Gimana.. gimana.. mulai berpihak kemanakah para readers
Siapa tim Banyu?
Siapa tim Lukas?
Coba ☝
Kuy, kasih 💖 sebanyak-banyaknya di kolom komentar
Jangan lupa 🎁 nya ya
⭐⭐⭐⭐
Happy Reading❤
Acara makan malam sudah selesai. Lukas mengajak Gladys beramah tamah dengan beberapa koleganya. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara yang tak asing di telinga Gladys menyapanya.
"Kak Adis." Tampaklah Geraldine dengan dress ketat di atas lutut berwarna peach, berdiri di samping seorang dokter muda yang tak kalah tampan dari Lukas.
"Hai Ge. Kamu datang kesini sama siapa?" tanya Gladys sambil memperhatikan tangan dokter muda itu yang terus berada di pinggang ramping Geraldine. Sepupunya yang satu ini memang luar biasa cantik. Dengan wajah bule dan postur tubuh tinggi langsing, rambut kecoklatan alami, mampu membuat banyak pria meneguk ludah saat dia lewat. Kecantikan yang berbeda dengan Gladys. Kecantikan Geraldine mirip dengan kecantikan Cecile.
"Malam dokter Lukas. Atau saya sudah bisa panggil kak Lukas?" Geraldine menyapa Lukas dengan ramah. "Kak Adis nggak bilang-bilang ih kalau malam ini ternyata malam spesial. Selamat ya kak. Mami Cecile pasti senang banget lihatnya. Tadi aku sempat rekam dan aku share di grup keluarga kita kak."
Gladys hanya tersenyum mendengar hal tersebut. Sepupunya yang satu ini memang rajin memvideokan segala sesuatunya. Bahkan ia pernah memvideokan saat Erick dan Qori berciuman di taman belakang rumah om Robert dan men-share video itu di grup keluarga. Sontak Qori minta pindah rumah. Tak mau lagi tinggal bersama mertua dan adik iparnya.
"Oh ya kak Adis, dokter Lukas, kenalin ini dokter Vincent. Dokter spesialis syaraf."
"Selamat malam dokter Lukas," sapa Vincent sambil menyodorkan tangannya mengajak Lukas bersalaman. Lukas menatap tajam sebelum akhirnya menyambut tangan Vincent
"Selamat malam dokter Vincent. Kalau tidak salah anda baru join dengan rumah sakit kami dua bulan yang lalu ya?"
"Benar dok. Kebetulan dulu Profesor Yudha menjadi konsulen saya saat saya ko-as. Begitu saya lulus spesialis, Prof Yudha menawarkan saya bekerja disini, di departement beliau."
"Kalian kenal dimana?" tanya Gladys penasaran. Sepupunya yang satu itu terkenal paling bebas bergaulnya.
"Oh dokter Vincent ini temannya Aldo, kak. Dokter Vincent minta Ge menjadi pendamping dia malam ini. Ge nggak sangka bakal ketemu kak Adis disini."
"Oh ya Ge, nanti pulang mau bareng kak Adis?"
"Nggak kak. Masih mau lanjut jalan sama dokter Vincent dan dokter-dokter ko-as yang lain. Katanya mau clubbing sebentar. Besok kan weekend."
"Dokter Vincent besok tidak ada jadwal visit?" tanya Lukas dengan nada yang mengintimidasi lawan bicara. Kalau sudah seperti ini kelihatan aura CEO nya.
"Kebetulan tidak ada dok."
"Kalau begitu tolong jaga adik saya yang cantik ini ya." Lukas menunjuk Geraldine yang langsung sumringah. Tanpa malu-malu Geraldine memeluk Lukas.
"Terima kasih ya kak Lukas. Kapan-kapan boleh ya Ge main ke kantor kak Lukas?" Lukas mengangguk sambil tersenyum.
"Jangan pulang malam-malam Ge. Jangan aneh-aneh." Gladys tampak khawatir melihat pergaulan Geraldine.
"Biarkan saja. Dia kan sudah dewasa Mumpung masih muda, biar aja dia puas-puasin bergaul. Nanti kalau saatnya berumah tangga dia sudah nggak pengen lagi dugem." Bela Lukas.
"Kok kamu membela dia?"
"Habis kamu kayaknya nggak percaya sama dia. Jangan terlalu kakulah dengan hidup ini. Sesekali bersenang-senang nggak papa." Gladys diam tak merespon ucapan Lukas.
"Sudah jam 11." Lukas melihat jam tangannya.
"Aku mau pamit sama om dan tante. Mereka dimana ya?"
"Nggak usah pamit. Mereka sudah pulang. Papap itu paling nggak kuat melek."
"Oh ok. Aku telpon pak Dudung untuk minta jemput."
"Ngapain minta jemput pak Dudung. Kamu kesini kan sama aku, ya pulangnya aku yang antar."
"Memangnya kamu nggak ada acara lain malam ini?"
"Ada.... menghabiskan malam bersamamu." bisik Lukas mesra sambil memeluk Gladys dari belakang. Gladys hendak menolak namun masih banyak tamu yang memperhatikan mereka.
"Mas, jangan bercanda ah."
"Aku nggak bercanda. Termasuk lamaranku tadi bukan settingan, bukan gimmick tapi benar-benar dari lubuk hatiku yang terdalam." Gladys diam tak merespon ucapan Lukas. "Kapan aku dan keluargaku harus datang ke rumah untuk meminangmu?"
"Mas, beri aku waktu. Kita baru beberapa kali bertemu. Aku belum tau banyak tentang dirimu. Aku hanya tau kamu teman bang Ghiffari, kedua orang tuamu dan pekerjaanmu. Aku belum tau seperti apa sifatmu, bagaimana pemikiranmu dan masih banyak yang aku belum tau tentang dirimu."
"Hmm.. bagaimana kalau kita lanjutkan ngobrolnya di apartemen aku. Biar kita bisa saling mengenal lebih intim lagi." Lukas berdiri begitu dekat dengan Gladys, hingga Gladys bisa merasakan hembusan nafas Lukas. Kedekatan ini membuat tubuh Gladys meremang.
"Mas, jangan peluk-peluk terus ah. Malu dilihat orang."
"Kenapa harus malu? Mereka sudah tau kalau kamu calon istriku. Jadi ya wajar-wajar saja kalau aku memelukmu."
"Antarkan aku pulang. Aku capek mas. Besok aku ada harus menghadiri launching produk baru Valerie Jewelry & co."
"Mau aku temani?" tanya Lukas. "Siapa tau produk mereka ada yang sreg dihatiku untuk kujadikan hadiah."
"Nggak usah mas. Aku pergi sendiri saja. Ada mbak Tatiana yang menemani."
"Sayang, bagaimana kalau besok kita pergi liburan? Tentunya setelah acaramu selesai. Aku akan mengajakmu ke pulau milik papap. Disana kita bisa beristirahat tanpa ada gangguan."
"Maaf aku nggak bisa mas. Aku ada janji sama seseorang. Seharusnya hari ini, tapi karena mami menyuruhku makan malam bersamamu aku terpaksa membatalkan janjiku. Makanya besok aku harus memenuhi janjiku."
"Bikin janji sama siapa? Laki-laki atau perempuan? Mau kemana? Mau ngapain?"
"Ya ampun mas nanyanya nggak usah segitunya kali. Aku bebas kan untuk pergi dengan siapapun."
"Kamu itu calon istriku. Aku sudah melamarmu di depan orang banyak. Jadi aku berhak tau kamu mau pergi sama siapa, kemana dan mau ngapain."
"Mas, aku nggak merasa bilang I DO, saat tadi kamu melamarmu. Kamunya saja yang nggak sabaran dan langsung memasangkan cincin ini di jariku."
"Tapi sayang, orang tua kita juga sudah sepakat untuk menjodohkan kita. Aku juga sudah menerimamu sebagai calon istriku. Bahkan aku sudah memimpikan pernikahan ini sejak aku SMA. Aku sangat mencintaimu. Apalagi yang kurang?" tanya Lukas tak terima.
"Yang kurang adalah, aku tidak mencintaimu."
"Kamu pasti akan mencintaiku setelah kita menikah. Cinta itu pasti akan datang, my love." Lukas tampak yakin.
"Mas, banyak yang harus kupertimbangkan. Salah satunya gaya hidupmu yang terlalu bebas. Aku nggak bisa menerima hal itu. Kamu tau aku menolak dijodohkan dengan anak teman papi karena hal itu. Dan kini ternyata kamu tak jauh berbeda."
"My love, aku tidak tidur dengan sembarang wanita. Mereka yang pernah tidur denganku adalah para kekasihku. Aku tak pernah selingkuh. Aku berganti pasangan karena memang di antara kami benar-benar sudah tak ada kecocokan. Kalau kamu beranggapan aku merusak mereka, kamu salah besar sayang. Mereka yang mengejar diriku, mereka yang menyerahkan tubuh mereka kepadaku. Aku hanya berpacaran dengan satu perempuan pada satu masa. Aku bukan penggemar one night stand."
"Tetap saja mas, kamu melakukan itu sebelum menikah. Itu dosa mas."
"Apakah menurutmu berciuman dan pelukan tidak dosa? Sama saja sayang. Hanya bedanya kita tidak melakukan hubungan badan. Seharusnya sebagai wanita yang pernah tinggal di luar negeri hal semacam itu bukan hal aneh kan? Ayolah kamu tidak usah berlagak suci. Aku pastikan kamu akan menyerah dan menerima cintaku. Kita lihat saja nanti."
⭐⭐⭐⭐
"Dek. kamu sudah bangun belum?" Terdengar suara Gibran di balik pintu. "Abang masuk ya."
Di dalam kamar Gibran melihat Gladys sedang duduk di sofa menghadap jendela kamar.
"Dek kamu kenapa? Semalam jam berapa Lukas antar kamu pulang? Kamu kenapa sih? Kok kayak orang bingung."
"Bang, mas Banyu kayaknya marah sama aku. Sejak semalam aku coba hubungi dia nggak ada jawaban."
"Memangnya apa yang terjadi semalam?"
"Abang belum lihat wa grup Keluarga Van Schuman?"
"Belum. Semalam abang agak kurang enak badan, jadi tidur lebih cepat. Ada berita apa sih?" Gibran membuka wa grup yang Gladys maksud. Ada 90 chat lebih yang belum terbaca di grup tersebut. "Tumben grupnya rame. Terakhir grup rame waktu eyang Tari sakit."
"Abang lihat aja dulu."
"What?!" Mata Gibran terbelalak saat melihat grup tersebut. Ada video lamaran yang diunggah oleh Geraldine. Bahkan ada foto saat dirinya dicium oleh Lukas. "Dek, itu bercanda kan? Kalian nggak serius kan? Itu pasti cuma lucu-lucuan biar acaranya ramai."
Gladys menunjukkan tangan kirinya kepada Gibran yang sekali lagi terkejut saat melihat sebentuk cincin berlian yang sangat indah tersemat di jari manis sang adik.
"Are you crazy?! Itu berlian beneran dek? Gila, cincin nikah si Khansa dan Qori aja nggak segede itu. Ah, beneran gila tuh si Lukas. Kalau gue jadi elo dek, gw sikat tuh si Lukas. Beneran anak sultan tuh dia." Gibran geleng-geleng kepala. "Pusing gue liat berlian segitu gedenya."
"Bang, gimana ini?" rengek Gladys.
"Apanya yang gimana? Harusnya elo senang dong. Secara nggak langsung permintaan mami dan eyang Tari sudah terpenuhi."
"Abang...." Gibran terkejut saat dilihatnya mata sang adik tampak menyiratkan luka. Segera direngkuhnya sang adik ke dalam pelukannya. Tanpa dikomando keran air mata itu pun terbuka.
"Elo kenapa nangis? Harusnya elo bahagia, dek."
"Bukan dia yang gue mau, bang."
"Kalau bukan dia, kenapa elo terima lamaran Lukas?"
"I NEVER SAY I DO."
"Really?" Gibran dapat merasakan adiknya menganggukan kepalanya.
"Dia melamar di depan orang banyak dan tanpa menunggu jawaban gue, dia memasangkan cincin ini di jari gue. Abang tau? Gue merasa dijebak oleh Lukas dan juga oleh mami. Bukan ini yang gue mau. Gue nggak cinta dia. Bukan Lukas yang gue inginkan menjadi imam gue, bang. Gue cuma cinta Banyu."
Gibran hanya sanggup mengusap-usap punggung Gladys untuk menenangkan.
"Sejak semalam gue mencoba menelpon Banyu tapi tak dijawab. Gue kirim pesan juga nggak dibaca. Seolah dia sudah memblokir gue."
"Elo mau gimana sekarang, dek?"
"Gue mau menjelaskan ke Banyu tentang kejadian semalam. Gue nggak mau Banyu melihat beritanya melalui medsos. Abang tahu kan gimana jahatnya medsos."
Gibran segera membuka salah satu laman berita online dan matanya terbelalak saat dilihatnya berita tentang lamaran Gladys sudah terpampang di sana beserta beberapa foto pendukung.
"Dek, elo sudah lihat ini?" Gibran memberikan hpnya kepada Gladys yang langsung membaca berita tersebut.
"Bang, gue harus gimana?"
"Elo mau menjelaskan hal ini ke Banyu? Elo nggak bisa melakukan itu lewat telpon. Elo harus temui dia."
"Bagaimana kalau lagi-lagi Banyu menjauh dari gue bang?"
"Itu salah satu risikonya, dek. Elo harus menerimanya. Tapi kalau memang Banyu benar-benar cinta sama elo, gue yakin dia bisa menerima penjelasan lo."
"Justru itu yang bikin adek tambah galau. Hingga saat ini Banyu belum pernah menyatakan cinta kepadaku. Kami hanya menjalani hubungan ini tanpa ada pernyataan dari dia. Kami merasa nyaman satu dengan yang lain dalam menjalani hubungan ini."
Tengkuk Gibran langsung terasa berat setelah mendengar penjelasan Gladys. Ini tensi gue yang naik atau gara-gara omongan Gladys? batinnya. Cuma satu kata yang terlintas di kepala Gibran dalam menelaah permasalahan ini. KACAU.
"Mungkin ini saatnya elo meminta ketegasan dari Banyu mengenai hal terpenting dalam hubungan kalian. Bagaimana perasaan dia yang sesungguhnya terhadap elo. Kalau dia tidak mundur setelah melihat berita itu, berarti dia beneran cinta sama elo dan patut elo perjuangkan."
"Kalau dia mundur berarti..."
"Bisa dua hal, dek. Dia memang nggak pernah mencintai lo atau kembali ke titik awal dia merasa tak pantas mencintai elo walau sebenarnya dia mencintaimu."
"Bang, kadang elo bisa pintar juga ya."
"An**r, gini-gini gue lulus S2 nya cum laude lho." balas Gibran. "Gue saranin, elo temui dulu Banyu dan jelaskan semuanya ke dia."
"Kalau dia mundur itu artinya gue harus menikah dengan Lukas? Gue nggak mau bang. Dia sama bejatnya dengan Calvin. Gue nggak bisa sefrekuensi sama dia ataupun tante Meisya."
"Kenapa begitu"? Gladys pun menceritakan semua percakapan semalam saat pesta diner berlangsung.
"Gila, ajaib banget calon mertua lo dek."
"Dia bukan calon mertua gue, bang. Gue nggak mau kawin sama anaknya." Bukan menenangkan hati Gladys, Gibran malah mengangkat tangan kiri Gladys dan cincin berlian tersebut masih tersemat di sana. Hati Gladys langsung mencelos melihat cincin tersebut.
"Be strong ya dek." Hanya itu yang mampu Gibran katakan untuk menenangkan sang adik.
⭐⭐⭐⭐