"Setelah ini mama sama papa mau ke Bandara lagi, mama berdo'a semoga keajaiban akan datang dan menyelamatkan kakakmu." Fano memeluk mamanya, dan mengelus punggungnya agar mamanya sedikit tenang.
"Iya mam, Fano juga berdoa'a yang sama seperti mama, kasihan kak Raya yang begitu kehilangan."
Fano dan Mamanya berjalan menuju ruangan Raya, setelah pesanan nasi untuk papa Alan dan papa Raya selesai dibuat, melihat papanya Alan sama Herlambang di luar membuat mereka bingung,
"Ada apa pah?" mereka berdua menunduk, raut wajahnya tidak baik.
"Raya pingsan lagi di kamar mandi dan sesak nafas, dokter sedang menangani." badan mama Alan gematar, nasi kotak yang di belinya jatuh kelantai.
"Duduk mam!" Fano cemas melihat wajah mamanya pucat dan gemetar.
"Semoga Raya kuat, mama mencoba kuat di hadapan Raya agar Raya juga kuat tapi, sepertinya Raya memang rapuh, mama tidak bisa menyalahkannya karena hamil tanpa Ayahnya itu sulit, apalagi ini keadaan Alan masih belum jelas." Mama Alan menangis tak kuasa membendungnya, dadanya sangat sakit memikirkan Alan.
"Tenang aja mam. Aku yang akan menguatkan kak Raya, percaya sama Fano." mata Fano menandakan ketulusan,
Dokter keluar dan memandang Herlambang,
"Gimana Frans?" mata Herlambang menatap Sahabatnya mengharap Raya baik- baik aja,
Frans menarik nafas panjang,
"Kalau dia merespon dukungan kalian mungkin akan baik- baik aja. Tapi, kalau dia terlalu larut dalam kesedihannya aku takut salah satu diantara mereka bahkan semuanya kalah." Frans menarik napas panjang tak berdaya,
"Boleh saya melihatnya?" Fano menatap dokter Frans,
"Silahkan!" Fano langsung masuk kedalam dan terlihat Raya begitu lemah dengan setengah sadar Raya tersenyum pada Fano,
"Sayank... kamu udah pulang? kemarilah aku sangat merindukanmu!" Fano mendekat dan duduk di samping Raya, Raya tersenyum lagi, dan meremas tangan Fano, begitu lembut dan manja.
"Anak kita baik- baik aja Lan, aku selalu menjaganya..."Tangan Raya pindah membelai muka Fano, Fano yang pernah merasa kehilangan terdiam membeku menatap Raya, setelah membelai muka Fano, tangan Raya jatuh tiba- tiba dan terlihat mulai memejamkan matanya,
"Aku berjanji akan melindungimu sampai kak Alan di temukan, jika tidak aku akan melindungimu seumur hidupku."Gumam Fano, Fano menguasap tangan Raya, tatapannya sendu...
"Fano, mama sama papa ke Bandara dulu, mau liat perkembangan kakakmu, apa kamu?" Mama Alan tak melanjutkan kata- katanya, tapi di jawab Fano sambil tersenyum,
"Aku di sini, nanti minta tolong sopir untuk mengambilkan baju gantiku mam."
"Oke jaga kakakmu baik- baik!" Fano menganggukan kepalanya dan tersenyum.
"Siap mam... Aku jaga sama papa Herlambang." jawabnya,
Orang tua Alan kembali ke Bandara untuk mendapatkan informasi selanjutnya,
info yang di dapatkan pesawat mendarat darurat di laut dan kondisi pesawat hancur separuhnya ada beberapa yang selamat. kondisinya kritis dari 150 penumpang baru 10 orang yang selamat dari maut tapi keadaannya juga kurang baik, Alan belum di temukan, Mama Alan lemas tatapannya kosong,
"Pah... apa kita tidak akan bertemu Alan lagi?"
"Kita berdoa yang terbaik!" Mama Alan mengangguk, air matanya selalu jatuh di pipinya tanpa terkendali hanya dengan mengingat Alan.
"Ayo kita pulang, besok kita kesini lagi!" Papa Alan mengandeng istrinya yang lemas.
Mereka pulang dengan tangan kosong hari ini, tapi dalam hatinya masih berharap esok atau lusa akan ada kabar baik,
***
Pagi yang lumayan cerah mata Raya terbuka, Raya menatap ke sekeliling ruangan papanya masih tertidur di sofa tapi tangannya memegang sesuatu, Raya melihat tangannya, ternyata tangan Fano, Fano tidur sambil duduk,
"Ya Tuhan Fano..." Ada rasa bersalah di raut wajah Raya, saat Raya melepas tangan Fano, Fano terbangun,
"Pagi kak... gimana tidurmu?" Raya tersenyum kaku dan agak canggung karena tadi posisinya dia yang memegang malah setengah memeluk tangan Fano.
"Lelap... Fano maaf..." Raya tertunduk,
"Ah tidak apa- apa kak..." Fano tersenyum menatap Raya yang makin salah tingkah.
"Alan adalah Alan dan kamu tetaplah kamu... jangan menjadikanmu bertanggung jawab atas apa yang terjadi." Fano tersenyum lagi,
"Kalian segalanya untukku... jadi kumohon aku ambil bagianku di keluarga ini! bukan menggantikan kak Alan tapi, setidaknya aku jadi temanmu sekarang dan menjagamu." Di mata Fano terlihat ketulusan yang tidak di buat - buat.
"Makasih Fano..." Fano tersenyum untuk kesekian kalinya...
"kakak mau makan atau mau mandi dulu? aku panggilin suster kalo mau mandi?"
"Aku sendiri aja ..."
"Jangan donk kak, aku takut kakak seperti kemarin lagi..."
"Tapi..." Raya merasa risih kalau mandi di temani orang asing walaupun itu suster, Fano mengerti.
"Baiklah aku tunggu di depan pintu, jangan lama- lama dan jangan dikunci jadi kalau ada apa- apa, aku tidak mesti mendobrak pintu seperti kemarin,
Raya mengangguk, 30 menit Raya di kamar mandi, selama di kamar mandi Raya dan Fano mengobrol jadi Fano bakal tau kalo Raya kenapa- kenapa didalam, aneh juga kelakuan adiknya Alan tapi, Raya mengerti semua itu karena Fano khawatir, Raya keluar dan telah berganti baju,
"Maaf kak aku tidak membantu kakak ganti baju." ucap Fano polos, Raya langsung tertawa mendengarnya,
"Ada yang salah kak?" Fano mengerutkan keningnya,
"Aku sama kamu orang dewasa ..." Fano baru menyadari kekonyolannya dan menggaruk kepalanya yang sebenarnya sama sekali tidak gatal, ketika Raya melangkah, Sandal Raya basah menginjak lantai terpeleset, dengan cepat Fano menangkap badan Raya, Sekilas Raya mencium bau parfum maskulin suaminya.
"Gucci Guilty Black." Gumam Raya, aromanya tak dapat disangkal membuat Raya mengingat Alan,
"Parfum kita sama... kami berjauhan tapi sehati cuma kulitku aja yang beda." Fano menggandeng Raya ketempat tidur, perlakuan Fano sama persis dengan Alan, membuat air mata Raya jatuh seketika,
"Kaki kaka sakit?" tanpa menunggu jawaban Raya, Fano mengangkat badan Raya ketempat tidur, lalu mengecek kaki Raya,
Raya makin terisak mendapat perlakuan seperti itu, Fano menarik tubuh Raya kepelukannya,
"Jangan pernah menangis lagi selama ada aku... ! kak Alan berpesan agar aku menjagamu, jadi berhentilah!" Fano mengusap air mata Raya,
"Aku mau melihat proses pencarian Alan." Raya menatap Fano,
"Kalo begitu cepat sembuh dan harus kuat, aku tidak mau kamu dan baby kamu kenapa-napa." Raya mengangguk,
***
10 hari pencarian dan akan di hentikan...
Alan belum ditemukan, proses identifikasi jenazah juga sudah dilakukan tetapi sama sekali tidak membuahkan hasil,
Raya dengan tegang berjalan diantara barang- barang korban yang tergelaetak di pinggir pantai, Raya meneliti satu persatu dan berhenti di sebuah koper yang tidak asing baginya ada foto kecil yang menempel di koper, Foto Alan... tidak terasa airmatanya jatuh, Raya menatap membelainya, Fano menahan tubuh Raya yang mulai kurang keseimbangannya,
"Fano.... separuh hidupku telah hilang, lihatlah!" Raya menahan sesak di dadanya, terasa sulit bernafas seakan tertimpa benda yang sangat besar, mama Alan juga berreaksi sama dengan Raya,
"Aku tau... tapi kita tidak boleh putus asa, semoga ada keajaiban yang tak terduga."
"Aku juga berharap begitu, aku harap Tuhan bermurah hati terhadapku... mengembalikan Alan kepadaku." Raya duduk di depan barang- barang Alan, menatapnya dengan pandangan lesu,
"Alan... rasanya aku tidak bisa berdiri tegak mulai hari ini, dan jika kamu benar- benar pergi aku seperti mati, jika kamu tidak menitipkan kado terindahmu dirahimku mungkin aku akan pergi ketengah lautan dan melompat kedalamnya bersamamu..." Raya bergumam, namun masih terdengar di telinga Fano, Fano menatap Raya dalam, masuk kedalam fikiran Raya merasakan kepedihannya, Fano menarik tangan Raya,
"Ayo pulang sudah senja...! kita tinggal menunggu kabar kak Alan, kamu perlu istirahat kak." Raya mengangguk dan berdiri menatap lagi koper Alan dan perlahan melangkah menjauhinya diikuti Fano, langkah Raya gontai sama sekali tidak bertenaga beberapa kali tersandung karena tidak fokus berjalan tatapannya kosong, akhirnya Fano menggandengnya...