Sudah lebih dari dua bulan sejak Joy terbangun kembali ke masa lalunya. Dia merasa lega karena hingga sekarang kedua orangtuanya belum bercerai. Hanya saja, dia bisa melihat hubungan kedua orangtuanya masih berada di ujung tanduk.
Yang dikatakan pria misterius itu benar, ayahnya bertahan demi dirinya. Selama dia tidak menyinggung soal perceraian dihadapan ayahnya, maka tidak akan ada perceraian.
Tapi, semakin hari Joy semakin gelisah. Meskipun ayahnya bisa bertahan sekarang, apakah beliau masih bisa bertahan kedepannya?
Bisa saja, ayahnya tidak akan kuat lagi dan memutuskan untuk bercerai juga.
Joy ingin sekali memperbaiki hubungan kedua orangtuanya, sayang... dia tidak tahu bagaimana caranya.
Ayah dan ibunya sama sekali tidak berbicara saat sarapan bersama. Begitu dia berangkat ke sekolah, ibunyapun berangkat kerja.
Sepulang sekolah dia hanya diteman Bibi Keya, kepala pengurus rumah mereka. Dia tidak tahu kemana ayahnya pergi, tapi baik ayah maupun ibunya baru pulang setelah dia tertidur.
Ibunya tidur di kamar utama sedangkan ayahnya tidur di kamar tamu.
Semakin Joy berusaha mencari untuk memperbaiki hubungan kedua orangtuanya, semakin tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Hingga suatu hari hasil ujian tengah semester telah diberikan. Secara kebetulan ayahnya ada di rumah sedang menonton acara berita.
"Papa, Joy sudah pulang."
"Hm.." hanya itu balasan dari ayahnya.
Untuk pertama kalinya dalam ingatannya, dia merasa sedih, tidak.. hatinya merasa sakit saat mendapatkan respon singkat dari ayahnya.
Dia bertanya-tanya, apakah mungkin rasa sakit ini juga dialami ayahnya saat dirinya tidak menghiraukan beliau.
Rasa penyesalannya yang sudah muncul didalam hatinya semakin besar seolah akan melahap habis jiwanya.
Joy terlalu hanyut dalam pikirannya hingga tidak menyadari ayahnya telah mematikan tivi dan memperhatikannya.
"Joy, apakah ada yang ingin kau bicarakan?"
Sebelum menjawab, tangan Joy gemetar. Dia hampir saja meneteskan air matanya karena rasa terharunya.
Siapa yang menyangka, meskipun dia sudah sering kali menyakiti ayahnya, tapi ayahnya masih peduli padanya.
"Nilai Joy tidak bagus." Joy sendiri agak terkejut saat menjawabnya. Kenapa dia harus menyinggung soal nilai pelajarannya?
Tapi karena sudah terlanjur terucap, Joy mencoba untuk melanjutkan kelimatnya.
"Apa papa mau mengajari Joy?"
Rasanya Joy ingin kembali tenggelam di sungai. Selama ini dia tidak pernah memperdulikan ayahnya ataupun mengajaknya bicara.
Sekarang, dia mengajak ayahnya bicara hanya karena dia membutuhkan sesuatu. Seolah-olah hanya karena dia membutuhkan bantuan darurat, dia baru bersedia berbicara duluan. Dia merasa dirinya yang saat ini adalah anak yang tidak lebih baik dari sebelumnya.
"Apa kau bercanda?"
Joy memejamkan matanya tidak berani melihat ekspresi ayahnya.
"Lupakan saja. Kalau papa sibuk, Joy tidak akan mengganggu papa." Dia takut dia akan dimarahi karena itu dia mengatakannya dengan terburu-buru.
"Joy,"
Mendengar namanya dipanggil dengan lembut, Joy membuka matanya dan terkejut melihat ayahnya sudah berdiri didepannya.
"Tadi kau bilang apa?"
Joy mengira ayahnya akan marah padanya karena dia meminta sesuatu yang tidak masuk akal.
Dia ingat ibunya pernah bilang padanya,
'Papamu itu bodoh, malas, tidak bisa bekerja. Bahkan dia hanya bisa masuk di sekolah yang biasa.'
Itulah yang dikatakan ibunya padanya saat beliau meluapkan amarahnya.
Jika yang dikatakannya benar, maka sia-sia dia meminta bantuan dari ayahnya.
Dirinya sudah siap jika dia harus dimarahi atau diomelin, karena itu dia berusaha untuk menenangkan diri. Dengan begitu dia bisa menerima apapun perkataan dari ayahnya tanpa menjadi jengkel.
Tapi anehnya, saat dia mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut ayahnya, disaat bersamaan, Joy melihat sinar mata yang penuh harap dari tatapan ayahnya.
"Tadi Joy bilang kalau papa sibuk, Joy tidak akan mengganggu papa." jawabnya ragu-ragu.
"Bukan. Sebelum itu."
"Sebelum itu... Nilai Joy tidak bagus?" Joy mulai bertanya-tanya kalimat apa yang membuat ayahnya begitu terheran dan penuh semangat.
"Bukan. Setelah itu.."
Setelah itu? Joy kembali berusaha mengingat apa saja yang diucapkannya pada ayahnya. Dan saat dia mulai mengerti apa yang dimaksudkan ayahnya, ritme jantungnya berdetak cepat.
Apakah ayahnya akan memarahinya?
"Apa papa mau mengajari Joy?" ulangnya dengan sangat pelan. Rasa ketakutan menguasainya dengan dahsyat.
Ajaibnya rasa takutnya lenyap seketika saat melihat senyuman lebar menghiasi wajah ayahnya.
"Kenapa baru minta sekarang? Kalau dari dulu kau minta diajarkan, papa pasti akan mengajarimu."
Itulah yang diucapkan ayahnya membuat hatinya yang sudah terluka parah, terobati perlahan-lahan. Hatinya dipenuhi dengan rasa bersalah bercampur dengan haru.
Sungguh. Jika seandainya dulu dia mengajak ayahnya bicara.. tidak. Lima menit saja, jika seandainya dulu dia terbuka pada ayahnya walau hanya lima menit, dia yakin dia tidak akan pernah melontarkan kata 'cerai' itu.
Hari sudah sore, terdengar suara beberapa kendaraan lalu lalang di luar rumah mereka. Beberapa tetangga sudah kembali ke rumahnya masing-masing.
Bibi Keya menyuruh bawahannya untuk menyiapkan makan malam keluarga mereka. Ada juga yang disuruh untuk membersihkan halaman luar.
Bibi Keya sibuk mengurusi segala hal untuk menjaga kebersihan beserta kebutuhan keluarga Gardnerr.
Sementara itu Joy masih fokus pada pelajarannya. Pada awalnya Joy merasa agak bersalah saat melihat ayahnya kebingungan membaca buku matematikanya.
"Hm.. ini berbeda dengan apa yang kupelajari selama ini." sahut ayahnya lebih ditunjukkan untuk dirinya sendiri. "Beri aku waktu satu jam. Sementara itu coba belajar yang lain dulu."
Sebenarnya Joy tidak mengalami kesulitan dalam pelajaran lainnya. Meskipun begitu, dia tetap menurut dan membuka kembali pelajaran biologinya.
Tepat setelah satu jam, ayahnya mulai bertanya padanya mengenai hal yang tidak dimengertinya.
Setelah menunjuk pada sebuah soal, ayahnya mulai menjelaskan bagaimana cara untuk menjawabnya.
Joy mengernyitkan keningnya. Apakah benar ayahnya ini adalah orang bodoh yang tidak diterima di sekolah yang bagus?
Saat ini ayahnya bisa menjawab semua soal yang diajukannya dengan lancar. Bahkan cara penjelasannyapun mudah dipahami.
Dia sudah tidak memikirkan apakah ayahnya bodoh atau tidak, yang pasti saat ini dia terlalu terhanyut pada soal-soal dihadapannya.
Karena dia sudah mengerti cara untuk menjawab soal-soal tersebut, Joy jadi bersemangat untuk mengerjakan semua soal bahkan materi yang belum dipelajari di sekolah, dikerjakannya.
Tanpa sadar hari sudah gelap dan tiba waktunya mereka makan malam. Joy yang masih bersemangat terus mengerjakan soalnya seolah-olah dia tidak kenal rasa lapar.
Joy sama sekali tidak tahu bahwa ayahnya telah pergi untuk menyuruh Bibi Keya membawakan makan malam mereka ke dalam ruang belajar.
Lima menit kemudian, Bibi Keya masuk ke ruangan dengan membawa dua mangkuk sup cumi dan dua piring nasi.
Barulah perut Joy berbunyi minta makanan saat hidungnya mencium aroma harum dari sup.
"Saatnya makan." seru ayahnya membuat muka Joy berseri.
Setelah sekian lama keluarganya makan sendiri-sendiri, untuk pertama kalinya Joy makan malam bersama ayahnya... dan dia merasa gembira menghabiskan hari itu bersama ayahnya.
Joy merasa dia mulai sedikit lebih dekat dengan ayahnya. Dia berharap hubungan mereka menjadi lebih baik dihari-hari berikutnya.
Selesai makan, Joy kembali pada pelajarannya. Dia sudah tidak merasa segan ataupun takut bertanya pada ayahnya. Sama seperti dirinya, ayahnya menunjukkan sikap terbuka terhadap dirinya dan selalu menjawab segala pertanyaannya.
Terkadang Joy lupa atau belum mengerti apa yang diajarkan, tapi ayahnya tetap mengajarinya dengan penuh kesabaran.
Sejak hari itu Joy semakin yakin, ayahnya sama sekali tidak bodoh. Melainkan sangat pintar, bahkan bisa dibilang jenius.
Hanya dalam waktu singkat, ayahnya sudah mengerti pelajarannya dan menjelaskan semuanya dengan lancar.
Tepat pukul sepuluh malam, ibunya barulah tiba di rumah.
Aktivitas Joy terhenti untuk menyapa ibunya. Setelah mendapat balasan, Joy bermaksud kembali pada pelajarannya. Namun dia mengurungkan niatnya saat melihat ibunya yang kelelahan dan duduk di kursi dengan lemas.
Joy bangkit berdiri, kemudian memanaskan sup yang masih ada di microwave. Setelah itu dia pergi menuju ibunya. Dia berdiri tepat dibelakang ibunya, sambil berkata dengan manis.
"Mama, Joy sudah memanaskan sup untuk mama." Joy memijat pundak kedua ibunya yang kaku.
"Hm.. terima kasih." ibunya tampak menikmati pijatan dari tangannya. "Bagian yang ini yang sakit."
Joy memijat pada bagian yang ditunjukkan ibunya. Setelah beberapa saat, tangan Joy mulai terasa sakit dan tidak kuat lagi untuk memijat.
Tapi dia bertekad untuk memijat ibunya, karena itu dia memaksakan dirinya dan terus memijat dengan sekuat tenaga.
Saat dia merasa sudah hampir tidak sanggup lagi, sebuah tangan menepuknya dari samping.
Joy menoleh ke arah ayahnya yang menyuruhnya untuk pergi dari tempatnya. Joy menurut dan matanya terbuka lebar saat ayahnya mengambil alih apa yang baru saja dia lakukan.
"Nah, benar.. yang itu." desah ibunya. "Hmm.."
Joy tersenyum sangat lebar malam itu melihat kedua orangtuanya.
Sepertinya, memperbaiki hubungan kedua orangtuanya tidak sesulit yang ia bayangkan. Joy bernapas dengan lega dan rileks saat menuju ke tempat microwave untuk mengambil mangkuk sup yang dipanaskan untuk ibunya.
Sayangnya, dia sama sekali tidak tahu bahwa ujian sesungguhnya belum terjadi.