Chatty Chatty Mouth
= The Gladiators =
.
Mulut cerewet
Jadilah bijak dan tahu budaya Anda
Bosmu adalah seorang pejuang
Mulut cerewet, kau pengkhianat
Anda berdua merendahkan kerendahan hati
Juga bertarung melawan yang lemah lembut (oh yeah)
Bosmu akan hilang
Dan mulut cerewet Anda mendapat pukulan
Anda dan bos Anda akan lenyap
Jika Anda tidak mau mendengar
Anda akan mendapat pukulan
Anda akan ditimbang dalam keseimbangan
Dan ditemukan kekurangan Anda
===============
Siang ini ketika dia sedang bersantai dengan Kevin bersantap siang di sebuah restoran hotel tempat mereka menginap, ponsel Vince bergetar. Vince meraih dari saku celananya.
"Ya, Pa?" Ternyata Benetton Hong yang menghubungi. "Iya, aku tau. Ya, nanti akan aku periksa setelah aku makan bersama Kev. Ya, aku tau, jangan kuatir."
Lalu panggilan disudahi dan ponsel dimasukkan kembali ke saku celana.
"Ada apa ayahmu menelepon? Untuk mengecek sudah berapa wanita yang kau tusuk setelah kau di London?" goda Kevin.
Vince tidak terpengaruh dan tetap melanjutkan menyendok sop daging kepiting ke mulutnya sebelum menyahut, "Kau pikir ayahku seperti ayahmu yang kerap bertanya kau tidur di ranjang siapa setiap malamnya?"
Kevin terkekeh kecil. Ia tau ia takkan bisa menang mendebat sahabat dia. Partner in crime dia. Termasuk partner in sin juga?
Vince menepati janjinya pada sang ayah. Dia tidak kemana-mana setelah makan siang ini, selain hanya ke kantor milik sang ayah di pusat bisnis London.
Sudah beberapa hari ini semenjak dia injakkan kaki di London, dia datang ke kantor pusat perusahaan ayahnya di Distrik Mayfair. Distrik itu banyak berisi kantor perusahaan-perusahaan terkemuka, kedutaan, lembaga-lembaga keuangan, bisnis real-estate, hotel-hotel mewah, dan juga restoran berkelas.
Begitu Vince menampakkan diri, para pegawai segera membungkuk penuh hormat ketika melihat Vince yang dibalas dengan anggukan singkat dari anak sang konglomerat Asia.
Seorang asisten segera berlari menyambut Vince dan mengantarkan Vince ke ruangan Presdir yang akan menjadi ruang bagi Vince selama dia di London.
Asisten itu bernama Abraham, namun Vince lebih suka memanggil dia Abe. Dia pria muda berumur tiga puluhan awal. Lebih tua sedikit dibandingkan Vince, namun wajah Abe masih seperti pria baru lulus SMA. Abe berasal dari Thailand. Dia manis dan patuh.
Ketika Vince sudah mulai memasuki ruangan pribadinya, tiba-tiba di dalam ruangan sudah ada sekretaris dia, perempuan muda usia 25 tahun berdarah campuran Filipina dan Inggris bernama Shea.
Shea gadis manis meski tidak mewarisi rambut blonde seperti ayahnya. Namun matanya berwarna hijau gelap yang eksotis.
Tuan Benetton Hong sengaja mempekerjakan banyak orang Asia di beberapa perusahaan dia. Tuan Besar Hong ingin memakmurkan orang-orang Asia.
Namun, meski Shea manis dan menarik, Vince hanya meliriknya sekilas saja lalu berjalan ke kursinya. Ia segera tenggelam dalam file-file perusahaan.
Meski Vince doyan bersenang-senang, namun dia juga paham dengan kewajiban dia. Di situlah Benetton menyukai anaknya. Sang ayah tau kelakuan gila anaknya, tapi Vince juga bisa diandalkan sebagai penerus yang kompeten.
Vince menelusuri banyak file dan berkas laporan perusahaan selama satu jam lebih, tak menyangka hari sudah menjelang sore.
"Tuan Muda Hong, silahkan tehnya." Suara lembut Shea menghentikan Vince dari pekerjaannya. "Ini teh almond yang sangat wangi dan segar."
"Oke, terima kasih, Shea." Vince meraih cangkir teh di depannya dan menyesap sedikit. "Hum... Memang enak. Apa kau membelinya khusus atau-?"
"Saya tak sengaja membeli teh ini saat ada festival Minggu lalu. Dan karena sangat enak, maka saya beli lagi untuk Tuan di kantor. Maaf kalau saya lancang." Shea menunduk.
Vince menyesap lagi tehnya sampai setengah cangkir. "Tak perlu kuatir. Ini sungguh enak. Dan aku akan membelinya untuk semua pegawai di sini. Tolong beritahu Abe mengenai ini."
Shea terlihat lega. "Ya, Tuan."
Tapi, Abe sudah muncul terlebih dahulu di ruangan itu.
Vince segera bicara, "Abe, coba kau atur agar kantor ini punya persediaan teh almond seperti yang dibeli Shea. Kau bisa tanya Shea mengenai itu. Aku yang akan membayarnya."
Abe melirik Shea yang tertunduk di dekat mereka. "Ya, Tuan. Akan saya laksanakan. Apakah ini Tuan akan pulang?"
"Ya. Sepertinya semua berkas sudah selesai aku periksa." Vince mulai berdiri setelah menghabiskan semua teh di cangkirnya.
"Saya akan siapkan mobil untuk mengantar Tuan." Abe mulai mengambil ponselnya.
"Tak usah, Abe. Aku bawa mobil sendiri ke sini." Vince menolak halus.
"Kalau begitu, akan saya kemudikan untuk Tuan. Bagaimana pun, keselamatan Tuan adalah tanggung jawab saya." Abe bersikeras.
"Oke, oke." Vince menyerah. Ia menoleh ke Shea. "Mau pulang bersamaku sekalian? Ah, maksudku... Kuantar sampai rumahmu." Ia buru-buru menjelaskan maksud ucapannya sebelum Shea memikirkan hal lain.
Shea tampak terkejut dengan tawaran Vince. Ia tak menyangka akan mendapatkan kesempatan satu mobil dengan Vince dalam rangka pulang. "Apakah... tidak apa-apa?"
"Tentu saja tidak apa-apa. Anggap saja aku berterima kasih atas teh enakmu tadi. Ayo! Lekas kemasi barang-barangmu dan kita turun bersama."
Mata Shea berbinar. "Baik, Tuan! Segera berkemas!" Ia langsung ke mejanya yang berada di ruangan sama dengan Vince dan secepat kilat membereskan semua barang dan tasnya.
Ketiga orang itu pun keluar dari ruangan secara bersama-sama kemudian turun menggunakan lift juga bersama-sama. Banyak pegawai yang menoleh heran. Beberapa pegawai wanita mencebik iri pada Shea yang dianggap beruntung karena bisa pulang bersama Presdir mereka.
Sudah bisa dibayangkan betapa bersyukurnya Shea bisa diantar pulang oleh sang Bos.
Semua pegawai di London tau mengenai kehebatan Vince. Hebat mengurus perusahaan ayahnya, sekaligus hebat di ranjang. Rumor tentang Vince sudah merajalela di lingkungan pegawai.
Tak pelak, mereka selalu mengkaitkan setiap wanita yang berjalan dengan Vince merupakan penghangat ranjang sang Tuan Muda Hong.
Kasak-kusuk soal Shea pun berkembang sampai keesokan harinya. Banyak pegawai yang terus menggosipkan antara Shea dan Vince.
"Pasti semalam dia sudah tidur di ranjang Sir Vincent."
"Dasar jalang kecil!"
"Sepertinya kau mengucapkan itu dengan nada penuh kecemburuan?"
"Enak saja! Aku hanya tak mengira perempuan kecil itu bisa langsung menggaet Tuan Vince begitu Tuan Muda di London!"
"Apalagi mereka satu ruangan. Pasti akan lebih mudah bagi Shea untuk menggoda Pak Vince!"
"Hah! Hanya Tuhan dan mereka yang tau seperti apa kelakuan mereka di ruangan itu..."
"Apakah menurutmu Abe ikut meramaikan ruangan itu?"
"Hei!!! Maksudmu threesome?"
"Khuhuhuu... Otakmu nakal sekali!"
"Yah, siapa tau Shea tak puas hanya ditindih satu pria saja."
"Aku penasaran bagaimana rasanya ditindih Pak Vince..."
"Perbaiki dulu badan gendutmu itu kalau mengharapkan Tuan Vince!"
"Eh, siapa tau selera Pak Vince juga wanita berisi?"
"Isimu itu melebihi kapasitas, Nona!"
"Hahaha..."
"Kalian jahat..."
Dan begitulah celotehan para pegawai membicarakan Shea dan Vince. Tentu saja ada nada iri serta cemburu terselip dikomentar mereka. Namun, takkan ada yang mau mengakui.
Vince Hong bagaikan burung Hong yang agung dan susah diraih. Mengepakkan sayapnya untuk membumbung ke angkasa tinggi tanpa bisa digapai siapapun yang tidak diinginkan dia.
Tadi malam, Vince tidak mencari kehangatan perempuan manapun. Dia langsung tidur di kamar Penthouse hotelnya setelah berjam-jam duduk di kantor untuk memeriksa berkas.
Kevin yang mengetahui itu pun tidak berniat mengganggu dan pergi sendiri untuk berburu. Perjalanan Kevin ke London bukan demi mengurus bisnis, melainkan hanya sekedar jalan-jalan sesuka hati.
Urusan bisnis sudah ada saudara dia yang lain sehingga ayahnya tidak terlalu membebani Kevin dengan pekerjaan.
Pekerjaan Kevin adalah menghabiskan uang ayahnya.