasangan, karena perasaan akan disatukan dalam ikatan pernikahan. Meskipun aku tak pernah menginginkan menjadi pendamping dari seja jeoha, tapi aku ingin menjadi seorang istri yang berbakti pada suamiku. Tapi, aku ragu, Dayang Choi."
"Apa yang Anda ragukan, Mama? Pesan ibu Anda memang benar. Perasaan akan disatukan dalam sebuah ikatan pernikahan. Meskipun Anda belum melakukan upacara pernikahan, tapi Anda bisa memahami perasaan dari Seja Jeoha. Bukankah itu hal yang sangat baik ? Itu membuktikan bahwa Anda memiliki hati yang sangat tulus pada Jeoha, Mama."
"Aku ragu karena tindakanku ini akan mendapat sorotan dari tetua istana dan penghuni istana lainnya. Aku dan Jeoha belum melangsungkan upacara pernikahan, tapi aku begitu lancang meminta bertemu dengannya. Tidakkah itu tindakan yang terlihat sembrono, Dayang Choi?" Perhatian Jung Eun terfokus pada Dayang Choi. Gadis itu berusaha mendapatkan alasan yang menguatkan dari Dayang Choi.
Dayang Choi menggelengkan kepalanya. "Animnida, Mama. Bagi hamba tindakan Anda bukanlah tindakan sembrono. Sebaliknya, tindakan Anda adalah sikap untuk memperlihatkan ketulisan hati Anda pada Jeoha. Sama sekali tidak terkesan sembrono di mata hamba, Mama."
Senyum mengembang di wajah Jung Eun setelah mendengar jawaban dari Dayang Choi. Gadis itu merasa lega karena tindakannya di anggap tepat oleh Dayang Choi. Dengan penuh keberanian,Jung Eun pun mengangguk dan membulatkan tekadnya untuk menemui Putra Mahkota Uiyang sore nanti. Jung Eun berharap ia bisa mengurangi rasa sedih yang dirasakan Putra Mahkota Uiyang. Setidaknya Jung Eun menjadi seseorang yang berguna di tengah kesedihan yang melanda istana saat ini.
~TQS~
Sore itu angin bertiup lembut di taman istana timur. Tepat di tengah taman tersebut, Putra Mahkot Uiyang sedang menyendiri. Pemuda itu melarang para pelayan untuk mengikutinya. Putra Mahkota Uiyang sesekali memejamkan matanya untuk merasakan ketenangan yang ia dapatkan di sore hari seperti sekarang.
Di tengah ketenangan yang didapatkan Uiyang, hati pemuda itu merasa sepi. Istana entah kenapa terasa sepi semenjak kepergian ayahnya. Tidak hanya terasa sepi, Uiyang merasa istana menjadi tempat yang menyesakkan hatinya. Ayahnya—pelindung baik hatinya— telah pergi meninggalkan dirinya. Kini, Uiyang harus bersiap menghadapi hari – hari berat untuk mengurus negara.
Uiyang menghirup napas dalam untuk meredakan rasa sakit yang kini menyiksa dadanya. Pemuda itu tahu betul, cepat atau lambat ia harus naik takhta menggantikan ayahnya. Memang tugasnya sebagai seorang penerus takhta untuk kembali melanjutkan pemerintahan setelah ayahnya meninggal. Tapi, Uiyang belum sanggup untuk menjalankan tugas tersebut saat ini. sejujurnya, alasan yang membuat Uiyang sampai saat ini belum mau menerima takhta adalah ibunya.
Sejak malam kematian ayahnya, ibunya—yang kini telah menjadi Ibu Suri—mendesak dirinya untuk segera mengambil alih pemerintahan. Sebenarnya, tanpa perlu di desak seperti itu, Uiyang memang akan mengambil alih pemerintahan meskipun ia tahu betul usianya masih terlalu muda untuk memerintah sendirian. Tapi, melihat ibunya yang terus mendesak membuat Uiyang muak. Di tengah kesedihan yang ia rasakan, ibunya semakin terlihat berambisi untuk membuat dirinya segera duduk di takhta Raja Joseon. Tanpa sadar, hati kecil Uiyang mencurigai kematian mendadak ayahnya memiliki keterkaitan dengan sikap ambisius abunya.
Apa yang harus kulakukan sekarang, Abba Mama?
Hati Uiyang menjerit meminta jawaban pada sang ayah. Berharap pertanyaan di dalam hatinya itu akan terdengar oleh arwah ayahnya. Setetes airmata meluncur turun dari sudut mata Uiyang. Hatinya kembali sesak.
Tanpa Uiyang sadari, sejak tadi gerak – geriknya tengah diperhatikan oleh seorang gadis. Seorang gadis yang mengawasi gerak – gerik Uiyang dengan tatapan sendu. Tatapan yang seakan mengerti perasaan sedih yang sedang dirasakan Putra Mahkota Uiyang saat ini.
~TQS~
Jung Eun menatap sendu punggung Putra Mahkota Uiyang. Entah bagaimana, Jung Eun seperti bisa merasakan kesedihan yang sedang dirasakan Putra Mahkota Uiyang. Perasaan sedih seperti menguar begitu kuat dari Putra Mahkota Uiyang. Tak tahan melihat kesedihan yang mengelilingi Uiyang, Jung Eun memberanikan diri melangkah mendekati calon suaminya.
Tanpa di dampingi para pelayannya, Jung Eun melangkah mendekati Uiyang seorang diri. Gadis itu tidak ingin mengusik kesendirian Putra Mahkota Uiyang dengan membawa rombongan pelayannya. Ia menyuruh para pelayannya untuk meninggalkannya berdua saja dengan Putra Mahkota Uiyang.
Seakan menyadari keberadaan orang lain didekatnya, Uiyang membalikkan tubuhnya. Pemuda itu terkejut saat menyadari ada seorang gadis berada dibelakangnya. Matanya menyipit penuh waspada saat menyadari gadis itu semakin mendekati dirinya.
"Siapa kau?"
Jung Eun berhenti melangkah saat mendengar Uiyang bertanya pada dirinya. Gadis itu tersenyum tipis lalu membungkuk memberi hormat.
"Mohon maafkan saya yang mengganggu anda, Jeoha. Saya Heo Jung Eun memberanikan diri untuk bertemu anda."
Uiyang mengernyitkan dahi saat mendengar nama gadis di depannya. Matanya kembali menelusuri gadis di depannya. Gadis itu mengenakan dangui berwarna mint. Kepalanya tidak mengenakan hiasan apapun. Sebuah seringai mengejek kini tersungging di wajah Uiyang saat menyadari gadis di depannya adalah calon istrinya. Sang Putri Mahkota terpilih—Heo Jung Eun.
"Untuk apa kau datang menemuiku?" tanya Uiyang dengan nada suara dingin.
"Jeoha, kedatangan saya ke Donggungjeon ini untuk bertemu anda. Jika Anda tidak keberatan, saya ingin menghibur Jeoha. Saya merasa saat ini Anda sangat terpukul dengan kepergian Seondaewang. Karena itu saya ingin menemani Jeoha, agar Jeoha tidak lagi merasa sedih."
Uiyang kembali menyunggingkan seringai mengejek setelah mendengar alasan gadis ini untuk menemui dirinya. Uiyang akui, sebenarnya ia cukup tersentuh setelah mendengar alasan gadis ini untuk bertemu dirinya. Tapi, saat mengingat fakta bahwa gadis di depannya ini adalah gadis pilihan ibunya, rasa marah memuncak di dalam hatinya. Lagi – lagi, segala sesuatu di sekelilingnya sepeti sudah di atur oleh Sang Ibu.
"Kuakui kau cukup berani untuk datang menemuiku. Tapi, tahukah kau? Kedatanganmu kemari bukanlah menghiburku, justru semakin membuatku sakit."
Jung Eun terperangah. Gadis itu merasa perih saat mendengar balasan Uiyang untuknya. "Jeoha, saya bermaksud untuk menghibur anda. Saya sama sekali tak...."
"Pergi! Kau bukan seseorang yang kuharapkan menjadi pendamping hidupku. Kau, hanyalah boneka yang diberikan ibuku untuk menghasilkan pewaris takhta. Tak tahukah kau jika mulai saat ini dirimu sedang dimanfaatkan? Ibuku memilihmu sebagai pendamping agar aku mendapatkan dukungan di pemerintahan. Kau hanya dibutuhkan untuk menduduki takhta tapi tak akan kuanggap sebagai seorang manusia. Kau hanyalah boneka, yang dimanfaatkan untuk kepentingan semata."
Sesak langsung memenuhi rongga dada Jung Eun mendengar setiap untaian kata yang keluar dari bibir Putra Mahkota Uiyang. Jung Eun berusaha kuat untuk menahan airmatanya agar tak meluncur turun dari sudut matanya. Jung Eun menggigit bibirnya. Gadis itu memaksakan seulas senyum menghias wajahnya meskipun hatinya berdenyut sakit.
"J-jeoha, saya tak tahu jika selama ini Anda menganggap saya seperti itu. Tapi, apa yang anda katakan itu salah. Selama ini, saya tidak merasa sedang dimanfaatkan ataupun sedang menjadi boneka milik Daebi Mama. Kalau kehadiran saya membuat anda terganggu, sebaiknya saya kembali saja. Maaf karena sudah mengganggu waktu anda."
Jung Eun membungkuk hormat sebelum akhirnya berbalik pergi meninggalkan Uiyang seorang diri. Tangan Jung Eun yang tersembunyi di balik dangui mengepal kuat. Jung Eun menguatkan hatinya dan menahan tangisnya sampai Uiyang tak lagi melihat dirinya. Jung Eun tak mau memperlihatkan airmatanya di depan Uiyang.
Begitu Jung Eun sudah berada di depan Dayang Choi, airmata tak mampu lagi di bendung gadis itu. pertahanan Jung Eun luruh begitu berada di depan Dayang Choi. Gadis itu jatuh terduduk karena tak mampu lagi menahan bobot tubuhnya. Kakinya terasa lemah karena gadis itu merasakan sakit tepat di hatinya.
"Sejabin Mama!"
Dayang Choi tak bisa menahan rasa kagetnya saat melihat Heo Jung Eun jatuh terduduk di depannya. Tidak hanya itu, Dayang Choi kembali dibuat kaget saat melihat bahu Jung Eun bergetar. Gadis kecil itu tengah menangis. Hati Dayang Choi ikut merasa sakit melihat gadis kecil itu terluka. Bisa dipastikan, gadis itu pasti mendapat ucapan menyakitkan dari Putra Mahkota Uiyang.
Perlahan, Dayang Choi membantu Jung Eun untuk berdiri. Dayang wanita itu memapah Jung Eun untuk kembali ke kediamannya. Dayang Choi berusaha sebisa mungkin memberikan kekuatan pada gadis kecil tersebut.
"Hamba akan mengantar anda kembali ke paviliun anda, Mama. Selama di perjalanan hamba mohon agar anda berhenti menangis, Mama." Ucap Dayang Choi sambil memapah lembut gadis kecil itu ke paviliun tempat tinggalnya.
~MoQS~
"Hamba memohon ampunan anda karena sudah menyarankan pergi menemui Jeoha. Hamba tidak tahu jika Seja Jeoha akan melukai anda seperti ini. Hamba pantas mendapat hukuman dari anda, Sejabin Mama."
Dayang Choi bersimpuh memohon ampun pada Jung Eun. Mereka kini sudah berada di ruangan pribadi Jung Eun di paviliun Byeolgung. Jung Eun sendiri sudah berhasil menghentikan tangisannya. Meskipun sudah berhenti menangis, rasa sakit masih terasa di hatinya.
"Animnida, Dayang Choi. Kau sama sekali tak bersalah. Akulah yang salah. Kau tidak perlu lagi memohon maaf seperti ini. Kau tidak bersalah. Sebaliknya, aku berterima kasih karena kau sudah membawaku pergi secepatnya dari Donggungjeon." Balas Jung Eun dengan seulas senyum tipis.
Dayang Choi mengangkat wajahnya dan bersyukur karena Jung Eun menerima permohonan maafnya. Dayang wanita itu merasa sangat bersalah setelah melihat Jung Eun kembali menemuinya dengan ekspresi wajah menahan tangis. Rasa ingin melindungi Jung Eun dari orang – orang berbahaya di istana menguar semakin kuat di hatinya. Gadis kecil di hadapannya begitu polos dan berhati bersih. Dayang Choi tak ingin melihat ada anggota istana yang kembali menjadi korban intrik istana yang begitu kejam. Dayang wanita itu harus mempersiapkan gadis kecil di depannya agar kuat menghadapi gejolak istana saat menduduk takhta nanti.
"Hamba berterima kasih atas ampunan yang anda berikan pada hamba, Sejabin Mama. Sebagai rasa terima kasih, hamba ingin memberi pesan pada anda agar kuat hidup di dalam istana. Bersediakah anda menerima saran dari orang rendahan seperti hamba ini, Sejabin Mama?"
"Katakan saja, Dayang Choi. Aku akan menerimanya."
"Apa yang hamba katakan ini hanyalah sebuah pesan yang bisa membuat anda bertahan di tengah kerasnya hidup di dalam istana. Hamba telah mengabdi pada istana sejak berusia enam tahun. Beragam macam peristiwa baik menyenangkan bahkan mengerikan di dalam istana sudah hamba saksikan." Dayang Choi menghela napas sejenak sambil memperhatikan raut wajah Jung Eun.
"Mulai saat ini, hamba ingin menyarankan pada Sejabin Mama untuk tidak menunjukkan airmata di istana. Di istana, airmata adalah tanda kelemahan. Sekali anda menunjukkan airmata di istana, maka para musuh akan semakin mengincar anda. Di tempat seperti ini, anda tak boleh menunjukkan kelemahan pada siapapun. Istana adalah medan pertempuran bagi keluarga kerajaan. Saudara membunuh saudara untuk mendapat takhta. Antar saudari saling menjatuhkan demi mendapat kekuasaan yang lebih besar. Sesulit apapun anda harus bertahan dan tak boleh menunjukkan kesedihan pada siapapun. Terdengar mengerikan, tapi memang seperti itulah takdir yang hendak anda jalani, Mama."
Jung Eun merasa hatinya semakin sesak seakan baru saja diberi beban seberat ratusan ton. ia akan menjalani takdir yang mengerikan. Jung Eun menyunggingkan senyum tipis.
"Terima kasih untuk perhatian yang kau berikan padaku, Dayang Choi. Aku sangat menghargainya." Balas Jung Eun dengan tulus.
Meskipun ia akan menjalani takdir yang mengerikan, Jung Eun setidaknya mendapat sedikit kekuatan dari pelayan pribadinya. Meskipun, mulai saat ini Jung Eun tahu bahwa ia harus berhati – hati. Heo Jung Eun seperti berjalan di atas lapisan es yang tipis. Setiap langkah dan gerak – geriknya kelak sebagai Ratu Muda akan diperhatikan seluruh orang di istana.
~TQS~
Commentaire de paragraphe
La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.
De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.
OK