"Kau akan membawa siapa ke pesta nanti malam?" tanya Shana melalui sambungan telepon. Marion melenguh, ia bahkan belum mendapatkan kembali nyawanya yang telah melanglang buana di dunia mimpi, tetapi dengan terpaksa harus meladeni sahabatnya yang tampak begitu tertarik dengan pesta yang akan diadakan kantor mereka.
Bukan pesta istimewa bagi Marion, karena pasti hanya akan didominasi oleh para eksekutif berduit dan yang memiliki pengaruh besar di perusahaan. Orang-orang seperti Shana dan Marion hanya gelintiran kecil seperti remahan keripik kentang di antara sajian utamamu.
Marion hanya mendesah. "Aku tidak tertarik, Shana. Aku hanya ingin tidur seharian penuh tanpa memikirkan mengenai pesta itu blah blah blah, aku akan matikan teleponnya."
"Tidak, Marion, jangan! Dengarkan dulu, mungkin kau akan suka. Bosmu yang menawan itu akan turut hadir di pesta itu. Dan aku yakin, beberapa sahabatnya juga akan meramaikan pesta, seperti tahun lalu!" pekiknya.
"Yeah, i know. Dan aku lagi-lagi akan menjadi tamu konyol yang salah masuk toilet pria karena akan sangat teler jika aku mabuk."
"Oh, come on, Marion ... bergembiralah demi aku."
"Nope, thanks."
"Please, please, please ... aku janji akan mengingatkanmu agar tidak mabuk. Ayolah ...."
Marion tidak menjawab ucapan Shana, melainkan menatap kalender yang terletak tak jauh dari ranjangnya, menghitung hari di mana akan diumumkan siapa saja yang akan menjadi sekretaris bos misterius di kantornya.
Banyak yang berspekulasi tentang itu, bahwa semua wanita yang dipilih menjadi sekretaris bos akan menghilang secara misterius, dan pada akhirnya pihak perusahaan akan memilih pegawai lain untuk menggantikan mereka yang telah 'menghilang' itu. Dan hal itulah yang kini menjadi pikiran Marion.
"Marion, apakah kau masih di sana?"
"Hmm ... sudah, ya. Aku ingin melanjutkan mimpiku. Sebelum mimpi ini tersita karena aku mungkin akan mati dilahap oleh si Tuan Bos yang misterius."
Shana tergelak mendengar julukan yang diberikan oleh Marion untuk bosnya. Meski mereka tak pernah sekali pun bertemu pimpinan perusahaan tempat mereka bekerja, tetapi terlalu mempercayai rumor itu pun bukanlah hal yang benar.
Kini tinggallah Marion termenung sendiri setelah Shana mengakhiri panggilannya. Ia tak bisa memejamkan mata lagi, jantungnya berdegup tak karuan, sementara darahnya berdesir cepat.
"Sepertinya aku benar-benar akan mati."
***
Marion menderap langkah cepat menuju ke ruangan di mana diadakan pesta. Mencari Shana ke sana kemari dan tak menemukannya, Marion memutuskan untuk duduk saja di sofa yang berada di sudut ruangan.
Beberapa lama menanti, tak juga ia lihat kedatangan Shana. Apakah gadis itu meninggalkannya? Ataukah ... ya, bisa jadi ia tengah berada di ruangan lain, atau dalam kamar dan menghabiskan menit bersama pria incarannya. Sementara Marion, hanya tepekur lesu, masih memikirkan nasibnya jika ia menjadi asisten pilihan William Reynz.
Tengah termenung sendiri, beberapa pelayan lewat di hadapannya membawa nampan berisi minuman. Malam ini adalah malam pesta, ia tak mungkin hanya diam dan menanti Shana yang entah di mana keberadaannya. Ia mengambil segelas sampanye, kemudian menyesapnya dengan nikmat.
Rasa bosan membuat Marion tak menyadari gelasnya telah kosong. Kini ia meraih segelas cocktail untuk menyegarkan tenggorokannya yang mulai panas.
Tak hanya tenggorokan, tubuhnya mulai merasakan panas yang tak biasa. Ia mulai melepaskan scarf yang melilit leher jenjangnya, kemudian meletakkan tas tangannya serampangan, melepaskan sepatu tumit tinggi yang mengekang kebebasannya sejak tadi.
"Hell! It's hurt," keluhnya. Kemudian ia memijit tumitnya perlahan, lalu rebah pada sandaran sofa yang empuk. "Aku benar-benar akan mati," gumamnya, tanpa kendali.
Tak lama kemudian ia bangkit, berjalan dengan langkah sempoyongan, mencari di mana keberadaan toilet. Namun belum menemukan toilet, ia tak sengaja menubruk tubuh tinggi tegap dengan aroma musk segar yang terhidu olehnya.
Pria berperawakan kokoh, dengan pahatan lengan dan perut yang pasti liat, tersembunyi di balik kemeja dan jas yang fit di tubuhnya.
Tanpa permisi, Marion bergelayut di lengan kekar itu. Berharap dirinya tak akan oleng dan jatuh di tempat umum yang pasti akan memalukan nanti baginya.
"Uhm ... m-maaf, aku mencari toilet. Apakah kau tahu letaknya?" tanya Marion pada pria itu. Ia tak terpikirkan untuk mengangkat wajah menghadap pria itu, otak dan kelakuannya sudah tak lagi sinkron. Ia butuh membuang isi perutnya sekarang juga, kalau tidak—.
"HOEKK!"
Segala rencana Marion untuk menjaga imejnya di pesta ini, gagal sudah. Ia sudah mempermalukan dirinya sendiri dan pria yang kini mematung dengan manik melebar, memandang ke arah pakaiannya yang sudah terkena cairan isi perut gadis itu.
"Oh, Tuhan! Celaka! Aduh, m-maafkan aku, Tuan. B-biar aku bersihkan." Marion berusaha membersihkan noda yang ada di sana dengan tangannya yang bergetar. Namun, pria itu mencekal pergelangan tangannya secara tiba-tiba.
"Akh, lepaskan tanganku!" Marion berusaha memberontak. Namun cengkeraman pria itu justru terasa makin kuat.
"Kau harus bertanggung jawab atas ini semua, Nona." Suara berat yang khas, seolah pernah ia dengar dan tak asing, berusaha mengintimidasi Marion yang masih di bawah pengaruh alkohol. Ia telah sadar tetapi belum sepenuhnya. Butuh 12 jam untuk menetralkan beberapa mili liter cairan beralkohol yang sudah tercampur di darahnya itu.
Pria itu menarik Marion yang berontak. Karena tak ingin membuang waktu, ia kemudian mengangkat gadis itu dengan mudah dan memanggul di pundaknya. Membawa Marion masuk ke sebuah ruangan dan mengunci pintunya di belakang punggungnya.
Pria itu membaringkan Marion di atas ranjang berukuran king size, lalu matanya nyalang menatap ke luar jendela.
"Tidak, tidak, jangan sekarang. Jangan sekarang," gumam pria itu, yang lalu melemparkan pandangannya pada Marion yang tertidur karena teler.
Pria itu mendekat pada Marion, memerhatikan tampilan gadis yang tampak biasa saja dibanding gadis-gadis yang pernah menghabiskan malam dengannya sebelum ini—tentu saja bukan untuk menghabiskan malam panas, melainkan untuk ritual lain, yang sulit untuk dijelaskan.
Ia bahkan belum pernah melakukannya dengan wanita mana pun.
Pria itu mendekat pada Marion, membenarkan helaian rambutnya dan menyelipkan di balik telinga gadis itu. Aroma berbeda menguar dari tubuhnya. Pria itu mengendus ceruk leher Marion, menghidu sedalam yang ia bisa. Ada aroma feromon yang seolah menariknya untuk terus mendekat pada gadis itu.
Dorongan lain yang tak tertahankan sudah memaksa dirinya untuk membenamkan wajah pada sisi leher Marion.
Gadis itu sungguh membangkitkan gairah yang lama tak pernah muncul. Bahkan tak pernah terasa seperti ini sepanjang hidupnya.
Siapa gadis ini sebenarnya.
Pria itu mulai merasakan panas di sekujur tubuhnya ketika rembulan mulai tampak bulat sempurna dengan pijar kemerahan yang menyilaukan matanya. Iris yang semula kelabu kini berubah keemasan memesona.
Pria itu menggeliat, mengerang, melepaskan kancing kemejanya satu per satu, meski tak akan mengubah apa pun. Pakaiannya tetap saja rusak dan compang-camping seiring tubuhnya yang makin membesar dan bermunculan bulu lembut pada permukaannya.
Pria itu terjatuh di atas Marion dengan tangan menjadi tumpuan. Napasnya memburu, berusaha mengusir aroma yang makin menariknya mendekat pada gadis itu. Ia tak bisa menahannya lagi. Dorongan itu terlalu kuat untuk tidak dilepaskan.
Pria yang telah berubah menjadi makhluk berbulu perak itu membuka rahangnya lebar-lebar, seolah hendak menelan kepala Marion bulat-bulat. Namun bukan, bukan untuk itu. Dorongan itu lebih kepada hal lainnya. Hal yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia harus lepaskan saat ini juga.
Harus ia lampiaskan sebelum Marion terbangun. Kecuali jika gadis itu bersedia menyerahkan segalanya dengan sukarela.