Duduk santai di taman belakang rumah sambil menikmati secangkir kopi dan kue kering. Kucing jenis persia asik mengejar kupu-kupu yang tengah terbang menikmati taman. Tangan putih itu sesekali mengelus kucingnya yang tengah menghampiri nya meminta dimanjakan.
Rumah besar itu hanya dihuni oleh dirinya sekarang. Ibunya yang bekerja sebagai dokter membuatnya selalu sibuk dengan pasien-pasien yang harus dirawatnya. Ayahnya seorang pengusaha pun juga disibukkan oleh urusan bisnisnya.
Bosan? tentu saja. Sendirian di rumah besar itu sangat membosankan. Sebab itulah Zea memelihara kucing jenis persia untuk menemani kesunyiannya saat dirumah.
" Dek, kakak memanggilmu dari tadi loh..." suara yang sangat dikenalnya. Zee, kembarannya. Berbeda seperti dirinya yang memiliki rambut panjang, maka Zee memiliki potongan rambut layaknya lelaki. Zee bekerja sebagai pengusaha seperti ayahnya. Hanya Zea saja yang memilih menjadi pianis.
"Maaf ka, Zea gak dengar panggilan kakak." jawab Zea.
"Apa adek ku ini kelelahan karena jadwalnya begitu padat?" tanya Zee. Kakak yang begitu perhatian terhadap adiknya.
Zea menjawab pertanyaan sang kakak dengan gelengan kepala nya. "ya sudah, kalau gitu kakak berangkat kerja lagi." kata Zee kepada Zea setelah bertanya tentang keadaan adiknya itu.
Zea nampak tidak senang saat sang kakak ingin pergi lagi meninggalkan rumah. "Lah, kerja lagi?Zea kira kakak akan menemani Zea di rumah hari ini." saking kecewanya, Zea memajukan bibirnya kedepan sebagai tanda kesal.
Zee mengelus surai panjang Zea. "Maaf, ya. Tapi kakak benar-benar sibuk. Hari ada rapat penting dan kakak tidak bisa menundanya.''
Terlihat raut wajah sedih di wajah tampan Zea. Namun, raut sedih itu tiba-tiba menghilang. Tergantikan dengan raut wajah ceria saat mendengar perkataan Zee selanjutnya.
" Minggu depan kita bisa jalan-jalan seperti dulu. Waktu kita masih SMA.".
Zea memeluk Zee erat."Kakak harus janji!" kata Zea.
Zee menganggukan kepalanya, "Iya, kakak janji!".
Zea akhirnya memperbolehkan Zee untuk pergi. Sudah menjadi kebiasaan Zea dari kecil, setiap orang tua nya maupun sang kakak entah mau pergi kemana, Zea selalu mencium tangan dan membalas salam mereka. Zee maupun orang tua terutama ibunya selalu membiasakan Zea untuk bersikap sopan pada orang yang lebih tua darinya. Zea di didik dengan baik oleh mereka.
Ya! andai mereka tahu bagaimana sifat Zea jika bersama dengan orang-orang lain yang dikenalnya.
Zea mengantar Zee menuju gerbang keluar masuk rumah itu. Membukakan pintu mobil untuk sang kakak. Zee masuk kedalam mobil saat sang adik membukakan pintu untuknya, menutup pintu mobil saat dirinya sudah berada di dalam mobil.
Kaca mobil turun, Zee tersenyum ramah kepada adiknya yang berdiri di samping mobil miliknya.
" Beli makanan sana. Biar gak bosan." kata Zee sambil menyerahkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah kepada Zea.
Zea menerima uang pemberian dari Zee dengan senang hati. Hitung-hitung bisa menghemat uang nya sekaligus menabung untuk masa depannya kelak.
" Terimakasih, ka Zee." tak lupa juga Zea mengucapkan kata terimakasih kepada sang kakak dengan tulus.
Zee membalas rasa terimakasih Zea dengan mengucapkan kata sama-sama. Zea melambaikan kedua tangannya saat mobil milik Zee mulai menjauh dari halaman depan rumah.
Tiit!! (Suara bunyi klakson motor).
Zea menoleh kebelakang saat mendengar bunyi tersebut. Rupanya pelatihnya, Nona Eri tengah mengendarai motor beat nya. Zea mengenyit, tak biasanya Eri membawa motor, biasanya Eri akan membawa mobil karena menurutnya lebih nyaman membawa mobil dari pada motor. Namun, bagi Zea motor maupun mobil sama-sama nyaman.
"Yo! pria cantik ku. Kuyyy kita pergi!" seru Eri terlalu bersemangat.
Zea menyipit. "Mau kemana? seingatku kita tidak ada latihan hari ini." kata Zea yang curiga dengan pelatihnya itu.
Eri turun dari motornya, melepaskan helm yang ia kenakan dan menaruhnya di atas motor. Rangkulan yang begitu kuat dapat dirasakan oleh Zea. Wanita mungil namun memiliki tenaga kuda, itulah Eri Kamiliya.
"Ayolah, bantu aku memilih bunga untuk hadiah ibuku." rengek Eri.
Zea mendengus mendengar rengekkan Eri barusan. "Astaga, kenapa meminta bantuan ku sih?."omel Zea yang agak kesal dengan kehadiran pelatihnya itu.
Eri melepas rangkulannya. "Kau kan biasanya mendapat karangan bunga. Sebab itulah aku yakin kau tahu karangan yang cocok sebagai hadiah ulang tahun ibu ku."kata Eri memberi alasannya meminta bantuan Zea.
Zea menghela napas. "Kuyy lah!" akhirnya Zea menerima permintaan Eri untuk menemaninya. Eri segera menyerahkan helm kepada Zea setelah Zea selesai mengunci pintu rumah dan gerbang.
Eri menatap pantulan Zea melalui kaca spion. "Sudah siap, bang?." kata Eri.
"Sudah siap mba. Sesuai aplikasi ya..." canda Zea kepada Eri.
"Asiiappp!!"
***
Setelah menempuh 1 jam diperjalanan menggunakan motor. Mereka sampai di toko bunga langganan Eri biasa membeli bunga. Segera mereka memparkirkan motor di pinggir dan berjalan memasuki toko bunga.
Sambutan hangat dari pemuda tampan berseragam membuat Eri tersenyum. Zea yang melihat tingkah Eri mulai curiga. "Jangan incar berondong." Zea mengingatkan Eri.
Eri langsung saja memukul lengan Zea karena kesal dengan perkataan Zea barusan. "Ganggu aja. Aku kan sekalian mau cuci mata."
"Ke Laundry aja. Biar kinclong!."
"Itu mulut mau ku masukkan pupuk tanaman, ya?."
Perdebatan mereka harus terhenti saat seorang wanita mulai bertanya. "Ada yang bisa saya bantu?" Eri dan Zea terdiam melihat wanita dihadapan mereka. Walau sudah tak muda lagi tetapi dia tetap cantik di mata Eri dan Zea.
Zea menyenggol bahu Eri, menyadarkan Eri dari lamunannya barusan. "Eh,itu...Kami mau mencari bunga yang memiliki arti rasa kasih sayang." kata Eri.
Wanita itu tersenyum ramah. "Apa bunga yang di cari untuk ibu mu?." tebakkan yang tepat. Eri langsung menganggukan kepalanya cepat.
" Bagaimana kalau bunga anyelir? zaman dahulu, bunga anyelir sering dilambangkan untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kuat terhadap pasangan atau orang tua. Ada banyak warna bunga anyelir—" Wanita itu mengambil salah satu bunga anyelir yang ada di dekatnya "—tapi bunga anyelir yang tepat untuk diberikan sebagai hadiah kepada seorang ibu adalah bunga anyelir merah muda." menyerahkan bunga anyelir merah muda kepada Eri agar Eri dapat melihat lebih jelas keindahan bunga anyelir. "Bunga anyelir merah mudah melambangkan perasaan bahagia dan cinta yang abadi seperti cinta ibu kepada anak-anaknya."
"Bagaimana menurutmu, Zea?" Eri meminta pendapat Zea.
Zea memperhatikan bunga anyelir. "Bagus, sangat cocok sebagai hadiah ulang tahun ibu mu." Zea memberikan pendapat nya.
" Kalau begitu saya memilih bunga anyelir sebagai buket bunga."
"Baiklah, anda bisa menunggu dikursi depan sambil menikmati teh olahan kami."
Zea dan Eri menunggu buket pesanan mereka sambil menikmati teh dandelion. Manik hitam Zea memperhatikan wanita itu yang tengah membantu pemuda yang menyambut kedatangan mereka barusan. Tangan mereka berdua begitu terampil merangkai bunga.
Entah mengapa Zea merasa jika wajah wanita itu agak mirip seperti wajah pria yang kemarin mentraktirnya di Cafe Sweet. Zea mengerang marah saat merutuki kebodohannya. Seharusnya ia menanyakan nama pria tersebut dan meminta nomornya agar dapat mengembalikan payung yang ia gunakan kemarin.
"Zea!" panggil Eri kepada muridnya itu. Zea segera menoleh kesamping, memperhatikan tingkah Eri yang agak sedikit aneh. Perlahan ia mengikuti arah pandangan Eri yang tertuju kearah parkir mobil.
"Kenapa dia ada disini?." kata-kata itu begitu cepat keluar dari mulut Zea saat mengenal salah satu segerombolan pria yang kini berjalan menuju kearah toko bunga.
"Duh, payungnya ada dirumah lagi." rutuk Zea yang sekarang begitu kesal.
Pria itu, Ghibran bersama dengan teman nya kini masuk kedalam toko bunga. Nampaknya, dia tidak menyadari kehadiran Zea. Zea dapat melihat Ghibran memeluk wanita itu. Seakan mereka lama tidak bertemu.
Tunggu! Jika dipikir-pikir wajah mereka hampir sama. Karena penasaran, Zea mulai menajamkan indra pendengarannya. Mendengarkan obrolan mereka di dalam toko bunga.
"Anak mama sudah besar."
Jderr!! (Suara petir di siang bolong)
"MAMA!!" teriak Zea saking terkejutnya. Mereka semua memandang Zea yang kini mulutnya disekap oleh Eri. Eri dan Zea hanya bisa tersenyum ramah kearah mereka saat mereka mulai memperhatikan tingkah Zea.
Ghibran membuka pintu, mendekat kearah Zea dan duduk di hadapan Zea. Seketika, Eri yang emang jatuh cinta pada pandangan pertama langsung kejang-kejang melihat betapa tampan luar biasa sosok Ghibran.
"Eri.." Zea panik melihat Eri yang nampak tidak baik-baik saja. Segera ia meminta salah satu teman Ghibran yang memiliki nama Anang, menyuruh Anang untuk meminum teh dandelion dan segera menyimbur teh tersebut kewajah Eri.
"Astaga, Zea!!! " kesal Eri yang sudah sadar.
Zea tak memperdulikan teriakkan maut dari Eri. Ia tengah sibuk berterimakasih kepada Anang yang membantu nya menyadarkan pelatihnya itu. "Beli bunga?" tanya Ghibran menebak kehadiran Zea ditoko bunga milik ibunya.
Zea memperhatikan Eri yang tengah membayar buket bunga dikasir sambil berbincang dengan Anang. Nampaknya mereka saling tukar nomor handphone. Zea geleng-geleng kepala melihat tingkah Eri seperti gadis remaja yang baru pertama kali jatuh cinta.
"Aku hanya menemani pelatihku mencari bunga." Zea menjawab pertanyaan Ghibran dengan ramah.
Ghibran menganggukan kepalanya. "Kau mau bunga matahari?".
Zea mengernyit. "Apa?." Zea nampak terkejut saat Ghibran menyerahkan sebuah bunga matahari yang ada di dalam pot bunga.
"Walau kita baru saja bertemu. Tapi kurasa kita seperti teman dekat. Aku memberikan mu bunga matahari sebagai simbol semangat dan optimisme. Warna kuning yang menyala seakan berhasil membangkitkan kehidupan seseorang supaya lebih ceria, kreatif, dan bersemangat..." kata Ghibran.
Zea menganggukan kepalanya. Begitu senang saat melihat kecantikan bunga matahari dihadapannya. "Berapa bunga ini? akan ku bayar".
Ghibran menggelengkan kepalanya. "Aku yang akan membayarnya. Anggap saja sebagai hadiah penampilanmu kemarin yang begitu mengesankan."
"Terimakasih." Zea hanya bisa mengatakan itu. Dia begitu senang. "Um... " Zea mengeluarkan ponselnya, menyerahkannya kepada Ghibran. "kalau tidak keberatan, bisakah aku meminta nomor handphone mu? kapan-kapan aku akan mentraktirmu sekaligus aku akan mengembalikan payung mu."
Ghibran menganggukan kepalanya. Mengambil ponsel Zea dan memasukkan nomor miliknya. "Hubungi aku, nanti."
Eri keluar dari toko bersama Anang. Mengajak Zea untuk balik kerumah. Zea membawa bunga matahari pemberian Ghibran, sebelum pergi. Mereka berpamitan dan memberi salam kepada Ghibran, Anang, dan ibu Ghibran yang ternyata pemilik toko bunga tersebut.
Ghibran memandang kepergian Zea. "Sepertinya aku lupa memberitahukannya." gumam Ghibran. "Bunga matahari juga memiliki Simbol kesetiaan, persahabatan dan persaudaraan."
"Aku ingin kita menjadi sahabat seperti dulu, walau kau tidak mengingatnya."