Selamat siang. Bukankah kalian para penggemar cerita Nightmare Cinderella sungguh luar biasa? Selalu memberi saya hal yang membuat saya hampir tak percaya.
Vote dan rating tinggi dengan komentar yang sangat menghibur. Saya benar-benar bersyukur telah melangkah bersama kalian selama ini. Terimakasih atas dukungannya kalian semuanya.
Seperti biasa, part belum di revisi.
Typo bertebaran.
Dan tanda baca seoalah mati.
Happy reading.
***
Ellina melangkah menuruni tangga sebelum akhirnya sebuah klakson mobil di luar Maple Villa mmembuatnya bergegas. Saat seorang pelayan membuka pintu, Ellina telah lebih dulu melangkah keluar. Menatap Ernest yang tersenyum di dalam mobil.
"Kau datang lebih pagi?"
Ernest memiringkan kepalanya ke kiri. Memberi perintah agar Ellina masuk. "Aku harus pergi mengurus sesuatu."
Saat Ellina telah duduk di samping Ernest dan mobil melaju pelan, ia menoleh ke samping. Menatap Ernest yang fokus pada jalanan. "Berapa lama?"
"Satu minggu."
Ellina manggut-manggut dan mencibir. "Bersama Zacheo?"
Menganguk, Ernest menatap Ellina sesaat. "Ethan akan mengurusi keperluanmu. Jadi selama aku tak dapat menjemputmu, Ethan akan menggantikanku."
"Tak perlu. Aku bisa memesan taksi,"
"Tak aman." potong Ernest cepat. "Usahakan jangan pulang larut malam. Tidak, seharusnya kau tak perlu datang ke kantor selama aku tidak ada."
Ellina tertawa. Menatap Ernest lama dan terdiam dalam senyum manis. "Kau sekhawatir itu padaku?"
Ernest mengangguk lagi. "Kau pernah mengalami kejadian buruk. Dan saat ini kau tengah mengerjakan proyek penting perusahaanku. Aku hanya tak ingin kau mengghilang sebelum semuanya usai,"
Sebuah alasan yang sangat jujur membuat Ellina kian tersenyum. Itulah yang paling ia sukai dari pria di sampingnya. Tak menutupi sesuatu meski secara terang-terangan dia menunjukkan tengah memperalatnya. Memeras kinerjanya dengan semua pertukaran yang lebih dari layak. Ia tak keberatan sama sekali, ia malah akan dengan suka rela bekerja di bawah kendalinya. Menurutnya, pria di sampingnya begitu bisa di andalkan.
"Aku tak akan mengagalkan proyek ini,"
Ernest menoleh. "Kupegang janjimu."
Dalam perjalanan panjang menuju E. V. Company, telepon Ernest berdering pelan. Ellina hanya menoleh saat Ernest menjawab teleponnya.
"Bayi Kecilku, ada dimana kau sekarang?"
Suara lembut seorang wanita terdengar, Ernest refleks menjauhkan teleponnya beberapa centi untuk melihat id penelpon. Melihat itu, Ellina memasangkan sebuah earphone di telinga kanan Ernest. Membuat Ernest tersenyum berterimakasih.
"Ibu," ucap Ernest sangat lembut. "Berhenti memanggilku seperti itu, oke?"
Ellina tertawa sedikit karena mengingat hal yang telah ia dengar. "Bayi kecilku?" ulang Ellina jelas sambil terkikik geli. Membuat Ernest melotot sebal.
Sedangkan di seberang sana, Qianzy membatu saat mendengar suara wanita yang terdengar jelas. Pikirannya langsung melayang. Jadi bayi kecilku tengah bersama seorang wanita? Apakah mereka berkencan? Ah, ataukah mereka baru saja bangun setelah tidur panjang berdua?
Memikirkan itu raut wajah senang menghampiri Nyonya Besar E. V. Qianzy dengan cepat merubah suaranya menjadi kian lembut namun bermartabat.
"Tuan Muda E. V, siapa kah yang bersamamu?"
Ernest mengerutkan alisnya saat mendengar ibunya berbicara formal. Namun ia menjawab dengan patuh. "Aku bersama Ellina. Kami sedang menuju kantor,"
Mendengar itu dari suara putranya, Qianzy berjingkrak senang. Senang saat nama wanita yang ingin ia temui di sebut. Ini adalah sebuah kesempatan. Dan ia tak boleh melewatkannya. Mereka harus bertemu. Setelah berdeham sedikit, dia melanjutkan kata-katanya.
"Pulanglah, ada sesuatu hal penting yang akan Ayahmu katakan."
Ernest yang mendengar itu kian tak mengerti. "Ibu, ada masalah apa?"
"Ini perintah!"
Mendengar itu, wajah Ernest tidak bisa untuk tidak khawatir. Ia bahkan menepikan mobilnya. "Aku akan pulang,"
Setelah mendengar jawaban anaknya, Qianzy terlihat sangat senang. Ia segera menutup teleponnya lalu kembali menghubungi orang lain.
Di seberang di tempat lain, seorang pria paruh baya tengah bermain golf dengan sangat baik. Ia meraih teleponnya saat seorang pelayan menghampirinya dengan memberikan teleponnya yang berdering.
"Ada apa?" jawabnya langsung.
"Sayang, kau harus cepat pulang. Bayi kecil kita akan membawa Ellina berkunjung,"
Setelah mendengar itu, Wilton tak menjawab apa-apa namun segera menelepon supirnya. "Kita pulang sekarang,"
Di dalam mobil, Ernest menatap Ellina dengan perasaan bersalah. Membuat Ellina menaikkan satu alisnya?
"Ibumu?"
Ernest mengangguk. "Kurasa aku tak bisa mengantarmu. Zacheo akan datang menjemputmu, jadi kau--"
"Pergilah," potong Ellina cepat. "Aku bisa naik Taksi. Kau tak perlu khawatir. Lagi pula, aku harus mengunjungi mall untuk mencari beberapa Handphone dari berbagai merk,"
Mendengar itu Ernest mendengus. "Kau bisa menyuruh Ethan untuk hal itu,"
Ellina menggeleng. "Aku butuh diriku sendiri untuk terbiasa berada di tempat keramaian. Kau tahu kan? Traumaku begitu buruk. Jadi aku--"
"Baiklah. Aku menyerah. Aku akan memesankan Taksi untukmu."
Mendengar itu Ellina mengangguk. Mobil kembali berjalab pelan sebelum akhirnya berhenti di sebuah halte. Ellina turun saat Ernest membukakan pintu mobil untuknya.
"Pastikan kau baik-baik saja,"
Ellina hanya menganggukkan kepalanya.
"Kau bisa menghubungiku jika terjadi suatu masalah,"
Ellina tersenyum tipis. Ia sudah terbiasa pada perhatian Ernest yang berlebihan. "Aku lupa pada seseorang yang mengatakan bahwa ia akan pergi selama satu minggu dari kota Z,"
Mendengar itu Ernest terdiam sesaat. "Baiklah, kau bisa menghubungi Ethan jika ada sesuatu."
Ellina kembali mengangguk. "Pergilah, aku akan menunggu Taksinya di sini,"
Ernest mengangguk lalu masuk ke dalam mobil. Meninggalkan Ellina untuk pulang ke keluarganya.
Tak lama setelahnya sebuah taksi berhenti. Ellina masuk dan pergi ke Reegrand World Mall. Langkah kecilnya membawanya menyusuri mall sendirian. Ia mulai membeli beberapa Handphone dari berbagai merk. Hingga tangannya penuh dengan tas belanjaan. Saat merasa cukup, ia berpikir untuk menuju perusahaan E. V. Namun siapa yang menyangka, saat langkah baru saja keluar dari mall, ia mungkin akan bertemu dengan adiknya.
Getaran halus terlihat di wajah Lexsi saat melihat tubuh Ellina dari jauh. Ia melangkah untuk memastikan sosoknya. Gadis berkulit putih yang terlihat tengah fokus dengan barang belanjaan di tangannya itu sama sekali tak mempedulikan sekitarnya. Ia sangat yakin, meski mereka berpapasan, gadis itu tak akan sadar akan keberadaannya.
Karena itu, ia melangkah dengan pasti. Menghampiri Ellina dengan seluruh rasa yang berkecamuk di dalam hati. Ia menatap dari jauh wajah gadis itu yang menurutnya tetap cantik seperti biasanya. Tapi kali ini, di matanya, kecantikan itu tak begitu membuatnya gelap mata. Ia sangat yakin, dengan statusnya sekarang, ia akan jauh lebih cantik dari gadis itu sekarang.
Langkahnya berhenti tepat di hadapan Ellina. Ia menatap Ellina yang terlihat sibuk hingga akhirnya tubuh mereka bertubrukan. Getaran rasa benci terasa halus saat kulit gadis itu menyenggol tubuhnya dengan aroma farfum halus yang lembut.
"Ah, maaf."
Lexsi terpaku. Tak mencoba untuk menolong saat melihat isi tas belanjaan Ellina terceceran. Handphone-handphone dari berbagai merk itu berserak hingga Ellina berusaha memungutnya dengan cepat. Memasukkan kembali pada kotaknya dan tas belanjaannya. Hingga sebuah Handphone yang akan ia raih berada tepat di samping kaki putih dengan hak tinggi yang cantik.
Saat tangannya terulur hendak memungut handphone itu, kaki mulus itu bergerak menggeser Handphone hingga berada tepat di bawah hak tingginya. Sontak wajah Ellina mendongak. Tatapan mereka terkunci dalam satu pandangan lurus. Saling membenci, saling terlihat muak dan tajam. Namun senyum sinis terukir di bibir Ellina dengan manis. Ia tak menyangka pertemuan ini akan datang secepat ini.
"Oh, kau menginginkannya?" tanya Ellina dengan berdiri. "Aku akan memberikannya untukmu,"
Wajah Lexsi mengeras. Ia tak menyangka, kata-kata santai yang keluar dari bibir gadis di hadapannya dapat dengan cepat memicu rasa bencinya. "Oh, masalahnya aku tak menginginkan Handphone yang murahan."
Ellina tersenyum. Ini memang wajah asli Lexsi. Ia tak akan terkejut. "Benarkah? Kupikir kau akan memungutnya," menatap Lexsi remeh, ia melanjutkan kata-katanya. "... mengingat kau suka mengambil milik orang lain!"
Mendengar itu, Lexsi langsung lepas kendali. Amarahnya memuncak dan dengan cepat ia menampar wajah Ellina. "Aku mengambil milik orang lain? Oh, aku lupa. Bahwa kau tak lebih hanya itik buruk lupa yang bernasip malang."
Ellina tersenyum. Ia menunduk dan memegang wajahnya. Ia menyukai saat-saat ini. Dia memandang Lexsi dengan air mata dan mimik muka sudah. "Adik, apa yang kau katakan? Aku tahu, aku memang tak sebanding denganmu, tapi aku tak tahu apa salahku hingga kau menamparku?"
Entah sejak kapan, kerumunan orang itu memadat. Semua kejadian itu menjadi tontonan gratis bagi mereka. Bahkan karena wajah Lexsi yang familiar, tak sedikit dari mereka yang telah mengabadikan momen tersebut dalam video. Hanya saja, Lexsi tak menyadarinya.
Mendengar Ellina memanggilnya Adik, ia tak bisa terima. Rasa jijik muncul dengan kilatan rasa benci yang mendalam. "Aku tak pernah memiliki Kakak yang rendahan sepertimu. Aku--"
Mendengar hal buruk yang akan Lexsi katakan, Ellina tak bisa tinggal diam. Ia langsung segera memeluk erat tubuh Lexsi dan menangis. Namun dalam tangisnya, terdapat rasa sinis dan tawa kemenangan yang penuh dengan rencana busuk.
"Bukankah menjadi miskin bukan hal yang kumau?" potong Ellina membuat Lexsi bingung. "Aku tetap kakakmu. Meski aku telah di buang dari keluarga Rexton!"
Kerumunan orang itu kian ramai. Mereka mulai berbisik tentang hal yang Ellina katakan dan prilaku buruk Lexsi. Sungguh, ini adalah hal yang mengejutkan bagi mereka. Mereka selalu percaya bahwa karakter Lexsi yang lembut itu begitu sempurna dengan wajahnya yang cantik. Terlebih, Lexsi adalah artis yang selalu mendapat komentar positif. Hingga karakternya terbangun dengan sangat cantik layaknya malaikat bersayap putih.
Mendapati pelukan yang tiba-tiba, Lexsi sempat membeku. Namun rasa jijiknya begitu meluap. Hingga dengan kasar ia mendorong tubuh Ellina menjauh. Membuat Ellina terjatuh dan semua belanjaan di tangan Ellina berserak.
"Jangan memelukku! Kau sangat menjijikkan!" hardik Lexsi penuh rasa benci. "Dan jangan memanggilku Adik. Sejak kau di keluarkan dari Keluarga Rexton, kita adalah orang asing!"
Ellina tersungkur. Rambut panjangnya menutupi wajahnya yang tersenyum puas. Namun air mata itu tetap bertahan di matanya. "Oh, kau benar. Aku memang tak pantas untuk kalian," menyibakkan rambut panjangnya, ia mencoba berdiri dan menyaksikan lututnya terluka. Ia menatap mata Lexsi sedih. "Lalu, tak ada hal lagi yang bisa kulakukan untukmu."
Lexsi diam. Menatap Ellina penuh rasa remeh. Melihat Ellina begitu berantakan karena ulahnya, itu menjadi bagian hal yang menyenangkan. Ia tak menyahuti kata-kata Ellina. Ia hanya memilih menyaksikan Ellina menelepon seseorang dengan senyum sinis.
"Ethan, kirimkan mobilku ke Reegrand World Mall secepatnya,"
Ellina menutup teleponnya. Matanya menatap Lexsi teduh. "Kuharap, aku tak mengotori bajumu dengan pelukan kerinduanku."
Wajah Lexsi bergeser, ia sama sekali tak menyangka bahwa Ellina akan bersikap lembut seperti dulu. Masih saja tak membantah atau melawannya meski telah terluka. Ia menatap sekali lagi, pada kaki Ellina yang terluka. Senyum sinis terukir. "Menjijikkan!"
Mendengar kata itu berulang kali dari mulut Lexsi, tak bisa tak membuat kemarahan Ellina bangkit. Ia meraih semua Handphone yang ia beli dan memasukkan ke dalam tas belanjaannya. Sesekali, ia memperhatikan kerumunan orang yang sama sekali tak berani masuk pada pertengkarannya. Atau pada tatapan iba yang tertuju padanya. Dan pada saat yang tepat, ia mendapati sebuah kamera cctv yang begitu pas mengarah pada tempat ia berada.
Kerumunan itu kian ramai saat Ellina melangkah. Menatap Lexsi dalam dan tersenyum. "Adikku, aku--"
"Maaf, dengan jasa pengantar mobil, kami dikirim dari E. V. Company, untuk menyerahkan kunci mobil pada Nona Ellina E. V."
Sebuah intruksi padat yang memotong kata-kata Ellina cukup membuat semua perhatian teralih. Lexsi pun menoleh dan mendapati salah satu pegawai yang tengah mengulurkan sebuah kunci mobil pada Ellina. Melihat itu, Ellina meraih kunci itu dan tersenyum. Membuka dompetnya dan memberikan uang tips yang tak sedikit. Yang membuat semua mata teralihkan dengan hal yang Ellina lakukan.
"Ambil saja kembaliannya. Terimakasih karena telah mengantarkan mobilku, semoga harimu menyenangkan." Ellina menunduk sopab hingga membuat pegawai itu terharu dan berkali-kali mengucapkan terimakasih.
Lexsi yang melihat itu sangat muak. Ia hanya terdiam saat Ellina seakan lupa akan kehadirannya dan masalah yang baru saja terjadi. Gadis itu melenggang dengan tas belanjaannya dan merapikan rambutnya asal dengan jarinya. Kerumunan itu terbelah memberi jalan untuk Ellina lewat. Dan akhirnya,
"Wah, itu mobilnya?"
"Dengan kecantikan dan kedermawanan seperti itu, Lexsi mengatakan gadis itu miskin?"
"Apakah keluarga Rexton buta? Dikelas seperti apa keluarga Rexton berada hingga tak menganggapnya?"
"Menjijikkan? Apakah kata-kata itu lelucon?"
"Bukankah artis itu bertindak sangat tak bermoral?"
"Oh, aku pasti sudah buta karena mengidolakannya!"
Bagai tersadar, Lexsi menatap sosok Ellina yang memasuki sebuah mobil sport terbaru. Matanya tak berkedip saat sosok cantik itu memasuki mobil dan membawa mobil itu pergi. Meninggalkan rasa tak percaya lalu kenyataan terburuk membuatnya terpaku! Ia di depan umum! Dan semua mata menatapnya penuh remeh dan kebencian! Hal yang ia lupakan adalah, ia seorang artis Rank A dengan image lembut yang sangat baik. Dan kini, mungkin manajernya akan mulai pusing.
***
Commentaire de paragraphe
La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.
De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.
OK