"Sadar enggak sih?" tanya Jessy kepada Dito setelah menunjukkan wajah berpikir. "Orang yang terakhir mati akan menjadi petunjuk. Seperti Beni yang terus-terusan kasih kita petunjuk penyelesaian dari ujian yang ada. Nah, kali ini giliran Andin."
Sepertinya ucapan Jessy kurang dipahami Dito dan Riko. Terlihat dari wajah mereka yang hanya diam menatap ke arahnya.
"Gini, gini, dengarin aku. Andin sebelum pingsan sempat bilang kabel kan? Nah itu petunjukkan?" jelas Jessy dengan semamgat.
Dito dan Riko terlihat setuju dan menganggukkan kepalanya.
"Nah, sekarang petunjuk selanjutnya."
Omongan Jessy terhenti diikuti tatapan menunggu dari Dito dan Riko.
"Nah, itu dia. Gua belum tahu petunjuk selanjutnya," ungkap Jessy dengan nada lemas.
"Yah!" ungkap Riko dengan nada paling kuat.
"Apa jangan-jangan ada hubungannya dengan kematian Andin?" tanya Jessy kembali, mencoba menerka.
"Maksud Lu?" tanya Dito dengan tatapan tidak senang.
"Gua juga belum yakin, Dit. Hanya saja ... Gua yakin petunjuknya ada pada Andin," ungkap Jessy kembali.
"Mati, berarti pisah. Mati berarti pergi. Mati berarti ...."
Omongan Riko dengan segera dipatahkan Dito yang merasa enggak senang kematian Andin dibawa-bawa.
"Udah, apaan sih Lu, Ko?" ungkap Dito berang.
"Yah, Gua Cuma mencoba nebak, Dit," jelas Riko tanpa rasa bersalah.
"Berpisah, pergi, Lu benar, Ko. Kata lain yang artinya sama mungkin," ungkap Jessy dengan semangat. Lalu kembalu terdiam dengan wajah sibuk berpikir.
"Bye," ucap Riko yang merasa pusing dengan puzzle yang ada.
"Goodbye. Coba deh, Ko," ucap Jessy yang seketika menghitung huruf dengan jarinya setelah mendengar kata bye dari mulut Riko.
"Pas!" ucap Riko dengan semangat.
Layar kotak hitam mendadak kosong, tanpa suara maupun lambang aneh lainnya. Kejadian ini berhasil membuat Riko, Dito dan Jessy saling menatap dengan raut kebingungan. Kini mereka tak tahu harus melakukan apa lagi. Hanya bisa terdiam dengan wajah lelah bercampur pasrah.
Seketika bunyi kembali terdengar, "Tet, tet, tet!"
Bunyi itu membuat kotak hitam itu terbuka dan menyisakan satu tombol.
"Tekan, Ko!" seru Jessy.
"Lu, yakin? Gimana kalau ini jebakan?" ungkapnya dengan wajah meragu.
"Apapun itu, kita hadapi!" ucap Dito yang kini mulai kembali merasakan semangat dalam hatinya.
Riko mengangguk dan, "Klik!"
Seketika mereka merasa pusing dikepala. Begitu pusing hingga memaksa mereka meremas kuat rambut yang ada. Mata mereka terpejam dengan gigi yang merapat.
Perlahan rasa pusing itu menghilang dan jauh lebih tenang. Dengan tubuh yang masih terasa lelah, mereka mulai membuka mata.
Betapa kagetnya karena saat ini mereka telah berada di ruang aula dengan kondisi duduk di atas kursi yang berisi banyak tombol dan kabel yang menjalar.
Tidak hanya mereka, ada juga teman-teman sekelas mereka di sana. Namun, mereka terlihat masih tak sadarkan diri.
Dito dan Riko berusaha membuka sendiri ikatan yang ada pada tangan dan kaki mereka. Namun, seketika Riko berkata, "stt!" saat melihat wanita bergaun hitam mendekat ke arah mereka.
"Bagaimana? Ini permainan yang menyenangkan bukan? Mungkin akan semakin menarik jika permainan ini kembali dikembangkan hingga membawa kalian pada tengah hutan atau mungkin dasar lautan," jelas Wanita itu dengan senyuman sinisnya.
Dito, Riko, Jessy berpura-pura tak sadarkan diri. Mereka memejamkan mata dan membiarkan wanita itu berbincang sendiri.
"Ayolah! Saya tahu kalian tidak pingsan. Karena kalian yang mampu bertahan hingga di permainan terakhir," ucap wanita itu kembali sambil melangkah mendekati Riko.
Namun, mereka masih saja melanjutkan aktingnya untuk berpura-pura pingsan.
"Jangan bercanda," ucap wanita itu yang mencoba menyentuh dahi Riko. Namun, dengan cepat Riko menarik tangan wanita itu, membekap kuat dalam pelukannya, menahan kedua tangan wanita itu hingga ia terkunci dan tak bisa berbuat apa-apa.
"Sekarang giliran Lu yang bermain," ucap Riko dengan nada berangnya.
"Jangan main-main dengan saya. Apa kalian tidak lihat ada banyak tentara yang sedang mengawal saya?" ungkapnya dengan nada angkuh.
"Gua tidak takut. Gua mau, Lu bangunkan lagi semua teman-teman Gua. Biarin kami pulang, atau Lu Gua duduki di kursi ini juga!" ucap Riko dengan gagahnya.
Wanita itu tertawa meledek mendengar ucapan Riko.
"Apa kamu enggak tahu, siapa pencetus ide ini?" tanya wanita itu.
"Siapapun dia, Gua tidak perduli. Yang Gua mau, semua anak-anak bisa kembali ke rumahnya dengan selamat," ungkap Riko kembali.
"Apa kau yakin enggak mau tahu? Kau mengenalnya, bahkan mengenal baik sosok itu. Dan seharusnya kau juga tahu apa motivnya melakukan ini semua?" ungkap wanita itu kembali.
Riko terdiam, akalnya mulai tergerak. Keadaan ini membuat Dito dan Jessy dengan segera membantu Riko memegangi tubuh wanita itu. mereka berdua tidak mau kalau wanita itu sampai terlepas saat Riko hilang konsentrasinya.
"Katakan siapa?" tanya Riko yang dengan sengaja menekan tangan wanita itu hingga ia sedikit meringis kesakitan.
"Saudaramu, Riki."
Semua mata terbelalak mendengar ucapan wanita itu. mereka saling melempar tatap seakan tak percaya.
"Riki?" tanya Jessy kembali.
"Yah, dia yang membuat alat ini dan kami yang membiayainya. Kami membiayai ini juga bukan tanpa sebab. Semua ini karena Tuan Muda Beni," jelasnya.
Kata demi kata yang keluar semakin membuat mereka penasaran.
"Katakan! Apa maksudmu?" tanya Dito yang semakin geram.
Wanita itu pun mulai menceritakan yang terjadi. Kisah ini bermula saat mereka duduk di kelas XIII. Saat itu pertama kalinya Beni diangkat menjadi ketua kelas. Sedangkan Riki, Riko, Dito belum saling akrab. Beni yang culun dan bertubuh gemuk sering dibully teman sekelasnya. Meskipun begitu, ia tetap merasa santai karena masih awal sekolah.
Tapi, lama kelamaan bully itu makin menjadi-jadi. Saat itu Dito masih mau membelanya, begitu pula Andin, Riki dan Riko. Terkadang mereka sengaja menakuti anak-anak yang membully Beni agar mereka melepas Beni. Kadang juga Dito mau membantu Beni yang kesakitan setelah dikerjai banyak anak-anak. Beni juga sering diobati dan diajak makan bareng Andin karena tak punya teman di kantin.
Hingga tepat di kelas XV, Beni jatuh sakit namun tak ada yang melihatnya. Beni mengidap sakit kanker dan itu membuatnya bersedih tak lagi bisa bersekolah. Namun, Riki tanpa sengaja bertemu dengan Beni di sebuah apotek.
Saat itu Beni menceritakan apa yang ia rasakan. Kekecewaan Beni berbuah baik dengan ide Riki membuat program permainan. Awalnya program ini hanyalah ujian kecil berupa pelajaran. Namun, Riki berbohong dan dengan sengaja membuat ujian berat untuk memusnahkan kalian.
"Terutama kamu, Riko," ungkap Wanita itu.
"Gua?" tanyanya.
"Ya, Kamu. Saudara kembarmu merasa iri akan apa yang kau dapatkan. Sedangkan ia hanya bisa menahan kekesalan karena tak bisa memiliki program komputer terbaru. Itulah mengapa Riki mengajak Beni bekerja sama. Namun sayang, ia menipu Beni dan dengan sengaja menciptakan permainan yang berbahaya untuk memusnahkan kalian."
Ucapan wanita itu terhenti saat melihat Riki berjalan masuk ke dalam ruangan aula.
"Riki?" ucap Dito dan Jessy serentak.
"Apa benar yang dia katakan?" tanya Jessy dengan nada tak percaya.
Riki hanya tertawa puas, dengan bangganya ia berkata, "Bagaimana? Permainannya seru?"
"Apa maksud Lu, Ki?" tanya Riko yang sudah terbakar api kemarahan.
"Gua belum puas melihat kalian masih hidup!" teriaknya dengan mata berkaca-kaca.
"Lu!" teriak Riko yang dengan segera berlari mendekati Riki. Namun, sia-sia. Semua tentara telah lebih dulu menangkap dan membawa pergi Riki. Kemudian sebuah kursi roda di dorong masuk ke ruangan dengan Beni duduk di atasnya.
"Maafkan aku," ucap Beni dengan nada yang lemah.
Riko, Dito dan Jessy dengan segera berlari mendekat ke arah Beni.
"Kami yang minta maaf, Ben. Tak seharusnya kami membiarkan Lu dibully begitu saja," ungkap Dito dengan nada penuh rasa bersalah. Ia tak menyangka, sikap acuhnya akan kekecewaan Beni justru membahayakan banyak nyawa akhirnya.
Beni menggeleng, dengan mulut yang memucat ia berkata, "Tidak, aku yang salah. Terima kasih pernah menolongku, kalian teman terbaikku," ucapnya yang kemudian menunjukkan gejala sesak hingga terpaksa dibawa masuk ke dalam mobil khusus seperti ambulan untuk diberikan penanganan.
"Bagaimana sekarang? Bagaimana nasib teman-teman kami?" tanya Jessy kepada wanita itu.
"Mereka akan sadar mungkin setengah jam lagi," ungkap wanita itu yang kemudian pergi dengan anggunnya menggunakan mobil mewah yang terparkir di tengah halaman sekolah.
— Un nouveau chapitre arrive bientôt — Écrire un avis