"Aira... Bangun..." terdengar suara Ibu dari kejauhan.
"Sebentar lagi Bu!" ucapku.
"Tidak ada sebentar-sebentar! Ayo cepat bangun!" suaranya terdengar semakin keras di telingaku.
Dengan berat hati kubuka mataku, pagi yang indah di Serendrum, kicauan burung diiringi dengan hembusan angin hampa yang menembus sela-sela dedaunan.
Aku memicingkan mataku, cahaya matahari yang menembus jendela selalu menjadi pemandangan yang aku nantikan pada setiap harinya.
Aku mulai membangunkan diriku dan menengok kearah luar jendela, disana hanya terdapat lahan luas yang dihiasi dengan pepohonan sejauh mata memandang, aneh rasanya untuk tidak terganggu oleh semua keheningan ini, tapi, rasanya aku mulai terbiasa.
Aku mulai beranjak dari tempat tidurku, mataku mulai melirik ke sekeliling ruangan, kamar yang terbuat dari kayu-kayu Akasia dengan warna coklatnya yang khas selalu membawa perasaan hampa dan membosankan, kuarahkan lagi kakiku sembari mengalihkan pandanganku ke meja yang ada di seberang tempat tidurku, di atasnya terdapat banyak sekali buku-buku yang ditinggalkan oleh kedua orang tuaku.
Seperti memoar, kenangan itu kembali menghampiri.
"Kami pergi dulu ya." Ucap ayahku.
"Iya!! Hati-hati, segeralah kembali." Balasku.
Ayah dan ibu lalu beranjak pergi meninggalkanku sendirian di ruang tengah.
Aku masih bisa mengingat jelas cahaya yang sedikit demi sedikit menghilang bersamaan dengan tertutupnya pintu rumah kami.
"Sudah tujuh tahun berlalu ya, kalian masih belum kembali, petualangan apa yang kalian sedang lakukan? Sebanyak apa buku yang sudah kalian tulis? Apakah kalian menemukan legenda lautan? Atau bertemu dengan malaikat? Kuharap kalian segera kembali. Walaupun tidak membawa cerita apapun." Gumamku sembari mengusap beberapa buku salinan petualangan mereka.
Tahun demi tahun aku lewati sendirian. dengan persediaan bahan makanan yang semakin menipis, aku harus mulai belajar berburu makanan sendiri dengan alat-alat yang ada. Aku awalnya mulai berburu binatang-binatang kecil seperti kelinci serta angsa dan kemudian aku juga mulai belajar untuk mengembangkan kebun kecil di belakang rumahku.
Buku-buku peninggalan kedua orang tuaku merupakan harta karun berharga yang telah mengajariku banyak hal, dari bertahan hidup hingga pengetahuan mengenai Serendrum.
Bacaan lain yang ada diantara tumpukan buku-buku itu adalah bacaan mengenai apa yang biasa disebut dengan kekuatan atau bakat, keluargaku merupakan keluarga yang secara turun-menurun telah mempelajari mengenai cahaya. Aku bisa menerangi sekelilingku pada saat malam hari menggunakan sihirku, menjadi penerang dikala tidak ada yang bisa menjadi cahayaku.
Buku mengenai bakat yang aku miliki sebenarnya tidak membantu banyak, aku hanya bisa memunculkan bola cahaya atau membuat diriku bersinar, kemampuan ini tidak membantu banyak terutama pada saat berburu, untuk apa aku mengendap-endap lalu memendarkan cahaya? seakan-akan memberikan pengumuman bahwa aku sedang mendekati mereka.
Bola cahaya adalah kemampuan yang paling sering aku gunakan saat ini, saat hari mulai menjelang malam, aku mulai menciptakan bola-bola cahaya di sekitar rumahku, binatang-binatang buas di sekitar sini tidak begitu suka dengan cahaya pada malam hari, mungkin bagi mereka itu adalah hal yang asing, aku juga jika melihat sesuatu yang asing akan lebih memilih untuk menjauh.
Kulanjutkan lagi langkahku ke ruang tengah, tidak banyak hal yang dapat kulihat, hanya ada sebuah meja kayu panjang yang ditemani oleh tiga buah kursi kayu, ruangan ini cukup luas dengan tiga jendela kayu, dua jendela menghiasi bagian depan rumah dan satu lainnya berada di sisi kanan rumah. Ada perasaan yang hampa dan menyeramkan setiap kali aku memasuki ruangan ini.
Ah, dulu rasanya sering sekali ayah mengajakku bermain permainan kata-kata sembari menunggu ibu yang memasak makanan di dapur, rasanya ingin kembali ke masa-masa itu.
Aku lalu memutuskan untuk pergi ke dapur, sepertinya memasak sup untuk sarapan enak juga, lagipula itu yang dulu ibu sering masak untukku, dengan rempah yang berasal dari tumbuhan disekitar sini, aku dapat dengan mudah membuat sup spesial dari ibuku ini.
Ibu, sekarang aku sudah bisa memasak sendiri loh.
Ah, ingin sekali rasanya mengatakan itu kepadanya.
Sarapan hari ini tidak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya, kehangatan dari sup yang ditemani dengan hembusan dingin di pagi hari, tanpa sadar air mataku mulai menetes.
Seperti biasanya juga, didalam keheningan ini terdengar suara mereka berdua yang berdengung keras di dalam kepalaku, suara yang menyentuh dengan lembut bagian kecil dari hatiku.
Dengan berakhirnya sarapanku ini, matahari mulai memunculkan wujudnya di ufuk timur. Kurapihkan semua peralatan makanku dan mulai mengambil peralatan untuk memulai perburuanku hari ini.
Sekarang ini, walaupun hanya ditemani hangatnya matahari, tanpa ayah dan ibu, setidaknya masih ada cahaya hangat yang menemani hari-hariku.