Aku hanyalah sesosok manusia
yang menjadikan nafas sebagai sebuah keharusan
bergerak tanpa keinginan
bertindak tanpa perasaan
******
Setelah kenyang bersantap siang, Lady memutuskan untuk tidur sembari menunggu kedatangan Broto.
[Pandu, pastikan Embun tertarik dengan tawaran kita.]
Sebelum rehat, dikirimkannya pesan singkat pada Pandu. Ia sudah masuk sedalam ini, jangan sampai semua sia-sia.
[Baik, Bu.]
Pandu membalas singkat, karena memang ia segan berurusan dengan bos wanitanya ini. Kala lebih mampu memberikan ketenangan pada bawahan, dan masih bisa berbasa-basi.
Lady merebahkan diri di kasur yang ternyata cukup nyaman. Apartemen kelas menengah dengan harga tidak terlalu mahal, masih mampu memanjakan penghuninya.
Tadinya dia sedikit tidak yakin dengan pilihannya pada komplek apartemen seperti ini. Terbiasa hidup di kelas atas, tiba-tiba harus turun kelas tentu saja meragukan.
Tapi kalau dia memilih hunian dengan kelas mewah, akan sangat beresiko untuk dia bertemu rekan dan kenalan. Sangat berbahaya. Demi kerja sama dengan Broto, ia harus rela menurunkan selera pribadinya.
Tak berapa lama, Lady pun terlelap. Sementara Broto sibuk menangani pasien sambil berulang kali melihat ke arah jam tangan di pergelangannya.
Lama banget sih, masih jam dua aja, gerutunya dalam hati.
Broto sudah tidak sabar untuk mencoba apartemen baru. Pasti nyaman dan menenangkan.
"Nir, pasien sampai jam empat nanti nggak ada yang ngebatalin janji?" Broto menyempatkan diri keluar dari ruangan dan menghampiri asistennya.
"Nggak ada, Dok. Kenapa? Ada urusan mendadak ... lagi?" Nira memandang khawatir. Jangan sampai jadwal yang sudah dia buat diacak-acak lagi seperti tadi siang.
"Mmmhhh, nggak juga sih." Broto ragu mencari alasan untuk bisa segera pergi meninggalkan tempat praktek.
"Please deh, Dok. Puber dan kasmaran boleh aja, tapi jangan sampai mengganggu pekerjaan. Saya sudah diomelin banyak orang gara-gara kedatangan Queen Ladyane yang mendadak tadi siang. Jangan lagi. Masa baru ketemu udah kangen lagi sih," ucap Nira dengan berani, membuat wajah Broto memerah.
Gadis itu memang merasa sebal. Ia harus menghadapi omelan beberapa pasien karena jadwal yang dimundurkan dengan tiba-tiba. Sebagian pasien sudah terlanjur dalam perjalanan, dan sisanya bahkan sudah tiba di rumah sakit. Pubertas Broto membuat Nira kerepotan.
"Sembarangan kalau ngomong. Saya nanya soalnya lapar. Tadi nggak sempat makan siang," elak Broto yang segera kembali ke ruangan karena pasien sudah datang.
Alasan. Nggak sempet makan siang, soalnya sibuk nenen aja sih, rutuknya dalam hati. Dia kembali sibuk dengan pekerjaannya.
Satu per satu pasien bergiliran datang dan pergi. Hingga pukul 15.43, Nira mengetuk pintu ruang praktek.
"Masuk," seru suara berat di dalam ruangan.
Nira membuka pintu dan menyindir, "Dok, pasien sudah habis. Jadi nggak perlu cari alasan lagi. Silahkan kalau mau pulang dan sayang-sayangan."
"Kok jadi sinis gitu? Kamu itu asisten saya lho. Jangan lupa," ucap Broto mengingatkan.
"Maaf, Dok. Habisnya saya kesel kalau jadwal diubah tanpa alasan yang jelas. Saya harus berbohong pada pasien lain, yang bisa jadi kondisi mereka lebih darurat dari Sang Ratu. Sebagai asisten, saya sekedar mengingatkan saja, Dok. Maaf kalau tadi saya kelepasan, sudah bersikap tidak sopan." Gadis itu menatap mata Broto dengan pandangan datar. Wajahnya juga tanpa ekspresi.
"Saya juga minta maaf. Tapi tadi keadaan Bu Ladyane juga mendesak dan darurat. Saya lebih tahu mana yang harus didahulukan dan mana yang tidak. Yang jadi dokter di sini masih saya, kan? Atau sudah ganti?" Broto mencoba berkilah.
Darurat cinta, batin Nira.
"Ya, Dok. Ada lagi yang harus saya kerjakan?" Gadis itu memilih untuk mengalah daripada harus terus berdebat tanpa ada pemenang dan hadiah bagi yang menang.
"Nggak ada. Saya mau siap-siap pulang." Broto segera melepas jas kerja, dan membereskan barang-barangnya, bersiap untuk pulang. Nira terus memandangi Broto, sampai pria itu selesai.
"Saya pulang dulu ya. Sudah kangen banget ... sama anak," elak Broto yang keceplosan mengungkapkan rasa rindunya.
"Iya, Dok. Hati-hati di jalan. Kecup sayang untuk ... anaknya." Nira sengaja menggoda atasannya. Tentu saja ia bukan gadis bodoh yang tak bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi.
Walau belum pernah pacaran, tapi dia bisa membaca gelagat orang yang sedang kasmaran dan tidak. Jelas-jelas pria di hadapannya ini lagi dilanda asmara yang menggelora.
Broto bergegas meninggalkan ruangan dan melaju menuju apartemen, seolah sudah bertahun-tahun menunggu untuk berjumpa dengan kekasih hati.
Alam seperti memberi kemudahan bagi mereka berdua untuk mereguk madu perselingkuhan yang manis menggigit. Diskon kepulangan sebanyak tujuh belas menit, jalanan yang ramai lancar, dan cuaca mendung yang menambah syahdu suasana.
Broto akhirnya tiba di halaman parkir apartemen dan segera menuju lantai tujuh, sesuai petunjuk Lady. Tidak sulit untuk menemukan unit yang dimaksud. Karena memang ada di ujung lorong.
Tingtong!
Broto membunyikan bel. Beberapa puluh detik menunggu, tapi tak ada tanda-tanda pergerakan.
Tingtong!
Lelaki itu menekan tombol bel sekali lagi. Masih tidak ada suara apapun. Akhirnya ia putuskan untuk menelepon Lady.
Brrr.... Brrr....
Beberapa kali telepon genggam di samping Lady bergetar, sampai ia meraih dengan sedikit malas. Dibukanya sedikit kedua mata, dan membaca nama Broto tertera di layar.
"Oh. Halo, Broto. Sori gue ketiduran. Ada apa?" Suara Lady masih terdengar sedikit parau.
"Gue di depan pintu, Sayang. Bukain dong." Broto tersenyum, padahal di depannya hanya pintu yang bergeming. Pasti kalau orang lihat dikira orang gila. Senyum-senyum sama pintu.
"Oh, sori. Oke, gue ke situ." Lady bergegas bangun dan menuju pintu utama unit.
Broto tersenyum melihat wajah wanita yang dicintainya masih lesu, tapi tetap saja cantik dan menarik. Dia usap rambut Lady, lalu mencium keningnya dengan lembut.
"Masih ngantuk ya? Masa baru satu ronde sudah capek sih. Masih ada pertandingan susulan lho ini," ucap Broto sambil menakupkan kedua telapak tangan di pipi Lady.
"Daripada bosen nunggu. Jadi istirahat dulu, biar bertenaga." Lady bergerak menutup pintu. "Mandi dulu yuk."
Mereka berdua menuju kamar mandi, melepas semua kain yang menghalangi sentuhan.
"Makasih ya, sudah mau bantu masalah gue," ucap lady di bawah guyuran shower.
"Bukan gue yang membantu masalah lo, tapi sebaliknya. Lo yang sebenarnya membantu masalah gue, Lad. Gue memang menikah dengan Ningrum, tapi gue kehilangan arti kata pulang. Cuma di sini, tempat gue pulang," ucap Broto sambil menekan dada Lady dengan jari telunjuknya. "Bertemu dengan lo kayak gini, gue ngerasa pulang ke tempat hati gue yang seharusnya."
Lady tersenyum mendengar ucapan pria itu.
Apakah hati memang sudah terbagi? Atau semua ini hanya kepalsuan sensasi?
"Apapun itu, gue tetap berterima kasih sama Lo, karena sudah bantu menyelamatkan hidup gue," kata Lady mengecup bibir Broto sekilas.
"Lo yang menyelamatkan hidup gue. Sekarang gue punya arah, punya gairah. Gue bahagia, menikmati hidup gue."
Bagi Broto, Lady adalah sosok yang telah menyelamatkan dia menjadi makhluk kosong tanpa rasa. Tanpa kehadiran wanita itu, ia hanyalah mayat hidup yang menjalani keseharian hampa dan rutinitas senyap. Hidup tanpa keinginan, tanpa kenikmatan.
Broto bernafas hanya sebatas menunaikan kewajiban sebagai sesosok manusia. Tak ada rasa lega dalam setiap tarikan dan hembusan. Semua terasa sempit dan pengap, tanpa hadir orang yang dicintai dalam kanvas kehidupannya.
Sekarang, lo milik gue.