Télécharger l’application
0.52% MENCINTAI SANG IBLIS : CEO' IBLIS ITU SUAMIKU / Chapter 2: RASA PUTUS ASA

Chapitre 2: RASA PUTUS ASA

"Tapi Tuan, pasien masih dalam penanganan kami. Tunggu lima belas menit lagi setelah itu kalian bisa melihatnya." ucap Dokter tersebut kemudian masuk kembali ke dalam ruang operasi di ikuti dua asistennya yang membantu menangani William.

"Sheisha, kamu harus kuat. Kamu tidak bisa menangis seperti ini. William pasti sedih melihatmu seperti ini Sheisha." ucap Harry seraya memeluk Sheisha dalam pelukannya.

"William... William sudah meninggal Harry, bagaimana bisa kamu melarangku menangis? aku mencintainya Harry, aku mencintainya. Hanya William yang aku miliki di dunia ini." ucap Sheisha menangis sedih dalam pelukan Harry.

"Tenanglah, kamu tidak sendiri. Ada aku yang selalu menjagamu. Aku akan tidak akan pernah meninggalkanmu Sheisha." ucap Harry dengan kedua matanya terpejam. Tidak bisa di pungkirinya kalau dia sangat mencintai wanita yang ada dalam pelukannya.

Bertahun-tahun menjadi sahabat dekat Sheisha yang sudah bertunangan dengan sahabatnya tidak membuat hati Harry melupakan cintanya.

Cintanya tetap abadi dan tersimpan rapi di dalam hatinya yang paling dalam. Tidak ada seorangpun yang tahu Bahkan Sheisha tidak mengetahuinya.

"William juga bilang seperti itu padaku, dia akan mencintaiku dan tidak akan pernah meninggalkan aku. Tapi sekarang dia meninggalkan aku juga." ucap Sheisha masih menangis dalam kesedihannya.

"Tidak Sheisha, walau apapun yang terjadi aku tidak akan pernah meninggalkanmu." ucap Harry dengan tatapan penuh ketulusan.

Sheisha mengangkat kepalanya, menatap penuh wajah Harry.

"Harry, kenapa kamu begitu baik padaku? kalau kamu selalu bersamaku dan menjagaku? bagaimana kehidupan pribadi kamu? apa kamu tidak akan menikah?" tanya Sheisha dengan tatapan tak mengerti.

"Jangan pikirkan aku Sheisha, jangan pikirkan! yang terpenting kamu harus bahagia." ucap Harry benar-benar tulus menyayangi Sheisha.

"Ceklek"

Suara pintu terbuka, Dokter keluar dan menghampiri Sheisha.

"Dua asistenku akan menjaga di sini. Kalau Nona masih ingin melihatnya silahkan saja." ucap Dokter tersebut kemudian meninggalkan tempat.

Sheisha menatap Harry dengan perasaan sedih.

"Masuklah Sheisha, aku akan menunggumu di sini." ucap Harry seraya mengusap bahu Sheisha.

"Mari Nona Sheisha, silahkan masuk." ucap salah satu dari assisten Dokter yang di minta menjaga jenazah William.

Dengan langkah kaki yang terasa berat, Sheisha masuk ke dalam ruang operasi.

Di dalam ruang operasi, langkah kaki Sheisha terasa semakin berat untuk dia gerakkan. Sheisha menangis lirih, dalam hatinya menangis pilu mengingat semua akan kenangan bersama William.

Berkali-kali Sheisha mengusap airmatanya, agar tidak mengalir lagi. Hatinya ingin tegar saat melihat William.

Namun airmata yang mengalir tak juga bisa berhenti, airmata itu mengalir dengan sendirinya, semakin meleleh dan semakin deras.

Jarak Sheisha semakin dekat dengan jenazah William, langkah kaki Sheisha terasa semakin goyah tak mampu lagi untuk berjalan, hatinya tak sanggup melihat keadaan William yang terbujur kaku dengan tubuh yang sudah tertutup dengan kain putih.

"William." panggil Sheisha dengan suara lirih.

Dengan gemetar dan tangan yang terasa lemas, Sheisha membuka kain putih yang menutup wajah William serta seluruh tubuh William.

Airmata Sheisha semakin jatuh berderai saat melihat wajah William yang pucat memutih. Wajah William sangat terlihat tampan dan sangat bersih. Mata dan bibir William terkatup rapat.

Sheisha tak sanggup lagi melihatnya selain terduduk lemas sebuah kursi di samping William.

Dada Sheisha terasa sesak melihat banyak kabel-kabel selang yang masih menancap pada titik titik tertentu di dada William.

Sheisha menangis pilu melihat semua itu, apalagi saat melihat layar monitor yang berada dekat dengan William yang hanya menunjukkan tanda bergaris panjang.

"William." panggil Sheisha masih menangis pilu, hatinya begitu sangat bersedih dan dadanya terasa sesak dengan kenyataan yang telah di lihatnya.

Dengan tangan gemetar Sheisha meraih tangan William yang lemas terkulai, kemudian di genggamnya dan di tempelkannya di salah satu pipinya yang basah dengan airmata.

Kulit tangan William masih terasa hangat saat menyentuh kulit pipi Sheisha.

"William, apa kamu benar-benar telah meninggalkan aku? apa kamu tega meninggalkan aku sendirian Will? Kenapa kamu membuat hatiku sedih Will? kenapa Will?" tanya Sheisha sambil mengusap lembut punggung tangan William.

"Kita baru saja bertunangan dan kita akan segera menikah, tapi kenapa sekarang kamu meninggalkan aku Will? jawab aku Will! kenapa kamu meninggalkan aku dalam keadaan seperti ini?" ucap Sheisha dengan airmata mengalir deras hingga membasahi punggung tangan William.

"Seandainya aku tidak pergi untuk pemotretan itu dan menemanimu pergi ke acara amal itu. Mungkin kamu masih bersamaku, aku pasti yang akan membawa mobil itu karena keadaan kamu dalam keadaan tidak sehat. Aku sangat menyesal Will, aku sangat menyesal. Seharusnya aku tahu kamu pasti tetap pergi ke acara amal itu walau keadaan kamu tidak sehat. Kenapa kamu selalu mementingkan orang lain Will? kenapa kamu begitu baik?" ucap Sheisha di sela-sela isak tangisnya.

"William, bangunlah Will...jangan tinggalkan aku sendirian. Aku sangat membutuhkan Will, Aku sangat mencintaimu." ucap Sheisha menangis meratap seraya bangun dari duduknya dan mendekati wajah William yang terpejam rapat.

Di usapnya wajah William berulang kali berharap William akan terbangun dari kematiannya.

"William bangunlah, aku mohon...jangan tinggalkan aku dalam kesedihan yang dalam Will. Aku tidak ingin kehilanganmu Will. Williaaaammm, aku mencintaimu Will...aku mencintaimuuuu." ucap Sheisha menangis histeris sambil menangkup wajah William.

Seperti orang kehilangan kesadarannya Sheisha mencium seluruh wajah William seolah-olah tidak ingin lepas dari kulit wajah William.

Airmata Sheisha mengalir deras membasahi seluruh wajah dan leher William yang tak bergerak.

Dengan penuh kesedihan Sheisha menenggelamkan kepalanya ke dalam dada William yang telanjang dengan kabel-kabel yang masih terpasang di dadanya.

Rasa putus asa mendera di hati Sheisha, berharap William akan terbangun saat mendengar suaranya dan merasakan pelukannya.

Namun harapan tinggal harapan, William tetap bergeming di tempatnya.

Kepala Sheisha masih terkulai lemas di dada William, tatapan mata Sheisha mulai terasa hampa dengan tangannya yang mengenggam erat tangan William.

"William kamu sudah berjanji padaku untuk selalu tetap bersamaku kan? kenapa kamu tidak mengingat janji itu kenapa???" tanya Sheisha sambil memukul-mukul dada William dengan keras.

"Kamu tidak bisa meninggalkan aku seperti ini Will, kamu sudah berjanji padaku Will. Kamu sudah berjanji tidak meninggalkan aku dalam keadaan apapun." ucap Sheisha masih dengan memukul dada William.

Dengan perasaan putus asa Sheisha semakin menyusupkan kepalanya di ceruk leher William dengan memeluk dada William sangat erat.

"William...aku mohon, bangunlah Will. Aku bisa mati tanpamu Will." ucap Sheisha memejamkan matanya sambil menggenggam tangan William dengan sangat kuat.

Cukup lama Sheisha menangis dalam diam di atas dada William hingga beberapa saat kemudian, Sheisha mendengar sesuatu yang berbunyi di layar monitor yang ada di samping William.


next chapter
Load failed, please RETRY

Cadeaux

Cadeau -- Cadeau reçu

    État de l’alimentation hebdomadaire

    Rank -- Classement Power Stone
    Stone -- Power stone

    Chapitres de déverrouillage par lots

    Table des matières

    Options d'affichage

    Arrière-plan

    Police

    Taille

    Commentaires sur les chapitres

    Écrire un avis État de lecture: C2
    Échec de la publication. Veuillez réessayer
    • Qualité de l’écriture
    • Stabilité des mises à jour
    • Développement de l’histoire
    • Conception des personnages
    • Contexte du monde

    Le score total 0.0

    Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
    Votez avec Power Stone
    Rank NO.-- Classement de puissance
    Stone -- Pierre de Pouvoir
    signaler du contenu inapproprié
    Astuce d’erreur

    Signaler un abus

    Commentaires de paragraphe

    Connectez-vous