Télécharger l’application
100% Pengabdi Birahi / Chapter 15: Pengabdi 15

Chapitre 15: Pengabdi 15

Pagi itu, Widia akhirnya menceritakan kepada Angel apa yang sebenarnya terjadi. Pak Wijaya sebenarnya sempat meminjam uang kepada bank untuk mengembangkan bisnis. Untuk mendapatkan pinjaman tersebut, Pak Wijaya pun harus memberikan sertifikat rumah yang mereka tinggali tersebut kepada pihak bank sebagai jaminan.

Sebentar lagi, pinjaman tersebut akan jatuh tempo, dan Pak Wijaya harus membayar seluruh uang yang ia pinjam beserta bunganya. Widia sudah berkali-kali mengingatkan ayahnya untuk selalu membayar pinjaman tepat waktu, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Namun Pak Wijaya sering mempunyai pendapat yang berbeda dengan anaknya tersebut. Saat ini, permintaan akan barang jualan Pak Wijaya tengah meningkat, terutama dari luar Pulau Jawa. Berkali-kali rekan bisnis Pak Wijaya di kota lain meminta tambahan barang untuk dijual. Pak Wijaya pun tergoda untuk mengambil seluruh peluang tersebut.

Uang yang seharusnya digunakan untuk melunasi pinjaman, akhirnya ia gunakan kembali untuk memproduksi barang, dan mengirimnya ke luar kota. Mitra bisnis Pak Wijaya yang ada di kota lain tersebut nantinya baru akan mengirim uang begitu barang tersebut mereka terima. Beberapa mitra yang lain bahkan baru mau membayar setelah berhasil menjual barang tersebut.

Berita tsunami yang baru saja muncul di televisi merupakan kabar buruk bagi Pak Wijaya dan Widia. Menurut perkiraan keduanya, kapal laut yang membawa kontainer berisi barang jualan mereka tengah berlayar ke Padang saat tsunami tersebut terjadi.

"Cepat telepon perusahaan logistik itu, Ayah. Pastikan barang kita aman," teriak Widia kepada ayahnya.

"Iya, sabar. Ini juga Ayah sedang telepon," ujar Pak Wijaya.

Beberapa menit kemudian, Pak Wijaya dan Widia pun mendapat kepastian bahwa kapal yang membawa barang mereka hanyut tersapu tsunami. Seluruh barang jualan mereka pun tidak bisa diselamatkan. Hilang sudah semua uang yang telah mereka gunakan sebagai modal.

Widia pun terdiam memendam amarah kepada ayahnya. Namun ia tidak tega melepaskan kemarahan tersebut karena ada Angel yang sedang menginap di situ. Temannya tersebut pasti akan merasa sangat tidak nyaman apabila ia ribut dengan ayahnya.

Namun Angel ternyata mengerti situasi yang sedang terjadi di hadapannya, dan memutuskan untuk pulang lebih cepat. "Widia, Pak Wijaya, Angel pulang dulu yah. Takut nanti dicari Ayah," ujar perempuan cantik tersebut sambil tersenyum.

"Kamu mau aku antar?" Tanya Widia.

"Gak usah, Wid. Kamu selesaikan saja dulu masalah kamu dan ayah. Jangan ragu untuk menghubungi aku apabila kalian butuh bantuan," jawab Angel dengan lembut, seolah berusaha menenangkan Widia dan Pak Wijaya yang sama-sama sedang dalam perasaan kecewa, marah, dan emosi.

Widia pun memeluk tubuh sahabatnya tersebut. Ia merasa sangat beruntung mempunyai sahabat sebaik Angel. Setelah membereskan barang-barang yang ia bawa, Angel pun langsung memesan transportasi online untuk kembali ke rumahnya.

Setelah Angel pergi, Widia dan ayahnya pun berusaha mencari solusi terbaik dengan kepala dingin. Mereka coba menghubungi mitra bisnis sang ayah yang berada di Padang, namun mereka mengaku tidak mempunyai uang saat ini. Tidak hanya barang yang dikirim Pak Wijaya, barang-barang lain yang mereka pesan pun banyak yang ikut hanyut ditelan tsunami. Kerugian mereka sudah tidak dapat dibayangkan lagi.

Pak Wijaya kemudian berusaha untuk menghubungi teman-teman terdekat dan keluarganya, namun hampir semuanya menolak dengan alasan sedang tidak punya uang. Kalaupun ada yang bersedia memberi uang, apa yang mereka miliki pun tidak cukup untuk membayar pinjaman ke bank.

Pak Wijaya dan Widia pun mulai kehabisan akal. Namun keduanya sama sekali tidak ingin melibatkan Rendy. Keduanya terlalu sayang pada remaja itu hingga tak ingin membebaninya dengan pikiran macam-macam.

"Oke, begini saja Wid. Besok kamu coba bicara baik-baik dengan pihak bank, minta tolong kepada mereka untuk memberikan keringanan. Bila gagal, kita coba cara terakhir dengan menjual toko, mobil, dan aset-aset kita untuk membayar pinjaman rersebut. Kalau perlu adik kamu berhenti kuliah saja dulu," ujar Pak Wijaya pasrah.

"Mengapa harus Widia yang bicara dengan orang bank?" Ujar Widia ketus. Ia sebal dengan ayahnya yang seperti melepas tanggung jawab.

"Kamu kan lebih paham soal beginini. Kamu pun pandai bernegoisasi. Kalau ayah yang maju, nanti ayah bisa kehabisan alasan."

Itu alasan yang logis menurut Widia. "Baiklah. Tapi kalau berhasil, Ayah harus janji gak akan menentang Widia lagi dalam hal yang berbahaya seperti ini," ujar Widia.

"Iya Widia, Ayah janji."

Keesokan harinya, Widia pun berdandan sebaik mungkin sebelum pergi ke bank. Tak hanya itu, ia pun telah mempersiapkan sejuta alasan yang akan ia sampaikan kepada pegawai bank yang menerimanya nanti, tentang mengapa mereka harus memberi keringanan kepada Widia dan ayahnya. Sekitar pukul sebelas siang, ia pun sampai di bank tempat ayahnya mengajukan pinjaman.

Setelah bicara dengan customer service yang ada di lantai 1, Widia pun diarahkan untuk langsung menuju bagian administrasi kredit di lantai 3.

"Nanti langsung saja bertemu dengan Bu Lisa," ujar petugas tersebut dengan ramah.

Bank tersebut tampak tidak begitu ramai hari ini. Widia melewati lantai 2 yang ternyata merupakan tempat kerja Teller, yang bertugas menerima setoran dari nasabah dan memproses transaksi. Widia pun langsung naik satu lantai lagi, dan dengan mudah menemukan sebuah ruangan yang bertuliskan nama Lisa Utami.

"Selamat siang, Bu," ujar Widia setelah mengetuk pintu ruangan tersebut.

"Siang, silakan masuk," ujar Lisa. Perempuan berdarah Manado tersebut pun langsung mempersilakan Widia untuk duduk.

Dengan tenang, Widia pun menceritakan keperluannya. Ia berusaha jujur dan tidak menutupi apa-apa, mulai dari hutang ayahnya, tsunami yang terjadi di Padang, hingga maksud dan tujuan dia datang hari ini. Tak lupa Widia menjelaskan bagaimana rencana dia untuk membayar hutang tersebut di kemudian hari. Yang terpenting baginya adalah, bank jangan sampai menyita rumah yang telah ia tinggali sejak kecil itu.

"Saya berharap kebijakan Bu Lisa untuk menangguhkan waktu jatuh tempo pinjaman ayah saya selama beberapa waktu," ujar Widia.

"Baik, saya terima permintaan kamu," ujar Lisa.

Widia pun kaget dengan jawaban itu. Ia tidak mengira semuanya akan berlangsung dengan sangat mudah dan cepat. Ia mencurigai ada sesuatu yang salah dari kata-kata perempuan tersebut.

"Namun ada syaratnya," lanjut Tante Lisa.

"Syaratnya apa, Bu?"

Tiba-tiba Widia mendengar suara pintu ruangan di belakangnya dibuka dari luar.

"Syaratnya adalah, kamu harus menemani saya selama seminggu ke Bali."

Widia pun menoleh ke belakang. Ternyata suara tersebut berasal dari seorang pria yang sangat ia kenal. Pria berusia sekitar 50an tahun tersebut adalah ayah dari teman baiknya, yaitu Om Anggoro.

"Apa maksud Om?" Tanya Widia heran.

"Sepertinya sudah jelas ya. Lisa akan menyetujui penangguhan waktu jatuh tempo pinjaman ayah kamu, asalkan kamu mau menemani Om pergi ke Bali minggu depan," ujar Om Anggoro sambil menutup kembali pintu ruangan. Pria tua tersebut kemudian berjalan ke belakang kursi Lisa dan menepuk pundak perempuan berusia sekitar 30an tahun tersebut.

"Betul begitu kan, Lisa?"

"Iya, betul sekali Widia. Saya akan menyetujui permintaan kamu, asalkan kamu memenuhi permintaan Om Anggoro," ujar Lisa dengan tatapan tajam ke mata Widia.

"Om apa-apaan sih. Mau aku adukan perbuatan Om ini pada Angel?" Ujar Widia yang kini sudah sangat marah pada Om Anggoro.

Widia tidak menyangka orang tua sahabatnya yang selama ini ia hormati sampai tega mempunyai niat untuk mengajak dirinya melakukan sesuatu yang tidak pantas. Ia yakin maksud dari 'menemani' yang dikatakan Om Anggoro adalah ia harus melayani lelaki tua tersebut di ranjang dan menyerahkan keperawanannya yang berharga. Ia pun tidak sudi melakukannya

Om Anggoro hanya tertawa mendengar kata-kata Widia.

"Kamu adukan saja pada anak saya. Dengan begitu, perjanjian kita pun batal, dan Lisa akan langsung memerintahkan timnya untuk menyita rumah kamu. Apa itu yang kamu inginkan?" Ujar Om Anggoro sambil tersenyum sinis.

Widia pun terdiam. Ia kini sadar akan posisinya yang sangat tidak baik. Ia harus memilih antara menyelematkan ayah dan keluarganya dari ancaman kebrangkutan, atau menyerahkan keperawanan kepada Om Anggoro. Dua pilihan yang sama-sama sulit baginya. Ia coba memandang Bu Lisa untuk meminta bantuan, tapi pimpinan bank tersebut sepertinya sudah tunduk sekali kepada Om Anggoro. Entah ada hubungan apa di antara keduanya.

Om Anggoro pun mendekati tempat duduk Widia. Ia dekatkan wajahnya ke wajah Widia, hingga hanya terpaut beberapa senti. Widia pun bisa menghirup bau khas minuman keras dari nafas Om Anggoro. Om Anggoro bahkan berani menyentuhkan hidungnya ke pipi Widia.

"Ini nomor telepon Om. Kalau sampai Om berangkat kamu tidak juga membuat keputusan, maka kamu sudah tahu apa akibatnya," bisik Om Anggoro di telinga Widia sambil memberikan secarik kertas ke tangan kanan Widia. Perempuan muda tersebut pun bisa merasakan bagaimana tangan Om Anggoro menggenggam erat telapak tangannya.

Belum selesai rasa kaget Widia, Om Anggoro pun langsung berdiri dan meninggalkan ruangan tersebut. Kini tinggal Widia yang duduk sendiri dengan pikiran yang campur aduk. Ia benar-benar bimbang, dan bingung harus mengambil pilihan yang mana. Mencoba berpikir positif, Widia pun mengambil nafas dalam-dalam, dan melepaskannya dalam satu kali hembusan.

Sementara Lisa tersenyum dalam hati. Sebenarnya walau Widia tidak menemani Anggoro ke Bali, dia akan tetap meluluskan permintaan Widia, karena dia tahu siapa Pak Wijaya. Namun Lisa jugan ingin segera lepas dari Om Anggoro, agar bisa leluasa dengan Rendy.

^^^


next chapter
Load failed, please RETRY

Un nouveau chapitre arrive bientôt Écrire un avis

État de l’alimentation hebdomadaire

Rank -- Classement Power Stone
Stone -- Power stone

Chapitres de déverrouillage par lots

Table des matières

Options d'affichage

Arrière-plan

Police

Taille

Commentaires sur les chapitres

Écrire un avis État de lecture: C15
Échec de la publication. Veuillez réessayer
  • Qualité de l’écriture
  • Stabilité des mises à jour
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte du monde

Le score total 0.0

Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
Votez avec Power Stone
Rank NO.-- Classement de puissance
Stone -- Pierre de Pouvoir
signaler du contenu inapproprié
Astuce d’erreur

Signaler un abus

Commentaires de paragraphe

Connectez-vous