Télécharger l’application
40% Dunia Tanpa Lentera / Chapter 6: Pergi

Chapitre 6: Pergi

Panas matahari mulai menyengat, matahari sudah tinggi dan siang telah menyapa. Aku meminta Bara untuk mengecilkan tubuhnya dan kembali turun ke halaman rumahku.

Setelah kami menembus kanopi dedaunan yang sama, warna coklat khas dari tanah di halamanku mulai terlihat. Aku lantas melompat turun, Fana mengikuti di belakangku, sedangkan Bara langsung merebahkan dirinya dengan menelentangkan badannya.

Wujud Bara sekarang hanya sedikit lebih besar dari Serigala Kepala Tiga biasanya, sedangkan Fana sendiri ukuran tubuhnya hampir menyamai ukuran Beruang biasanya. Agak aneh rasanya saat melihat Bara sekecil ini, padahal tadi untuk melihat wajahnya saja aku harus mendongkakkan kepalaku.

Aku mendekati Bara yang sedang terbaring nyaman lalu ikut merebahkan kepalaku di perut besarnya.

Pikiranku melayang-layang memikirkan tentang apa yang akan terjadi saat aku keluar dari Hutan ini nantinya, ada perasaan gembira, ada juga perasaan khawatir, mau bagaimanapun juga, aku tidak tahu ancaman apa yang menungguku diluar dari Hutan Niri. Belum lagi aku tidak sepenuhnya yakin apakah aku sudah siap untuk pergi keluar dari Hutan ini atau tidak? kemampuan bertarungku, kemampuan sihirku, serta pengetahuanku masih jauh dari mumpuni jika dibandingkan dengan kedua orang tuaku.

"Tiga hari lagi… Bara… tiga hari lagi sebelum kita dapat keluar dari Hutan ini." Gumamku sendiri.

"Aku perlu bantuan kalian untuk mempersiapkan beberapa hal, aku tidak tahu kita akan berjalan sejauh apa atau selama apa, jadi, aku ingin meminta bantuan kalian berdua untuk memburu hewan-hewan kecil selama dua hari kedepan, sementara itu aku akan mengumpulkan bahan-bahan lain serta peralatan yang akan diperlukan untuk perjalanan ini."

Bara mengerang malas, Fana juga mengikuti nada suara Bara.

"Haha, aku mengandalkan kalian berdua ya, lagipula Bara, kamu punya hutang beberapa potong daging ayam denganku kan?"

Bara mengendus.

Setelah puas beristirahat di halaman rumahku, aku lantas pergi ke halaman belakang dan mulai mengumpulkan barang-barang serta memetik banyak bunga-bunga dan herba yang dapat digunakan dalam perjalanan yang menanti kami. Herba yang aku kumpulkan ini dapat digunakan untuk menyembuhkan luka-luka seperti perban yang aku kenakan sekarang. Sementara disisi lain Bara dan Fana aku pintai bantuan untuk memburu binatang-binatang kecil.

Setengah hari aku habiskan untuk mengumpulkan tanaman herba yang diperlukan, waktunya makan siang sudah agak jauh terlewat, aku sepertinya terlalu asik memetik bunga-bunga indah yang ada di pekarangan belakang rumahku ini.

Sendirian, aku menyiapkan makan siang sementara Bara dan Fana belum kembali, aku tidak tahu apakah memang sudah agak sulit untuk berburu disekitar sini atau mereka sedang bermain-main dan lupa waktu, apapun yang terjadi, setidaknya aku tidak perlu menggunakan bahan makanan lebih untuk mereka berdua, yah, walaupun mereka tidak memerlukannya juga sebenarnya.

Setelah masakanku matang, aku membawa dan memakan makananku di pekarangan belakang, agar setelah aku menghabiskan makananku, aku dapat kembali melanjutkan aktivitasku sebelumnya.

Selesai memakan makan siangku, aku melanjutkan aktivitasku, kegiatan selanjutnya adalah memanen padi yang sudah menguning dan sayur-sayuran yang siap untuk dipanen dari plot tanah kecil yang aku garap sendiri, memerlukan waktu yang cukup lama untuk memanen dan mengumpulkan semuanya ke dalam keranjang-keranjang kayu. Aku melakukan itu dari setelah makan siang hingga langit mulai menunjukkan warna jingganya.

Lelah juga rasanya, tapi, hari ini terasa jauh lebih produktif dari hari-hari sebelumnya. Aku menyandarkan diriku di dinding kayu yang ada di sebelah jalan masuk lorong yang menghubungkan antara pekarangan belakang dengan rumah kayuku. Dari arah lorong itu terdengar derapan langkah-langkah cepat, yang satu lebih berat dari yang lainnya, sepertinya Bara dan Fana telah kembali dari perburuan mereka.

Bara dan Fana kemudian keluar dari lorong itu dan langsung menyapaku, atau lebih tepatnya Fana yang menyapaku duluan sesaat setelah ia melihat sosokku, Fana langsung menyundulkan kepalanya ke tubuh rampingku.

"Kamu terlihat bersemangat sekali, pasti melelahkan ya, sini biar aku kasih hadiah untukmu." Ucapku kepada Fana dan mulai memeluk tubuhnya dan mengusapkan kedua tanganku di leher Fana, ia sepertinya suka diusap di bagian lehernya.

Aku mengalihkan perhatianku kepada Bara.

"Bagaimana tadi? Apakah kalian dapat sesuatu?"

Bara mengangguk.

"Dimana hasil buruan kalian?"

Bara mengayunkan kepalanya kearah lorong.

"Di rumahku?"

Bara menggeleng.

"Di halamanku?"

Bara mengangguk.

"Pintar juga kalian, sini Bara biar aku peluk juga, kamu tidak mau?"

Bara menggeleng.

"Heh, kamu tidak melihat seberapa senangnya Fana? Ayolah sini... aku juga ingin memberimu hadiah."

Bara melangkah maju dengan enggan.

Aku kemudian memeluk mereka berdua, lalu mengelus Bara dan Fana secara bersamaan.

Entah aku yang bodoh atau memang diriku yang sedikit kelelahan, tapi, baru sekarang aku melihat bercak merah yang meliuk-liuk di bulu putih Fana dan sebagian besar tubuh Bara, mungkin itu alasannya Bara tidak ingin dipeluk, takut menodai gaun putihku, siapa sangka ketakutannya menjadi kenyataan, gaun putih peninggalan ibuku kini dihiasi dengan banyak bercak-bercak berwarna merah. Bara terlihat kecewa dengan kebodohanku.

"Tidak apa-apa kok! Baju ini tidak seberapa, sudah tua dan usang, lagipula ini masih bisa dicuci." Ucapku untuk menghilangkan kekecewaan Bara.

"Untuk sekarang aku akan mulai menguliti dan memotong buruan yang telah kalian bawa, lalu memasak beberapa potongannya sebagai makan malam nanti, anggap saja ucapan terima kasihku kepada kalian."

Aku segera berdiri, menepuk-nepuk badan dan gaunku yang penuh dengan bulu-bulu halus mereka dan mulai melangkah masuk ke lorong rumahku, Bara dan Fana mengikuti dekat di belakangku. Aku menghampiri dapur terlebih dahulu untuk mengambil pisau daging lalu melanjutkan langkahku melewati ruang tengah dan akhirnya ke halaman rumahku.

Aku tidak tahu mereka sedang rajin atau memang terlalu bersemangat, tapi, sekarang dihadapanku tertumpuk banyak tubuh-tubuh kelinci serta ayam yang sudah tidak lagi bergerak, tumpukannya hingga menyentuh setengah dari kaki bagian bawahku, dengan daging sebanyak ini, aku dapat hidup setidaknya dua minggu kedepan, tidak, mungkin juga tiga minggu. Haah… perlu waktu lama sepertinya untuk menguliti dan memotong semua hasil buruan ini.

"Makan malamnya… kita tunda dulu ya sebentar?"

Bara dan Fana terlihat kecewa.

"Jangan terlihat kecewa begitu dong, lagipula ini terlalu banyak."

"Malam ini akan jadi malam yang panjang sepertinya." Keluhku

Karena sepertinya aku harus berada di luar rumah untuk waktu yang lama, aku meletakkan pisau daging yang sedari tadi kupegang di beranda rumahku, lalu mulai memunculkan bola-bola cahayaku untuk disebarkan di sekitar rumahku. Fana meloncat mundur saat pertama kali melihat bola cahayaku, tingkahnya terlihat lucu, semoga dia bisa terbiasa dengan kekuatanku ini.

"Jika kalian lapar, kalian bisa langsung mengambil ayam atau kelinci yang kalian buru ini."

Bara dan Fana menggeleng.

"Kalau begitu beristirahatlah ke dalam rumah, kalian pasti lelah, sisanya serahkan saja kepadaku." Ucapku sambil menempatkan bola-bola cahaya di tanah.

Fana langsung berlari masuk ke dalam rumah, Bara mengikuti dengan sabar di belakangnya.

Malam sudah menyapa saat aku selesai menempatkan semua bola cahaya, langkah selanjutnya adalah menguliti dan memotong semua hasil buruan ini. Aku menghela nafas panjang, semoga saja ini cepat selesai.

Aku mengambil pisau daging yang tadi kuletakkan di beranda rumah dan mulai mengambil ayam yang berada di paling atas tumpukan hasil buruan itu.

Perlahan aku mulai menguliti dan memotongi bagian-bagian daging hasil buruan Bara dan Fana, satu-persatu ayam dan kelinci itu aku potong dengan sabar. Aku juga dengan hati-hati mengayunkan pisauku untuk menghindari merusak daging-daging buruan ini. Sayang saja rasanya jika aku merusak hasil jerih payah Bara dan Fana.

Setengah malam aku habiskan untuk menyelesaikan seluruh tumpukan daging dan kulit yang ada, jumlahnya banyak sekali, sekarang masalahnya adalah dimana aku akan menyimpan semua bahan-bahan ini? Untuk daging-daging sepertinya aku dapat membawanya ke gudang belakang, sedangkan untuk kulit-kulit ini akan aku gantungkan di tempat biasanya aku mengeringkan kulit-kulit hasil buruanku lainnya, jadi untuk sementara kulit-kulit ini akan aku tinggalkan di halaman depan rumahku.

Aku segera mengamankan daging-daging yang sudah aku potong ke dalam rumah, jika ingatanku tidak salah aku masih memiliki beberapa tempat kosong di dalam gudang belakang. Aku juga sekalian ingin membersihkan daging-daging ini.

"Bara! Fana! Tolong aku sebentar disini." Ucapku dengan suara lantang.

Tidak ada jawaban dari dalam rumah, aku hanya dapat mendegar suara jangkrik dan serigala di kejauhan hutan. Apa jangan-jangan mereka sudah tertidur? Untuk memastikannya, aku melangkah masuk ke dalam rumah, di ruang tamu tidak terdapat apa-apa kecuali meja panjang dan sebuah kursi, aku lalu melangkahkan kaki ke kamarku dan disanalah aku melihat mereka berdua.

Diatas kasurku sekarang terdapat satu bulatan putih yang sedang tidur melingkar dan sebuah bantalan hitam besar yang tidur menelungkup, keduanya memenuhi seluruh kasur tidurku. Sekarang aku harus tidur dimana kalau begini? Ini juga berarti aku harus memindahkan semua daging-daging itu sendirian. Gaaah, itu akan memakan waktu hingga tengah malam, ya sudahlah, untuk makan malam sepertinya aku makan kentang rebus saja.

Aku kembali ke halaman rumahku dan mulai memunguti daging-daging yang tergeletak di tanah lalu kembali memasuki rumahku, melewati ruang tamu, berjalan di lorong kayu yang panjang, mencuci daging-daging yang kubawa di pekarangan belakang, kembali ke gudang, lalu meletakkannya di atas sebuah kain besar yang bersih. Entah berapa kali aku mengulang-ulang rentetan kegiatan-kegiatan tadi hingga saat aku selesai bulan sudah tinggi diatas kepalaku.

Lelah sekali rasanya, sekali lagi aku menyandarkan diriku di kayu yang sama di sebelah lorong, malam ini bulannya indah sekali, aku jarang terjaga hingga larut malam seperti ini, sekalian saja aku nikmati pemandangan ini.

Ah iya kentang rebus, sebaiknya aku mulai memasaknya sekarang, perutku mulai menggerutu lapar. Aku lantas mengambil dua buah kentang yang berada dalam salah satu keranjang kayu lalu membawanya ke dapur, aku kemudian membawa sebuah panci ke pekarangan belakang untuk diisi dengan air, lalu kembali ke dapur, dan sebagai langkah terakhir aku memasukkan kedua kentang tadi ke dalam panci lalu membakar kayu di tungku untuk merebusnya.

Daripada bosan memandangi air rebusan kentang ini, aku memutuskan untuk duduk di halaman depan dan kembali memandangi bulan, walaupun kebanyakan dari wujudnya terhalangi oleh dedaunan, tapi, aku masih dapat melihatnya dari bawah sini. Hawa malam yang dingin mulai menusuk, aku kembali ke dalam untuk memeriksa rebusanku, sepertinya sudah matang, aku keluarkan dua kentang itu dengan capitan kayu lalu aku taruh kedua kentang itu di sebuah piring kayu, kemudian aku memotongnya menjadi delapan bagian dan kububuhi garam diatas masing-masing permukannya.

Aku membawa kentang-kentang tadi ke beranda rumahku dan memakannya disana, angin dingin yang kontras dengan makanan hangat ini terasa sangat menenangkan, kenapa aku tidak pernah melakukan ini ya dari dulu? Dengan khidmat aku menikmati kentang rebus paling lezat yang pernah aku makan.

Selesai menikmati makan malam sederhana ini, aku kemudian memutuskan untuk masuk ke kamar tidurku lalu memaksakan diriku diantara Bara dan Fana. Malam itu aku tidur diantara kehangatan dua mahluk lembut, rasanya seperti kembali ke masa kecil, dimana aku suka tidur bersama kedua orang tuaku.

Hari kedua aku habiskan dengan merajut kulit-kulit kering yang sudah lama ada di dalam gudangku dengan menggunakan serat-serat rotan untuk dibuat menjadi tas tambahan yang berfungsi untuk menyimpan bahan-bahan yang sudah dikumpulkan.

Untuk hari ini Bara dan Fana aku biarkan melakukan apa yang mereka inginkan, karena aku rasa bahan buruan sudah lebih dari cukup. Sesaat setelah aku berkata bahwa mereka bebas untuk melakukan apapun yang mereka mau, Bara dan Fana langsung menghilang berlari ke dalam hutan, semoga saja mereka tidak membawa lebih banyak hewan untuk dikuliti nantinya.

Tidak lupa, aku juga membersihkan lalu menggantung kulit-kulit yang aku tinggal di halamanku kemarin malam, semoga saja besok kulit-kulit itu sudah kering dan dapat disimpan, untuk mempercepat proses pengeringan aku juga menambahkan beberapa bola cahaya dibawah dan disekitar tempat penggantungan kulit-kulit hewan itu, dengan memanfaatkan panas yang dihasilkan dari bola-bola cahaya itu, aku berharap proses pengeringannya juga dapat berjalan lebih cepat.

Hari berjalan cepat di hari kedua karena kesibukanku yang hanya berfokus pada satu hal saja, jadi tidak banyak yang aku lakukan diluar dari membuat beberapa kantong-kantong kulit baru. Pada malam hari, aku, Bara, dan Fana sempat melakukan makan malam bersama, memakan hasil buruan yang kemaren mereka buru, Bara dan Fana terlihat senang saat memakan masakanku, aku pun juga ikut senang melihat mereka senang.

Hari ketiga merupakan hari yang paling sibuk, dimana aku harus memasak banyak makanan yang semoga saja dapat bertahan lama selama di perjalanan, aku juga harus memasukkan keperluan-keperluan lainnya ke dalam tas dan bungkusan-bungkusan kulit, barang-barang itu diantaranya adalah kulit kering, herba-herba, serta peralatan-peralatan tajam seperti pisau, tali rotan, botol, dan semacamnya.

Setelah makananku masak, aku lantas memasukkan makanan-makanan itu ke dalam kotak-kotak makanan, kebanyakan dari makanan yang ada hanyalah daging-daging yang telah aku masak sedari pagi hari hingga sore hari ini, tidak dapat disebut memasak sih, sebenarnya aku meninggalkan daging-daging itu masak dengan sendirinya dan membiarkan bumbu-bumbunya meresap lebih dalam.

Tidak terasa hari sudah beranjak sore, semua persiapan kami sudah lengkap, makanan-makanan serta botol minuman aku simpan di tas utama, sedangkan kantong-kantong kulit yang aku buat sehari sebelumnya aku gantungkan di sisi-sisi tas kulit utamaku, sayangnya aku hanya dapat membawa sepuluh kantong kulit. Isi dari berbagai kantong kulit itu bermacam-macam, tiga diantaranya berisikan hasil tumbukan herba, empat lainnya berisikan kulit kering, dan tiga kantong terakhir berisikan makanan lebih yang tidak dapat aku masukkan ke kotak-kotak makanan.

Aku menanggalkan gaun putihku yang masih penuh dengan bercak darah, dan mengenakan pakaian berburuku yang terbuat dari gabungan antara kulit dan linen yang aku ambil dari potongan bekas baju-baju ayahku, lalu, aku mengenakan sarung tangan dan sepatu kulit yang biasa aku gunakan. Tidak lupa juga, aku melepaskan tempelan perban kulit dari luka-lukaku sebelumnya, setelah aku lihat semua luka yang ada sudah menutup, dan aku tidak merasakan rasa sakit lagi saat bagian-bagian bekas luka itu aku sentuh, aku sudah siap untuk memulai perjalanan hari ini.

Selesai semua persiapan telah selesai, aku kemudian memanggil Bara dan Fana.

Aku masih tidak menyangka bahwa momen ini akan benar-benar terjadi. belum pernah terlintas dipikiranku bahwa akan ada hari dimana mungkin untuk terakhir kalinya aku melihat balkoni rumah kayu yang sudah usang ini, saat aku memandangi lagi rumahku dari halaman depan ini, ada perasaan rindu yang muncul, padahal, aku belum pergi jauh, mungkin karena aku sudah tinggal di bawah atap rumah ini selama tujuh belas tahun, juga semua memori tentang kedua orangtuaku ada di rumah ini, semua kenangan bersama mereka, semua itu … aku sebentar lagi akan meninggalkan semua itu dibelakang.

Aku dengan enggan meletakkan sebuah bunga Lily di depan pintu rumahku, bunga itu memiliki nama yang sama dengan ibuku, warnanya yang putih juga mengingatkanku dengan rambut silver milik ibuku, apapun yang terjadi, walaupun suatu saat nanti aku tidak kembali, setidaknya, bunga lily yang tumbuh di pekarangan belakang rumah kami akan tumbuh subur dan menyebar indah mengitari rumah kecil ini.

Setelah meletakkan bunga lily itu, aku kemudian mengangkat tas kulitku, rasannya berat sekali, jauh lebih berat dari beban yang biasanya aku bawa, aku akan terkejut jika punggungku tidak patah selama perjalanan ini. Aku lalu mencoba untuk memanjat ke punggung Bara, mustahil, bawaanku terlalu berat, tangan-tangan kecilku tidak dapat menarikku keatas.

Aku lantas melepas tas bawaanku dan mencoba mengangkatnya naik ke punggung Bara terlebih dahulu, Fana, dari arah yang berlawanan juga membantuku menarik tas berat milikku, dengan usaha kami berdua akhirnya tas itu berhasil naik di atas punggung Bara, sekarang giliranku untuk naik ke punggung Bara, aku rasa aku tidak akan pernah terbiasa dengan sensasi aneh menaiki punggung Bara ini, setelah aku sampai diatas punggungnya, Bara sedikit membesarkan dirinya untuk membuat ruang lebih di punggungnya.

"Aku siap." Ucapku.

Bara memulai mengambil beberapa langkah pertamanya dengan pelan, Fana mengikuti kami dari belakang, sedangkan tatapanku masih tertuju pada rumah kayuku.

Sedikit demi sedikit langkah Bara menjadi semakin cepat, sedikit demi sedikit pula figur rumah kayuku mulai tenggelam ditutupi pepohonan.

Selamat Tinggal.

Aku dapat merasakan tetesan air mata yang mengalir dari pipiku, semuanya terasa berlalu begitu cepat, hatiku jauh dari siap untuk meninggalkan tempat tinggalku ini, namun, jika ini adalah langkah yang harus aku ambil untuk dapat mengejar kedua orangtuaku, aku akan terus mengambil apapun keputusan itu.

Aku mengalihkan pandanganku ke depan, Bara dengan cepat menembus pepohonan, sedangkan Fana masih mengikuti dengan dekat di belakang, Bara terus menambah kecepatannya, begitu juga Fana. Aku mulai menyadari sesuatu dari Fana, semakin cepat ia berlari akan muncul beberapa percikan-percikan api di sekitarnya, meskipun tidak ada api yang sedang dikeluarkannya. Sepertinya Fana memiliki kekuatan lain, mungkin Bara juga? Sudahlah, bukan urusanku juga sekarang.

Kami dengan cepat menembus hutan Niri, batang-batang pohon yang besar seakan melesat cepat di samping kiri dan kananku. Aku masih dapat mengenali wilayah-wilayah disekitar sini, setidaknya, aku dapat mengenali beberapa penanda-penanda wilayah ini, beberapanya merupakan tanaman yang hanya tumbuh endemik di wilayah itu saja, beberapa tanda lainnya adalah tanda-tanda yang baik aku tanam ataupun aku ikatkan di pepohonan.

Sebentar lagi harusnya kami sudah melewati tempat dimana aku biasanya mendapatkan garam, tempat yang luasnya cukup besar dan diisi oleh bebatuan-bebatuan yang jika dihancurkan dan dibersihkan dengan menggunakan air dapat menghasilkan batu-batu garam yang nantinya dapat dipecahkan lagi menjadi garam-garam kecil.

Benar saja, setelah beberapa saat, kami akhirnya menemui bebatuan-bebatuan itu, sayangnya, wilayah-wilayah setelah area ini merupakan tempat yang belum pernah aku jamah sebelumnya. Ada perasaan takut, tapi, aku percaya kepada Bara dan Fana bahwa mereka dapat melindungiku.

Kami melesat semakin jauh ke utara, aku sudah tidak dapat lagi mengenali daerah-daerah yang ada disekitarku ini, bintang-bintang di langit malam juga sudah mulai muncul dengan segala gemerlap cahayanya, sedangkan, bulan masih belum menunjukkan wujudnya. Aku mulai merapalkan mantraku, bola cahaya yang muncul akan aku gunakan untuk menerangi area di sekitar kami, untuk menambah area cakupan cahayanya aku mulai mengalirkan energiku ke bola cahaya itu sembari mempertahankan bentuknya yang kecil agar lebih mudah untukku memegangnya.

Penerangan sangat minim tanpa adanya cahaya bulan, meskipun begitu, dengan penerangan dari bola cahaya aku dapat melihat jejeran pohon yang semakin merapat, semakin jauh kami berjalan lurus kedepan, semakin rapat pula barisan pohon-pohon yang ada. Jika aku tidak bersama Bara sekarang, mungkin aku sudah jauh tersesat diantara barisan pohon-pohon sialan ini.

Barisan pohon yang ada semakin merapat sampai-sampai Bara harus menabrakkan dirinya untuk tetap berjalan lurus kedepan, aku tidak tahu apakah Bara tidak merasakan sakit atau memang dirinya sekuat ini, tapi, sedari tadi Bara telah menumbangkan pohon-pohon yang ada di depan kami hanya menggunakan pundak dan kepalanya, jika dihitung, sudah lebih dari tiga puluh pohon telah tumbang saat bertemu pundak ataupun kepala Bara.

Aku merasa kasihan kepada Bara, namun, disisi lain aku juga tidak memiliki kekuatan untuk membantunya, yang aku bisa hanyalah mencengkram keras punggung Bara dan mempertahankan posisiku. Setiap kali Bara menumbangkan pohon, akan terdengar suara retakan yang keras diikuti dengan getaran yang menjalar dari pundak lalu ke punggung dan kemudian ke bagian belakang tubuhnya.

Bara terus menerobos rintangan-rintangan yang ada, kecepatan larinya tidak berkurang, bahkan yang terjadi malah sebaliknya, langkah-langkah Bara menjadi semakin cepat, sangat cepat hingga aku mulai pusing saat melihat pohon-pohon yang kami lewati.

Ditengah perjalanan kami menembus pepohonan ini, tiba-tiba saja disekelilingku diisi oleh kabut putih yang sangat tebal, jarak pandangku langsung berkurang drastis, cahaya yang aku miliki juga tidak dapat menembus kabut ini.

Semakin jauh kami berjalan, kabut menjadi semakin tebal, sampai-sampai aku tidak dapat lagi melihat kepala dan sebagian pundak Bara. Aku kemudian menengok ke belakang, warna putih dari bulu Fana tidak membantuku untuk melihatnya ditengah kabut ini.

"Fana! Jawab aku jika kamu ada di belakangku!!" teriakku.

Tidak ada jawaban.

Sial, apakah dia terpisah saat kita menembus kabut?

"Fana!!!" teriakku lebih keras, namun, usahaku sepertinya sia-sia, suaraku seperti ditelan angin segera setelah aku mengeluarkannya.

Bara tidak memelankan langkahnya, sementara aku hanya bisa panik dan tidak dapat melakukan apa-apa.

Sial, pasti ada sesuatu yang bisa aku lakukan.

Aku kemudian memfokuskan energi di seluruh tubuhku dan mulai membuat diriku bersinar, aku sebenarnya ingin membuat bola cahaya, hanya saja Bara berlari terlalu cepat hingga aku tidak dapat menggunakan kedua tanganku, bola cahaya yang aku buat tadi saja sudah jatuh, lepas dari genggamanku dan hilang di telan kabut.

Aku mengerahkan banyak energi untuk membuat tubuhku bersinar, semoga saja Fana dapat menemukan cahayaku ditengah kabut tebal ini.

Bara masih melesat maju, sementara Fana masih tidak terlihat hingga sekarang, energiku mulai menipis, tidak ada jaminan bahwa Fana akan muncul, perjalanan mungkin masih panjang dan aku tidak bisa membuang-buang energiku seperti ini begitu saja, dengan berat hati aku memutuskan untuk berhenti menggunakan energi cahayaku.

Aku sekarang sudah tidak dapat berbuat banyak lagi, kabut semakin menebal, setiap kali aku menghirup nafas, rasanya seperti ada jarum-jarum kecil yang menelusuri hidung, tenggorokan, dan paru-paruku. Dadaku mulai terasa sesak, aku mulai kesulitan untuk bernafas, ditambah lagi rasa pusing yang terus menerus datang menyapa, aku hanya ingin semua ini berakhir, tapi, sepertinya aku harus bertahan sedikit lebih lama lagi. Mataku mulai berair, pandanganku mulai menjadi kabur, mataku mulai perih dan air mata mulai mengucur dari kedua mataku, kabut apa ini sebenarnya?!

Aku mulai kehilangan peganganku, aku tidak boleh jatuh disini, aku harus mempertahankan cengkramanku sekuat mungkin, jika aku jatuh disini rasanya lebih baik mati saja, jarak pandang yang sangat buruk, tersesat tanpa arah, belum lagi harus terus menghirup kabut misterius ini.

"Bara… lebih… cepat…" ucapku lemah.

Bara berlari lebih cepat, tangan kiriku sudah tidak mampu lagi mengenggam bulu-bulu di punggung Bara, yang tersisa sekarang hanyalah cengkraman dari tangan kananku yang mencegah aku jatuh dari punggung Bara. Tubuhku mulai lemas, tangan kiriku bahkan sudah sulit untuk digerakkan, begitu juga dengan kedua kakiku, aku kerahkan semua kekuatanku untuk mempertahankan cengkramanku, namun, tangan kananku berkata lain, jari telunjuk dan kelingkingku dengan mandiri melepaskan cengkraman mereka. Warna hitam mulai mengelilingi setiap ujung mataku, jantungku berdetak kencang, aku dapat merasakan darah yang mengalir cepat di setiap jengkal tubuhku.

Tepat sebelum kesadaranku diambil secara paksa dariku, aku dapat melihat siluet beberapa batang kayu di depan kami, Bara meloncat kearah tempat itu, sementara aku masih berusaha untuk mencengkram dengan sisa tiga jari milikku, kami akhirnya berhasil melewati kabut itu.

Beberapa saat setelah melewati kabut itu, Bara langsung membenamkan kakinya kedalam tanah untuk menghentikan momentum larinya, aku yang jauh dari siap dengan tindakan Bara ini lantas terlempar dari punggunnya dan tersungkur ke tanah.

Sepertinya Bara memiliki kekhawatiran yang sama denganku, setelah berhasil berhenti, Bara langsung mengalihkan pandangannya ke kabut asap yang baru saja kami lewati. Fana masih belum terlihat keluar dari kabut itu, aku sendiri hanya bisa terbaring lemah sambil terengah-engah mencoba untuk menghirup udara bersih yang ada disini.

Keadaan tubuhku perlahan mulai menjadi lebih stabil, jantungku sudah kembali ke ritme normalnya, pusing di kepalaku juga secara ajaib menghilang tanpa jejak, aku juga mulai dapat menggerakkan beberapa bagian tubuhku.

Mataku mulai menjelajah ke segala arah, fokus pertamaku adalah untuk mencari tas milikku, karena aku yakin saat diriku terlempar tadi, tasku juga terlempar dari punggung Bara, hanya saja, aku tidak tahu kemana terlemparnya tas itu, belum lagi pandanganku juga masih sangat kabur saat aku berhasil keluar dari kabut putih itu.

Aku mulai mencoba berdiri, di sekeliling terdapat banyak kunang-kunang yang menemani kami dan memberikan sedikit penerangan di malam ini. Seharusnya tidak sulit untuk mencari tas berwarna coklat itu di tengah rerumputan hijau disini.

Meskipun terdapat sumber cahaya dari kunang-kunang, keadaan masih cenderung gelap. Bara disisi lain masih menatapi kabut putih itu dalam-dalam, tidak sedetikpun dia melirik kearahku.

Aku lantas sibuk meraba-raba tanah di sekitarku, dengan penerangan seadanya. Ditengah kesibukanku itu, tiba-tiba saja Bara meraung menggunakan suara perutnya yang dalam, aku spontan terkejut mendengar suara itu dan langsung menatap Bara, raungannya tidak berhenti, matanya semakin terfokus ke dalam kabut, akupun ikut mengalihkan perhatianku ke arah kabut, sesuatu berwarna merah muncul di tengah kabut putih itu, sesuatu itu terlihat berjalan tanpa arah, terkadang ia berjalan ke kiri, terkadang ke kanan, terkadang juga berjalan semakin dekat kearah kami.

Raungan Bara semakin mengeras, ia seperti memanggil sesuatu.

Sosok berwarna merah itu seakan mendengar panggilan Bara dan mulai bergerak kearah kami.

Aku tidak tahu apa yang Bara rencanakan, aku juga tidak tahu apa cahaya merah tersebut, bisa jadi itu Fana, tapi, bisa jadi juga ia seekor monster dari dalam kabut, reaksi Bara tidak membantuku sama sekali, yang pasti, aku harus menemukan tas milikku sebelum cahaya merah itu menembus kabut putih, peralatan bertahan diri seperti pisau yang biasanya aku gunakan untuk berburu berada di dalam tas itu.

Aku sebenarnya ingin menggunakan bola cahayaku, namun, energi yang aku miliki tidak cukup untuk membuat bola cahaya yang cukup terang, aku setidaknya memerlukan makanan atau minuman untuk mengisi kembali energi yang telah aku gunakan, diantara tumbukan herba terdapat tumbukan dari bunga Aspecilus yang jika dikonsumsi dapat memulihkan sebagian energi di tubuh kita, dan lagi-lagi kedua hal itu ada di dalam tas kulit milikku.

Keadaanku sekarang tidaklah buruk ataupun baik, aku masih memiliki Bara jika sosok yang sedang berlari kemari ini merupakan sebuah ancaman, namun, jika ia entah bagaimana berhasil membuat celah saat bertarung melawan Bara dan melesat kearahku yang tidak punya pertahanan ini, aku jelas akan menjadi sasaran empuk baginya.

Aku sekarang harus menemukan tempat untuk bersembunyi, penerangan disini sangat minim, cahaya dari bintang di langit ditutupi oleh siluet dedaunan dan dahan-dahan besar, aku lantas memutuskan untuk bersembunyi dibalik sebuah kayu besar yang mencuat dari dalam tanah, cukup untuk menyembunyikan diriku sepenuhnya, aku juga dapat mengintip dari balik kayu besar itu untuk melihat keadaan Bara.

Cahaya merah itu terlihat semakin dekat, sosoknya kini terlihat sedikit lebih jelas, bentuknya cukup tinggi, aku dapat melihat rentetan cahaya merah yang mengikutinya di belakang saat ia berlari.

Sebentar lagi ia akan menembus kabut asap itu, cahayanya terlihat semakin terang, aku menarik diriku ke tempat persembunyianku, erangan kuat Bara masih terdengar dengan jelas, keadaan benar-benar kacau malam ini, ditambah lagi aku juga masih belum menemukan tas milikku.

Aku duduk lemas menyandarkan tubuhku ke kayu yang menyembunyikanku, masih mencoba untuk mengumpulkan kesadaranku, serta mencoba untuk menenangkan diriku, dari arah belakang aku dapat mendengar suara Bara yang terdengar lebih kuat dari sebelumnya, belum juga aku dapat benar-benar menenangkan diriku, sebuah kobaran api melesat melewatiku.

Kobaran api itu memiliki bentuk yang familiar, tidak salah lagi bentuknya sama persis dengan Fana, moncong panjangnya, surainya yang sekarang terlihat jauh lebih panjang karena dikelilingi api yang berkobar, buntutnya juga sudah sepenuhnya menjadi api yang berdansa saat diterpa angin malam.

Jika dilihat lagi dengan seksama, seluruh tubuhnya telah berubah menjadi kobaran api berwarna merah dan oranye. Melihat Fana dengan bentuknya yang seperti ini benar-benar membuatku takut.

Rerumputan yang ada di sekitar Fana mulai terbakar hangus, meninggalkan bekas berwarna hitam di tengah rerumputan hijau yang mengelilinginya.

Aku dengan hati-hati mulai berdiri dan mulai mendekati Fana yang hanya berdiri diam menatapku tanpa suara.

Aku kini sudah cukup dekat dengan Fana, tetapi, kobaran apinya yang panas menghentikanku untuk berjalan lebih dekat lagi.

Tidak berapa lama setelah itu, aku mendengar langkah yang Bara berjalan kearah kami, aku lantas menoleh kearahnya, Bara telah menemukan tas coklat milikku. Aku langsung beranjak ke arah Bara dan mengambil tasku itu.

"Terima kasih, aku tadi kesulitan untuk mencarinya. Itu… Fana kenapa? Apa dia baik-baik saja?" tanyaku kepada Bara.

Bara mengangguk, menyatakan bahwa Fana baik-baik saja.

Aku tahu Rubah Api memiliki sistem pertahanan yang unik, tapi, yang seperti ini belum pernah aku temui, juga tidak ada catatan mengenai mereka bisa mengubah seluruh tubuh mereka menjadi kobaran api yang panas.

Warna merah dari kobaran api Fana mewarnai hutan yang gelap ini, kunang-kunang yang tadinya berada di sekitar kami sudah pergi jauh untuk menghindari Fana.

Bara menatap Fana dalam, ia lalu mulai melangkah mendekatinya, sebelum ia dapat melangkah lebih dekat lagi, aku langsung menghentikan Bara.

"Jangan! Apinya sangat berbahaya, kamu tidak melihat bekas rerumputan yang terbakar di sekitarnya?!"

Bara mengangguk seakan mengerti, namun, ia terus melangkah maju, aku lantas menyusul dekat di belakangnya.

Kami sudah semakin dekat, Bara masih melanjutkan langkahnya, sementara itu aku sudah tidak dapat lagi melangkah lebih dekat, panas dari kobaran api Fana sangat menyengat hingga beberapa bagian dari baju kulitku mulai mengeluarkan asap, kulitku juga rasanya seperti sedang dibakar.

Aku memutuskan untuk berhenti dan melangkah mundur, sedangkan Bara masih terus melangkah maju dan semakin mendekati Fana.

Aku dapat melihat bulu-bulu Bara mulai terbakar, apakah ia tidak merasakan sakit Meskipun seluruh tubuhnya sedang terbakar?

Bara terus melangkah maju, dan sekarang jarak diantara mereka tidak lebih dari satu langkah. Bara masih terbakar hebat sampai-sampai beberapa api mulai muncul di pundak dan di sekitar kepalanya. Dalam keadaan itu Bara dengan tenang berdiri dan mendekatkan kedua tangannya ke arah Fana, ia lalu mendekap Fana di bagian leher dan kepalanya.

Setelah melakukan itu, Bara kemudian mulai bersenandung, suaranya yang dalam membuat alunan yang ia lantunkan terdengar menakutkan, dan kalau boleh jujur terdengar sangat menganggu. Meskipun begitu, senandung yang dilantunkan Bara ini terdengar sangat familiar. Sebentar… bukannya ini senandung yang selalu ibuku lantunkan sebelum aku tidur? Darimana Bara tahu senandung itu? Lalu kenapa ia melantunkan senandung itu kepada Fana?

Jika tebakanku benar, sepertinya Bara melantunkan lagu itu untuk menenangkan Fana, tapi, dengan suaranya itu, bukannya membuat Fana lebih tenang, mungkin Fana malah lebih merasa lebih tidak nyaman.

"Bara hentikan! Biar aku saja!" Teriakku.

Aku yang masih menjaga jarakku dengan Fana mulai melantunkan senandung ibuku itu, aku masih mengingat nadanya, namun, aku sudah lupa akan lirik-liriknya, sudah lama sekali aku tidak mendengar senandung itu.

Aku melantunkan nada demi nada yang dapat kuingat, Kobaran api Fana mulai meredup, melihat itu, aku terus melanjutkan lantunanku.

Perlahan kobaran api yang menyelimuti Fana mulai menghilang, dan aku mulai dapat melihat wajahnya yang penuh dengan kecemasan dan badannya yang menggigil ketakutan.

Saat lantunanku selesai, sudah tidak ada lagi kobaran api yang muncul dari Fana, warna bulunya telah kembali menjadi warna putih dan beberapa corak berwarna merah khas Rubah Api.

Fana terlihat tertekan, keempat kakinya bergetar, rongga dadanya mengembang kempis dengan cepat, dia belum sepenuhnya tenang. Aku kemudian mendekati Fana, melangkah masuk ke rerumputan yang sudah jauh menjadi abu, lalu, ikut bergabung dengan Bara untuk memeluk Fana dan mulai mengelusnya lembut.

"Sudah… Sudah… kamu sudah aman sekarang bersama kami." ucapku sembari mengelus bagian di bawah dagu Fana.

"kamu sudah melewati kabut putih itu, kamu selamat, kita semua selamat, itu yang terpenting."

"Sekarang, beristirahatlah dulu, tenangkan dirimu."

"Oh iya, kita kan belum makan malam, duduklah bersama Bara dulu, aku akan menyiapkan makanannya. Kalian sebaiknya beristirahat di dekat pohon itu, rerumputannya masih hijau dan terlihat lebih nyaman untuk makan malam daripada disini yang tanahnya sudah hangus penuh dengan abu."

Bara kemudian menuntun Fana ke tempat yang tadi aku tunjukkan, sementara aku kembali untuk mengambil tas milikku dan mulai mempersiapkan makan malam kami. Aku mengeluarkan kotak makanan milikku dan mengambil kantung makanan yang berisi daging lebih untuk Bara dan Fana.

Setelah membuka kotak makananku dan mengambil dua daging dari kantung itu, aku mulai menaburkan hasil tumbukan dari bunga Aspecilus ke semua makanan yang ada, setidaknya dengan ini kami dapat memulihkan tenaga yang hilang dari perjalanan tadi.

Aku membawa makanan-makanan tadi ke tempat Bara dan Fana beristirahat, aku dengan hati-hati meletakkan makanan mereka di rerumputan, dan aku sendiri berjalan kembali untuk mengambil tas dan kotak makananku.

Bara dengan lahap memakan makanannya, sementara itu, Fana hanya memandangi makanannya, tubuh Fana masih terlihat gemetaran, wajahnya juga masih menunjukkan kecemasan, namun, ia sudah lebih tenang dari sebelumnya, meskipun begitu, ia sepertinya masih berada dalam keadaan syok.

Aku lantas mengambil makanan Fana dan mengambil sebuah pisau kecil dari dalam tas milikku. Aku kemudian mulai mengiris kecil daging makanan Fana sembari melantunkan lagi senandung milik ibuku. Perlahan postur tubuh Fana mulai terlihat lebih rileks, emosi Fana terlihat mulai membaik dan sepertinya nafsu makan Fana sedikit demi sedikit telah kembali.

Fana lalu beranjak dari tempat istirahatnya dan mulai mendekatiku, ia kemudian mengendus-endus daging yang sedang aku potong ini, seperti memastikan bahwa makanannya ini aman baginya, lalu, ia mulai menjilat-jilati dagingnya, memastikan apakah ia menyukai rasa dari makanannya ini, barulah setelah semua itu selesai ia mulai memakannya.

Melihat Fana yang sudah mulai memakan makanannya, aku juga ikut membuka kotak makananku dan mulai memakan masakan daging milikku, susana makan malam kali ini jauh berbeda dengan biasanya, di tengah hutan yang gelap ini, yang bahkan cahaya dari langit malam tidak dapat menembusnya, kami menikmati makanan kami dengan tenang, suasana sepi dan senyap di hutan ini memang agak mengerikan, tapi, disisi lain juga menenangkan, tidak ada suara binatang buas yang menggema di malam hari, tidak ada juga suara gesekan dari semak-semak yang membuatku cemas dan terkadang membuatku kesulitan untuk tidur.

Setelah kami semua menyelesaikan makanan kami, aku dapat melihat kalau energi Bara dan Fana telah kembali, mereka berdua saling bersahutan seakan berbicara dengan satu sama lain. Cerita apa yang sedang mereka bicarakan? Apakah tentang Fana yang tersesat dalam kabut putih? Melihat mereka kembali seperti ini membuatku lega, percakapan kecil mereka setidaknya dapat mengisi kekosongan di malam ini.

Bagaimanapun juga, aku tidak suka dengan keadaan gelap seperti ini, dan semenjak energiku setidaknya sudah pulih setengahnya, aku dapat membuat bola cahaya kembali. Aku merapal lagi mantra untuk membuat bola cahaya, satu saja cukup sepertinya.

Bola cahaya mulai terbentuk di depanku dan mulai menerangi area di sekelilingku. Aku baru saja ingin melangkahkan kakiku ke depan pada saat bola cahayaku tiba-tiba saja bergerak dengan sendirinya dan terhisap ke salah satu kayu yang mencuat dari dalam tanah.

Aku terdiam sesaat, bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Apa maksudnya itu barusan? Kemana perginya bola cahayaku?

Penasaran dengan kejadian itu, aku lantas mendekati kayu yang tadi menghisap bola cahayaku, aku tidak dapat melihat dengan jelas, penerangan yang kembali minim membuatku hanya dapat meraba-raba permukaan kayu itu, berbeda dengan kebanyakan kayu yang permukaannya cenderung bergerigi, bergelombang, dan tidak rata.

Permukan kayu ini cenderung rata dan halus, namun, aku masih dapat merasakan sedikit gelombang-gelombang kecil yang lembut. Unik, juga aneh, ternyata ada kayu yang memiliki tekstur seperti ini, yah, aku juga belum pernah keluar dari Hutan Niri, jadi pengetahuanku hanya itu-itu saja mengenai pepohonan.

Tanganku masih menjelajahi setiap sudut dari kayu misterius ini saat tiba-tiba saja kayu yang aku perhatikan ini memendarkan cahaya kuning keemasan mirip dengan cahaya dari bola cahayaku.

Aku spontan menarik kedua tanganku dan mundur beberapa langkah dari kayu itu. Pendaran dari kayu itu semakin terang, sepertinya kayu besar yang mencuat dari dalam tanah ini merupakan bagian dari sebuah pohon yang besar karena cahayanya mulai menjalar ke kayu-kayu lain di sekitarnya yang juga keluar dari tanah, membuat pendaran cahayanya terlihat seperti cacing raksasa yang keluar masuk dari dalam tanah.

Tidak berapa lama, cahaya dari akar-akar kayu itupun menuju ke sebuah batang raksasa yang juga ikut memendarkan cahaya yang sama, aku hanya bisa menatap dengan takjub saat cahaya itu menanjak naik menuju ke dedahanan dan ranting pohon raksasa yang ada di depanku ini, hingga pada akhirnya semua daun dari pohon itu telah berubah dari siluet hitam menjadi warna keemasan, sebuah pemandangan yang menakjubkan.

Penyebaran cahayanya tidak berhenti di pohon itu saja, saat daunnya menyentuh daun dari pohon lain, cahayanya kembali menyebar dan begitu seterusnya, tanpa aku sadari aku sudah dikelilingi pohon-pohon raksasa yang memendarkan cahaya keemasan.

Bara dan Fana kemudian menghampiriku dengan membawa tas coklat milikku, sama seperti diriku, mereka berdua bingung tapi juga terpesona pada saat yang sama dengan pemandangan yang mengelilingi kami.

Kami sekarang dikelilingi oleh puluhan, tidak, mungkin ratusan pohon-pohon raksasa yang memendarkan cahaya emasnya, jika dapat aku bandingnkan, batang dari pohon yang ada di depanku ini lebih besar diameternya dari rumah milikku, begitu juga dahannya yang lebih besar dari tubuhku dan ranting-ranting yang terlihat seperti kayu-kayu besar yang biasanya aku gunakan di tungku untuk memasak, daun-daunnya yang besar membuatku berpikir kalau aku dapat berbaring diatasnya dan tidur dengan nyenyak, tentu saja aku tidak akan melakukan itu, terlalu berbahaya, tapi, tidak ada salahnya juga menghayal hal seperti itu kan?

Areal hutan yang tadinya gelap gulita telah berganti dipenuhi pendaran emas yang hangat, kontras dengan angin malam yang dinginnya hingga menembus ke tulang-tulang, aku mengalihkan perhatianku ke sekitar, sekarang aku sudah dapat melihat lebih jelas sekelilingku, tumbuhan yang ada ternyata lebih beragam, aku dapat melihat bunga-bunga dengan berbagai warna, beberapa tulip dan anggrek tumbuh dengan subur disini, ada juga beberapa petak mawar merah dan putih yang tumbuh berselang-seling.

Aku mulai menyadari beberapa hal aneh yang ada di hutan ini, jamur-jamur putih yang ada hanya tumbuh di sekitar pepohonan, tidak ada satupun yang tertempel langsung di kayu pohon besar tersebut, aku juga menyadari bahwa anggrek yang tumbuh juga hanya tumbuh menjadi benalu di pohon-pohon yang lebih kecil, kebanyakan tumbuhan yang ada hanya tumbuh di sekitar pohon-pohon besar ini, seperti menandakan bahwa pohon besar ini bukan sesuatu yang hidup.

Jika benar begitu, lalu apa gunanya? Apa alasan dibalik pohon raksasa yang mati ini? Meskipun memiliki dedaunan yang lebat, entah kenapa daun-daunnya terlihat palsu, tidak hidup, semua daunnya memiliki warna yang sama, aku juga tidak menemukan bekas dedaunan mati raksasa yang biasanya dapat ditemukan berserakan di sekitar pohon-pohonnya.

Tempat ini sangat subur, banyak sekali vegetasi tanaman yang tumbuh, rerumputannya yang hijau, bunga-bunganya yang juga indah, meskipun begitu, aku sedari tadi tidak menemukan tanda-tanda kehidupan selain tumbuh-tumbuhan, jika dipikir lagi, seharusnya tempat ini juga ramai dengan binatang-binatang pemakan tumbuhan, tetapi, nyatanya sejak melangkah kesini, tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali selain kunang-kunang yang tadi aku lihat.

Diluar dari kejanggalan tadi, hutan ini benar-benar indah, sangat indah sampai-sampai aku berfikir untuk tidak pernah keluar dari sini, jika dipikir lagi tempat ini sangat-sangat sempurna untuk ditinggali, ketiadaan ancaman dari binatang buas, juga lingkungan yang sangat damai ini, ditambah dengan pendaran lembut pohon-pohon raksasa yang ada di sekitarku ini, bukankah ini tempat yang sangat sempurna? Suplai makanan juga dapat diambil dari tumbuhan sekitar, sayang sekali kalau tempat seperti ini ditinggalkan begitu saja.

Apa daya, sebentar lagi kami harus melanjutkan lagi perjalanan kami.

"Kalian sudah siap? Sebentar lagi kita akan melanjutkan perjalanan."

Bara dan Fana tidak menggubrisku, mereka hanya memandangi lingkungan di sekitar kami, aku tidak dapat menyalahkan mereka juga, pemandangan disini benar-benar menawan mata.

Aku tahu kita belum sampai sehari keluar dari Hutan Niri, tapi, rasanya tidak buruk juga untuk menghabiskan malam disini, terutama untuk Fana, dia baru saja melewati pengalaman yang aku sendiri tidak dapat membayangkan seberapa mengerikannya jika aku berada diposisinya.

Aku berjalan lebih dekat ke Bara dan Fana, lalu mengalungkan kedua tangan kiri dan kananku di masing-masing leher mereka.

"Bagaimana kalau kita bermalam saja disini dulu? Kalian bisa beristirahat atau mengelilingi sekitar jika kalian mau, tapi, jangan jauh-jauh ya, aku akan menunggu disini."

Wajah Bara dan Fana terlihat senang, segera setelah itu mereka berlari entah kemana menjelajahi hutan yang indah ini, sementara aku ditinggal sendirian duduk menyandarkan diriku di salah satu pohon raksasa ini.

Aku mendongkakkan kepalaku dan memandangi langit-langit dedaunan dan dahan-dahan yang sedang berpendar lembut diatasku ini, baru terpikir olehku, apakah hutan ini mempunyai nama? Semenjak hutan ini berada di luar Hutan Niri, atau mungkin, apa sebenarnya aku masih berada di dalam Hutan Niri? Aku juga tidak tahu batasnya dimana Hutan aneh itu berakhir.

Yang pasti, yang aku tahu sekarang adalah bahwa pemandangan diatas kepalaku ini benar-benar indah, dedaunan dan dahan-dahannya seperti membentuk sebuah pola tertentu, atau, aku saja yang berhalusinasi, entahlah, yang manapun juga aku tetap menikmati keduanya.

Tidak buruk juga sepertinya untuk menghabiskan malam disini, aku tidak tahu kemana Bara dan Fana pergi, untuk menikmati waktu sendiri ini, aku memutuskan untuk mengeluarkan botol minumanku dan meminumnya dengan tenang.

Semilir angin dingin yang menyapa, pendaran yang lembut ini, suasana yang sangat damai ini, aku baru menyadari perbedaan antara keheningan yang damai dan keheningan yang mengerikan, dan inilah keheningan yang damai, sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, bahkan malam-malam yang aku lewati di rumahku sendiri selalu dipenuhi dengan kecemasan, walaupun aku tahu aku aman, ancaman dari binatang buas akan selalu ada, dan itu yang membuatku cemas dari waktu ke waktu.

Aku menyandarkan diriku lebih dalam di salah satu akar pohon raksasa, lalu memejamkan mataku, dari kejauhan aku dapat mendengar dengan jelas suara langkah kaki Fana dan Bara yang saling beriringan menjelajahi Hutan ini.

Sikap mereka yang begitu penurut dengan kekuatan mereka yang begitu mengerikan rasanya saling bertolak belakang dan jika dipikir-pikir lagi agak lucu dan mengherankan, aku tertawa sebentar lalu kembali fokus kepada pikiran-pikiranku yang lain, pikiran tentang akan seperti apa esok hari? Hal-hal apa yang menungguku kedepannya? Ada rasa penasaran yang kuat, tapi, juga diikuti dengan perasaan takut yang sama kuatnya, ya sudahlah, hari esok biarkan datang dengan sendirinya, apapun yang terjadi aku yakin kami bertiga dapat menghadapinya bersama-sama.


next chapter
Load failed, please RETRY

État de l’alimentation hebdomadaire

Rank -- Classement Power Stone
Stone -- Power stone

Chapitres de déverrouillage par lots

Table des matières

Options d'affichage

Arrière-plan

Police

Taille

Commentaires sur les chapitres

Écrire un avis État de lecture: C6
Échec de la publication. Veuillez réessayer
  • Qualité de l’écriture
  • Stabilité des mises à jour
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte du monde

Le score total 0.0

Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
Votez avec Power Stone
Rank NO.-- Classement de puissance
Stone -- Pierre de Pouvoir
signaler du contenu inapproprié
Astuce d’erreur

Signaler un abus

Commentaires de paragraphe

Connectez-vous