Télécharger l’application
100% Patah Paling Parah / Chapter 36: Merindukan Anak Kembali

Chapitre 36: Merindukan Anak Kembali

Atmaji benar-benar menyesal kali ini. Sebelumnya ia tak pernah memberikan ponsel miliknya habis baterai hingga mati. Di saat yang bersamaan ternyata ada banyak panggilan tak terjawab dari anaknya.

"Haduh ... ada apa ini sama Ndari kok berkali-kali telepon?" Raut cemas tak bisa lepas dari ekspresi wajahnya.

Setelah dicharger dan terisi beberapa persen daya baterai, langsung saja ditelepon kembali nomor anaknya. Sayang nomor yang dituju tidak menjawab, meskipun sudah berulang kali diulangi.

Atmaji menepuk jidatnya sendiri, merasa bersalah dan bodoh karena membiarkan panggilan dari sosok yang dirindukan.

"Apa Ndari merasa jika aku lagi sakit, terus dia menelepon?" ucapnya sembari menerka-nerka.

"Di mana dia sekarang Ya Allah, tolong lindungi di manapun anakku berada... aamiin."

Atmaji keluar, melihat Mitha yang tengah bersantai sembari bermain-main dengan cincin yang ada di jari manis miliknya. Cincin itu mungkin terlihat indah di matanya sampai tidak menyadari kehadiran Atmaji.

"Mitha," panggilnya tak mendapat sahutan.

"Mitha, aku lapar," ulangnya lagi.

"Lho, Mas, kok ikutan keluar? Lapar? Bentar ya aku ambilkan makan." Tubuhnya beranjak bangkit tetapi belum saja jauh sudah dipanggil kembali.

"Enggak usah, ayo makan di luar," ajaknya.

"Lho, Mitha sudah masak Mas, sayang lho. Makan di rumah saja ya,"pintanya.

Pri berkacamata itu menatapnya cukup lama. Hampir saja kepalanya mengangguk tetapi dengan cepat dirinya menggeleng.

"Kalo kamu enggak ikut, ya sudah." Semudah itu Atmaji mengatakan dan tidak keberatan.

Padahal niat tujuan awal sebenarnya bukanlah makan tetapi Ndari. Ternyata Mitha tidak ikut, dia malah merajuk karena Atmaji memilih makan di luar.

"Aku berangkat Mitha," pungkasnya sebelum berlalu.

Saat bersamaan Sinta baru saja pulang dari kuliah, ia memarkir sepedah montor di garasi tanpa disapa oleh ayah sambungnya lebih dulu.

"Ayah, udah enggak sakit lagi?" Sapanya sembari mengamati pria berkacamata itu menaiki mobil.

"Ohhh, lumayan ...."

Hanya kalimat itu yang diucapkan, sedikit aneh karena mama tak ikut beliau pergi. Padahal biasanya mama selalu jadi buntut, terus mengekor ke manapun.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam, sudah pulang kamu Sin?" Sapa Mitha membuka pintu.

Atmaji berlalu pergi dengan mobil kesayangan, sedangkan Mitha masih diam mengamati. Sinta kemudian mengajukan pertanyaan.

"Mau ke mana dia, Ma? Kok tumben sekali Mama tidak ikut?"

"Sudahlah biarkan saja," sahutnya dengan wajah malas.

"Mama marahan sama dia?'' wajahnya sedikit condong ke depan menaruh curiga.

"Enggak."

"Terus apa kalo kayak gini bukan marah?"

"Mama cuman sebel aja, habisnya dia nyesel di suruh makan di rumah. Padahal Mama itu sudah masak ayam dienak-enakan!"

"Ohhh ... ya sudah, kalo begitu biar Sinta aja yang makan, toh, dia enggak maukan. Ayo masuk Ma," ajak Sinta sembari mengusap perut menunjukkan jika sedang lapar.

Mitha tersenyum dengan tingkah putrinya itu, keduanya pun masuk dan menyiapkan makan siang.

"Ma, pernah liat Ndari enggak sih?" Tiba-tiba Sinta mengeluarkan pertanyaan di sela-sela makan.

"Kenapa, kok tumben kamu tanya tu anak?"

"Ya, soalnya Sinta penasaran aja di mana perginya tu anak, kuat banget enggak pulang-pulang hehe."

"Hehe, iya-iya. Bodoh banget dia, siapa yang punya rumah siapa juga yang pergi haha."

Gelak tawa sama-sama terdengar ceria dari kedua belah pihak. Mitha pun menjelaskan sebenarnya, ia pernah ditemui langsung oleh Ndari. Anak muda itu masih saja memberinya ancaman tetapi tidak mempan.

"Kadang jujur Sinta ngerasa kasihan sih, Ma, sama dia. Apa Mama enggak ada niatan buat ngajak dia balik ke rumah ini?"

"Ehem, untuk apa? Bukankah dengan dia tidak balik kemari hidup terasa lebih tenang? Tak ada musuh yang harus disingkirkan."

"Tapikan Mama sudah menang banyak, mama juga sudah mulai perlahan ambil alih harta Ayah Ndarikan?"

"Husstttt ... jangan kencang-kencang, Mama saja sampai sekarang belum tahu letak sertifikasi rumah dan tanah ini di mana."

Sinta hanya diam mengamati ekspresi mama yang seperti takut ketahuan. Lebih tepatnya takut jika pembicaraan mereka ada yang mendengar.

"Mama enggak merasa itu terlalu kejam?"

Wanita itu menggeleng tenang kemudian tersenyum, untuk apa merasa kejam? Pertanyaan anak gadisnya itu ada-ada saja.

"Tentu saja tidak, karena memang begitu cara kerjanya. Jangan pernah merasa kejam karena dulu Mama pernah tersakiti oleh Ayahmu. Itu sebabnya Mama minta cerai dia!" Tangan Mitha perlahan mengepal, menujukan ada kemarahan dalam dirinya.

Kenangan lama kini kembali terbesit di benak kepala, tentang mantan suaminya yang memilih wanita lain dibandingkan dirinya haha, padahal Mitha jauh lebih baik dari segi penampilan.

"Ma ...." tegur Sinta menepuk bahunya dan tersadar.

"Mama mungkin pernah sakit hati di masa lalu, tetapi apa yang mama dendamkan itu tidaklah benar. Di masa lalu, Ndari tidak pernah berbuat salah pada Mama. Bahkan, kalian tidak saling kenal," tuturnya lembut.

"Mama ngerti perasaanmu Sinta. Sedangkan kamu tidak bisa mengerti perasaan Mama," lirihnya nyaris tak terdengar.

Kalimat terakhir itu hanya dapat membuat Sinta menyipitkan mata, menatap penuh tanda tanya.

***

"Ke mana lagi aku harus mencarinya? Sedangkan kota kecil ini sudah berkali-kali dilewati. Ndari ... Ndari ...."

Atmaji terus menyetir senoleh ke kanan kiri di area jalan, taman, dan tempat-tempat berkumpulnya anak muda.

"Andai waktu itu aku tak mencegahnya, hanya karena Mitha dia jadi begini. Padahal tidak semua ibu tiri itu jahat, termasuk Mitha. Kurasa dia layak disebut ibu yang baik," ucapnyanya.

Atmaji turun dari dalam mobil untuk makan siang, ternyata cukup kewalahan. Mana dirinya masih belum seutuhnya fit. Malah keluar untuk mencari.

"Apa aku harus meminta bantuan Mitha?" Gumam Atmaji di sela-sela makan sembari memikirkan.

Sepertinya selama ini Mitha hanya pura-pura menyukai Ndari. Andaipun meminta tolong sekalian sepertinya bukanlah masalah, dengan begitu Atmaji akan sedikit lebih terbantu.

"Dengan mengiming-imingi uang, wanita itu pasti sulit untuk menolak, karena kelemahannya memang di harta."

Setelah menemukan ide, Atmaji langsung saja beranjak bangkit, membayar makanan dan kembali menuju mobil untuk melesat pulang.

***

"Mitha, Mith...."

Sontak Mitha dan Sinta kaget, takut jika pembicaraan keduanya terdengar.

"Itu kenapa kok teriak-teriak?" Tanya Mitha panik.

"Entahlah, Mama datangi dulu saja." Sinta tak ingin mencari masalah dan mengedepankan Mama.

Saat beranjak bangkit, pria itu malah sudah berada di hadapan keduanya. Sontak membuatnya kaget.

"Ada apa Mas, kok teriak-teriak begitu?"

"Aku, entahlah ... aku sedang bingung ke mana Ndari pergi. Apa selama ini kamu pernah melihatnya?" Pria itu tampak mengaruk-ngaruk kepala frustrasi.

Sinta dan Mama saling melempar pandangan seketika, anaknya menyenggol agar Mamanya mengatakan jujur.

"Iya," sahut Mitha.

"Iya, maksudnya?"

"Iya kalo aku bertemu Ndari setelah dia pergi dari rumah ini Mas. Tepi sayang tidak lama," ucapnya sedikit menyesal.

"Kenapa kau tak memberitahuku? Hah!"

"Maaf," hanya kalimat itu disertai dengan tundukan kepala yang keluar dari dalam mulutnya.

Melihat ekspresi Mitha juga membuat Atmaji tak tega.

"Oke, baiklah. Yang sudah biarkan sudah asalkan kamu mau mencari Ndari bersama--sama denganku."

"Tapi Mas di mana harus mencari Ndari? Aku yakin dia tidak lagi ada di tempat yang sama. Aku harus ke mana?"

"Ahh, ... entahlah," sahutnya frustrasi sembari mengacak-acak rambut.

"Sabar Ayah ...." Sinta ikut menangkan.

Sedikitnya untuk sekadar basa-basi, supaya terlihat dirinya memihak pria tua berkacamata itu. Pasti sebagai orang tua sangatlah sedih, meskipun waktu itu terlihat mengusir.

Di mana-mana penyesalan memang selalu berada di akhir, mungkin saja Ndari juga merasakan kerinduan luar biasa terhadap Ayahnya. Salah satu anggota keluarga yang sisa satu dia miliki, mustahil tidak merindukanya.

"Entahlah Sinta, Ayah sudah buntu dan tidak tahu ke mana harus mencarinya...."

"Apa selama ini Ndari ada menelpon atau menghubungi Ayah?" tanya Sinta memberikan diri.

Pria tua itu mengangguk, tetapi raut wajah sedihnya tak kunjung hilang.

"Iya sayangnya aku tak mengangkat dan tak bisa lagi di hubungi. Aku benar-benar menyesal, merasa tak berguna menjadi ayah."

"Sabar Ayah, nanti kita tunggu saja seminggu lagi di hari dan waktu yang sama. Jika Ndari benar tidak menghubungi kembali, baru kita cari bersama."

Anak sambungnya yang ini memang cerdas, saran darinya dapat meringankan sakit kepala yang dirasa. Atmaji mengangguk-angguk puas. Sepertinya ide yang disampaikan itu akan diterapkan olehnya.

"Baiklah, terima kasih Sinta."


next chapter
Load failed, please RETRY

Un nouveau chapitre arrive bientôt Écrire un avis

État de l’alimentation hebdomadaire

Rank -- Classement Power Stone
Stone -- Power stone

Chapitres de déverrouillage par lots

Table des matières

Options d'affichage

Arrière-plan

Police

Taille

Commentaires sur les chapitres

Écrire un avis État de lecture: C36
Échec de la publication. Veuillez réessayer
  • Qualité de l’écriture
  • Stabilité des mises à jour
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte du monde

Le score total 0.0

Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
Votez avec Power Stone
Rank NO.-- Classement de puissance
Stone -- Pierre de Pouvoir
signaler du contenu inapproprié
Astuce d’erreur

Signaler un abus

Commentaires de paragraphe

Connectez-vous