Nasabah terakhir hari ini baru saja keluar dari bank. Haruna menghela napas lega. Sari menghampiri Haruna dan duduk di sampingnya.
"Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Haruna heran.
"Kamu dari mana?"
"Aku pulang ke rumah sebentar, siapa sangka saat perjalanan kembali kesini malah terjebak macet."
"Kamu sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku dan Lia. Apa kami begitu tidak bisa dipercaya sampai kamu tidak mau cerita?" tanya Sari. Sari kecewa karena Haruna tidak mau mengatakan masalah yang sedang dihadapinya. Sari yakin Haruna sedang mengalami masalah besar. Semua tingkah laku Haruna selama seminggu belakangan ini mencurigakan. Sari memperhatikan semua perubahan itu dari hari ke hari sampai hari ini.
"Sar, aku sangat percaya padamu dan Lia. Sungguh aku tidak ada masalah, hanya saja aku merasa rindu dengan Kiara. Aku khawatir Kia belum makan siang, hanya itu."
"Sungguh hanya itu?" tanya Sari.
"Sungguh," ucap Haruna sambil tersenyum. Haruna memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu melangkah bersama Sari. Mereka bersiap untuk pulang karena jam kerja mereka sudah berakhir. Namun, Haruna menghentikan langkahnya karena panggilan dari seseorang yang sangat dikenalnya.
"Haruna, ikut saya ke kantor!" ucap Nadya.
"Ya, Bu. Em, Sar, kamu pergi duluan saja!"
"Baiklah, sampai jumpa besok. Dadah," ucap Sari sambil melambaikan tangan.
Haruna melangkah menuju ruangan Nadya. Haruna merasa sedikit tegang. Ada apa dan kenapa ia dipanggil ke ruangan Nadya? Pertanyaan itu bergelayut dalam pikiran Haruna. Wajah Nadya tidak terlihat baik, Nadya terlihat murung memanggil Haruna. Biasanya senyuman lebar selalu menghias bibir Nadya saat berbicara dengan para karyawan termasuk Haruna.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!"
"Permisi, Bu. Ada apa Ibu memanggil saya?"
"Aku tidak bisa banyak bicara. Ini … surat PHK dan uang pesangon kamu."
"Hah? Kenapa saya dipecat, Bu?
"Kamu tanyakan saja pada Presdir! Aku tidak bisa membantah perintahnya, maaf, Haruna."
Haruna tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengambil surat PHK dan uang pesangon kamu yang tergeletak di meja. Haruna yakin kalau Nadya juga berat melakukan hal itu. Semua dilakukan Nadya dengan terpaksa, Haruna tidak akan mempersulit Nadya. Haruna pamit pergi dari ruangan Nadya. Setelah Haruna menutup pintu, Nadya mengembuskan napas berat. Tidak enak rasanya hati Nadya memecat Haruna tanpa sebab. Namun, ia sungguh terpaksa melakukannya.
"Maaf, Haruna." Nadya menggumam pelan sambil menatap jendela ruangannya.
Haruna mencari Tristan di ruangannya, tetapi di sana hanya ada Levi yang sedang membereskan meja kerja Tristan.
"Pak Levi, dimana Presdir?"
"Presdir sedang menunggu Anda di parkiran. Bukankah kalian harus pulang bersama?"
Haruna tidak menjawab dan berlalu meninggalkan Levi. Dengan berat hati Haruna harus kembali satu mobil dengan Tristan, padahal tadinya Haruna akan naik taksi saja. Sekarang tidak ada pilihan lain bagi Haruna selain menurut atau Tristan akan kembali menggila dengan tindakan di luar batas.
Aulia baru saja keluar dari bank dan melihat Haruna masuk ke dalam mobil Tristan. Sebuah senyum simpul tampak menghias bibir Aulia. Ia ikut bahagia melihat Haruna mulai bisa dekat dengan pria. Aulia dan Sari tahu apa yang menyebabkan Haruna selalu menolak cinta pria yang menyukainya. Saat itu, tahun terakhir masa SMA. Haruna melihat teman SMAnya bunuh diri. Mega yang merupakan sahabat Aulia dan Haruna itu patah hati dan memilih mengakhiri hidupnya dengan meloncat dari lantai tiga gedung sekolah. Mega terjatuh tepat di depan Haruna yang sedang melangkah.
"Hah, semoga kamu bahagia, Haruna. Kau sudah terlalu kadaluarsa menjadi gadis," gumam Aulia.
Ia pun melangkah pergi meninggalkan parkiran setelah mobil Tristan keluar lebih dulu. Haruna, Sari dan Aulia selalu membawa motor sendiri saat pergi bekerja. Namun, sekarang Haruna tidak dapat lagi mengendarai motor kesayangannya.
Di dalam mobil, Haruna gemetar melihat wajah Tristan yang masam. Haruna memberanikan diri bertanya pada Tristan.
"Kenapa kau memecatku?"
"Karena kamu terlambat."
"Baru satu kali, seharusnya aku diberi surat peringatan lebih dulu?"
"Kesalahanmu adalah … karena kamu pulang ke rumahmu. Kau melanggar perjanjian. Bukankah di dalam perjanjian tertulis dengan jelas? Kau tidak boleh bertemu dengan keluargamu sebelum hutang ayahmu lunas." Tristan menambah kecepatan laju mobilnya.
"Da - ri mana … kau tahu?"
"Apa kau pikir aku bodoh? Aku menyuruh orang untuk mengawasimu selama 24 jam penuh. Meskipun kau sedang di rumah, kau tidak lepas dari pengawasanku," ucap Tristan mengintimidasi.
Mereka tiba di parkiran rumah Tristan. Tristan menarik tangan Haruna dengan kasar dan membawanya ke kamar. "Mulai sekarang, kau hanya akan diam di kamar ini dan tidak akan bisa keluar dari rumah ini." Tristan mengunci kamar Haruna.
"Tristan! Buka pintunya! Kau tidak bisa melakukan ini padaku. Tristan!" Haruna berteriak sambil menggedor daun pintu yang tertutup rapat. Merasa usahanya sia-sia belaka, Haruna menggelosor dan duduk bersandar di pintu. Haruna menangis tersedu-sedu. Mulai saat ini, Haruna benar-benar menjadi tawanan di rumah Tristan. Entah sampai kapan Haruna bisa bebas. Uang 2 Milyar bukanlah jumlah yang kecil untuk keluarga Haruna. Haruna tidak yakin kalau keluarganya bisa menebus Haruna dari tangan Tristan.
Sementara Tristan sedang menelpon Levi dan memerintahkannya untuk mempekerjakan kembali para asisten rumah tangga dan juga para pengawalnya. "Besok pagi, mereka harus sudah kembali bekerja di rumah ini. Satu hal lagi, tambah beberapa pengawal di rumahku. Pastikan mereka menjaga Haruna 24 jam penuh!"
[Baik, Tuan muda]
Tristan memutus panggilan telepon dan pergi ke kamar mandi. Tristan berendam di air hangat dan mengingat kembali ucapan Christian. Tristan tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Saat mendengar Christian mengatakan menyukai Haruna, ada perasaan marah yang tidak bisa diartikan oleh pikirannya. "Ada apa denganku?" Tristan mengusap wajahnya yang basah. Ketika Tristan menutup mata, bayangan akan lembutnya bibir Haruna menari-nari di pelupuk mata. Tristan segera membuka matanya kembali. "Sial! Ada apa denganku? Apa karena sudah seminggu ini aku tidur sendiri?" gumam Tristan.
Tristan memang sudah seminggu terakhir ini tidak tidur dengan wanita. Biasanya setiap pulang kerja, Tristan akan menelpon seorang mami untuk mengirimkan wanita malam ke rumahnya. Untuk menuntaskan hasratnya, Tristan menelepon klub malam yang biasa menyediakan wanita untuknya. Ia lalu segera membilas tubuhnya dan memakai handuk kimono, duduk menunggu wanita pesanannya datang.
Ia duduk di ruang tamu ditemani segelas anggur merah dan sebungkus rokok. Ia menyulut sebatang rokok dan menyisipkannya di antara bibir. Tristan mengembuskan asap rokok yang dihisapnya. Ia merasa tertekan sekali hari ini. Hasratnya begitu menggelora saat membayangkan bibir Haruna, tapi dia sudah mempunyai tekad untuk membuat Haruna naik ke ranjangnya dengan sukarela.