Télécharger l’application
6.92% Pengawal Nona CEO yang Paling Setia / Chapter 29: Obat Pahit yang Terasa Manis

Chapitre 29: Obat Pahit yang Terasa Manis

"Erza, apa itu?" Setelah Erza kembali ke rumah, Bu Siska menatap penasaran ke tas di tangan Erza.

"Bu Siska, Lana tidak dalam kondisi kesehatan yang baik. Aku pernah belajar tentang pengobatan tradisional sebelumnya, jadi aku akan memberinya beberapa obat." Erza tersenyum sedikit.

"Erza, aku rasa nona akan bahagia mendengarnya. Aku akan meracik obat itu untukmu." Mendengar ini, hati Bu Siska juga sangat bahagia.

"Bu Siska, biarkan aku saja." Erza melambaikan tangannya. Jika itu obat biasa, Erza masih bisa membiarkan Bu Siska mengambilnya, tapi ada beberapa bahan obat yang ternyata sedikit beracun. Jika dia tidak hati-hati, maka nyawa Lana menjadi taruhan.

"Baiklah." Bu Siska tidak terlalu banyak berpikir. Selama hubungan antara keduanya baik, hati Bu Siska juga sangat senang.

Erza membawa obat itu langsung ke dapur, dan mulai meraciknya. Saat Erza membuat obat, Lana berjalan keluar dari kamarnya.

"Nona, Erza berkata bahwa Anda tidak dalam kesehatan yang baik, jadi dia akan memasak obat untuk Anda di dapur. Nona, Anda tahu, Erza sangat baik kepada Anda." Bu Siska melihat Lana keluar, dan bergegas ke sisi Lana. Dia berbicara dengan sangat antusias.

Lana tercengang sejenak. Dia mengira Erza hanya berbicara omong kosong pada saat itu. Apalagi Erza tidak pergi bekerja sepanjang hari tadi. Lana tidak menyangka Erza benar-benar akan pergi dari kantor untuk mencarikannya obat.

Awalnya, Lana berencana menunggu Erza kembali, tapi dia berubah pikiran dan berjalan ke dapur.

"Sepertinya hubungan mereka semakin baik." Melihat punggung Lana, Bu Siska tidak bisa mengatakan betapa bahagianya dia. Selama hubungan keduanya bisa lebih baik, Bu Siska bersedia melakukan apa saja.

Setelah Lana tiba di dapur, dia melihat Erza berdiri di sana. Dia dengan hati-hati merebus obat. Sebelum Erza menyadarinya, Lana tiba-tiba merasa adegan seperti itu menghangatkan hatinya. Dia merasa takut kehilangan pria seperti Erza. Pada saat ini, Lana memiliki dorongan di dalam hatinya. Dia ingin berjalan ke belakang Erza, lalu memeluk Erza dengan erat. Tapi, Lana tidak akan melakukan itu.

"Lana, kapan kamu turun?" Erza menyadari Lana berdiri tidak jauh dari tempatnya.

"Baru saja. Erza, apa kamu tidak lelah? Bagaimana kalau kamu istirahat dulu?" Begitu dia melakukan kontak dengan mata Erza, Lana langsung memalingkan wajahnya.

"Tidak. Aku harus meracik obat ini dulu. Kamu bisa pergi ke ruang tamu dan menunggu. Ini akan segera siap. Tapi, obat tradisional ini rasanya tidak enak." Erza mengayunkan tangannya untuk menyuruh Lana pergi.

"Baiklah, kalau begitu aku akan pergi ke ruang tamu dulu." Meskipun Lana masih ingin berdiri di sini untuk menemani Erza, dia tidak bisa menatap pria itu terus karena salah tingkah. Akhirnya, dia kembali ke ruang tamu dengan enggan.

"Nona, Erza sedang memasak obat untuk Anda, mengapa Anda tidak menemaninya?" Melihat Lana keluar dari dapur, Bu Siska penasaran.

"Bu Siska, aku…" Wajah Lana sedikit memerah.

"Nona, aku bisa melihat Erza sangat peduli padamu di dalam hatinya. Sebagai seorang wanita, terkadang kamu harus lembut. Jika suamimu memasak obat untukmu, kamu harus pergi menemaninya, Nona," jelas Bu Siska dengan lembut.

Lana juga sangat ingin menemani Erza. Namun, dia hanya bisa berdiri di sana, tidak tahu apa yang harus dia katakan. Itu sangat canggung baginya.

"Oke, cepat pergi ke dapur lagi. Jika Anda bersikap dingin setiap hari, tidak peduli seberapa baik Erza, akan ada hari di mana dia tidak tahan." Sebelum Lana bisa menyelesaikan kata-katanya, Bu Siska langsung mendorong Lana ke dapur. Lana telah dirawat oleh Bu Siska sejak dia masih kecil, jadi dia sangat percaya dengan kata-katanya.

"Lana, kenapa kamu kembali lagi?" Erza juga sedikit penasaran saat melihat Lana muncul di hadapannya lagi.

"Oh… Aku… Aku haus." Ketika Erza bertanya, Lana sebenarnya sedikit gugup. Dia langsung berlari ke lemari es dan mengeluarkan sebotol air. Lalu, dia meminumnya.

"Tidak baik minum air dingin. Biarkan aku merebus air untukmu dulu." Erza menyambar botol di tangan Lana.

"Oh, baiklah," jawab Lana dengan gugup.

"Lana, apa yang terjadi padamu hari ini?" Erza merasa bahwa Lana agak aneh sekarang.

"Tidak, Erza, kamu berkeringat. Aku akan bersihkan keringatmu." Saat berbicara, Lana hanya mengambil selembar tisu dan menyeka keringat Erza. Tingkah Lana ini memberi Erza firasat buruk. Dia ingin mengetahui apakah Lana sedang demam. Istrinya itu tiba-tiba menjadi sangat peduli padanya.

"Lana, kenapa kamu begitu lembut hari ini? Mungkinkah aku membuat kesalahan?" Saat Lana terus menyeka keringatnya dengan lembut, hati Erza menjadi semakin ketakutan.

"Aku hanya merasa aku harus bersikap lembut padamu." Lana dengan paksa menahan rasa malunya.

"A-apa?" Erza tidak bisa memercayainya.

"Tentu saja itu benar," jawab Lana.

"Kalau begitu kamu bisa mengupas apel untukku. Aku sedikit lapar," kata Erza lirih. Saat berbicara, Erza sudah siap untuk lari.

"Apa katamu? Beraninya kamu menyuruhku?" Lana mengepalkan tinjunya dan pergi ke ruang tamu. Tak lama kemudian dia kembali, "Mana apelnya?" Lana berjalan ke sisi Erza, mencoba untuk menjaga sikapnya agar tetap lembut.

"Potong kecil-kecil, ya," ucap Erza menggoda.

Dalam sekejap, Lana menjadi sedikit kesal. Dia tidak pernah melayani orang lain seperti ini. Sekarang dia sedang meletakkan sebuah apel di atas meja dan mendengus dingin.

"Akhirnya selesai." Erza diam-diam menarik napas lega. Erza menuangkan obat yang telah direbus itu ke dalam mangkuk dan membawanya ke Lana.

"Aku tidak ingin meminumnya." Lana sedang kesal, jadi tentu saja dia tidak akan menuruti Erza.

"Oke, jangan marah lagi, datang ke sini dan minum obatnya." Erza tersenyum tak berdaya. Dia tidak menyangka Lana akan sangat menggemaskan. Dia sangat imut.

"Baunya tidak enak. Aku tidak ingin meminumnya." Lana menutup hidungnya erat.

"Bagaimana mungkin? Kamu harus meminumnya. Ini untuk kesehatanmu juga," jelas Erza. Jika Lana menderita penyakit ringan, Erza mungkin akan membiarkannya tidak minum obat itu, tetapi sekarang penyakit Lana sudah sangat serius, jadi dia harus meminumnya.

"Lebih baik aku tidur saja. Aku tidak mau minum obat ini." Saat melihat ekspresi gigih Erza, Lana mencoba mendekatkan mangkuk berisi obat itu ke mulutnya, tetapi setelah ragu-ragu, Lana meletakkannya kembali di atas meja.

"Apakah kamu yakin tidak akan minum?" tanya Erza.

Lana terus mengangguk.

"Benar-benar tidak ingin minum?"

Lana mengangguk lagi.

"Kalau begitu jangan salahkan aku." Setelah berbicara, Erza langsung menyesap obat itu.

Tiba-tiba Erza memeluk Lana dengan erat yang membuat Lana benar-benar terpaku. Dia tidak menyangka Erza akan melakukan ini.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Lana dengan pipi memerah. Sebelum Lana bisa mendengar jawaban dari suaminya, dia merasa bahwa bibir Erza telah menempel di bibirnya. Dia langsung menutup matanya. Tapi kemudian, Lana merasakan obat tradisional yang sangat tidak enak memasuki mulutnya. Lana ingin menyingkirkan Erza, tetapi pelukannya terlalu erat. Lana memilih untuk menelan obat itu.

"Dasar bajingan!" Setelah meminum obat dari mulut Erza, wajah Lana sedikit merah.

"Apakah kamu masih membutuhkanku untuk meminum obat ini?" Erza mendekatkan mulutnya ke telinga Lana dan menghela napas dengan lembut. Tubuh Lana sedikit bergetar. Dia merasa malu dan menundukkan kepalanya tanpa mengatakan apa-apa.

"Oke, cepat minum obatnya. Itu baik untuk kesehatanmu." Erza menyerahkan mangkuk itu pada Lana lagi, dan berkata dengan lembut. Lana tidak bisa menolak tatapan lembut semacam itu. Dia langsung mengambil mangkuk dan meminum obat di dalamnya dalam satu tarikan napas.

"Apakah kita akan melanjutkan apa yang baru saja kita lakukan?" celetuk Erza. Dia menundukkan kepalanya dan bertanya pada Lana. Dapat dikatakan bahwa Erza benar-benar ingin merasakan kembali sensasi malam saat dia berada di Malang bersama Lana.

"Aku akan tidur dulu." Lana, yang wajahnya tampak seperti apel merah, berbalik dan berlari ke kamarnya. Setelah menutup pintu kamar, detak jantung Lana menjadi tidak karuan.

Sedangkan Erza, dia tersenyum tipis. Dia tidak menyangka Lana sangat imut. Setelah itu, dia merebus obat lagi untuk dirinya sendiri. Lalu, dia meminumnya, dan kembali ke kamar. Namun, Erza teringat bahwa dia harus mengabulkan permintaan Wina untuk pergi ke sekolah, jadi dia harus menemui Lana.


next chapter
Load failed, please RETRY

Cadeaux

Cadeau -- Cadeau reçu

    État de l’alimentation hebdomadaire

    Rank -- Classement Power Stone
    Stone -- Power stone

    Chapitres de déverrouillage par lots

    Table des matières

    Options d'affichage

    Arrière-plan

    Police

    Taille

    Commentaires sur les chapitres

    Écrire un avis État de lecture: C29
    Échec de la publication. Veuillez réessayer
    • Qualité de l’écriture
    • Stabilité des mises à jour
    • Développement de l’histoire
    • Conception des personnages
    • Contexte du monde

    Le score total 0.0

    Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
    Votez avec Power Stone
    Rank NO.-- Classement de puissance
    Stone -- Pierre de Pouvoir
    signaler du contenu inapproprié
    Astuce d’erreur

    Signaler un abus

    Commentaires de paragraphe

    Connectez-vous