Aku mendapat pesan notifikasi dari gawai yang aku taruh di dalam saku celanaku. Aku membukanya dan berisi sebuah email dari perusahaan minimarket tempat aku bekerja. Email tersebut berisi informasi mengenai gajiku dalam sebulan ini, di dalamnya tertulis totalnya 1,5 juta yang mana seharusnya 2 juta, dikarenakan adannya minus penjualan dan potongan lain akibat kehilangan barang di gudang, mereka memotong gajiku sebesar 500 ribu.
Berat hatiku menerimanya namun apalah daya aku hanyalah seorang pegawai biasa, jika saja, ada tambahan karyawan dan kami memiliki waktu istirahat yang cukup tidak ada pencurian barang ataupun salah perhitungan yang luput dari pengawasan kami. Sudah berapa kali Kepala Toko mengeluhkan pada atasan untuk menambah karyawan namun hasilnya tidak ada.
Cukup aku sadari bahwa minusnya hasil penjualan juga bukan sepenuhnya salah kami. Kami hanyalah manusia biasa yang mencoba bertahan hidup, setelah tenaga kami terkuras, menyuruh kami lembur, lalu bangun pagi-pagi untuk memulai rutinitas yang sama, dan setelah kami melakukan beberapa kesalahan kalian menyebut kami kurang kompeten? bodoh atau seenaknya memotong gaji kami.
Pantas saja Karl Marx menciptakan teori sosial, menurutku tidak salah berkhayal seperti itu, yang salah itu jika posisi seseorang terancam.
Seorang konsumen memasuki toko, disambut dengan kalimat datar dengan nada yang selalu sama. "Selamat datang di sundamaret." Ucap gadis itu dengan senyuman template yang selalu konsisten. Dia adalah rekan kerjaku Stella, rambutnya hitam sebahu, tingginya sekitar 165 sentimeter, berdiri di depan pintu masuk menyambut orang-orang yang datang ke minimarket. Tak jarang orang-orang memberinya senyum karena parasnya yang imut.
Sejumlah orang datang kearahku yang seorang kasir untuk membayar tagihan setelah mereka mendapat apa yang ingin mereka beli.
Tit... Tit... Bunyi scanner
"Totalnya seratus dua puluh ribu rupiah, sekalian pulsanya Pak? Atau barangkali rokoknya lagi ada promo." Ucapku sembari aku memasukan produk kedalam kantong plastik yang nantinya akan kuserahkan kepada konsumen yang berdiri didepanku setelah dia membayar total tagihan yang aku sebutkan. Dia adalah seorang pria dewasa memakai kemeja pendek berwarna hitam dengan kumis tipis dan rambutnya yang klimis.
"Tidak, terimakasih." Balasnya lalu pergi meninggalkan toko.
Stella bergerak fleksibel saat kondisi toko sedang tidak ada pelanggan, dia mulai menyusun produk-produk di etalase toko sekaligus mengecek harga yang tertera pada etalase toko, karena biasanya harga yang tertera tidak sesuai dengan harga yang seringkali berubah-ubah dari pusatnya, saya sering mendapat omelan pelanggan jika Stella tidak sering mengeceknya.
Di sela-sela kesibukan saat pelanggan berbondong-bondong memasuki toko Stella kerepotan untuk menentukan tugasnya; antara menata produk di etalase atau melayani pelanggan, pelanggan mondar-mandir mencari sesuatu namun tampaknya itu tidak menjadi masalah karena mereka tidak keberatan untuk mencari kebutuhannya sendiri.
"Willy!!!" Teriak seorang pria memanggil namaku. Dia adalah Chief Gio, seorang kepala toko, karena kurangnya tenaga kerja dia sering membantu kami meskipun tidak sebanyak yang kami lakukan, dia juga sering marah kepadaku dan juga Stella.
"Willy jangan diem aja bego! cepat bantu pindahin barang!" Emosiku seperti roller coaster saat bekerja sebagai kasir di tempat ini, seringkali karena umpatan yang tidak masuk akal lagian tidak ada seorangpun yang 'diem' bahkan jika itu pengangguran, orang genius seperti Newton saja pikirannya selalu berlayar saat beliau bermalas-malasan di bawah pohon.
"Baik Pak, segera kesana," ucapku lalu bergegas mengikuti perkataannya, aku melihat kearah Stella, "Stella, tolong jaga kasir sebentar." Stella masih sibuk menata barang, yah, mau bagaimana lagi karyawannya cuma ada dua.
"Baik senior!" Balasnya dengan memberi hormat. Sudah kubilang kepadanya untuk tidak memanggilku senior, aku tidak suka mendengarnya karena itu terlalu formal. Dia selalu saja menyebutku senior untuk bersenang-senang karena tahu aku tidak menyukainya.
Aku memindahkan barang yang datang dengan truck box menggotongnya secara manual untuk kemudian menatanya dengan rapih pada etalase toko atau display. Chief Gio pria tengil berbadan mungil itu terlihat gemas ingin kuelus ginjal dan paru-parunya selalu saja memelototi diriku dengan tatapan yang membuatku risih.
Begitulah tugas kami berdua, hanya berdua saja tanpa pergantian shift dari pukul 07:30 sampai 21:00 malam. Tubuh, pikiran serta emosi kami diperas habis sepanjang hari.
Saat hari menjelang malam biasanya kondisi toko mulai sepi, disaat itulah kami mulai beristirahat berdua dengan Stella menyantap makanan cepat saji secara bergiliran karena tidak menutup kemungkinan akan adanya pelanggan sehingga kasir harus ada yang jaga.
Tibalah saat kami menutup toko, kedua karyawan melankolis keluar dari jeruji besi dengan cambuk yang berbentuk nasi.
Chief edan itu selalu pulang lebih dulu dari kami empat jam lebih awal.
Aku menyalakan mesin motorku yang tidak dapat di stater menggunakan engkol manual, lalu aku melihat Stella yang berdiri mengawasi smartphone nya yang sedang menunggu jemputan dari ayahnya. Stella adalah gadis yang tangguh, umurnya sekitar 20 Tahun, satu tahun lebih muda dariku, disiplin dalam bekerja atau mungkin juga karena dia masih baru beberapa bulan bekerja sehingga terlalu antusias.
"Stella, mau kuantar sampai rumah?" Aku menawarkannya tumpangan gratis sebagai bentuk iba untuk rekanku yang imut itu, aku tidak pernah menganggapnya junior.
"Ah nggak usah will, nanti ngerepotin kamu." Anak itu mencoba berdikari dengan bahu loyo dan matanya yang terlihat lelah.
"Enggak lla, ayolah ini sudah jam sembilan malam," Aku mencoba membujuknya sembari mendorong engkol berkali-kali pada mesin tua yang tidak mau menyala dan kemudian aku terpikir tentang ceritanya yang sering mendengar suara-suara di malam hari saat berada di dalam rumahnya, "Kamu nggak takut sama sesuatu di balik pohon beringin itu." Ucapku dengan nada pelan yang terkesan serius, memang kuakui pohon itu cukup menakutkan jika dipandang terlalu lama.
"Salahmu sendiri kamu yang minta!" Stella menatap pohon itu lalu kemudian terbirit ke arahku.
Aku mengantarnya sampai rumah, di belakang rumahnya ada kebun gelap yang cukup sah dijadikan tempat syuting film horor, dengan lampu di jalan yang berkelap-kelip hampir padam karena korslet atau apa. Rumahnya lumayan besar dihiasi pagar dan berbagai tanaman hias di depan halaman. Di pinggir jalan depan rumahnya ada sawah yang membentang luas dari situ cakrawala terlihat megah berhiaskan bintang pada malam hari, aku menyukai itu.
Saat aku ingin mengucapkan sepatah kata perpisahan Stella juga ingin mengucapkan sesuatu membenturkan percakapan hingga kami berdua berhenti sejenak lalu tertawa.
Akhirnya aku yang berkata duluan bilang padanya, "Sampai jumpa besok." Stella tersenyum berkata, "Iya willy, makasih ya sudah mengantarku pulang, hati-hati di jalan ya." Tuturnya dengan lembut lalu membalikan badan, dari belakang lehernya terlihat bersih dengan kulitnya yang putih, rambut pendeknya membuat itu terpampang jelas.
Lingkungan tempat tinggal yang sepi dan gelap membuat Stella perlahan meningkatkan kecepatan mengingat dia anak yang penakut terlepas dari megahnya langit di malam itu.
Aku menjahilinya untuk sedikit melepas penat.
"Stella!" dia menengok ke arahku, "Ada kepala mengintip di atap rumah mu." celoteh ku sambil menunjuk ke atap rumahnya.
Stella berteriak dan berlari semakin kencang!
Aku mendorong enkol dengan kaki ku untuk menyalakan mesin diiringi tawa melihat tingkahnya yang lugu itu. Mesin motor mulai menyala saatnya aku pulang ke rumah.
Aku melaju dengan kecepatan yang santai, sengaja kulakukan untuk menikmati malam penuh bintang. Malam yang hening dengan pengendara lain yang melewatiku, melesat dengan berbagai tujuan di kepalanya begitupun denganku.
Saat ditengah perjalanan kadang-kadang... Motor ku mogok!
Ini adalah sesuatu yang sering terjadi, aku tidak tahu mengenai mesin, itu bukan keahlianku, sudah tidak terhitung aku bolak-balik ke bengkel, yahh mau bagaimana lagi, ini cuma Astrea! motor klasik bekas ayahku.
Saat hal itu terjadi, terpaksa aku mendorongnya sampai ke stasiun. Jaraknya lumayan sekitar 40-kilometer dari rumah. Tidak ada yang dapat kulakukan selain melakukan, beberapa pengendara melihat kearahku kemudian melengos bersiul-siul.
Aku berteriak dalam hati, siapa juga yang mengharapkan bantuan kalian!
Setibanya di stasiun Mrt, aku menitipkannya pada tukang parkir dan menaruhnya di tempat parkir. Aku ragu bila ada maling yang mau mengambil rongsokan ini!
Malangnya aku, kenapa pagi itu aku ingin naik motor, bukan, rongsokan maksudku, sial!
Mungkin karena pagi itu 'Dia' tidak lewat depan rumah ku...
Mungkin karena aku bangun terlalu siang...
Atau dia lewat jalan lain...
Aku melaju dengan kereta, disamping penumpang yang duduk dengan wajah lelah, aku merasa lega karena berada di dalamnya menjadi bagian dari kelompok orang-orang lelah yang kemudian bangun pagi dengan cerah dan mengantuk di dalam kereta.
Satu hal yang kupikirkan untuk tetap terjaga; hari ini sudah cukup sial, aku tidak boleh ketiduran di kereta lalu terbangun di tempat sial! yang jauh dari rumah.
Sialan!