Reyna berdiri tegak, liontin di tangannya memancarkan cahaya yang semakin terang, seolah menantang naga kegelapan yang mengintimidasi mereka. Kuil kuno itu kini dipenuhi dengan gemuruh dan kilauan cahaya, menciptakan suasana yang tegang. Naga itu melangkah mundur, menggeram rendah. Sisik gelapnya memantulkan cahaya liontin, seperti saling menolak.
Lian, yang masih memegang pedang di tangannya, memandang ke arah Reyna dengan keterkejutan sekaligus kekaguman. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan suara parau, sulit percaya pada apa yang dilihatnya.
Reyna menoleh sekilas ke arahnya, matanya yang kini bercahaya menyampaikan ketenangan yang belum pernah Lian lihat sebelumnya. "Aku percaya pada cinta, Lian. Itulah satu-satunya yang bisa melawan kegelapan ini."
Naga itu mengaum lagi, kali ini lebih keras, seolah mencoba mengusir keberanian Reyna. Namun, ia tetap berdiri tegak, tak goyah oleh ancaman itu. Cahaya liontin semakin menyebar, membentuk lingkaran pelindung di sekitar mereka berdua.
"Dia takut pada cahaya itu," gumam Lian, mulai memahami situasinya.
Reyna mengangguk pelan. "Ini bukan hanya tentang cahaya. Ini tentang apa yang mewakili—harapan, keberanian, dan cinta sejati."
Namun, naga itu bukanlah musuh yang mudah dikalahkan. Ia mengepakkan sayapnya dengan keras, menciptakan angin badai yang membuat lantai kuil berguncang. Batu-batu besar jatuh dari langit-langit, mengancam keselamatan mereka.
Lian segera menarik Reyna ke samping, melindunginya dari puing-puing yang runtuh. "Kalau kau punya rencana, lakukan sekarang!" serunya.
Reyna menutup matanya, mencoba merasakan kekuatan yang mengalir dari liontin itu. Ia teringat pada kata-kata Master Eldrin: "Ketika kau benar-benar memahami makna cinta, kekuatan itu akan menjadi milikmu."
Namun, apa sebenarnya makna cinta sejati? Apakah itu hanya tentang keluarganya, atau apakah itu melibatkan sesuatu yang lebih besar? Matanya terbuka perlahan, tatapannya kini penuh keyakinan.
"Lian," panggil Reyna dengan suara tenang tapi tegas. "Kau harus mempercayaiku. Aku tahu apa yang harus dilakukan."
Tanpa menunggu jawaban, Reyna melangkah maju, menghadapi naga itu secara langsung. Lian mencoba menahannya, tapi sesuatu di dalam dirinya memutuskan untuk membiarkan Reyna mengambil alih.
Naga itu mendekat, matanya penuh kebencian. Namun, sebelum ia bisa menyerang, Reyna mengangkat liontin itu tinggi-tinggi. Cahaya yang memancar dari liontin itu berubah menjadi pancaran energi yang melingkupi tubuh Reyna.
"Aku tidak akan membiarkan kegelapan menang," bisik Reyna, suaranya bergetar dengan emosi.
Liontin itu mulai berdenyut, menciptakan gelombang cahaya yang semakin besar. Reyna merasa energi itu mengalir melalui tubuhnya, memenuhi setiap sel dengan keberanian dan cinta. Ia tahu, inilah kekuatan naga Sejuta Cinta.
Naga itu mengaum sekali lagi, kali ini dengan rasa takut yang jelas. Ia mencoba mundur, tapi cahayanya sudah terlalu kuat. Sisik gelapnya mulai retak, seperti es yang pecah di bawah terik matahari.
Lian hanya bisa menyaksikan dengan takjub saat Reyna maju terus, tak gentar oleh kekuatan naga itu. "Apa yang terjadi?!" serunya, setengah bertanya pada dirinya sendiri.
Reyna tidak menjawab. Sebaliknya, ia berbicara pada naga itu. "Aku tahu rasa sakitmu," katanya, suaranya lembut namun penuh wibawa. "Kegelapan yang ada dalam dirimu adalah hasil dari rasa kehilangan dan kebencian. Tapi itu tidak harus menjadi takdirmu."
Naga itu berhenti menggeram, seolah kata-kata Reyna telah menembus hatinya. Mata emasnya yang sebelumnya penuh kebencian kini tampak dipenuhi oleh sesuatu yang lain—keraguan, atau mungkin harapan.
Cahaya dari liontin itu kini membungkus seluruh tubuh naga, menghapus sisik gelapnya sedikit demi sedikit. Naga itu mengeluarkan raungan terakhir, tapi kali ini bukan raungan kemarahan, melainkan rasa lega.
Tubuhnya mulai memudar, berubah menjadi percikan cahaya yang mengalir ke dalam liontin Reyna. Dalam sekejap, naga kegelapan itu menghilang sepenuhnya, meninggalkan keheningan yang berat.
Lian melangkah maju, masih sulit percaya pada apa yang baru saja terjadi. "Apa... apa itu tadi?"
Reyna menoleh padanya, senyuman kecil di wajahnya. "Dia kembali ke tempatnya seharusnya—sebagai bagian dari naga Sejuta Cinta."
Keduanya berdiri di sana dalam keheningan, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka alami. Reyna akhirnya menyimpan liontinnya, yang kini terasa lebih hangat di tangannya.
"Kita berhasil," kata Reyna dengan suara pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Namun, Lian tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. "Ini belum selesai. Kita mungkin telah mengalahkan naga ini, tapi aku yakin masih ada lebih banyak tantangan yang menunggu."
Reyna mengangguk. "Aku tahu. Tapi setidaknya, kita telah membuktikan bahwa cinta dan harapan bisa melawan kegelapan apa pun."
Dengan hati yang sedikit lebih ringan, mereka berdua keluar dari kuil, meninggalkan reruntuhan di belakang. Namun, di kejauhan, bayangan baru mulai muncul, menandakan bahwa pertempuran mereka belum benar-benar selesai.
Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang terbakar setelah pertempuran hebat. Reyna dan Lian berdiri di puncak bukit yang menghadap ke lembah, di mana jejak-jejak kehancuran perlahan memudar, tergantikan oleh cahaya matahari yang menyapu bumi.
Liontin di tangan Reyna kini bersinar lembut, bukan lagi dengan kekuatan menyilaukan, tetapi dengan kehangatan yang menenangkan. Cahaya itu terasa hidup, seolah berbicara langsung ke hati mereka, mengingatkan pada semua perjuangan yang telah mereka lalui.
"Kita sudah sampai di akhir," kata Reyna, matanya memandang jauh ke cakrawala.
Lian mendekat, meletakkan tangan di bahunya. "Tapi akhir ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Dunia ini punya kesempatan kedua, berkat keberanianmu."
Reyna tersenyum kecil. "Keberanian kita," ia memperbaiki. "Kita semua memiliki peran dalam membawa harapan ini."
Mereka berdua memandang sekeliling. Para pejuang yang selamat mulai keluar dari persembunyian, wajah mereka menampakkan campuran antara keletihan dan kelegaan. Beberapa dari mereka tersenyum, sementara yang lain hanya berdiri diam, menyadari bahwa mereka telah memenangkan pertempuran melawan kegelapan.
Namun, hati Reyna tidak sepenuhnya lega. Ia masih merasakan bayangan masa lalu, kenangan akan mereka yang telah berkorban agar kemenangan ini tercapai. Master Eldrin, yang memberikan nyawanya untuk menyegel sebagian kekuatan naga kegelapan; para penduduk desa yang berdiri di garis depan; dan bahkan musuh yang akhirnya memilih jalan pengorbanan untuk sesuatu yang lebih besar.
"Kita harus membangun kembali segalanya," kata Reyna pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam desir angin.
Lian mengangguk. "Dan kita akan melakukannya. Dengan harapan dan tekad yang sama, kita bisa menciptakan dunia yang lebih baik."
Mereka berdua melangkah menuruni bukit, menyatu dengan para pejuang lainnya. Setiap langkah terasa seperti simbol kebangkitan, meninggalkan kegelapan untuk berjalan menuju cahaya.
Di tengah perjalanan, seorang gadis kecil menghampiri Reyna, matanya besar dan penuh rasa ingin tahu. Gadis itu memegang bunga kecil yang layu di tangannya. "Apakah ini akan tumbuh lagi, kak?" tanyanya polos.
Reyna berlutut, tersenyum hangat. Ia memegang tangan kecil gadis itu, kemudian memandang bunga layu tersebut. Liontin di lehernya bersinar lembut, dan dalam sekejap, bunga itu hidup kembali, kelopaknya terbuka dengan warna merah muda yang cerah.
"Segala sesuatu bisa tumbuh kembali," jawab Reyna, "jika kita memberinya cinta dan harapan."
Gadis itu tersenyum lebar, kemudian berlari kembali ke keluarganya dengan bunga di tangan. Reyna berdiri, hatinya terasa lebih ringan.
"Kau tahu, kau memang seperti cahaya bagi mereka," komentar Lian sambil menyeringai.
Reyna mendengus pelan. "Dan kau adalah bayangan yang terus mengingatkan bahwa aku tak bisa melakukannya sendiri."
Lian tertawa, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tawa itu terasa murni dan bebas dari beban.
Ketika malam tiba, mereka semua berkumpul di sekitar api unggun besar, merayakan kemenangan. Lagu-lagu lama dinyanyikan, cerita-cerita tentang keberanian dan pengorbanan diceritakan kembali, dan suasana penuh dengan rasa syukur.
Reyna berdiri agak jauh dari keramaian, memandang ke langit yang dipenuhi bintang. Ia merasa ada kehadiran yang familiar, seperti pelukan hangat dari mereka yang telah tiada.
"Kau pasti bangga, Master," bisiknya, mata berkaca-kaca. "Kami telah melanjutkan cahaya yang kau percayakan kepada kami."
Di atas langit, bintang-bintang bersinar lebih terang, seolah mengamini kata-katanya.
Terima kasih telah mengikuti perjalanan Reyna dan Lian hingga akhir cerita ini. Novel ini adalah pengingat bahwa dalam kegelapan, cahaya harapan dan cinta selalu ada. Semoga kisah ini membawa inspirasi dan kehangatan ke dalam hati Anda. Sampai jumpa di petualangan berikutnya!
— La fin — Écrire un avis