© WebNovel
Awan kelabu di angkasa yang menurunkan jutaan titik air hujan, adalah hal yang pertama kali kulihat saat pertama membuka mata. Tubuhku terombang-ambing di atas ombak ganas di tengah badai besar, di atas sebuah kapal perang yang akan segera karam. Serangan puluhan meriam akhirnya mampu melubangi lambung kapal terbesar dan terkuat seantero samudera. Kapal miring 60 derajat ke kiri. Membuat benda-benda bergeser ke salah satu sisi.
Sebuah peti kayu membentur kepalaku sebelum akhirnya menabrak pagar dan tercebur ke dalam laut. Nasibku akan berakhir sama jika saja tiang pancang tak menahan laju badanku. Napasku sesak dan tersengal. Kapal ini dalam keadaan terpanggang oleh si jago merah. Lidah-lidah api terlihat dimana-mana, menjilat apa pun yang bisa dilahap. Hujan deras tak mampu memadamkannya, justru memperparah keadaan. Sebuah ledakan terdengar lagi dari lambung kapal. Suaranya memekakkan telinga dan menggetarkan seluruh isi kapal. Asap tebal menyerebak mengikuti arah angin, tepatnya ke atas dek ini.
Jika saja tubuhku bisa digerakkan, aku sudah menyelamatkan diri. Namun aku tak bisa. Sebuah luka tusukan di perut menahanku di atas kapal ini. Menguras darah, tenaga, serta harapan. Belum lagi ditambah memar dan luka lainnya yang kukoleksi di tubuh ini, yang justru membuatku bersyukur masih bisa bertahan hidup sampai sekarang.
Suara dentuman meriam terdengar saling bersahutan. Begitu pula dengan dentingan logam dan gemuruh petir menggelora di udara. Mesin-mesin kapal semakin menderu kencang. Mereka tak peduli. Mereka berpura-pura tidak melihat. Ratusan ribu orang yang gugur dan terluka diabaikan demi kemenangan yang dikejar oleh masing-masing pihak. Tak ada satu pun yang yang berniat mengalah. Serang dan menang, itulah yang ada di pikiran semua orang di lautan ini.
Termasuk diriku, yang harus kandas memperjuangkan harapan semua orang. Rasa sakit dari lukaku mulai mematikan seluruh indera. Tak bisa bergerak, mendengar, ataupun melihat. Yang bisa kulakukan hanyalah pasrah menerima keadaan. Berteman dengan kegelapan yang mulai menyelimuti. Ketenangan ini satu-satunya kemewahan yang tidak pernah kurasakan selama perang meletus. Entah mengapa aku jadi teringat memori beberapa tahun silam. Dahulu, aku pernah merasakan ketenangan seperti ini. Ketika tubuhku terapung-apung di dimensi lain. Mendadak aku jadi rindu masa lalu.
Masa di mana aku ... memulai segalanya.
=====================
'Botak' adalah nama panggilannya. Diambil dari gaya rambutnya yang cepak seperti bintara. Saat rambutnya tumbuh panjang, ia akan memangkasnya dengan model yang sama. Karena itulah kata 'Botak' selalu melekat pada dirinya. Namun hanya rekan-rekan seangkatannya saja yang berani memanggilnya begitu. Bagi kami yang masih anggota baru, melakukannya sama saja cari mati.
"Hei, Cebol! Berikan kecap itu!" perintahnya yang duduk di seberangku.
Tanganku gemetar setelah mendengar suaranya yang mengagetkan, mencoba memberikan sebotol kecap manis dari dalam kantung plastik. Sumber cahaya di kegelapan ini hanya api unggun dan lampu minyak. Saat ingin memberikannya, angin gunung yang tiba-tiba berhembus ditambah mataku yang kurang awas membuatku menjatuhkannya tidak sengaja.
"Hei, kau bodoh, ya! Berikan dengan hati-hati!!" ia menghardikku dengan suara yang tinggi.
"I-Iya! Maaf, Kak Indra!"
Tanganku dengan tergesa-gesa memungut botol itu kembali, kemudian memberikan padanya. Dalam sesaat, pandangannya menusukku dengan dalam. Aku menelan ludahku saat mengamati otot lengannya yang terbentuk nyaris sempurna. Dengan berlatar pepohonan besar yang disirami cahaya dari pijaran api, sosoknya yang sedang memanggang ikan mirip dengan seorang tentara yang sedang bertahan hidup di alam liar.
Indra Pradipta atau 'Si Botak', saat ini aku berhadapan dengan lelaki yang menghabiskan hampir seluruh waktu luangnya untuk berolahraga dan membentuk ototnya. Tak ayal, kini bentuk tubuhnya tak kalah dari binaragawan profesional yang sering muncul di televisi. Dengan postur seperti itu, jangankan sesama anak sekolah, aku yakin banyak orang dewasa yang merasa segan dengannya. Ditambah dengan sifatnya yang agak keras dan tegas pada siapa pun tak peduli laki-laki atau wanita sepertiku. Memang, pria ini adalah perwujudan asli dari karakter senior galak yang biasa kutemui dalam novel.
"Haha. Jangan galak-galak dong, Kapten! Kasihan Anggi sampai ketakutan seperti itu," tukas gadis yang baru datang dan langsung mengusap-usap kepalaku. Tangannya yang baru saja memungut kayu bakar di hutan, memberikan serpihan debu dan tanah pada rambutku. Kemudian menaruh kayu bakar itu dekat dengan tenda kemah besar.
"Masa' hanya segitu saja takut? Aku kan cuma minta tolong!"
"Kalau begitu minta tolongnya jangan pakai otot, tapi harus lemah lembut!"
Saat ini aku sedang mengikuti kegiatan pelantikan anggota baru eskul Tae Kwon Do di lereng gunung. Tempat ini jauh dari kota dan keramaian, kondisi alam pun tampak liar, cocok untuk menggembleng mental para anggota baru.
"Jangan dimasukan ke hati! Perkataannya memang keras, tapi sebetulnya hatinya baik," ujar gadis itu.
"I-Iya!"
Shella Rinjani, perempuan yang seangkatan dengan Kak Indra, dia adalah kakak kelas yang selalu memberi semangat dan mendengarkan keluh kesah orang lain dengan penuh perhatian. Tipe seorang kakak yang bisa menjadi tempat bersandar adik-adiknya. Dengan padanan wajah yang sangat oriental, membuatnya populer di kalangan laki-laki. Sepertinya banyak juga anggota klub eskul Tae Kwon Do ini yang bergabung hanya untuk dekat dengan gadis ini.
Yah, tapi itu tidak ada urusannya denganku, sih. Aku lebih memilih untuk menjadi lebih kuat seratus kali lipat dari sekarang. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku memiliki tubuh pendek dan kecil. Tinggi badanku hanya 138cm, bahkan di antara remaja perempuan pun aku termasuk pendek. Karena keadaanku inilah yang membuat banyak orang sering mengerjaiku dan memanggilku dengan sebutan 'cebol' atau 'kontet'. Sakit hati sudah jelas, tapi karena sudah biasa mendengarnya, kata itu seakan menjadi nama tengahku.
Aku ingin tidak dikenal sebagai Cebol lagi, atau setidaknya ada satu poin tambah yang bisa dilihat dariku. Mungkin aku bisa dikenal dengan nama lain jika aku ahli dalam bela diri. Aku juga bisa menguatkan mentalku jika ada yang mengejekku lagi. Jika harus jujur, aku memiliki alasan lain masuk ke klub ini.
"Di mana Dimas?" ujar Kak Shella yang tiba-tiba datang menepuk pundakku dari belakang.
Dikejutkan secara tiba-tiba, mulutku tidak sengaja mengeluarkan teriakan melengking yang begitu nyaring. Kak Indra tiba-tiba memicingkan matanya kemari. Mungkin dia merasa risih dengan suaraku.
Kuputuskan untuk mengabaikannya dan menoleh pada Kak Shella, "Dimas tadi pergi ke sungai. Dia bilang ingin mencuci bajunya, soalnya tadi ia sempat terjatuh ke lumpur."
"Hmm, begitu. Padahal aku ingin memintanya untuk membantuku memasak. Kalau tidak salah, dia tadi bilang akan membantuku. Memangnya dia bisa memasak?"
"Tentu saja bisa. Dia kan anak dari pengusaha restoran. Tak perlu ditanya kualitas masakannya. Aku jamin rasanya lezat." Sepertinya jawaban itu menghapus keraguannya. "Perlu kupanggilkan?"
"Kalau bisa aku akan sangat tertolong," jawab Shella sembari tersenyum lebar.
"Baik, akan kupanggilkan Dimas."
"Hati-hati! Pastikan kau tidak tertelan buaya!" celetuk Kak Indra. Keberadaan binatang itu nyaris mustahil berada di hilir sungai yang dangkal, apalagi di gunung ini. Namun wajahnya terlalu serius untuk dianggap bercanda.
Aku yang terintimidasi hanya mengangguk kecil tanpa menjawab, dan segera pergi. Dari balik punggungku suara pukulan pelan diiringi suara tawa kecil milik Kak Shella tertangkap oleh telingaku. Sepertinya wanita itu memukul kapten karena telah menakutiku sebelumnya.
Mengabaikan mereka yang tertawa terkekeh-kekeh, aku segera meninggalkan tempat itu. Berbekal penerangan dari lampu senter ponsel, aku melangkahkan kaki dengan sangat hati-hati. Keadaan di sekitar sangat gelap, aku harus memperhatikan dengan baik tempatku berpijak jika aku tak mau terjatuh. Selain berbatu, jalan setapak ini dipenuhi pula akar-akar pepohonan yang tumbuh di kedua sisi jalan.
Di selimuti ketakutan, kepalaku refleks menoleh ke kanan-kiri ketika ada suara binatang yang terdengar. Terkadang ada suara burung yang hinggap di dahan pohon di atasku, dan beberapa kali telingaku menangkap suara lolongan seperti serigala. Sifat asliku yang pengecut membuat tubuhku merinding setiap kali mendengar suara yang tak kuketahui. Tapi, aku memutuskan untuk menahan rasa takutku untuk mempercepat langkahku dan menemukan Dimas secepatnya.
Semakin aku melangkah, semakin jelas telingaku mendengar suara gemericik air. Angin dingin berhembus di sela-sela batang pepohonan lalu menggelitik tubuhku. Kudekapkan kedua tangan guna menghangatkan badan, lalu menerobos terpaan angin itu.
Ketika suara air sampai pada titik di mana sangat jelas kudengar, aku tiba di tepi sungai yang cukup besar. Aliran airnya tidak terlalu deras, sehingga menimbulkan harmoni suara yang cukup syahdu di malam ini. Sebuah tempat yang menenangkan di tengah hutan yang mencekam, pikirku.
Seketika itu kedua telingaku menangkap suara air yang tidak biasa. Bunyinya terdengar kasar dan berbeda dari arus sungai. Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Mataku menemukan air yang jatuh dengan deras dari sepotong pakaian yang diperas.
"Dimas!" sahutku pada orang yang duduk di atas batu. Letaknya tidak terlalu jauh dari tepi sungai tempatku berpijak.
Entah karena suaraku yang terlalu kecil atau lelaki itu tengah fokus mencuci bajunya, ia tak mendengar suaraku. Aku tidak bisa bersuara lebih keras lagi, jadi aku berjalan mendekatinya dan menyapanya.
"Hei!" ujarku sembari menepuk kencang bahunya yang tak tertutupi baju.
Dimas sedikit terkejut karena kemunculanku yang tiba-tiba. Wajahnya menunjukan sedikit emosi, namun ia tahan saat melihat orang yang mengejutkannya adalah diriku.
"Sialan kau! Aku kaget, tahu!" semburnya seraya mencipratkan air sungai padaku. Bajuku sebagian sampai basah karenanya. Setelah meluapkan kekesalannya, dia tersenyum kegirangan saat pembalasan kecilnya berhasil.
"Hei, mengapa kau melakukan itu? Padahal aku tak sengaja melakukannya."
"Sengaja atau tidak, kau tetap mengagetkanku Bodoh!" seru Dimas. Mengetahui aku takkan membalas ucapannya, ia melanjutkan, "ada apa kau kemari? Kalau kau cuma ingin mengangguku, sebaiknya pergi saja!"
"Jahatnya! Sebelumnya kau berjanji pada Kak Shella untuk membantunya memasak, kan? Sekarang ia menagihnya."
"Ah, benar! Baiklah, tapi tunggu setelah selesai mencuci bajuku dulu."
Lelaki itu kembali menceburkan bajunya ke dalam air dan menggosok-gosokan sebuah batu pada bagian yang kotor. Setelah bersih, ia mengulanginya pada bagian kotor yang lain.
Aku duduk di atas batu yang terletak di tepi sungai dan menunggu Dimas selesai. Bagian tubuh atasnya tidak mengenakan apa pun, jadi aku bisa jelas mengamatinya dari belakang. Otot lengannya dan punggungnya walaupun tak sempurna seperti milik Indra, mulai terbentuk indah seperti atlet. Ia memiliki bentuk tubuh ideal seperti tipe pria idamanku.
Kalau saja dia terus membentuk ototnya, apa ia akan jadi seperti Indra, ya? Lalu ditambah dengan potongan rambut cepak. Membayangkan hal itu saja membuatku sedikit tertawa.
"Hei ... kau gila, ya?! Mengapa tertawa sendiri?" ejek Dimas yang mendengar suara tawaku.
Sedikit tersipu malu, aku menundukan wajahku. "Nggak kok. Aku hanya menertawakan diriku sendiri."
Lelaki itu memandangku dengan tatapan aneh. Kemudian ia tertawa terbahak-bahak seraya menggelengkan kepalanya. Sepertinya aku harus mengakui ucapan para cewek yang tergila-gila dengannya, Dimas sangat manis ketika tersenyum. Aku mungkin termasuk orang yang paling sering melihat senyumannya, namun aku tak ada satu pun yang bisa membuatku tergila-gila padanya seperti gadis lain.
Remaja laki-laki yang bernama Dimas Permana ini adalah teman masa kecilku. Aku sudah mengenalnya sejak kami berusia tujuh tahun, tepatnya pada saat kelas satu di sekolah dasar. Dia memiliki wajah putih dan hidung super mancung ala jazirah Arab. Mungkin ia mewarisi hal ini dari ayahnya yang keturunan Yaman. Tinggi badannya dapat dibanggakan untuk ukuran remaja yang baru saja menginjak SMA. Sosoknya yang begitu rupawan membuatnya populer di antara cewek-cewek di sekolah.
Ia mungkin tak begitu pandai di bidang akademis. Namun bila menyangkut soal non-akademis, ia tak bisa dianggap remeh. Dalam bidang atletik dan olahraga, ia selalu menjadi jawara di antara satu angkatan. Dimas juga memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni. Dahulu ia menekuni pencak silat, dan sekarang ia mencoba untuk masuk ke dunia Tae Kwon Do.
Ketika aku sering dirundung karena tinggi badanku ketika SMP, dialah orang yang pertama membelaku. Tubuhnya yang lumayan berisi walau masih SMP membuat para pelaku perundungan yang kebanyakan berbadan kurus, ciut nyalinya dan meninggalkanku sendiri. Aku bisa saja menahan kekesalanku ketika dirundung. Namun ketika ada seseorang yang berdiri untukmu benar-benar berbeda. Aku terkadang tak sanggup menahan emosi dan membiarkan air mataku jatuh. Sejak saat itu, Dimas selalu mengejekku cengeng.
Dia sungguh sok ketika berlagak seperti pahlawan di depanku. Dia lupa kalau aku adalah orang yang membantunya belajar dan mengerjakan tugas di sekolah. Kalau dia berlagak lagi, mungkin aku akan menjahilinya dengan mengajarkan materi yang sangat sulit untuk dicerna otaknya. Mendadak, aku tanpa sengaja tertawa sendiri.
"Saat aku pertama kali bertemu denganmu, kukira kau itu anak yang aneh. Tapi sekarang aku yakin, kau sudah menjadi lebih aneh saat ini!" ujarnya sembari tertawa.
Meskipun terkadang ucapannya terdengar kasar, namun hatinya tak seperti itu. Aku berani mengatakan itu karena aku sudah lama mengenalnya.
"Ayo kita kembali! Aku ingin ganti baju!" ajak Dimas setelah melakukan perasan terakhir pada bajunya. "Kuharap baju ini bisa kering besok pagi."
Aku mengangguk pelan. Lelaki itu turun dari atas batu. Tangannya memegang baju basah yang baru saja ia cuci. Kemudian berjalan menyusuri tepian sungai dengan tubuh bagian atas terbuka. Hal yang cukup ekstrem di saat angin berhembus dengan semilir. Belum lagi ditambah hawa dingin malam di gunung yang bersuhu rendah. Itu mungkin tidak berarti apa-apa bagi Dimas. Tapi untukku, membayangkannya saja sudah cukup membuatku lemas dan kehilangan kesadaran.
Tepat di belakangnya, aku berjalan mengikuti langkahnya. Perbedaan panjang kaki membuat jarak di antara kami melebar beberapa kali. Daripada memintanya untuk menyesuaikan kecepatanku, aku lebih berusaha menyamakan kecepatannya. Berjalan cepat di atas batu-batu kecil di tepi sungai cukup sulit. Hampir saja aku kehilangan keseimbangan karena batu yang kupijak, tiba-tiba saja bergulir ke samping. Aku sengaja tak memberi tahu Dimas supaya ia tidak menganggapku lemah. Sekaligus berusaha tak membuatnya khawatir.
Tiba-tiba saja, mataku secara tak sengaja menangkap sebuah kilatan cahaya keemasan dari dasar sungai. Kemudian aku menghentikan langkah dan mencoba mengamati dengan seksama. Entah mengapa aku sangat penasaran dengan ini. Ada kemungkinan itu sebuah logam. Namun buru-buru kutepis pikiran itu. Meski logam sekali pun, sangat mustahil bisa memantulkan cahaya bila tak ada sumbernya. Hutan ini cukup gelap. Penerangan di sini hanya lampu senter dari ponselku serta cahaya bulan yang redup, yang kupikir sangat lemah untuk bisa menembus ke dasar sungai.
"Hei, ada apa?" tanya Dimas yang menyadariku terdiam. Namun aku mengabaikanya. Tidak beberapa lama kemudian, kilauan cahaya itu kembali terlihat. Kali ini cukup terang dan jelas, hingga membuatku percaya bahwa itu bukanlah halusinasi semata.
"Lihat!? Apa kau lihat cahaya itu?" ucapku seraya menunjuk ke arah cahaya misterius yang kini sudah lenyap.
"Cahaya!? Aku tidak lihat apa pun. Matamu kelilipan apa?"
Aku bisa lihat ekspresi kesungguhan di wajah pria itu. Dimas memang suka bercanda, tapi karena sudah lama bersamanya aku bisa tahu kapan ia sedang bercanda atau serius. Cahaya itu sekali lagi berkilau, akan tetapi Dimas kembali mengaku tak melihatnya.
Ini cukup aneh. Karena aku bisa melihatnya dengan sangat jelas. Sedetik kemudian, entah apa yang merasuki raga ini, aku mencoba masuk ke dalam sungai setelah melepas alas kaki. Dengan mengindahkan peringatan Dimas yang terus meneriakiku, otomatis membawa diriku ke luar dari tanggung jawabnya bila sesuatu terjadi. Telapak kakiku merasakan dinginnya air sungai dan tajamnya permukaan batu sungai di saat yang bersamaan. Dengan perlahan, aku terus mendekat ke arah cahaya keemasan yang berpendar berulang kali.
Semakin aku menuju tengah sungai, maka semakin dalam pula permukaan airnya menelan tubuhku. Air sudah membasahi punggung dan dadaku. Aku tidak pernah mengira sungainya akan sedalam ini. Rasa penasaran membantu mengalahkan rasa takutku dan membuatku terus melangkah ke depan. Selangkah demi selangkah, jarak diriku dan sumber cahaya itu semakin menipis. Sepertinya tidak butuh waktu lama lagi untuk—.
Tiba-tiba saja aku kehilangan keseimbangan. Karena salah perhitungan, aku tak mengira pijakan kakiku selanjutnya jauh lebih dalam dari sebelumnya. Arus yang cukup deras di tengah sungai, membuat tubuhku tenggelam hingga menyentuh bebatuan. Kucoba mengepak-ngepakkan tangan dan menendang-nendang dasar sungai agar bisa kembali ke permukaan. Napasku semakin sesak setiap detiknya, seakan ada sesuatu yang mencekik leherku dan membuatku kesulitan bernapas. Saat itu aku baru saja tersadar, bila aku tak bisa berenang.
Aku terus mencoba dan mencoba sebisaku untuk kembali mengapung. Tapi itu tidak berguna. Di saat berpikir bahwa dasar sungai adalah tempat terakhirku, tiba-tiba ada sesuatu yang membuatku bertahan walau untuk semenit lagi. Tepat ketika berada di dasar sungai, mataku tertuju pada sesuatu. Itu adalah sumber cahaya keemasan yang berkilauan sebelumnya. Dasar sungai ini begitu gelap, aku tidak bisa melihat apa pun selain cahaya itu. Dengan susah payah, aku mencoba mendekat ke arah cahaya itu.
Tapi ada sesuatu yang menahanku menggapainya. Sebuah kekuatan besar menarik tubuhku ke atas. Ketika aku membalikan badan, aku mendapati Dimas yang berusaha untuk menyelamatkanku. Dengan sekuat tenaga lelaki itu menarik tubuhku ke atas. Aku sedikit melawan dan bertahan. Bukan tidak ingin diselamatkan olehnya. Namun karena ingin mendapatkan sesuatu yang nyaris diraih dengan kemampuanku sendiri. Kuulurkan tangan untuk menggapai cahaya itu. Namun tak sedikit pun ujung jariku menyentuhnya. Hingga pada akhirnya, Dimas menggunakan seluruh kekuatannya untuk membawaku kembali ke atas.
"Haah ... hhh."
Dalam beberapa detik setelahnya, aku menghirup oksigen sebanyak mungkin setelah berada di permukaan sungai. Kemudian Dimas menyeretku ke tepian sungai guna menjauh dari tempat yang nyaris menghilangkan nyawaku.
Aku terbungkuk di atas tanah dan mencoba mengeluarkan air yang masuk ke dalam tubuhku. Keberadaan air di dalam paru-paru membuatku terbatuk-batuk. Tapi hal ini masih lebih bagus dari pada harus terbenam selamanya di dasar sungai yang gelap. Aku cukup beruntung masih bisa hidup dan menceritakan pengalaman antara hidup dan mati ini pada orang lain keesokan harinya. Jika saja Dimas tidak menolongku, mungkin saat ini aku—.
"Dasar tolol!!! Kau pikir apa yang kau lakukan tadi, hah!!?" bentak Dimas dengan suara yang keras. "Mengapa kau seenaknya saja menantang bahaya? Memangnya kau punya berapa banyak nyawa? Kau kira aku akan selalu ada di sampingmu dan menolongmu, hah? Bagaimana kalau aku tadi tidak ada di sini? Kau pasti sudah jadi mayat sekarang!!"
Ucapannya menggentarkan ruang hatiku. Meretakkannya, tapi tak membuatnya hancur. Tapi dia benar. Ini semua kesalahanku. Aku merasa malu. Begitu sangat malu dan menyesal hingga Dimas yang selalu baik padaku, murka sejadi-jadinya. Semua yang terjadi membuatku menundukan kepala dan hanya bisa mengucapkan sepatah kata, "maafkan aku! Aku salah."
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Dimas. Ia hanya melihatku dengan tatapan iba. Lalu menggaruk-garuk kepalanya dan menghela napas panjang. "Sudahlah! Yang penting kau selamat. Ayo kita segera kembali ke perkemahan dan mengeringkan diri." Lelaki itu membalikan badannya sembari menggerutu. "Sial! Tak hanya baju, seluruh tubuhku jadi basah semua!"
Ketika ia sudah melangkah jauh, aku mulai memberanikan diri mengangkat kepala. Jujur dalam hati, aku sangat berterima kasih sekaligus menyesal pada Dimas. Terima kasih karena sudah mau menyelamatkanku, dan menyesal karena sudah membuatnya khawatir.
Setelah memastikan lelaki itu sudah agak jauh dariku, aku membuka genggamanku. Di dalam telapak tangan kananku, terdapat sebuah benda kecil berbentuk poligon dengan ukiran bintang segidelapan. Memiliki dua sisi yang berlawanan. Satu sisi tampak menggembung dengan tulisan semacam aksara kuno. Sementara di sisi yang rata terdapat seperti pengait kecil dan sepucuk jarum. Bukankah ini semacam pin?
Aku mengamatinya lagi dengan seksama. Tak salah lagi, ini adalah sumber cahaya misterius yang kulihat sebelumnya di dasar sungai. Aku sangat yakin itu. Karena setelah kuambil benda ini, aku tak melihat lagi kilauan cahaya keemasan dari sana. Yang membuatku keheranan adalah benda ini tak lagi bersinar setelah kuangkat ke permukaan. Seakan benda ini memberi sinyal padaku untuk membawanya keluar dari dasar sungai.
"Benda apa ini sebetulnya?"