Matthew mengacak rambutnya kasar. Kepalanya serasa ingin meledak. Sungguh daripada dipukuli berkali-kali Matthew merasa lebih tersiksa dengan semua pikirannya saat ini. Belum lagi setumpuk berkas yang terus berdatangan bergantian seperti tidak ada habisnya.
Cklek..
"Jangan sampai aku mendengar hal yang tidak penting, atau aku akan memenggal kepalamu Andrew," ucap Matthew tegas. Matanya tetap terfokus pada layar laptopnya sembari jarinya tak berhenti menari-nari di atasnya.
"Wow santai bro kau kejam sekali,"
Suara itu, membuat Matthew cepat-cepat mengangkat kepalanya, menemukan seorang lelaki yang sangat dikenalinya.
"Bryan?" Yap, Bryan James sepupu jauhnya dari pihak ayah.
"Yes, i am, bagaimana kabarmu? Masih bernafas?" Tanpa meminta izin Bryan duduk di sofa, menyilangkan kakinya.
Hal itu membuat Matthew mendengus, Bryan James memang sepupunya tapi rasanya dia ingin mencabik-cabik wajahnya yang menyebalkan, "Kurang, ruangan pengap ini membuatku kurang bernafas mungkin sebentar lagi mayatku akan ditemukan,"
Bryan bertepus tangan heboh, "Wow, hebat! Setelah itu aku akan menangis di depan publik mengatakan kesedihanku akan kepergian sepupu terkenalku, waow aku bisa jadi lebih terkenal darimu bro," balas Bryan santai.
"Daripada kau merusuh di sini lebih baik kau urus perusahaan kecilmu itu, sebelum kuhancurkan tak bersisa,"
Bryan tertawa geli tak merasa terganggu akan ucapan Matthew, "Sudahlah, aku datang kesini bukan untuk berdebat denganmu, aku hanya ingin bertanya soal calon kakak iparku, siapa namanya? Victoria? Nama yang cantik, secantik fotonya, pasti akan lebih cantik lagi jika aku melihatnya secara langsung, bukan begitu bro?"
Matthew mengerang kesal, "Aku tidak akan menunjukkannya di depan playboy seperti mu,"
"Sepertinya itu lebih cocok untukmu bro, kau tahu aku bahkan belum pernah mencium wanita, dan kau ck mencium kakak ipar dengan bibir bekas?" Ledek Bryan. Dengan santainya dia menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa takut akan tatapan tajam yang terarah padanya.
"Aku tidak pernah menciumnya," Matthew memalingkan wajahnya.
Bryan tersenyum miring, "Siapa? Kakak ipar? Jika dia.. aku sudah pernah melihatmu menciumnya ralat dia menciummu,"
Matthew mengepalkan tangannya, "Sudah kubilang jangan merendahkan Luna,"
"Aku tidak pernah bilang dia jalang,"
Sudah cukup, kesabaran Matthew habis.
Brak...
"Jika kau kemari hanya ingin menejelekkan Luna lebih baik kau pergi sebelum aku usir dengan cara kasar,"
Bryan menyeringai, "Sudah kubilang aku kemari karena kakak ipar,"
"Matt," panggil Bryan. Wajahnya berubah serius.
Matthew menghela nafasnya, mengatur emosi yang meluap-luap karena seorang gadis, Aluna, gadis penyakitan yang menjadi alasannya mau menerima setumpuk berkas.
"Jangan menjadi lelaki bajingan,"
"Ak--"
"Dengan sikap mu yang sekarang kau mau mengelak? Memanfaatkan Victoria untuk bersama Aluna?"
Matthew menghela nafasnya, "Hanya dia satu satunya yang bisa ku andalkan, aku yakin dengan sedikit perlindunganku, Julio, kakek tua itu tidak bisa menyakitinya, lagipula aku akan memberinya balasan" tegas Maythew dengan sangat yakin.
"Harta mu? Ku tebak dia menolaknya," Matthew mengangguk ragu.
"Kau menyakiti perasaannya Matt, bagaimana jika dia jatuh cinta padamu? Lalu tiba-tiba kau mengatakan semua ini hanya sandiwara, kau fikir dia tetap akan baik-baik saja?" Dari nada suaranya Matthew tahu Bryan tak suka dengan perkatannya sebelumnya.
"Tidak mungkin, dia tampak sangat membenciku,"
Bryan tersenyum miring, "Tidak mungkin heh, bagaimana denganmu yang mencintai Aluna?"
"Aku hany--"
"Berusaha menyangkal? Sangat jelas kau mencintainya Matt, kau terlalu perduli untuk ukuran kasihan," Matthew terdiam.
Perkataan Bryan membuatnya berfikir keras, tidak mungkin kan wanita yang menyebutnya devil tiba-tiba menyukainya.
"Terserah kau saja, malah mungkin kau yang akan cinta mati padanya,"
"Tidak mungkin," balas Matthew tegas.
Bryan tertawa kecil, "Yah, terserah kau saja, aku hanya memperingatkan, dia berbeda Matt, dia bukan wanita biasa seperti yang kau fikirkan,"
Matthew tersenyum remeh, "Seperti kau mengenalnya saja,"
Bryan mengangkat bahunya santai, "Memang, lebih dari kau mengenalnya, aku lebih mengerti Victoria Chloe Allegra,"
***
Ting...ting...
Shit! Siapa yang mengganggu paginya yang tenang. Victoria dengan sangat tidak ikhlas bangkit dari duduknya meninggalkan novel yang baru dia baca pagi ini. Dia benci orang yang mengganggu paginya.
Dengan ogah-ogahan Victoria membuka pintu melihat si perusuh.
Brakk..
Victoria kembali menutup pintu dengan keras. Matthew Leonard, mau apa lelaki gila itu datang ke apartmentnya sepagi ini. Tidak usah bertanya darimana lelaki itu tahu, karena Victoria yakin dia akan mendapat jawaban yang sangat menyebalkan, aku Leonard, apa yang aku tidak bisa? Nye nye nye.
Victoria mengumpat dalam hati. Kekesalannya memuncak ketika devil itu tidak menyerah dengan terus membunyikan bel.
Hufh, Victoria menghela nafas kasar. Pintu kembali terbuka menampilkan Matthew Wyatt Leonard dengan senyum menyebalkannya.
"Mau apa kau kesini," Victoria bertanya ketus.
Tapi lelaki itu justru tersenyum menggoda, "Ingin bertemu denganmu Vee sayang, jadi bolehkah aku masuk"
Victoria mendengus tetap menghalangi pintu dengan tubuhnya, "Dia sudah mati jadi silahkan pergi Mr. Leonard,"
Wajah Matthew berpura pura terkejut, "Sungguh? Kalau begitu izinkan aku bertemu arwahnya,"
Ingin Victoria melayangkan tangan cantiknya pada wajah Matthew. Victoria memilih mengabaikan Matthew dengan menutup kembali pintu.
Victoria bernafas lega, untungnya devil itu tidak lagi memencet bel untuk mengganggunya.
Victoria tak berniat melanjutkan membacanya, nafsunya sudah hilang. Melirik jam dinding, pukul 07.00
Victoria bergegas menyiapkan sarapannya, hanya sepiring omelet. Tapi entah mengapa kini tersaji dua piring omelet. Victoria tidak tahu mengapa dia bisa membuat adonan lebih, padahal jika di ingat dia tidak pernah melakukan itu, adonan yang di buatnya selalu pas.
Mengabaikan itu Victoria membuat secangkir teh.
"Waw kau menyiapkan sarapan untukku juga baby?"
Sontak Victoria membalikkan badannya matanya bertemu dengan mata biru Matthew.
Sejak kapan devil itu ada di sini?
"Ka..kau bagaiman kau bisa masuk?"
Matthew menyeringai lelaki itu dengan santai duduk disalah satu kursi, "Dengan ini sayang," tangannya menunjukkan sebuah kunci berwarna perak.
Victoria melongo, "Ka..u,"
"Ah kau tidak tahu ya sekarang aku pemilik apartment yang kau sewa," Matthew berucap santai.
"Sekarang apartment ku, kemarin tempat ku bekerja, apa kau memang suka membeli semua yang berkaitan denganku," bentak Victoria. Dadanya naik turun emosi dengan muka Matthew.
"Memang,"
Tanpa rasa bersalah Matthew mulai memotong Omelet dihadapannya, memasukkannya kemulut dan mengunyahnya dengan anggun.
"Vee, buatkan aku rose tea mu,"
Victoria mendengus, "Kau fikir aku pelayan? Suruh saja pelayanmu membuatkannya,"
"Kau tahu pelayanku tidak bisa membuatnya,"
"Kalau begitu tidak usah minum," Victoria duduk, meletakkan secangkir teh disamping piringnya. Tapi baru saja Victoria melepas tangannya dari cangkir. Dengan gesit Matthew mengambil tehnya lalu meminumnya seteguk.
"I..tu,"
"Kenapa baby? Ingin berbagi mulut?"
Victoria mengerang kesal, tangannya beralih memotong omelet dengan kasar lalu memasukkannya ke mulut, berbeda jauh dengan cara makan lelaki di hadapannya. Victoria tidak peduli itu, sarapan dengan Matthew adalah yang terburuk. Lelaki itu ternyata seorang pencuri.
Beberapa menit menghabiskan sepiring omelet dengan tersiksa. Victoria dengan terpaksa ikut membereskan piring dan cangkir Matthew.
Matthew tersenyum hangat, Victoria yang membereskan piringnya terlihat seperti seorang istri yang merajuk dengan wajah cemberutnya. Menggoda Victoria telah masuk dalam list kesukaannya. Tapi...
Drrrt...drttt..
Matthew tersentak dari lamunannya. Nama My Luna tertera begitu dia melihat ponselnya.
Matthew bangkit berjalan sedikit jauh memastikan Victoria tidak dapat mendengar pembicaraannya.
"Matty,"
Sapaan lembut Aluna terdengar begitu dia menekan tombol hijau. Benak Matthew berdesir.
"Yes Luna, whats wrong,"
"Ah tidak, aku hanya ingin meneleponmu, juga mengucapkan selamat,"
"Akhirnya kau punya kekasih, aku turut bahagia"
Matthew tahu Aluna sedang sedih terdengar dari nada suaranya meski terkesan riang. Dan Matthew jadi merasa sangat bersalah.
"Thanks,"
Semakin bersalah lagi melihat punggung Victoria. Dia menyakiti dua gadis sekaligus.