Di dalam kamar berukuran minim--hanya ada dipan yang cuma bisa menampung satu orang saja untuk tidur, kemudian lemari kayu model jaman dulu dengan warna plitur yang sudah memudar, Arga sedang duduk menyandar pada kepala dipan, sambil menatap layar HP nya. Ibu jarinya sibuk menggulir layar HP tersebut untuk melihat foto-foto dirinya bersama Eza yang ia simpan di galeri. Foto-foto itu adalah kenang-kenangan yang ia ambil sewaktu masih berada di kota Jogja.
Mungkin terlalu berlebihan kalau baru dua hari saja tidak bertemu, tapi Arga merasa seperti sudah dua tahun lamanya. Mau bagaimana lagi? Tapi memang itu yang tengah ia rasakan.
Yah, hari ini tepat dua hari dimana Arga sudah kembali di rumah saudaranya. Dua malam ini pemuda itu sudah tidur sendiri, dan hanya bisa memeluk gulingnya yang sudah kepet. Tidak ada lagi tubuh padat berisi, dan juga wangi, yang selalu menghangatkan tidurnya sepanjang malam.
Arga menarik sebelah ujung bibirnya, ia tersenyum miring seraya mendesis. Pemuda itu sedang menertawakan dirinya sendiri. Bagaiman bisa ia merasakan rindu yang begitu berat kepada pemuda yang sedang ia lihat fotonya di layar HP. Padahal, kalau diingat-ingat rindu berat itu belum pernah ia rasakan kepada pacar perempuan nya yang kini sudah menjadi mantan.
Pemuda itu tersenyum nyengir, "Eza..." desahnya. Kemudian ia menghela, mengusir rasa sesak akibat rindu yang sudah tidak tertahankan lagi.
Libur yang harusnya ia nikmati, tapi malah menjadi liburan yang sangat menyiksa baginya.
Arga kembali fokus menatap layar HP--melihat foto pemuda, yang selalu bisa membuat hatinya menghangat. Selain melalui pesan dan telfon, hanya dengan cara itu rasa rindunya bisa sedikit berkurang.
"Arga...!"
Teriakan seorang wanita yang berasal dari ruangan berbeda, membuyarkan lamunan Arga. Pemuda itu lantas menoleh ke arah pintu yang masih tertutup, "ya bi...!" teriaknya.
"Makan dulu...!" Teriak wanita yang diketahui adik kandung dari ayahnya.
"Ya, bentar!"
Bunyi pemberitahuan pesan masuk dari HPnya, mengurungkan niat Arga yang akan merosot turun dari atas tempat tidur. Senyumnya mengembang saat melihat nama Eza, tertera di layar HPnya. Tanpa berpikir panjang pemuda itu membuka pesan masuk tersebut.
Eza; besok lusa usahakan berangkat lebih awal ya. Jam 6 harus udah ada di kantor. Kangen, pake banget.
Setelah membalas dengan kalimat; siap aku juga kangen, Arga merosot turun dari atas tempat tidur memenui panggilan wanita yang biasa ia panggil bibi.
Ngomong-ngomong, meski bukan anak kandung, tapi papan dan bibinya sangat menyayangi Arga. Selain karena mereka belum dikaruniai anak selama pernikahan, Arga adalah anak yang baik dan sangat penurut. Ia sama sekali tidak pernah membantah. Itu sebabnya paman dan bibinya sudah mengganggap Arga seperti anak kandung sendiri. Meski tidak bisa memberikan kemewahan, tapi kasih sayang mereka sangat bisa dirasakan oleh Arga. Itu juga yang menjadi alasan kenapa Arga lebih betah dan nyaman tinggal bersama mereka, dibanding dengan orang tuanya sendiri.
***
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Libur tiga hari yang menyesakkan, telah usai. Hari ini, Eza sudah harus kembali masuk ke kantor, setelah kepulangannya dari Jogja beberapa hari lalu.
Pagi ini Eza terlihat sangat bersemangat. Bagaimana tidak? tiga hari tidak bertemu Arga, nyaris membuatnya mati karena rindu. Namun hari ini pemuda itu bisa bernapas dengan lega--waktu sudah membawa ia sampai pada penghujung rindunya.
Sebelum ayam berkokok, pemuda itu sudah bangun dari tidurnya. Melakukan segala aktvitas, mempersiapkan segala keperluan yang akan ia bawa ke kantor.
"Ma... aku berangkat dulu." Ia mendaratkan ciuman di pipi ibunya yang sedang menyiapkan sarapan, di meja makan.
Menyambar backpack serta konci mobil yang sudah Eza siapkan di atas meja, kemudian pemuda itu jalan tergesa ke arah luar. Bayang-bayang wajah Arga, seolah sedang menyuruhnya supaya bergegas.
"Sarapan dulu nak, masih pagi banget ini."
Terlalu bersemangat--ingin segera sampai ke kantor, Eza rela melewatkan sarapan paginya.
"Di kantor aja ma..! Nanti minta bekal sama Tias."
Wanita yang dipanggil mama itu menggeleng heran.
Setelah keluar dari halaman, Eza meluncur cepat menggunakan Toyota Camry kesayangannya. Seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya, Eza lebih dulu menjemput Tias yang letak rumahnya satu arah dengan kantornya.
***
Sepanjang perjalanan menuju ke kantor, hingga mereka sampai di ruang kerja, Tias tidak berhenti mengomel. Siapa yang tidak kesal? Satu jam yang harusnya bisa ia manfaatkan untuk bersantai, tapi ia sudah harus berada di kantor karena alasan tidak jelas sahabtanya.
Namun sialnya, Eza sama sekali tidak memperdulikan itu. Ia terlihat sangat santai, sepanjang perjalanan ke kantor tadi. Ocehan dari Tias hanya masuk ke kuping kanan, dan keluar ke kuping kiri.
"Tuh kan, belum ada orang. Ngapain sih berangkat pagi-pagi. Mau ngepel?" Tias melanjutkan kicauan nya, sambil masuk ke dalam kubikel--tempat ia bekerja.
Mengabaikan omelan dari Tias, telapak tangan Eza menyambar tupperwer berisi makan siang di atas meja. "Aku belum sarapan, bekelmu buat aku." Tanpa perasaan berdosa Eza berjalan ke arah ruangan kerjanya.
"Aaakh..." geram Tias dengan bola mata membulat, menatap punggung sahabatnya. "Ya ampun ngimpi apa aku tadi malam. Udah bangun pagi, belum pake makeup, mana alis acak-acakan lagi. Bisa-bisanya dia ngambil bekel makan siang ku." Tias mendengkus, seraya menjatuhkan pantatnya pada kursi kerjanya. "Mau ngapain coba nyuruh dateng pagi-pagi ke kantor. Kalau bukan karena tumpangan gratis, aku males deh." Sungut Tias sambil membuka peralatan makeup miliknya.
"Pagi Tias."
Suara berat itu memaksa Tias menghentikan kegiatannya yang sedang memberikan warna pada bibirnya. Bola matanya membulat, melihat sosok pria tampan yang sedang tersenyum ramah padanya. Walaupun sudah mengenal siapa pemuda itu, tapi ia sempat dibuat bengong dengan penampilannya hari ini.
"A-arga?" Manik mata Tias menelusuri tubuh pemuda itu dari ujung kepala, sampai ke ujung kaki. "Kamu Arga kan?"
Tampilan Arga yang berubah seratus delapan puluh derajat dari pertama kali ia lihat, membuat Tias merasa kurang yakin. Hari ini Arga terlihat sangat tampan memakai kemeja tangan panjang melekat pas di tubuh kekarnya. Warna biru muda pada kemejanya, sangat serasi dengan kulitnya yang sawo matang. Tidak hanya itu, Arga juga terlihat seperti cowok metropolis dengan celana dasar ketat yang ia kenakan. Sepatu pantofel berwarna hitam mengkilap, membuat penampilannya semakin terlihat perlente.
Kening Arga berkerut menatap heran kepada Tias. "Iya, ini aku Arga. Kenapa emangnya?"
"Ya ampun Arga, kamu cakep amat sih, sampai pangling aku." Puji Tias, yang membuat senyum Arga mengembang. "Aku kira, tadi kamu karyawan baru."
"Ada-ada aja kamu." Arga terkekeh pelan.
"Iya beneran, pertamakali ketemu kamu kan enggak kayak gini." Ucap Tias jujur. "Kemaren pas jemput di Bandara juga kamu enggak serapi ini. Kamu cocok juga kalau pake pakaian kerja__"
"Arga..."
Suara seorang pria memaksa Tias menghentikan cuitannya. Secara bersamaan Tias dan Arga menoleh ke arah suara tersebut berasal.
"Kamu udah dateng?"
Sorot mata Eza lurus menatap mata Arga yang juga sedang menatap dirinya. Keduanya tersenyum penuh arti, selama pandangan mereka bertemu.
"Iya udah," sahut Arga kemudian.
"Tolong ke ruanganku. Kita bikin laporan operasional selama kita di Jogja." Walaupun ia terlihat tenang, tapi di dalam sana, hatinya berteriak bahagia. Eza cuma tidak ingin menunjukan itu di hadapan Tias.
"Iya nanti aku kesana." Tidak jauh berbeda dengan Eza, Arga juga sedang berjuang menguasai dirinya supaya tetap terlihat tenang, melawan hati yang sedang bergejolak bahagia.
"Kalian mau aku bantuin?" Tawar Tias. "Mumpung masih pagi."
"Enggak usah," cegah Eza cepat. "Kerjain aja tugas kamu."
Setelah menyampaikan itu, Eza kembali masuk ke dalam ruangnya. Tapi sebelum itu manik matanya sempat mencuri lirik sosok pemuda yang ia rindu. Ganteng, cuma kata itu yang ada di kepala Eza.
"Aku ke ruangan Eza dulu ya," pamit Arga kemudian.
Tias mengangguk, "yaudah sana." Ucapnya.
Dengan perasaan bahagia Arga melangkah menuju ruang milik kekasihnya--meninggalkan Tias yang kembali sibuk dengan peralatan makeup nya.
***
Setelah menutup tanpa mengunci pintu ruangan, Arga berdiri mematung. Ia mengulas senyum menatap pemuda yang ia rindukan, duduk di kursi kerjanya--juga sedang menatap dirinya.
"Ngapain berdiri aja di situ?" Tegur Eza. "Emang enggak kangen."
Masih dengan senyum yang mengembang, Arga berjalan mendekati pemuda kesayangannya.
"Ada apa, nyuruh pagi-pagi ke kantor?" Ucap Arga yang sudah berdiri di hadapan Eza. Kemudian ia mendudukkan pantatnya di sudut meja, dengan posisi kaki yang menjuntai ke lantai.
"Enggak usah ngeledek." Sorot matanya lurus menatap mata Arga, sementara telapak tangannya berjalan merabah di atas paha kekar yang dilapisi celana ketat.
Arga mengulas senyuman, telapak tangannya meraih pergelangan Eza dalam genggaman--menariknya kuat hingga membuatnya berdiri dari duduk, menghambur dalam pelukkannya.
Kedua pergelangan Arga melingkar di pinggang Eza, menguncinya kuat hingga tidak ada lagi jarak pada tubuh mereka.
"Kayaknya aku nggak bisa jauh dari kamu, uda tiga malam ini aku kesepian. Gelisah banget enggak meluk kamu." Aku Arga dengan nada suara tertahan akibat debaran di dada yang mulai berdetak kencang. Jarak wajah yang sangat dekat membuat ia bisa merasakan hembusan napas memburu dari pemuda yang sedang mengalungkan pergelangan di lehernya. "Jujur, sebenarnya aku takut banget pulang ke Lampung. Aku takut nggak bisa deket lagi sama kam__"
Arga menghentikan kalimatnya. Secara tiba-tiba Eza menutup mulutnya menggunakan bibir.
"Jangan rusak mood aku yang lagi kangen ya." Pinta Eza ditengah bibir yang masih bertautan.
"Maaf," bisik Arga. Setelahnya ia melumat bibir bawah milik Eza, sambil mengeratkan pelukan di tubuh kekasihnya.
Rasa rindu yang sudah tidak tertahan lagi, membuat keduanya tidak ingin melepaskan ciumannya masing-masing. Pelukan keduanya semakin erat--ciuman mereka semakin agresif hingga membuatnya lupa dimana mereka berada sekarang.
Adegan saling lumat itu terus berlangsung selama beberapa menit, dan semakin memanas. Hingga akhirnya suara pintu ruangan yang terbuka mengejutkan keduanya--memaksa mereka menghentikan aktifitas panas mereka.
Deg!
Rasanya jantung mereka seperti akan lepas dari tempat asalnya, saat dua pemuda yang masih dalam keadaan saling peluk itu melihat wanita sedang berdiri mematung, sambil menutup mulut nya menggunakan telapak tangan.
Melihat bola matanya yang membulat sempurna, sepertinya wanita itu sangat terkejut dengan apa yang sedang ia lihat.
"Ti-Tias," gugup Eza.
Kedua pemuda itu buru-buru melepaskan pelukan, merapikan dirinya masing-masing.
"Ti-Tias tunggu..." Eza berjalan cepat, mengejar Tias yang sudah lari entah kemana.
"Astaga, ceroboh sekali kita." Ucap Eza setelah ia menutup kembali pintu ruangan lantaran tidak melihat Tias di kubikelnya.
Tbc