Télécharger l’application
33.33% Indigo / Chapter 9: Chapter 8

Chapitre 9: Chapter 8

Siang hari yang begitu cerah, orang-orang tengah sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Sintia sedang terduduk di sebuah sofa, dengan tatapan kosong, rambut yang tak beraturan, dan juga napas yang tersengal-sengal. Suara air keran yang menyala, membuatnya menoleh dengan seketika. Ia beranjak dari duduknya, berjalan dengan perlahan dan mencoba melihat ke arah dapur.

Sesosok makhluk berbaju putih, tengah duduk di atas meja makan. Dengan kaki yang diayunkan, serta rambut panjang. Sintia berusaha menahan napas, sesaat setelah makhluk itu menoleh dengan sebuah seringai. Mulut koyak, wajah penuh luka, serta leher yang hampir putus. Menatap Sintia dengan tatapan tajam. Wanita paruh baya itu, berjalan mundur dengan perlahan. Namun, makhluk itu terus saja menatap Sintia.

"Pe-pergi, kenapa menatapku terus seperti itu!" teriak Sintia yang terdengar ketakutan.

Terdengar suara televisi yang tiba-tiba saja menyala, sontak membuat Sintia menoleh. Tak ada siapa pun di sana, hingga ia kembali menatap dapur. Dan ternyata, makhluk itu sudah tidak ada di sana. Sintia merasa tenang, hingga ia pun kembali berbalik ke arah ruang tamu. Namun, tiba-tiba saja wajah itu kini tengah berada tepat di hadapannya.

Sontak Sintia langsung berteriak ketakutan.

"Aaaaaaaaaa!" Ia pun jatuh terduduk di atas lantai dapur.

Hantu wanita yang wajahnya sudah tak berbentuk itu menyeringai. Ia merangkak mendekati Sintia yang ketakutan. Tentu saja, wanita itu perlahan mundur dengan menggunakan tangannya. Dengan tenaga yang masih ia miliki, wanita itu berusaha untuk tetap menjauh.

"Pergi! Jangan dekati aku, pergi!!" ucapnya.

Hantu itu terus saja mendekati Sintia. Hingga wajah mereka kini benar-benar dekat. Bau amis dari darah, bisa ia cium dengan jelas. Sejenak wanita koyak itu menyeringai, Sintia memejamkan matanya. Tak ingin melihat wajah menyeramkan itu lebih dekat lagi.

Hingga bau amis itu pun hilang, wanita paruh baya itu pun kembali membuka matanya. Kosong, tak ada apa pun di sana. Ia menarik napasnya, mencoba kembali bangkit dari duduknya. Sampai akhirnya sesuatu menyentuh pundaknya.

Tangan hitam dan kuku yang panjang, membuat wanita itu kembali ketakutan. Bukan hanya di situ saja, rambut Sintia kini ditarik dengan keras oleh hantu wanita yang kini tengah bermain dengannya. Ia menghempaskan tubuh wanita itu, hingga terbentur kaki meja makan. Sintia meringis kesakitan, ia mulai menangis sejadi-jadinya.

"To-tolong hentikan," ucapnya dengan lirih.

Hi-hi-hi-hi

Hanya suara itulah, yang terdengar di telinga Sintia. Suara yang seperti menertawakan penderitaan wanita paruh baya itu. Tak sampai di situ, kini giliran kaki Sintia yang ia tarik dengan keras. Dan kembali menghempaskan tubuhnya ke arah tembok. Tak mengindahkan suara tangisan dari Sintia, ia kembali mendekati wanita itu dengan merangkak.

Kukunya yang panjang, kepala yang ia gerakkan ke kiri dan kanan secara perlahan. Membuat wanita itu kembali memohon.

"To-tolong pergilah, aku mohon," ucapnya disertai dengan suara tangisan.

Rasa pusing di kepalanya, akibat tarikan rambut yang begitu keras. Dan rasa sakit di tubuhnya karena benturan yang keras pula. Membuat Sintia tak tahan lagi, apalagi dengan tatapan menyeramkan dari hantu wanita yang kini tengah menyiksanya.

Seperti belum puas dengan korbannya, hantu itu kembali menggoda Sintia. Secara perlahan, ia mengelus perut dari wanita yang setengah sadar itu. Dengan kuku yang panjang, ia menusuk perut Sintia dengan kasar.

"Aarrrgghhhhh!" Seketika Sintia merasakan sakit yang luar biasa. Darah segar pun mulai mengalir dari mulutnya.

Hantu itu kembali menyeringai penuh kemenangan. Ia memperdalam tusukan di perut Sintia. Lalu, kemudian ia mencabut kukunya di perut wanita itu.

Tak memperdulikan kesakitan yang dirasakan Sintia, kini ia mulai mendekati wajah wanita itu. Dengan tangannya sendiri, ia mencekik Sintia dengan cukup erat. Sintia yang sudah tak berdaya, kini hanya bisa menatap hantu wanita itu dengan sayu.

Tubuhnya kini terasa ringan, bagai sebuah kapas yang di terbangkan oleh semilir angin. Napas yang ia hembuskan untuk terakhir kalinya, membuat hantu wanita itu tertawa cukup keras.

Hi-hi-hi-hi

Dengan datangnya semilir angin, wanita itu perlahan menghilang.

.....

Meghan dan Reva yang tengah berjalan di tengah hingar bingar suasana kota Jakarta, dengan luntang lantung. Tanpa arah tujuan yang pasti, seperti orang yang kebingungan.

"Kak, kita mau kemana?" tanya gadis itu.

"Kita akan mencari kontrakan," jawab Meghan.

"Masih jauh?" tanya Reva lagi.

"Lumayan," ujarnya.

Reva memajukkan bibirnya, ia berjalan dengan sedikit menghentakkan kakinya di atas trotoar jalan.

"Aku kesal, kenapa bibi begitu membenci kita?"

"Mungkin, karena semalam kita mengganggu tidurnya. Jadi, Reva jangan marah lagi seperti itu, yah?"

"Iya Kak, lagi pula aku senang, karena bibi sudah tidak ada lagi," ucapnya dengan sebuah seringai aneh di bibirnya.

Meghan hanya menatap Reva aneh. Pasalnya, ia tidak pernah melihat Reva menyeringai seperti itu. Ekspresi gadis itu berubah menjadi ceria, hingga ia berjalan mendahului Meghan.

"Reva, tunggu!" panggil Meghan.

Gadis itu tak menggubris panggilan Meghan. Ia terus berjalan hingga menyebrangi jalan dengan banyak kendaraan yang berlalu lalang. Reva tak memperdulikan suasana jalanan yang ramai.

Hingga tiba-tiba saja, sebuah mobil melaju dengan kencang. Suara klakson dari sang pengemudi itu tak membuat Reva berhenti. Ia terus berjalan dengan riang di tengah jalan.

Meghan yang melihat itu langsung berlari dengan kencang. Untung saja, sang pengemudi langsung memberhentikan mobilnya, sesaat sebelum ia benar-benar hampir menabrak gadis itu.

Meghan langsung memeluk Reva dengan erat. "Reva?"

Gadis itu menatap Meghan dengan tatapan heran, ia melihat ke arah sekelilingnya. Banyak sekali orang yang tengah memperhatikan mereka.

"Kenapa ... banyak sekali orang yang menatap kita?" tanya Reva dengan polos.

Meghan tak habis pikir, ia benar-benar terkejut dengan kejadian ini. Hingga suara sang pengemudi mobil mengangetkan mereka berdua.

"Woy, kalau jalan tuh hati-hati! Lihat-lihat dong kalau nyebrang!"

"Ma-maafkan kami," ucap Meghan, ia membungkukkan badannya tanda meminta maaf. Kemudian ia membawa Reva kembali ke trotar jalan.

Orang-orang yang tadi memperhatikan mereka, mulai berjalan dan kembali melakukan aktivitas mereka masing-masing. Suasana jalanan pun kembali berjalan normal.

Meghan menatap Reva dengan wajah khawatirnya. "Reva, apa yang kamu lakukan?"

"Apa yang aku lakukan? Memangnya, tadi aku melakukan apa?" tanya balik gadis itu.

Dheg!

Meghan benar-benar tak percaya dengan apa yang di ucapkan gadis itu. Bagaimana mungkin, ia tak ingat dengan apa yang baru saja ia lakukan.

……

To be continued …


next chapter
Load failed, please RETRY

Cadeaux

Cadeau -- Cadeau reçu

    État de l’alimentation hebdomadaire

    Rank -- Classement Power Stone
    Stone -- Power stone

    Chapitres de déverrouillage par lots

    Table des matières

    Options d'affichage

    Arrière-plan

    Police

    Taille

    Commentaires sur les chapitres

    Écrire un avis État de lecture: C9
    Échec de la publication. Veuillez réessayer
    • Qualité de l’écriture
    • Stabilité des mises à jour
    • Développement de l’histoire
    • Conception des personnages
    • Contexte du monde

    Le score total 0.0

    Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
    Votez avec Power Stone
    Rank NO.-- Classement de puissance
    Stone -- Pierre de Pouvoir
    signaler du contenu inapproprié
    Astuce d’erreur

    Signaler un abus

    Commentaires de paragraphe

    Connectez-vous