Suara takbir masih memecahkan keheningan di tengah mereka. Diantara gemerlap lampu-lampu yang seolah berbincang, Rio menahan rasa canggung yang ia pendam. Hingga ia memutuskan mengawali pembicaraan, menyapa Selaras.
"Cantik ya disini." Ucap Rio, menatap sekeliling.
Mendengar celotehan Rio yang begitu mengagumi desa tempat tinggalnya, Selaras hanya tersenyum, menggeleng ringan seraya mempercepat langkahnya
"Hei, Tunggu. Sebenarnya kita mau kemana, -sih?" Rio mempercepat langkahnya mengejar gerak langkah Selaras
***
"Assalamualaikum Lik Manto" Suara lembut Selaras seketika membuyarkan lamunan pria paruh baya yang sedang asyik menegak kopi pada bale-bale rumahnya.
"Eh.. Nduk laras. Ono opo nduk?" (Eh.. Nak Laras. Ada apa Nak?) Jawab Lik Manto, terkesiap. Lik Manto sudah dikabari ibu Selaras bahwa Putri satu-satunya yang ia miliki akan pulang dari ibu kota. Tapi lek Manto tak menyangka kedatangan Laras tepat di malam takbir.
Lek Manto berbeda dengan bapak-bapak seusianya yang sibuk menikmati genggam gempita mengumandangkan pujian sepanjang malam di surau. Setiap malam takbir lelaki paruh baya tersebut akan menghabiskan kekosongannya dengan duduk di Bale-bale mengenang almarhum sang istri. Atau sekedar mengharapkan putranya yang tinggal di luar kota pulang pada hari raya tahun ini.
Masih dengan mengusung keramahan khas perkampungan. Selaras mengutarakan maksud kedatangannya di rumah Lik Manto, tak lain untuk meminjam bantal dan selimut. Tak lupa ia juga menyampaikan pesan dari ibu untuk nyuwun Estu (minta tolong/izin) supaya Lik Manto berkenan datang, menemani teman-teman Selaras di mana tiga di antaranya para pemuda. Tak sopan tanpa lelaki dewasa menjaga rumah dua orang janda dan seorang anak gadis.
"Oalah, iyo iyo. Lek ngunu tak jukuk no sek yo. Entenono yo nduk" (Oh begitu, iya iya.. begitu ku ambilkan. Tunggu dulu ya nak) Jawab Lik Manto mengambil langkah buru-buru masuk kedalam rumahnya.
Lik Manto, tetangga yang selalu sigap dimintai pertolongan ketika keluarga Selaras butuh bantuan. Rumah Lik Manto tidak begitu jauh dari rumah Selaras. Hanya berjarak 3 rumah dengan pekarangan yang cukup luas. Kurang lebih sekitar 200 meter jarak rumah ini dengan rumah Selaras.
Bersama kesendiriannya di rumah yang memiliki pekarangan luas, Lik Manto hidup sendiri ditemani seekor sapi, mencari rumput ialah pekerjaannya saban hari. Bagi Lik Manto, keluarga Selaras bukan hanya sebatas tetangga. Namun sudah seperti saudara yang selama ini tidak dimiliki. Para pemuda hobi merantau ke kota menyisakan orang tua yang luput dari perhatian.
"rumahnya besar, tapi sepi sekali, kemana penghuninya?" Tanya Rio. Matanya tak henti-hentinya menamati setiap ukiran yang tergambar jelas pada tiap-tiap pilar bangunan rumah limas. Pilar berdiri tegak menyangga atap berbentuk trapesium sama kaki milik Lik Manto.
"Husshh. Lik Manto memang hidup sen….." Belum usai Laras bicara, seorang pria keluar dari persembunyian, dia tampak kesulitan membawa kumpulan bantal dan selimut, terlihat pula ia mengganti celana pendeknya dengan sarung putih.
"monggo, ayo nduk" seru Lik Manto. Pertanda ia telah mengabulkan permintaan ibu Selaras.
"Njeh Lik. Monggo" Ajak Selaras menebarkan senyum teramat ramah pada bapak paruh baya. Rio tertegun sejenak, sepanjang perjalanan di mobil Marti dia tak pernah melihatnya, melihat gadis itu tersenyum.
"Hei, Ayo!" Timpal Selaras kepada pria yang tengah menenteng kamera, Rio mirip para pecinta fotografi atau mungkin dia punya kelebihan di bidang itu. Entahlah.
"Hee.." singkat Rio menggaruk sudut lehernya, pemuda ketahuan mencuri pandang seseorang. Gadis yang membuatnya terpana sejak pertama kali melihatnya. Terutama ketika kini dia menyadari senyum gadis desa tanpa polesan make up tersebut dibumbui pesan magis tersembunyi berupa nuansa keibuan.
Ketiganya berjalan menyusuri jalanan setapak dengan selimut dan bantal masih setia di tangan Lik Manto. Selaras dari tadi ingin membantu, sayangnya tidak diperbolehkan oleh Lik Manto, berat katanya. Lelaki itu hanya membaginya dengan Rio.
Bip Bip Bip
Suara getar panggilan telepon berbunyi menggetarkan saku Rio. Dilihat nama kakak kandungnya nampak jelas terpampang pada layar handphone yang baru ia rogoh dari saku celana.
"Siapa?" Tanya Selaras mengagetkan, "Teman-teman?" duga gadis tersebut.
"oh, bukan.. biasa, nggak penting" Rio pun buru-buru memasukkan ponsel bercasing hitam pekat itu ke dalam saku celananya.
Secara mengejutkan, terdengar pekikan, "Ya ampun Gusti. Hape. Sik yo nduk tak tinggal disik. Hapeku kari" (Ya Tuhan, handphone, sebentar ya na aku tinggal dulu, handphone ku ketinggalan,) Dengan nada cepat serta langkah terburu-buru, Lik Manto memberikan bantal dan selimut kepada Selaras
"Nduk, disek o ya. Engko tak susul" (nak, duluan saja nanti Aku susul) teriak Lik Manto, berlari buru buru meninggalkan Selaras dan Rio
Melihat tingkah lelaki menjinjing sarungnya ke atas, Selaras dan Rio secara tak sengaja menerbitkan tawa serempak.
Tawa Selaras yang sesungguhnya bukan tentang sarung yang di jinjing ke atas seperti tawa Rio. Selaras menertawakan keputusan lek manthok kembali ke rumahnya mengambil handphone, bukankah handphone Lek Manto memiliki fungsi tunggal. Untuk menerima kabar dan mengirim kabar kepada gadis yang bersekolah sastra di Jakarta. Dan gadis tersebut ialah Selaras sendiri.
Selaras hanya tidak tahu lek Manto masih menaruh harapan datangnya kabar dari putra semata wayangnya, kabar yang teramat mustahil.
.
.
Bersama langkah mereka melewati Lapangan tempat anak-anak bermain kembang api dan petasan. Selaras dan Rio berpapasan dengan salah satu makhluk familier, Leandra.
"Kalian, dari mana sih!?" kalimat tanya leandra beradu pada sela-sela suara takbir yang konsisten dikumandangkan.
Rio dan Selaras kembali menerbitkan tawa, akibat kompaknya mereka menertawakan ulah Lik Manto menjinjing sarungnya, terkesan tidak begitu menghiraukan pertanyaan pemuda berambut gondrong yang terikat ke belakang sambil terus berjalan mendekati keduanya.
"Nona kasir, kau tak dengar! aku sedang bertanya? jawab dong!" pinta pemuda yang kini berdiri terlalu tinggi dihadapan Selaras, tentu saja karena Leandra berdarah campuran, bukan asli Jawa tulen seperti Selaras.
"Hais! Mengganggu saja, buronan" sarkas Rio seraya menoleh, memperlihatkan senyum jengah ke arah datangnya leandra.
"His, sial!" Dengan nada tertawa Leandra mengumpat Rio sebagai balasan.
Leandra yang sengaja menunggui Selaras, kasir jute yang berhasil membuatnya penasaran, bersemangat melangkahkan kakinya menuju celah di antara dua orang muda mudi tersebut, dia menyerobot tempat Rio. Percaya diri memastikan dirinya tepat di samping Selaras.
"dari tadi bosan banget, aku menunggu kalian.." tampaknya kalimat berikut sekedar bualan.
"ssstttt" gadis yang diharapkan bakal menimpali kalimat Leandra, malah mengacungkan jarinya di atas bibir. Memaksa leandra diam, Sebab di ujung sana terdapat segerombolan pemuda yang akan menyalakan kembang api paling besar di kampung ini. Kembang api yang konon kabarnya seharga baju lebaran di toko paling mewah versi perkampungan.
Duar Pyar.. Duar Pyar… Duar Pyar..
Suara tersebut menyeruak, berhasil menciptakan nuansa gegap gempita. kembang api membumbui riuh suasana lebaran malam ini. Angin yang berhembus membawa suara dentum kembang api seperti sentuhan adrenalin di telinga, melambangkan kemeriahan dan rasa syukur yang besar.
"Indah," spontan kalimat tersebut terucap begitu saja dari mulut Selaras. Tiap-tiap pasang Mata yang melihat kembang api tersebut dapat pastikan turut terpana. Sunyinya perkampungan berpadu dengan bintang bintang yang beradu pandang dengan riuhnya warna kembang api, menjadi pemandangan langka, istimewa. Terutama bagi para pemuda yang tinggal terlalu lama di kota metropolitan.
Semuanya tampak menerbitkan raut muka cerah. Dan Rio menampilkan ekspresi lain terkait keindahan itu sendiri, terdapat pemandangan indah lain. Lebih indah dari kembang api maupun lari anak-anak bercampur tawa. Semua itu tidak ada apa-apanya.
Dibandingkan senyum Selaras.
Mata Rio sedari tadi melirik wajah tersenyum di iringi mata indah. Mencuri lihat di antara celah keberadaan pengganggu, Leandra. Senyumnya tipis, dengan bola mata berwarna kecoklatan cemerlang, membawa tanda bahwa gadis dari pelosok kampung kota kecil Trenggalek, punya daya pikat berbeda. Semenjak dia meneteskan air mata pada perjumpaan pertama mereka di mobil Martin hingga detik ini akhirnya terlihat senyumannya. Selaras masih sama. Sama-sama mencuri perhatian.
"Hem!" Suara dehem Leandra membuyarkan segalanya. Termasuk pengembaraan mata Rio terkait gadis yang berdiri bersama dua laki-laki.
"Udah selesai nih kembang apinya, masih mau bengong, ayo.. balik," ucap Rio sejujurnya hanya diperuntukkan kepada selaras.
"ayo.." balas selaras melangkahkan kaki.
Selaras pun berjalan mendahului Rio yang masih setia mengumbar rasa jengkelnya atas keberadaan Leandra. Tepat ketika Rio hendak berjalan melewati Leandra, pria tersebut menghadang dengan mengangkat satu kakinya, 45 derajat. Tampak sengaja melakukan kejahilan.
Memasang wajah dengan senyuman tengil, ia melemparkan pernyataan aneh pada Rio.
"Telah tiba saatnya insto tidak berguna, sebab matanya terlalu jernih untuk dihayati"
"Ngomong apa sih?? Gak jelas!" Rio menendang kaki Leandra yang menghadangnya dengan sengaja.