Anak-anak sekolah SMA Panca Karya terlihat berjalan memasuki kelas setelah bel dibunyikan. Mereka melangkah dengan enggan karena harus menghadapi ulangan selama seminggu.
"Dit, Riki dan Riko mana? Kok bangkunya masih kosong?" tanya Andin.
Bukannya menjawab, Dito hanya mengangkat kedua bahunya seakan tak perduli. Sikap acuh yang diperlihatkan Dito membuat Andin curiga. Biasanya mereka bertiga begitu dekat dan sering kemana-mana bersama.
"Lagian kok Lu rajin banget hari ini, masuk sekolah enggak telat?" ledek Andin diikuti senyum tipis.
Dito juga tak menjawab, malah memilih membaringkan kepala di atas meja sembari membelakangi Andin.
"Hu ... sok kece Lu!" umpat Andin dengan kesalnya.
Sudah sepuluh menit berlalu, tetapi Pak Tono belum masuk ke kelas juga. Ini membuat anak-anak sekelas saling melempar tatap seakan bertanya-tanya. Terlebih predikat Pak Tono yang terkenal disiplin dan tegas.
Kebisingin yang terjadi membuat Dito kembali mengangkat wajah dan melirik ke arah meja kosong yang ada di belakangnya.
"Belum datang juga," gumamnya yang kemudian menatap ke arah keluar jendela. Terlihat sebuah mobil mewah memasuki halaman tengah sekolah. "Siapa tuh? Kok spesial banget sampai masuk ke halaman tengah?" tanya Dito yang kini memilih berdiri untuk melihat lebih jelas. Biasanya tamu yang memarkirkan mobil di area itu hanyalah pejabat dan komite tertinggi sekolah.
"Ada apa, Dit? Riki dan Riko datang telat lagi?" tanya Andin yang terlihat penasaran akan reaksi wajah Dito.
Dito terlihat kesal karena Andin terus menanyakan kedua saudara kembar itu. Dengan sedikit berteriak, Dito berkata, "Gua bukan Emaknya!"
Andin terdiam, sepertinya ia sadar kalau Dito sedang tidak mood pagi ini, hingga ia memilih membungkam mulut dan kembali membaca bukunya.
Seketika terdengar suara langkah kaki yang serempak dengan hentakan yang kuat. Suara langkah itu berhasil membuat anak-anak terdiam dengan wajah tegang. Perlahan ruang kelas mendadak sunyi, semua anak-anak yang ada di dalam kelas tertidur di atas meja dengan pulasnya.
"Brak!"
Pintu kelas terbuka, terlihat beberapa pria bertubuh tegap berbalut seragam tentara menghampiri mereka dan membawa tubuh mereka satu per satu ke dalam aula sekolah. Di sana terdapat banyak kursi yang terbuat dari besi. Kursi dengan banyak tombol di sekitarnya.
Satu per satu mereka dibaringkan di atas kursi. Kedua tangan dan kaki diikat dengan gelang yang sudah tertanam. Begitu pula dengan kaki mereka. Sebuah alat juga terpasang tepat di dahi mereka, alat yang menunjukkan grafik dengan banyak kode angka di dalamnya.
Kini semua anak sudah berada di kursi mereka masing-masing, seketika wanita dengan jas dan kacamata serba hitam melangkah masuk, berdiri tersenyum menatap ke arah mereka. Melalui microphone yang ada di telinganya, wanita itu berkata, "Aktifkan!"
"Tit, tit, tit," kursi-kursi itu berbunyi secara bergantian, diikuti nyala merah pada alat yang ada di kepala mereka. Namun aneh, kebisingan tak juga membangunkan mereka. Semua tertidur dengan nyaman tanpa tahu akan apa yang sedang terjadi.
"Nona Wen, apakah Tuan juga akan datang ke sini?" tanya seorang pria tua yang tak lain kepala yayasan.
"Tidak, Tuan hanya perlu melihat dari kameranya. Ini percobaan pertama, ia hanya perlu hadir jika percobaan ini berhasil," ucap Wen dengan angkuhnya.
Pria Tua itu hanya mengangguk dengan tubuh yang membungkuk. Sepertinya ia begitu tunduk dan bahkan terlihat sangat tguat akan keberadaan Nona Wen itu sendiri.
Perlahan wajah anak-anak berubah. Ada yang menunjukkan ketguatan, ada pula yang menjerit dengan mulut ternganga lebar, namun tanpa suara. Ada yang terlihat emosi dan ada pula yang menangis dengan banyak keringat membasahi wajahnya.
Pak Tua menjadi kaget, ia merasa iba melihat anak didiknya dalam keadaan seperti ini. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Hanya bisa berdiri dan mengamati.
"Nona, apakah penelitian ini akan memberikan efek samping kepada mereka?" tanya Pak Tua yang kini memalingkan wajah karena tak sanggup melihat.
"Sebaiknya kau pergi!" ucap Wen dengan tatapan tidak senang. "Kau hanya akan merusak penelitian ini," umpatnya sembari menunjuk ke arah pintu keluar.
Pak Tua terdiam dan segera mengunci rapat mulutnya. wajahnya tertunduk dengan tubuh yang gemetar.
Tak kunjung keluar, Wen memberi kode kepada pengawalnya untuk menyeret Pak Tua keluar dari ruangan. Sedikit penolakan, namun tubuh tuanya tak bisa melawan lebih. Akhirnya dengan terpaksa ia keluar dari ruangan dengan kedua pengawal mengapit tubuhnya.
***
Di luar sekolah Riko dan Riki saling bertengkar.
"Lihatlah! Sekolah sudah sepi. Sudah kukatakan hari ini ulangan, jangan terlambat datang!" ujar Riki dengan tatapan gerah.
"Sudah tenang saja, kita hanya perlu berakting seperti biasa. Bukannya kita belum pernah tertangkap?" ucap Riko dengan angkuhnya, kancing bajunya terbuka dengan kayu pencongkel gigi diujung bibirnya.
"Hei, tunggu dulu! Keadaan sekolah terlihat aneh. Ini mencurigakan," ucap Riko yang menahan tubuh Riki untuk masuk ke sekolah.
"Apaan sih? Ya sepilah. Kita udah telat berapa menit, sudah setengah jam. Ya pastinya mereka semua sudah masuk ke dalam kelas," ujar Riki sembari menepis tangan Riko.
"Tunggu dulu, ayo ikut gua!"
Riko berjalan mengendap-endap dari balik dinding yang membatasi sekolah dengan parit besar. Mereka berjalan dengan posisi membungkuk agar tak diketahui keberadaannya. Tepat di ujung belokan, mereka berdiri dan mengintip ke arah kelas.
"Tidak ada, tidak ada siapa-siapa. Kelas kosong," ujar Riko dengan wajah penasaran.
Riki yang sedari tadi melirik penuh kebencian ke arah Riko kini juga ikut mengintip.
"Tapi, tas mereka ada di sana," ujar Riki yang kini menjadi ikut penasaran.
"Sebaiknya kita cari tahu lebih dulu sebelum masuk. Gua yakin ada yang tidak beres di sekolah kita," ucap Riko yang kemudian mengeluarkan silet dan menyimpannya di sgua celana. Lalu mengeluarkan semua buku dan menyimpannya di dalam pelastik lalu menyembunyikannya di sela-sela batu. Kemudian meraih topi dan memakainya guna menutupi wajah. Sedangkan Riki hanya terdiam melihat kembarannya beraksi.
"Jangan berlebihan ah, Lu pikir kita sedang dalam novel atau film gitu?" ledek Riki yang sangat tak senang akan sikap liar kembarannya.
"Lihat saja nanti, siapa pahlawan dan siapa pula yang pecundang," ucap Riko yang kemudian meludahkan dengan kasar kayu kecil yang ada di sudut bibirnya.
Riki hanya menggeleng dengan senyuman sinis. Kini keduanya kembali melangkah mengendap-endap mendekati ujung ruangan tepatnya bersebelahan dengan aula. Riki yang sedari tadi melirik ke sana kemari mencari alat untuk mengintip, hanya bisa diam melihat Riko yang sudah lebih dulu memanjat dinding dengan bantuan kayu yang ada.
Seketika Riko melompat dan merunduk sambil memaksa Riki ikut merunduk juga.
"Ada apa, apa yang kau lihat?" tanya Riki penasaran.
"Semua murid berada di aula. Mereka seperti tertidur dan terikat pada alat yang berbentuk kursi. Gua tidak tahu apa yang terjadi. Namun, ada banyak tentara yang mengawasi ruangan."
Riki hanya bisa mengernyitkan dahi sembari menelaah penjelasan Riko yang terlihat tegang.