"Sepertinya, pengasuh Hana akan datang terlambat. Dia sudah menangis dari tadi. Ia tampak sangat lapar. Aku tidak tega membiarkannya. Sayang, aku kasihan padanya. Bolehkah aku memberinya ASI susulan?" ujar ibu Rey, kala melihat Hana yang tak kunjung berhenti menangis.
Saat itu, Hana masih bayi. Ia tak kunjung berhenti menyudahi jeritan tangisnya. Para perawat berusaha untuk menenangkannya, dengan cara menggendong, serta mengayun Hana. Akan tetapi, Hana terus menangis.
Ibu Rey yang bernama Rini, saat itu bisa langsung tahu, karena ia juga memiliki insting sebagai seorang Ibu. Sebagai seorang Ibu yang memiliki bayi seumuran anak kemarin sore, tentu saja semua nampak sangat jelas. Hana menangis karna suatu alasan, yaitu karena dia lapar.
Ibu pengganti yang menyusui Hana, kala itu diberi jadwal tertentu. Ibu pengganti itu hanya datang ketika pagi, sekitar jam 09.00. WIB, lalu pulang ke rumahnya kembali. Kemudian, ia datang lagi ketika pukul 16.00.WIB. Kontrak yang dibuat olehnya dengan orangtua Hana, hanya mewajibkannya untuk memberi ASI kepada Hana 2 kali dalam sehari, dengan bayaran 20 juta rupiah per hari yang ditransfer lewat rekeningnya.
Seorang Ibu pengganti tetaplah seorang Ibu. Meski ia telah rela memberikan ASI nya kepada anak orang lain, ia tetaplah lebih mementingkan anaknya sendiri. Ia tak bisa terus berada di sisi Hana setiap kali Hana mulai merasa lapar sewaktu-waktu. Itulah yang membuat Rini, ibu Rey selalu prihatin terhadap Hana, setiap kali Hana menangis karena kelaparan.
Ia ingin membagikan ASI miliknya kepada Hana. Akan tetapi, suaminya yang tak lain adalah ayah Rey melarangnya secara mentah-mentah.
"Tidak bisa. Aku tahu kau merasa kasihan kepada anak temanku. Aku pun merasa prihatin kepadanya. Sayang, tapi kita tetap tidak bisa memberikannya kepada Hana," larang ayah Rey.
Rini merasa heran dengan larangan yang dicetuskan oleh suaminya. Ia penasaran dan langsung berinisiatif untuk menanyakannya.
"Kenapa? Kenapa aku tidak bisa membaginya? Seperti yang kau katakan, dia adalah anak temanmu. Tidak bisakah kita membantunya? Aku tidak tega jika harus melihatnya menangis dan terus menjerit setiap hari, karena ia sangat kelaparan. Dia masih bayi, dia butuh ASI lebih banyak dari yang kita pikirkan," ujar ibu Rey.
Ayah Rey menghela nafasnya. "Kita tidak bisa memberikannya, karena suatu hari nanti, dia akan menjadi pengantin Rey," cetusnya.
"Pengantin Rey? Maksudnya ... ." Ibu Rey sengaja menggantung ucapannya.
"Benar. Jika mereka sudah besar, mereka harus menikah. Maka dari itu, kita tidak bisa membuat Hana berbagi ASI yang sama dengan Rey. Jika begitu, mereka hanya akan bisa menjadi saudara, bukan menjadi pasangan," jelas ayah Rey.
Ibu Rey tertegun saat mendengar pernyataan dari suaminya. Dari lubuk hatinya yang terdalam, ia masih tidak mengerti dengan segala sesuatu yang saat ini ia hadapi.
Apakah merencanakan masa depan lebih baik, daripada memberi belas asih kepada seorang anak?
Ibu Rey hanya bisa bertanya-tanya di dalam hatinya, tanpa bisa mencurahkan keluh kesahnya kepada suaminya. Ia paham betul dengan rencana suaminya. Akan tetapi, ia merasa bahwa semuanya hanyalah absurd, ataupun abstrak, dan belum bisa dipastikan. Namun, ia hanya bisa terhening. Ia tidak pernah bisa melarang suaminya, karena ia sangat percaya padanya. Ia percaya bahwa setiap pilihan yang dibuat suaminya adalah benar.
Ibu Rey hanya bisa menelan salivanya, sembari melirik Hana yang tak kunjung berhenti menangis dalam peluk buaian salah seorang perawat. Ia yang merasa tidak tega pun turut bersedih dan hampir menangis. Namun, ia beruasaha menahan airmatanya agar tak pecah membanjiri kedua pipinya. Ia telah menjadi seorang Ibu, ia harus menjadi lebih tegar.
"Iya, halo. Baiklah, saya akan segera ke sana," ucap ayah Rey yang sedang mengobrol lewat telephon. "Sayang, sepertinya aku harus pergi lagi. Ada urusan mendesak di perusahaan. Kau juga harus istirahat yang cukup, sebelum merawat anak kita. Kalau begitu, aku pamit dulu," ujarnya.
Ayah Rey mencium kening ibu Rey, sebelum ia berlalu pergi meninggalkannya. Tak lupa pula, ia membelai wajah putranya yang tak lain adalah Rey, sebelum ia berlalu pergi.
***
"Hana?" panggil Ranti, bibi Hana.
"Iya, Bi. Hana sudah siap," balas Hana.
"Hana sepertinya sangat bersemangat. Tidak sabar pulang ke rumah ya?" tanyanya.
Hana mengangguk pelan sembari menampilkan senyum kecilnya. "Tentu saja. Rumah sakit tidak enak. Sangat membosankan," ketus Hana.
"Yaudah, ayo kita pulang," ajak Ranti.
Hana sudah bisa dipulangkan, setelah sehari ia siuman dari koma. Bersama dengan bibi nya yang selalu menjaganya setiap hari, ia pulang ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, tidak perlu ditanyakan bagaimana suasananya. Seperti biasa, rumah bak istana yang ditempati putri seperti Hana, selalu sunyi senyap. Sudah pasti tidak akan ada yang menghuni rumahnya, selain para pelayan dan tukang kebun. Berharap ibu dan ayahnya menyambutnya, semua hanyalah halusinasi yang diciptakan oleh alam bawah sadar Hana sendiri.
Hana menggenggam ujung jari bibi nya dengan erat. Lalu, ia mendongakkan kepalanya, menatap wajah bibi nya yang juga menatap wajah Hana yang lebih pendek darinya.
"Bi, apa Ayah dan Mama di kantor? Apa mereka masih sangat sibuk?" tanyanya. "Tapi Hana kan sudah pulang," ucapnya.
Ranti tertegun, tak bisa berkata-kata dengan banyak rasa. Ia bingung harus menjawab bagaimana dan cara seperti apa. Ia mulai melepaskan cengkraman tangan Hana, lalu menurunkan tubuhnya. Ia berjongkok di hadapan Hana.
Kedua lengan Ranti mengelus kedua bahu Hana sembari berkata kepadanya, "Hana tidak perlu memikirkan mereka. Mereka memang sangat sibuk. Tapi jangan khawatir, Bibi ada di sini," ucapnya.
Hana hanya menatap wajah Ranti dengan tatapan datar, tanpa mengatakan satu patah kata pun. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara telephonnya berdering.
Ranti buru-buru merogoh saku jaketnya. Lalu mengangkat telephonnya. "Halo? iya, saya Ranti. Benarkah?!!" ucapnya histeris. Ia terlonjak kaget dan reflek bangkit dengan tubuh tegap. "Baik, baik. Segera. Siap!!!" serunya, kemudian telephon dari seberang lebih dulu ditutup, sebelum ia mulai menutupnya.
Hana penasaran dengan apa yang tengah terjadi dan siapa yang tengah menelephon Ranti. Sebeleum ia sempat menanyakannya, Ranti lebih dulu mengungkap kepada Hana.
"Ada ap —" Ucapan Hana dipotong, sebelum ia berhasil menyelesaikannya.
"Hana, Bibi berhasil," ungkapnya. Ranti terlihat sangat bahagia. Matanya berbibar, menjelaskan betapa bahagianya ia kala itu.
"Berhasil apa?" Hana bertanya dengan polos.
"Bibi lolos ujian kepolisian. Bibi diterima!!! Sebentar lagi, Bibi akan jadi polwan," cetusnya.
"Wah! Benarkah? Selamat ya, Bibi." Hana ikut bahagia mendengarnya. Ia memberi selamat dengan tulus kepada Ranti.
"Uwuu... makasih sayang kecilku. Bibi seneng banget deh kali ini. Nggak tau lagi bagaimana mengekspresikannya. Pokoknya terimakasih. Kalau begitu, Bibi harus pergi sekarang juga. Ada sesuatu yang harus Bibi urus," ujarnya. Ranti terhening, sebelum melanjutkan perkataanya. "Hana, maaf ya. Sepertinya, Bibi tidak bisa menemani Hana kali ini. Hana bisa sendiri kan?" Ia merasa tidak enak.
Hana menggeleng-gelengkan pelan kepalanya. "Aku susah terbiasa. Aku bisa melakukan semuanya sendiri. Lagian, aku sama sekali tidak terluka. Bibi harus cepat pergi. Urusan Bibi lebih penting," ucapnya.
"Kalau begitu, Bibi pergi dulu."