Happy Reading ❤
"Nyu, ngapain elo bengong disitu?" tanya Yudi teman satu tim Banyu. Saat ini mereka berada di Bali. Besok pagi mereka sudah disibukkan dengan persiapan pernikahan salah seotang artis ternama ibukota dengan pengusaha asal Swedia.
"Eh elo Yud. Nggak papa. Agak capek aja gue. Beberapa hari ini sibuk mempersiapkan diri untuk sidang. Baru tadi siang gue selesai sidang, langsung persiapan berangkat kesini."
"Wah hebat lo Nyu. Elo mengerjakan banyak hal dalam hidup lo. Selama elo di Bali, gimana pelanggan-pelanggan lo?"
"Gue tetap terima orderan via wa. Nanti ada tetangga gue yang bakal antar pesanan ke rumah-rumah mereka."
"Wah hebat, sudah merambah jualan online nih." Banyu tertawa kecil.
"Gue nolongin tetangga gue aja Yud. Kebetulan dia lagi nggak ada obyekan sementara bininya lagi hamil tua. Ibu yang ngasih ide buat mempekerjakan tetangga gue itu."
"Nyokap lo orang hebat. Nggak heran anaknya juga hebat kayak elo, Nyu."
"Ah, biasa aja Yud. Kebetulan gue diajak bang Ghiffari jadi gue bisa mempekerjakan tetangga gue."
"Calon entrepreneur nih."
"Gimana Nyu, sidang lo tadi siang?" tanya Ghiffari yang baru saja bergabung dengan mereka.
"Alhamdulillah lancar bang. Barusan Mila ngabarin kalau gue lulus."
"Alhamdulillah. Rencana lo selanjutnya apa? Mau tetap menjalankan pekerjaan lo yang sekarang atau mau kerja kantoran? Atau mungkin mau membuka bisnis? Elo nggak mungkin bakal kerja serabutan kayak sekarang kan. Sayang gelar sarjana lo. Apalagi elo mati-matian berjuang buat mendapatkan gelar ini."
"Belum tau nih bang. Kemarin dari pihak kampus sudah menawari pekerjaan sebagai asisten dosen. Mungkin itu yang akan gue kerjakan sambil tetap menjalani pekerjaan utama gue."
"Kenapa nggak lo kembangin aja bisnis jualan sayur online, Nyu?" tanya Yudi.
"Wah ide bagus tuh, Nyu. Elo kan juga sudah menjadi supplier tetap restonya ambu. Lo seriusin bisa gede tuh." ucap Ghiffari.
"Lihat nanti deh bang. Gue harus pikirin baik-baik modalnya, platform yang bakal gue pakai dan hal-hal yang kayak gitu deh. Pengen juga sih mengembangkan usaha jualan sayur ini, tapi gue nggak mau buru-buru dan tanpa pertimbangan yang matang."
"Nyu, kemarin si Sinta nanyain elo."
"Sinta anak marketing?" tanya Ghiffari.
"Iya bang. Dia kan naksir berat sama Banyu."
"Oh ya? Sejak kapan?" Ghiffari terlihat penasaran.
"Sejak Banyu gabung sama tim kita, Bang. Ya kira-kira 4 atau 5 bulan lalu deh dia mulai sering nanya-nanya soal Banyu."
"Gimana tuh Nyu?" tanya Ghiffari pada Banyu.
"Apanya yang gimana bang?" Banyu balik bertanya.
"Ya si Sinta itu. Elo nggak naksir dia? Banyak lho cowok-cowok di kantor yang naksir dia. Tuh, si Yudi salah satunya. Iya kan Yud?" ledek Ghiffari.
"Itu kan dulu Bang, waktu gue belum ketemu sama Linda." jawab Yudi sambil nyengir.
"Tapi gue lihat elo masih rajin wa-an sama dia."
"Itu kan karena dia nanya soal Banyu, bang. Soalnya Banyu kalau di wa nggak pernah balas. Makanya dia nanyanya lewat gue." sahut Yudi.
"Aah, alasan aja lo Yud. Kalau dasarnya buaya, ya sampai kapanpun tetap buaya." ledek salah satu anggota tim lain yang kebetulan duduk dekat mereka. Yang lain tertawa mendengarnya. Mereka tahu kalau Yudi itu dulunya playboy kelas kakap sebelum bertemu Linda, calon istrinya.
"Jadi gimana Nyu? Lampu merah atau lampu hijau buat Sinta?" kejar Yudi. "Kalau lampu merah ya gue bilangin ke dia."
Semua mata memandang Banyu penasaran. Bukannya menjawab, Banyu malah bangkit berpamitan mau ke kamar.
"Bang, gue istirahat duluan ya. Seharian ini jadwal gue hectic banget. Biar besok pagi gue fresh." pamit Banyu pada Ghiffari. "Guys, gue duluan ya."
⭐⭐⭐⭐
Sesampainya di dalam kamar Banyu membuka hp yang rupanya tertinggal di kamar. Dilihatnya ada puluhan misscall dan pesan yang masuk. Tanpa membuka notifikasi tersebut Banyu tahu siapa yang menghubunginya. Gladys. Banyu menghela nafas. Ia tak tahu harus bersikap bagaimana. Tadinya ia berpikir untuk mencoba menjalani hubungan dengan Gladys. Namun percakapan dengan Ghiffari, Gibran dan Erick membuatnya berpikir lebih jauh lagi.
Flashback on
"Nyu, gue mau ngomong sama elo." Tanpa basa basi Ghiffari membuka percakapan saat mereka hanya berempat di dalam salah satu kamar yang ada di honeymoon suite.
"Nyu, elo serius menjalin hubungan dengan Gladys? Sejak kapan?" tanya Ghiffari.
"Kok elo nggak pernah cerita sama gue? Setau gue dari awal kalian bertemu tuh berantem melulu. Lah kok ini tiba-tiba dia bilang elo calon suaminya." Gibran ikut bicara.
"Maaf kalau gue belum sempat bicara dengan kalian. Gue sendiri nggak menyangka Gladys akan meminta gue untuk menjadi calon suaminya. Gue dan keluarga gue kaget waktu dia datang ke rumah."
"Dia main ke rumah lo? Wah kemajuan banget tuh Gladys mau berkunjung ke rumah cowok yang bukan siapa-siapanya." celetuk Erick. "Kayaknya dia kesengsem berat sama elo, Nyu."
Akhirnya Banyu menceritakan semuanya, tentunya tanpa menyebutkan tentang insiden ciuman di taman. Ia tau betapa mereka sangat melindungi Gladys. Ia bisa bayangkan bogem mentah Gibran mendarat di wajahnya. Ia tau bahwa ia pantas mendapatkan bogem mentah, namun ia tak ingin Gladys merasa cemas bila melihatnya babak belur. Beberapa kali jalan dengan Gladys, ia mengetahui bahwa Gladys tak segalak yang ditunjukkan. Bahkan sebenarnya ia sangat perhatian dan penuh kasih sayang.
"Jadi adik gue yang 'melamar' elo?" tanya Ghiffari. Banyu mengangguk.
"Gue sudah berkali-kali ngomong sama dia untuk melupakan ide gila itu, bang. Gue berkali-kali ngomong sama dia kalau mustahil buat kita berdua menjalin hubungan seperti itu, tapi Gladys keras kepala dan tetap berkeyakinan bahwa itu mungkin."
"Kenapa elo menolak adik gue? Apa karena dia manja atau karena elo belum bisa melupakan Senja?" tanya Gibran.
"Jangan bawa-bawa Senja dalam urusan ini, Gib. Nggak ada hubungannya sama sekali."
"Kata siapa? Elo nggak bisa menerima adik gue bukan hanya karena hidup kalian yang sangat bertolak belakang kan? Tapi juga karena elo belum bisa move on dari Senja. Gue ini sahabat elo, Nyu. Kita berteman bukan baru setahun dua tahun. Gue kenal diri lo dengan baik."
"Banyak hal yang membuat gue susah mewujudkan permintaan Gladys. Tapi Senja bukan salah satunya, Gib. Senja itu sudah menjadi masa lalu gue."
"Masa lalu yang masih membayangi hidup lo. Makanya sampai sekarang elo masih belum bisa menjalin hubungan dengan gadis manapun." Erick ikut bicara.
"Lalu kenapa elo terima keinginan Gladys?"
"Gue nggak tega menolaknya, Bang." jawab Banyu sambil menundukkan pandangannya. "Padahal gue sudah bilang kenyataan pahit yang harus dia jalani kalau dia menikah sama gue. Tapi karena dia putri seorang Praditho Hadinoto, dia nggak gampang menyerah. Bahkan dia bilang dengan pedenya akan belajar mencintaiku dan membuatku mencintainya."
Yang lain terbelalak mendengar penjelasan Banyu. Mereka seakan tak percaya seorang Gladys Mariana Praditho akan bersikap seperti itu.
"Lo nggak mengada-ada kan Nyu?" tanya Ghiffari tak percaya.
"Abang boleh tanyakan hal ini kepada adik-adikku. Bahkan mereka sudah mengingatkan Gladys tentang gue yang cuma tukang sayur. Mereka juga mengingatkan untuk menimbang ulang keputusan Gladys untuk mendekatiku. Tapi sepertinya itu tak mempengaruhi keputusan Gladys."
"Nyu, terlepas dari masalah pekerjaan lo ataupun masalah apakah keluarga kami bisa atau tidak menerimamu, bagaimana dengan dirimu sendiri? Apakah elo mencintai dia?" tanya Ghiffari serius. Semua mata memandang Banyu penasaran.
"Sampai saat ini gue belum memiliki rasa apapun terhadap Gladys, selain dia lebih seperti adikku sendiri. Gue juga sudah bilang sama dia untuk tidak terlalu berharap kepada diri gue. Bahkan sampai tadi saat dia masih meminta gue untuk menjalani semua ini sebagaimana layaknya pasangan, gue tetap mengingatkan dia bahwa itu nggak akan fair buat dia. Apalagi kalau nanti eyang menyuruh dia menikah, namun gue masih belum bisa mencintainya."
"Apakah kamu mau belajar menerima dan mencintai Gladys?" desak Ghiffari
"Bang, sama seperti yang aku bilang ke Gladys, aku tak bisa menjanjikan apapun. Yang pasti saat ini aku belum bisa mencintainya."
"Lalu kenapa elo nggak menjauh dari dia?" Kali ini Erick yang bertanya.
"Bukan sekali dua kali gue mencoba menghindari dia, tapi dia nggak pernah menyerah. Elo sendiri tau kan bagaimana sepupu lo itu kalau punya keinginan."
"Nyu, gue pribadi nggak akan menentang keinginan Gladys walaupun pekerjaan lo hanya tukang sayur atau pekerjaan serabutan lainnya. Keluarga gue bukan keluarga yang melulu menuhankan harta. Mungkin mami pada awalnya akan menolak tapi lama kelamaan dia pasti akan luluh. Apalagi kalau eyang menyetujui hubungan kalian. Tapi sebelum gue menyetujui pilihan adik gue tersayang, gue harus meyakinkan pria yang dipilihnya mencintai dirinya." Banyu mengerti arah pembicaraan Ghiffari.
"Maaf bang, untuk saat ini gue belum bisa memenuhi hal tersebut." jawab Banyu pelan.
"Oke, gue bisa mengerti. Tapi sebagai konsekuensinya tolong sebisa mungkin lo jauhin dia. Gue nggak mau dia kecewa dan sedih karena mengharapkan sesuatu yang tak pasti. Mungkin dengan elo mengambil langkah tersebut, akhirnya dia akan menyerah."
"Bang...."
"Gue lakukan ini buat kebaikan kalian berdua. Elo salah satu crew yang bisa gue andalkan. Elo juga sahabat Gibran. Gue nggak mau hubungan kerja kita dan persahabatan kalian rusak hanya karena urusan yang rumit ini. Gue harap elo bisa mengerti." Ghiffari menepuk bahu Banyu.
"Makasih bang. Gue sangat mengerti apa yang lo maksud. Gue pun akan melakukan hal yang sama bila adik gue mengalami hal serupa."
Flashback off
Setelah shalat Isya, Banyu mengambil Al Qur'an kecil yang selalu dibawanya saat bepergian. Baru saja ia membukanya tiba-tiba hpnya berbunyi. Dilihatnya jam tangannya menunjukkan pukul 9 malam. Muncul nama Nabila di layar hp. Ada apa malam-malam adiknya menelpon.
"Assalaamu'alaykum mas." Terdengar sapaan salam dari Nabila.
"Wa'alaykumussalaam. Ada apa dek malam-malam kok telpon. Kalian baik-baik saja kan di Jakarta?"?
"Alhamdulillah semuanya baik-baik saja mas. Lagian ini belum terlalu malam kok mas. Baru juga jam 8 malam. Nih kita baru selesai makan malam. Mas Banyu sudah makan?"
"Oh iya, mas lupa kalau disini lebih cepat satu jam." Banyu terkekeh. "Mas Banyu disini juga belum lama selesai makan."
"Mas, selamat ya. Katanya sidangnya sukses." Nabila memberinya selamat. "Ibu senang banget lho. Bahkan malam ini makan malam kami lebih istimewa dari biasanya."
"Makasih ya, Dek. Mas, harap kalian juga bisa berhasil dalam pendidikan."
"Mas ada yang kirim kue tart nih," terdengar suara dari seberang sama. "Tapi adek lebih suka bunga dan boneka beruangnya. Boleh buat adek?"
"Kue dari siapa?" tanya Banyu penasaran. Sesaat tak terdengar jawaban dari Nabila.
"Kak Senja." Hati Banyu tersentak mendengar nama itu disebut. Darimana dia tau? Ah, pasti Mila yang memberitahunya.
"Mas, ada yang nyariin nih." terdengar lagi suara Nabila dari seberang sana. "Ada yang mau ngomong sama mas Banyu. "
"Assalaamu'alaykum mas," terdengar suara khas menyapa lembut. Banyu terdiam mendengar suara itu. Suara yang selama beberapa hari ini ia hindari. Suara gadis yang tadi siang ia tinggalkan begitu saja.
"Wa'alaykumussalaam." Banyu menjawab salam.
"Hmm... "
"Ada apa?" Nada suara Banyu terdengar datar bahkan nyaris dingin.
"Cuma mau mengucapkan selamat atas kelulusanmu. Oh ya, bunga dan bonekanya aku berikan kepada dek Bila. Sayang kalau dibuang. Mubazir. Sudah kadung dibeli. Untunglah dek Bila senang menerimanya."
"Kamu bela-belain main ke rumahku malam-malam dan menyuruh Bila menelponku hanya untuk ngomongin itu?" tanya Banyu.
"Iya. Soalnya kalau aku telpon pakai nomorku kamu pasti nggak akan menjawab."
"Tadi siang kan sudah wa-an."
"Kamu kok nggak bilang kalau ada proyek di Bali? Berapa lama disana?"
"Aku nggak harus melaporkan setiap kegiatanku kepadamu, kan?"
"Mas... "
"Aku mau istirahat dulu ya. Besok pagi-pagi sudah harus ke lokasi." Potong Banyu dingin.
"Tapi mas...." Tanpa menunggu kelanjutan ucapan Gladys, Banyu memutus pembicaraan.
Tring.. tring.. tiba-tiba terdengar notifikasi masuk. Dengan ogah-ogahan Banyu membuka pesan yang masuk.
Bila >> Mas Banyu kok gitu sama kak Gladys?
Banyu >> Mas capek, dek. Mas mau tidur dulu ya.
Bila >> Ya tapi nggak gitu caranya menutup pembicaraan. Kasihan tuh kak Gladys sampai bingung. Mas Banyu lagi berantem ya sama kak Gladys?
Banyu >> Nggak. Kami nggak berantem. Biasa aja.
Bila >> Mas Banyu malam ini menyebalkan deh. Mas Banyu nggak pantas dapat boneka yang lucu ini.🧸
Banyu menghelas nafas sebelum akhirnya membalas pesan Nabila.
Banyu >> Maaf dek. Mas benar-benar capek. Oh ya, kak Gladys pulangnya gimana? Ini sudah hampir jam 9 kan disana?
Bila >> Ngapain nanya-nanya.
Banyu >> Kok gitu. Kenapa jadi kamu yang marah?
Bila >> Adek lagi sebel sama mas Banyu. Sudah ah, adek juga mau tidur.
Banyu termenung sesaat setelah selesai berkirim pesan. Salahkah bila aku menjauhi dirinya? Salahkah aku bila hingga saat ini aku belum bisa mencintainya? Tapi mengapa terselip kekhawatiran di sudut hatiku? Pikirannya sibuk bertanya hingga akhirnya Banyu tertidur pulas.
⭐⭐⭐⭐