Manhattan
Bis
"Gretta," bisik si pelanggan lirih, sehingga Gretta yang awalnya melihat lurus ke depan menoleh ke arahnya.
"Hum?" Gretta menatap si pelanggan ini sekaan bertanya, kemudian mengernyit saat melihat ekspresi yang ditampilkan oleh pria di sampingnya.
"Di samping jendela ada bayangan," lanjut si pelanggan dan Gretta yang mendengarnya menegang, sebelum akhirnya menjerit takut dan refleks memeluk si pelanggan yang terdiam kaku.
Kyaaa!
Grep!
Eh!?
Gretta memekik takut dan bergerak heboh di pelukan si pelanggan, sedangkan si pelanggan ini terdiam dengan jantung yang kembali berdebar hebat.
"Huee…, hantu, di mana hantu!"
Ah!
Seketika kesadaran si pelanggan ini kembali dan melihat apa yang terjadi dengan tawa yang tiba-tiba saja menyembur. Hingga Gretta yang masih memejamkan mata dan bergerak heboh seketika terdiam, ia juga segera melepas pelukannya kemudian memukuli si pelanggan yang semakin tertawa ngakak.
Ha-ha-ha…
"Hei! Kamu menipu aku ya? Katakan, dasar pembohong!"
Gretta dengan rasa kesal memukuli lengan si pelanggan yang tertawa ini semakin bar-bar. Sungguh, ia sudah takut jika hantu itu benaran ada dan ternyata di sampingnya.
Ia sampai jantungan, namun resehnya si pelanggan tanpa nama ini enak-enakkan menertawai reaksinya.
Menyebalkan, pikir Gretta kesal.
Tawa masih mengalun bebas, si pelanggan ini sungguh tidak tahu jika mengejai seseorang bisa sesenang ini. Pasalnya, ia pun baru ini dekat dengan seorang wanita dalam artian dan bahkan sampai mengejai seorang sampai seperti ini.
Gretta akhirnya berhenti dari pukulannya, membuang wajah dengan tangan bersedekap dada "Reseh, biar saja kalau kamu memesan kopi akan kuberi sianida. Ingat itu."
"Astaga…, jahat sekali. Lagian siapa yang bilang hantu," dengkusnya.
"Kami bilang ada bayangan dan kamu pun jahat. Aku hampir jantungan, asal kamu tahu," sembur Gretta melotot tajam ke arah si pelanggan yang kembali tergelak kecil.
"Cantik-cantik kok jahat-
"Ah! Kamu mengakuiku cantik. Ha-ha-ha…, huh! Aku memang cantik," sela Gretta tertawa senang seraya mengibaskan rambutnya bak ratu kecantikan.
Ia bahkan lupa, sedang sebal dengan si pelanggan tak bernama.
Si pelanggan ini diam-diam merutuki mulutnya yang asal ceplos. Bagaimana bisa ia memuji wanita dengan terang-terangan, terlebih bisa dekat seperti ini tanpa ada canggung sama sekali.
"Iya kamu cantik, kalau dilihat dari ujung jauh di sana. Pede sekali si Nona," cibirnya sarkas.
"Ck, ngeles aja bisa saja. sudah diucapkan, tidak boleh ditelan lagi," sahut Gretta sambil memasang wajah meledek ke arah si pelanggan.
Keduanya saling beradu argument, hingga akhirnya halte di mana Gretta turun pun sampai. Bis berhenti dan si pelanggan ini berdiri, dengan Gretta yang memunggunginya berjalan menuju pintu berada.
"Hei! Gretta!" panggil si pelanggan, hingga Gretta pun menoleh namun hanya wajahnya.
"Apa?"
"Namaku-
"Nona! Bisa cepat turun? Jam kerja saya sudah hampir habis!"
"Ah! Baik, maaf menganggu," sahut Gretta kemudian meninggalkan si pelanggan setelah mengatakan sampai jumpa "Besok ketemu lagi, sampai jumpa!"
Dan pintu pun tertutup, meninggalkan si pelanggan yang hanya mampu terdiam. Tapi, dengan cepat si pelanggan ini melihat jendela dan menemukan Gretta berjalan bersama seorang laki-laki, yang menyampirkan sebuah coat di bahu itu.
Tangannya mengepal kesal, sedangkan hatinya tidak terima saat melihat seorang pria juga perhatian dengan Gretta yang diam-diam menempati sudut hatinya.
"Bahkan nama pun kamu tidak tahu," lirihnya miris.
Skip
Ke esokan harinya…
Gretta duduk di depan cermin rias kamarnya dengan wajah sayu, mengingat kejadian semalam saat ia sampai di rumahnya.
Ia tidak menyangka jika nenek dan ibunya masih menunggunya di ruang tamu. Awalnya, ia mengira mereka mengkhawatirkannya atau minimal ia di marahi karena pulang malam. Namun, ini lebih buruk dari sekedar dimarahi jauh lebih buruk.
Keh, apa yang diharapkannya dari dua wanita itu. berharap mendapatkan pelukan selamat datang? Jangan mimpi.
Gretta mengangkat wajahnya dan menatap kelopak matanya yang memiliki lingkaran. Semalam ia pun tidak bisa tidur, ia gusar saat memikirkan rencana perjodohannya dengan seorang pungusaha real estate terbesar di kota ini.
Seseorang yang umurnya jauh darinya dan itu membuatnya segera menolak, namun dengan sebuah tamparan diterimanya.
Ia bahkan sampai saat ini masih mengingat apa ucapan sang nenek saat itu, yang menjelekan ayahnya sebelum menikah dengan ibunya.
"Jangan seperti ibumu yang memilih ayahmu yang miskin itu. Cepat atau lambat, kamu akan menikah dengannya,"
Gretta tidak ingin memiliki suami dengan cara seperti ini. Terlebih, ia masih ingin menikmati masa muda dan menggapai impiannya lebih dulu.
Tes!
Tak terasa air matanya kembali menetes, tangannya dengan cepat mengusap dan wajahnya sendiri segera menengadah ke atas sana, berharap air susulan tidak akan keluar.
"Tidak boleh, kamu tidak boleh lemah seperti ini," gumamnya menguatkan diri.
Ia pun menggapai concealer dan memakai di bawah kelopak matanya. Seorang Gretta tidak boleh tampil dengan cela di wajahnya, ia harus tetap berdiri dengan dagu terangkat dan tidak bisa terlihat lemah.
Setelah merasa wajahnya selesai di rias, terutama area matanya yang hitam tertutup sempurna, Gretta pun berdiri dari duduknya dan mengambil tas serta binder berisi catatan kuliahnya hari ini.
Ia keluar dari kamar dan menemukan keluarganya yang tumben sekali masih ada di meja makan, saat biasanya ia sendirian sarapan ruang makan luas ini.
"Selamat pagi."
"Pagi, duduk," sahut dan perintah sang nenek—Karina, sedangkan tatapannya tetap di roti yang sudah ia oles dengan salt butter.
Gretta duduk dengan pelan, tanpa menimbulkan suara sama sekali. Meskipun sang ibu yang duduk berhadapan dengannya melirik dengan tatapan tak terbaca, ia tetap duduk tegak dan mengangguk saat seorang pelayan meletakan segelas susu untuknya.
Suasana meja makan terasa hening dan berat, barisan maid yang menunggu majikannya selesai makan bahkan hanya bisa menunduk. Lalu Gretta, ia dengan pelan mulai mengambil roti yang sudah ia olesi selai srikaya.
Garpu dan pisau di tangannya memotong roti dengan gerakan berkelas, belum lagi punggungnya yang tegak kemudian mulai menyuap roti itu kedalam mulutnya, mengunyah tanpa menimbulkan suara sama sekali.
"Siang nanti akan ada makan bersama di restoran pusat kota. Randie yang akan menjemputmu, berganti bajulah di butik dengan dress yang nenek pilihkan. Lalu, kita akan membicarakan masalah pernikahan."
Deg!
Kunyahan Gretta seketika berhenti, ia menatap nanar potongan roti di piringnya dan hampir menangis, kalau saja suara sang ibu tidak terdengar setelahnya.
"Mah, bisa kah menunggu hingga Gre-
"Tidak usah ikut campur. Ini antaraku dan cucuku, sebaiknya kamu awasi saja dan pastikan Gretta pantas bertemu keluarga calon suaminya."
Esmeriana terdiam dengan mulut terbuka. Niatnya ingin mencegah percuma, jika sudah sang mama ketuk palu. Hingga akhirnya ia pun hanya mampu mengangguk dan menatap sang anak dengan tatapan bercampurnya.
Ia memang membenci putrinya, namun sebagai ibu ia tetap memiliki nurani.
"Apa kamu mengerti. Gretta?" lanjut Karina menatap tajam Gretta yang hanya bisa mengangguk kecil "Cepat berangkat kuliah, ingat pesan Nenek." Kembali perintah terdengar dan Gretta terpaksa berdiri dari duduknya, kemudian meninggalkan meja dengan perasaan hancur.
"Kenapa hidupku seperti ini?"
Bersambung.