"Rian! Di sini!" Teriakan nyaring itu membuat Rian yang baru saja masuk ke dalam kantin menoleh dan mendapati Arga yang duduk di pojok kantin tengah melambai padanya. Ia pun segera melangkahkan kakinya ke sana.
"Gimana? Bu Freya bilang apa ke lo?" tanya Arga sesaat setelah Rian duduk di hadapannya.
"Katanya, cobalah berdamailah dengan hujan," jawab Rian sambil mengaduk-aduk bakso yang telah dipesankan oleh Arga sebelumnya.
Arga tersenyum miring. "Ya ampun, Bu Freya kayak masih belum kenal lo aja. Jadi, lo jawab apa ke Bu Freya tadi?"
Rian meniup kuah baksonya yang masih mengepul lalu menelannya, kemudian mengendikkan kedua bahunya. "Gue gak jawab apa-apa. Gue cuma diem sambil ngangguk-ngangguk doang."
"Bagus deh. Gue kira lo bakal keluarin kata-kata kasar."
"Ya enggak, lah! Gimana pun, dia itu 'kan Wali Kelas kita."
Arga terkekeh kecil. "Iya, iya. Sorry. Btw, nanti kita pulang bareng lagi, 'kan?"
Rian menggeleng. "Enggak."
Tangan Arga yang tadinya ingin memasukkan bakso besar ke dalam mulutnya terhenti. Arga lalu menatap Rian dengan heran. "Lho, kok gitu? Bukannya hari ini lo bakal ngajar anaknya Bu Dewi, ya? Siapa tuh namanya? Gila? Girang? Gi--"
"Gilang," potong Rian cepat, membenarkan nama yang ingin disebut Arga.
Arga mengangguk-angguk. "Ah, iya. Gilang!" serunya nyaring. "Tapi kenapa lo bilang gak bakal pulang bareng gue, nanti? Biasanya lo juga bakal ikut gue, kan?" lanjut Arga.
Rumah Arga dan rumah Rian memang berlawanan arah. Tapi rumah Bu Dewi searah dengan rumah Arga. Membuat Rian sering nebeng di mobil Arga ketika akan ke rumah Bu Dewi.
Rian menghela napas singkat. "Gue udah gak ngajar Gilang lagi."
"Kenapa?"
"Gue diberhentiin sama Bu Dewi."
"Lah, kenapa?!"
Rian menatap Arga dengan kesal. "Bisa gak sih, lo itu pilih kata lain selain kenapa?!"
Arga cengengesan. "Ya, sorry. Abisnya kan gue heran. Ceritain deh, gimana bisa lo yang sebagai tutor terbaik diberhentiin."
"Lo tahu sendiri, 'kan. Sekarang ini udah banyak banget aplikasi belajar online yang bagus. Jadi, bocah SMA kayak gue ini udah gak dibutuhin lagi," ujar Rian.
"Hah. Jadi itu, alasannya. Tapi gimana pun, lo itu kan paling hebat kalau soal ngajar-mengajar. Bocah bodoh pun bisa jadi pinter kalau lo yang ngajarin."
Rian tak mengucapkan apa pun sebagai balasan dari perkataan Arga. Ia kini fokus menyantap bakso miliknya yang kini sudah tak hangat lagi.
"Tapi yang ngeberhentiin lo cuma Bu Dewi, 'kan?" tanya Arga memastikan.
"Enggak. Bukan cuma Bu Dewi."
"Jadi, murid lo sekarang tinggal berapa?" tanya Arga lagi.
Rian tak menjawab, hanya saja ia menaikkan tangannya dan menunjukkan tanda V menggunakan jarinya.
"Tinggal dua?" kaget Arga.
Rian hanya mengangguk sebagai tanggapannya.
"Mau gue bantuin cari murid?" tawar Arga.
"Makasih, tapi gak usah. Biar gue yang urus sendiri," tolak Rian. "Mending, sekarang lo abisin bakso lo. Jam istirahat bentar lagi selesai," tambahnya.
"Ya udah deh, kalau gitu. Tapi kalau lo butuh bantuan, bilang aja, ya."
Rian kembali mengangguk lalu membuat bentuk lingkaran menggunakan ibu jari dan telunjuknya sebagai pengganti kata 'oke'.
Arga tersenyum lalu segera melahap baksonya dengan cepat. Mubazir kan, kalau baksonya belum habis saat jam masuk nanti.
🌦 🌧 ⛈️
Langit yang tadinya cerah, kini mulai menggelap. Suara gemuruh juga mulai terdengar dari langit.
Pelajaran setelah jam istirahat di Kelas XI IPA 1 adalah Kimia. Sejak langit yang mulai mendung, pikiran Rian sudah tidak bisa fokus pada materi pembelajaran yang disampaikan oleh gurunya.
Rian pun segera mengangkat tangan kanannya sambil berseru, "Bu!"
Bu Sarah, si guru Kimia menghentikan penjelasannya dan menatap Rian. "Ada apa, Rian?"
"Saya boleh ke UKS?" tanya Rian.
"Memangnya kenapa? Kamu kurang enak badan?" tanya balik Bu Sarah.
"Iya, Bu."
Bu Sarah menatap Rian beberapa saat sebelum mengangguk dan berucap, "Ya sudah, kalau begitu. Kamu boleh ke UKS."
"Makasih, Bu," ucap Rian sebelum keluar dari kelas.
Arga menatap Rian yang baru saja keluar lalu menghela napas singkat. "Dia kayak itu lagi," gumam Arga.
Sesampainya Rian di dalam UKS, Rian segera merebahkan dirinya di atas sebuah tempat tidur. Rian lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel serta earphone miliknya. Ia memasang earphone itu, lalu memutar sebuah lagu. Rian menutup matanya, mencoba menenangkan diri dengan lagu yang sedang ia dengarkan itu. Beberapa saat kemudian, ia membuka matanya dan menatap langit-langit ruang UKS.
Hah
Rian menghela napas berat. Ia kembali teringat, akan muridnya yang tinggal dua orang. Sudah hampir dua tahun Rian mengajar les privat untuk beberapa murid SD dan SMP. Berkat itu, ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dengan baik.
Tapi sekarang, banyak yang sudah tidak ingin diajari oleh Rian. Itu artinya, gaji yang akan ia terima dari mengajar les privat akan semakin sedikit. Membuat Rian harus pintar-pintar berhemat sampai menemukan murid lain atau pun pekerjaan lain yang memiliki upah yang cukup tinggi.
Masalahnya adalah, ia hanyalah seorang murid SMA yang tidak punya banyak bakat. Orang yang sudah kuliah bertahun-tahun pun belum tentu memiliki pekerjaan. Terlebih bagi seseorang seperti dirinya yang bahkan belum lulus SMA. Pekerjaan yang tersedia bagi dirinya tentulah sangat sedikit. Tapi Rian tetap bersyukur. Setidaknya, ia bisa sedikit memanfaatkan otak cerdasnya itu untuk mencari penghasilan.
Arga memang menawarkan untuk membantunya, tapi Rian tidak mau terus bergantung pada sahabatnya itu. Ia sudah menerima terlalu banyak kebaikan Arga.
Rian kemudian mendudukkan dirinya dan menatap ke jendela yang ada di UKS itu. Rintik hujan tampak sudah mulai turun. Yang awalnya hanya gerimis kecil, lalu kemudian menjadi semakin deras.
Brak!
Pintu ruang UKS terbuka dengan kasar, membuat Rian mengalihkan tatapannya ke arah sumber suara. Tapi bagaimana pun juga, ia tak dapat melihat apa pun. Karena tempat tidur yang ia tempati kini terhalangi oleh tirai putih. Rian melepas salah satu earphone-nya.
"Aduh, perih banget!"
Kata yang diikuti ringisan kecil itu membuat Rian tahu, kalau orang yang baru saja masuk ke UKS adalah seorang gadis.
"Kapasnya ada di mana, sih?"
Lagi, suara gadis itu terdengar. Langkah-langkah yang tergesa juga terdengar jelas oleh Rian.
"Ah, kotak obatnya tinggi banget! Aku gak nyampe. Ish."
Rian menaikkan sebelah alisnya. Merasa sedikit heran, karena gadis itu terus-terusan berbicara seorang diri.
Baru saja Rian berpikir jika gadis itu aneh, tapi seketika gadis itu sudah tak berbicara lagi. Hening. Namun, suasana hening itu tak berlangsung lama rupanya. Gadis itu kembali berbicara.
"Sekarang pasti udah masuk jam pelajaran Matematika. Hah. Males banget, deh. Gak papa kali ya, kalau aku tiduran bentar di sini."
Sudut bibir Rian sedikit terangkat mendengar itu. Mau bolos, rupanya.
Derit kecil dari tempat tidur di sebelah Rian yang hanya terhalang selembar tirai tipis terdengar. Menandakan gadis itu benar-benar berniat untuk bolos dan memilih tidur di UKS.
🌦 🌧 ⛈️
To be continued