Jalanan tidak terlalu mulus, beberapa kali roda kereta tersandung bebatuan yang ada di sepanjang jalan, seorang wanita yang duduk di dekat jendela, terlihat beberapa kali memperbaiki topi lebar yang ada di atas kepalanya, takut kalau terlepas dan rambutnya yang telah ditata sejak pagi akan hancur.
Kereta kuda yang membawanya untuk pergi ke kota kecil ini bukanlah kereta terbaik, melainkan kereta paling standar yang diberikan pihak kerajaan padanya.
Wanita yang duduk di dekat jendela itu adalah Renee Lysandra, atau orang-orang dulunya memanggilnya Lady Renee, seorang aktris teater dari Ibukota kekaisaran, karirnya tidak bagus beberapa tahun terakhir, kalah saing dengan saudarinya.
Hari ini adalah kali pertama ia menginjakkan kaki di kota kecil Dorthive, kota yang dikenal sebagai dengan curah hujannya paling tinggi di daerah Selatan kerajaan, tempatnya sangat terpencil dan hampir berdekatan dengan wilayah perbatasan.
"ketika kau tiba di sana, ingatlah untuk tidak terlalu mencolok," kata seorang laki-laki paruh baya yang ada di depannya, tangannya memegang cerutu yang tanpa henti mengeluarkan asap. "Marquis Leo tidak pernah ramah pada pendatang baru."
"Apa dia sudah menikah?"
Laki-laki paruh baya itu menatap Renne dan menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan jalan pikiran sang Lady.
"Laki-laki seperti Leo tidak akan pernah menikah seumur hidupnya."
Renee menelan ludah, seakan mengerti dengan apa yang dimaksud oleh laki-laki yang ada di depannya ini.
Ketika Renee bergabung dalam teater, tak jarang ia mendengar beberapa gosip tentang para bangsawan di kerajaan ini, nama Leonard Emmanuel adalah salah satu topik yang paling sering dibicarakan rekan-rekannya.
sang Marquis mengalami kecelakaan saat berkuda, membuat kakinya lumpuh dan ia harus menghabiskan waktunya di atas kursi roda selama bertahun-tahun.
Karena hal itulah, banyak rumor yang mengatakan kalau sang Maquis telah kehilangan kewarasannya, ia suka menyiksa dan menghukum para pelayan, tidak jarang teriakan selalu terdengar bergema di setiap sudut mansion mewah miliknya.
Ada beberapa pelayan yang berhasil kabur dan melaporkan hal itu pada Ratu, tapi sekali lagi ... sang Marquis seakan tak bisa disentuh, tidak ada yang bisa menggoyahkan kekuatannya di kota kecil Dorthive.
Hal itu semakin diperkuat dengan Leo yang tidak pernah hadir di jamuan tahunan sang Ratu dalam waktu lima tahun berturut-turut, sang Marquis hanya mengirim hadiah dan tidak pernah menampakkan dirinya lagi, bahkan warga kota Dorthive pun, tidak pernah melihatnya keluar dari Mansionnya.
Hingga kabar tujuh orang yang menghilang dalam satu bulan terjadi, para penasihat Kerajaan curiga dan mengirim Renne untuk menyamar menjadi pelayan di Mansion keluarga Emmanuel.
"Marquis Leo ... tidak mungkin akan diam saja pada tujuh orang yang menghilang itu."
Laki-laki paruh baya di depannya menghembuskan asap dari mulutnya ke luar, menatap pepohonan pinus yang tumbuh subur di sepanjang jalan.
"Bagaimana kalau ia sendiri yang melakukannya?"
Renee menelan ludah, kedua tangannya saling bertaut dengan gelisah, karena banyaknya rumor buruk yang beredar tentang sang Marquis, dirinya pun ikut terpengaruh.
"Renee ... dengarkan aku ... setampan apa pun dia, ingat tujuanmu datang ke Mansion keluarga Emmanuel, kita harus mengetahui siapa dibalik orang-orang yang menghilang ini, lebih cepat lebih baik. Kau bisa bebas dan menerima imbalan dari Ratu."
"Ya, aku mengerti Tuan Hugo."
Renee tersenyum tipis, ia tidak berminat lagi berbicara dengan Hugo, sebaliknya ia kini melemparkan pandangannya ke luar jendela, melihat situasi kota Dorthive yang terlihat basah dan lembab di mana-mana.
Renee mendengkus pelan, matanya melirik ke jalanan yang penuh dengan semak perdu yang tumbuh subur, karena hujan yang terus turun sepanjang tahun. Lumut dan talas ada di mana-mana, hampir di sepanjang jalan jalan yang mereka lalui berlumpur, untungnya ada bebatuan kerikil, sehingga roda tidak terperosok.
Rumah-rumah yang ada di sini memiliki model yang sama, jendela besar dinding beton dan halaman yang luas, jarak rumah dari satu ke yang lain berjauhan, sehingga menampilkan kesan bahwa kota kecil ini sangat sepi.
"Itu adalah Mansion Keluarga Emmanuel." Laki-laki di depannya itu menghembuskan asap keluar jendela, ia terkekeh. "Seperti biasa, orang kaya selalu punya rumah besar dari yang lain."
Renee melihat sebuah bangunan berwarna hitam di atas bukit, terlihat gagah sekaligus suram, entah kenapa Renee bisa melihat kalau Mansion itu menggambarkan sosok sang Marquis.
"Kita sampai."
Kereta kuda berhenti di depan gerbang Mansion yang terbuat dari bata merah, Laki-laki itu membawa Renee turun, ada dua orang pelayan yang sudah berumur menyambut mereka.
"Tuan Hugo." Seorang pelayan wanita menyala dengan wajah dingin, ia memakai baju khas berwarna hitam putih, tipikal pakaian pelayan standar. "Apakah dia adalah Pelayan yang anda rekomendasikan?"
"Ya, Ivana ... perkenalkan dia adalah Renee." Laki-laki yang membawa Renee itu memperkenalkan, ia tersenyum lebar. "Renee berasal dari desa Kortham, gadis kecil ini cukup pemalu, tapi aku jamin ia bisa menutup mulutnya rapat-rapat."
Senyum Renee hampir membeku ketika mendengar ucapan Hugo, begitu ia hendak menoleh, Ivana mengangguk.
"Ayo masuk, aku akan membawamu pada Tuan."
Renee mengangguk, melirik Hugo yang melambaikan tangan padanya, mereka tidak berbasa-basi dan langsung masuk ke dalam Mansion.
Ketika Renee masuk, ia hanya bisa merasakan kesuraman yang ada di tempat ini semakin kuat, semua warna yang ada di sini terkesan gelap, vas-vas bunga berisi dengan bunga mawar yang entah kenapa bukannya terlihat segar, malah terlihat telah kehilangan pesonanya.
Tirai-tirai yang menutupi jendela tidak dibuka, mungkin itu adalah alasan kenapa mansion ini terasa suram, lampu-lampu tetap menyala meski di siang hari dan lantai terasa lebih dingin daripada yang pernah Renee rasakan.
Seorang pelayan datang dengan langkah pelan, ia menundukkan kepalanya ketika melihat Ivana dan Renee.
"Nyonya, Tuan baru saja keluar dari ruang bawah tanah dan ada di ruang kerja."
Ivana mengangguk, ia mengisyaratkan agar Renee mengikuti langkahnya, berjalan lurus.
Renee tidak bisa menahan rasa gelisah di hatinya, meski Hugo mengatakan tugasnya di tempat ini hanya memantau apa yang dilakukan oleh sang Marquis, tapi ia tidak bisa tidak terpengaruh dengan rumor-rumor yang telah beredar luas di masyarakat.
"Karena kau adalah orang baru, aku akan memberimu beberapa saran," kata Ivana sambil melangkah, bunyi sepatu yang mengetuk itu bergema di lorong panjang yang gelap. "Jangan tersenyum pada Tuan, jangan bicara pada Tuan kalau tidak diajak bicara, jangan melakukan sesuatu tanpa disuruh oleh Tuan dan ...."
Ivana berhenti di depan pintu ruang kerja yang yang tertutup rapat, di samping jendela tertutup tirai dan cahaya matahari di luar sana tidak mampu menembusnya.
"Jangan pernah berpikir bisa keluar dari Mansion ini tanpa persetujuan Tuan Leo."
Renee menelan ludah, pintu ruang kerja terbuka dan menampilkan sosok laki-laki yang duduk di kursi roda, wajahnya dingin dan datar, mengenakan pakaian putih bersih dan celana hitam.
"Apakah dia Pelayan baruku?" Leo bertanya, suaranya yang serak itu seakan memberi ilusi bahwa suasana hatinya sekarang tidak begitu baik.
"Ya, Tuanku ... wanita ini adalah Renee Lysandra dari desa Kortham, siap melayani anda."
Renee mengulurkan tangannya pada Leo, ia mendengar desisan dari mulut Ivana dan hendak menarik tangannya kembali.
Tanpa diduga, laki-laki yang ada di kursi roda itu menyambut uluran tangannya. Renee mendongak dan menatap mata hitam seperti jelaga yang ada di depannya itu.
"Senang bertemu denganmu, Renee ..."
Renee menganggukkan kepala, matanya turun ke tangannya yang masih berpegang dengan tangan Leo, di ujung lengan baju laki-laki itu, ada satu titik noda merah yang warnanya terlihat pudar, tapi entah kenapa Renee punya firasat.
Bahwa noda itu adalah darah.
Selamat datang di cerita fantasi keempat saya yang berjudul Lady Renee, semoga suka dan terhibur (◍•ᴗ•◍)❤
Jika berkenan silakan tinggalkan power stone atau komentar (≧▽≦)
Selamat membaca (◍•ᴗ•◍)✧*。