Khalid terpana melihat jasad terbujur kaku di hadapannya. Wanita yang sudah dua tahun
ia pacari yang baru dua jam lalu mengalami kecelakaan tunggal setelah menabrak badan jalan. Polisi yang masih berada di ruang jenasah memberikan keterangan bahwa mobil yang disetir sendiri oleh Mutia mengalami rem blong akibat disabotase oknum tak bertanggung jawab.
Khalid menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia berencana akan memutuskan hubungan dengan mutia saat ulang tahunnya yang ke dua puluh dua lusa. Namun Tuhan berkehendak lain. Tuhan lebih memilih mengambil Mutia sebelum keputusan Khalid.
"Apakah Kau yang bernama Khalid?" Tanya seorang perempuan muda pada Khalid yang sedang menatap Mutia. Bukannya menjawab, Khalid justru memandang wanita itu dengan sorot mata tajam. Ia heran pada wanita yang baru saja menyapanya. Wajahnya cantik tapi suaranya pedas seperti cabe rawit yang disambat tanpa garam.
"Dia menitipkan ini untukmu."
Wanita itu mengulurkan sebuah amplop warna hitam ke tangan Khalid. Khalid menerima amplop yang diberikan perempuan di hadapannya lalu memasukkannya dalam saku celananya tanpa berminat membukanya sama sekali.
"Benar saja yang Mutia katakan padaku kalau kekasihnya sangat dingin. Pantas saja saudaraku tidak bisa bertahan hidup lebih lama karena memikirkanmu, Tuan"
Khalid mendengus kasar. Ia ingin sekali mencekik leher perempuan di hadapannya, namun ia tidak melakukannya. Hanya tangannya saja yang mengepal kencang untuk menyalurkan amarahnya.
Melihat tingkah Khalid, Amira tersenyum. Ia tahu bagaimana menghadapi pria arogan sekelas Khalid. Kalau dia menyerah dan lemah, Khalid pasti akan mengecilkan keberadaannya. Sebagaimana halnya Mutia, sepupu yang selalu datang menceritakan keadaan hubungannya dengan Khalid. Ia tertindas, seakan tidak mendapatkan perhatian sama sekali dari Khalid yang katanya sudah memacarinya selama dua tahun. Bukan kemesraan yang Mutia dapat, tapi kekakuan sikap Khalid yang bagaikan gunung Everest.
"Aku Amira, sepupu Mutia." Ucapnya. Khalid tidak melihat Mutia sama sekali. Ia enggan berhubungan dengan wanita yang belum ia kenal. Melihat Amira saat ia mengulurkan kertas kepadanya saja, ia tahu bagaimana sikap wanita itu. entahlah. Khalid merasa kemampuannya membaca wajah orang lain sudah sangat bagus sehingga sekali lihat, dia seakan tahu watak orang tersebut.
"Dia bilang ingin menghentikan hubungannya denganmu kemarin. Ternyata dia benar-benar melakukannya." Sambung Amira perlahan seolah enggan didengar siapapun.
Khalid sebenarnya terkejut dengan pengakuan Amira tentang Mutia yang mengatakan ingin mengakhiri hubungan mereka. Secara tidak langsung, mereka punya niat yang sama satu sama lain dan memiliki penilaian yang sama satu sama lain.
Jika Mutia merasa tidak diperhatikan oleh Khalid, Khalid juga memiliki rasa yang sama. Selama dua tahun ini dia merasa hanya dirinya saja yang menjadi pelaku utama pacaran. Dia selalu menerima sikap manja Mutia dengan wajar. Bukan hanya manja, tuntutan Muta terhadap waktu Khalid juga membuat dirinya merasa menjadi kerbau yang dicocok hidungnya. Tidak memiliki kebebasan sama sekali.
"Aku bukan pelaku kecelakaan ini. Kalau kau berfikir aku pelakunya, kau keliru."
"Aku tahu. Tapi setidaknya, tidak adakah sedikit rasa empati yang kau miliki untuknya?"
"Aku berempati."
"Mana buktinya? Aku bahkan tidak melihat kesedihanmu sama sekali"
"Heh," Khalid melangkah menuju jenazah kekasihnya dan membuka kain penutupnya. Wajahnya ia palingkan saat melihat betapa hancurnya wajah Mutia sampai ia tidak mengenali lagi pemilik wajah cantik yang sudah mengisi hatinya selama dua tahun. hanya baju yang dipakai Mutia yang ia kenal, karena baju itu ia sendiri yang membelikannya.
Khalid menutup kembali kain penutup Mutia dan melangkah meninggalkan kamar jenazah dengan hati yang berkecamuk. Sedih dan bahagia bercampur menjadi satu. sedih karena kekasihnya meninggal dengan keadaan yang luar biasa mengerikan, senang karena ia tidak harus bersusah payah memutuskan hubungan dan menyakiti hati Mutia terlalu lama.
"Apakah aku kejam?" batinnya. Ia menggeleng, seolah menjawab pertanyaannya sendiri.
"Ini bukan salahku" gumamnya. Meskipun bergumam, Amira yang masih mengikutinya, mampu mendengarnya.
"Dasar keras kepala. Sudah seperti ini saja kau masih mengelak kalau kaulah penyebab kematiannya."
"Diam kau perempuan. Aku tidak mengajakmu bicara dan tidak meminta pendapatmu atas masalah yang sedang menimpa saudaramu. Kalau kau bicara lagi, aku tidak bisa menjamin bahwa diriku bisa menahan emosiku."
"Baiklah. Aku akan diam demi saudara sepupuku."
"Apa maksudmu?"
Amira membelalakkan matanya. Enggan sekali sebenarnya ia menerangkan bagaimana kecewa dan marahnya dia dan keluarga Mutia atas perlakuan Khalid selama ini. mereka diam karena mereka tak ingin membuat Mutia sakit hati, tapi kenyataannya . . . Khalid sama sekali tidak peduli.
"Paling tidak kau bisa bertahan lebih lama untuk menungguinya di sini. Setidaknya sampai dia dimandikan dan dikafankan."
"Apakah kau gila? Aku bahkan tidak punya waktu untuk menunggunya, apalagi sampai membuat diriku harus menunggu prosesi itu. Tidak. Tolong sampaikan pada orang tuanya Mutia kalau aku tidak bisa mendampinginya."
Plak.
Cinta, ibunya Mutia melangkah mendekati Khalid dan Amira tanpa kata, lalu menampar wajah Khalid dengan keras. Mendapat tamparan Cinta, Khalid hanya mengusap wajahnya perlahan.
"Terima kasih atas tamparan keras ini. kelak kau akan mendapatkan balasan atas ketidaksopananmu padaku, Nyonya."
Khalid mencoba meninggalkan ruang jenazah dan mengabaikan kemarahan Cinta, namun tangan Amira menghalanginya.
"Apapun yang kau katakan aku sangat tidak peduli, Khalid. Yang jelas hari ini, semua ucapan dan tindakanmu sudah benar-benar membuat kesabaran yang sejak lama kupendam sudah habis. Kalau kau memang mencintai anakku, setidaknya tunjukkan kesedihanmu atas meninggalnya dia hari ini. bukan bersikap arogan seperti itu pada kami. Hiks" Cinta menangis kembali. Ardian, ayah Mutia segera merengkuh tubuh Cinta dengan lembut.
"Sudahlah. Biarkan saja ia begitu karena ia bukan siapa-siapa bagi kita.'
"Tapi Mas, apakah tidak ada cinta sama sekali untuk anak kita di hatinya? Mengapa melihat Mutia terbujur kaku seperti itu saja ia masih arogan seperti itu? Hiks. Kalau benar ia tak mencintai anak kita, setidaknya ia harus diam. tidak usah banyak bicara apalagi bicara kalimat-kalimat yang menyakiti perasaan kita sebagai orang tua Mutia."
Ardian mengecup kening istrinya lembut. Ia mencoba menenangkan Cinta yang sejak mendengar kematian anaknya menjadi pemarah. Berbeda dengan pembawaan hariannya yang sangat tenang dan bijaksana. Amira juga melakukan hal yang sama. Ia mengelus punggung Cinta dan menatap Khalid dengan tatapan tajam, seolah mengintimidasi pria di hadapannya agar tidak bertindak kasar pada keluarga Mutia.
"Sudahlah! Jangan menghiba dan mengemis belas kasihan dari siapapun. Mas tidak suka kau melakukannya, merendahkan dirimu hanya untuk meminta belas kasih darinya. Mas justru bersyukur ia tidak jadi menjadi menantu kita selamanya. Kalau ia menjadi menantu, aku yakin hidup kita akan dalam kesulitan sepanjang hayat masih dikandung badan."
"Mas benar-benar tidak menyayangi Mutia. Sama seperti laki-laki jahat itu."
"Mengapa kau menyamakan aku dengan orang lain?"
"Karena kau memang sama saja."