Gelap, kenapa disini sangat gelap? Aku tidak dapat melihat apapun, apakah aku sekarang buta? Aku lantas mencoba untuk meraba-raba, berharap akan merasakan sesuatu pada ujung jari-jemariku.
Kosong, aneh, aku tidak dapat merasakan apapun, tanganku hanya dipertemukan dengan kehampaan, aku juga tidak dapat mendengar apapun, tidak ada suara semilir angin yang menyibak pakaianku, tidak ada suara serangga yang biasanya menggangu bising telingaku.
Ini sebenarnya dimana?
Aku mencoba untuk berteriak, namun, suaraku seakan tidak dapat terdengar, aku bahkan tidak yakin apakah aku dapat bersuara.
Dalam kekacuan ini, dari kejauhan aku dapat melihat dua buah pendaran cahaya yang terlihat familiar.
Dua cahaya dengan pendaran merah dan oranye itu terus mendekatiku, sedikit demi sedikit, bentuk dua pendaran cahaya tersebut membesar, lama kelamaan, dua cahaya itu juga sepertinya tumbuh semakin tinggi.
Sebuah kilatan petir sempat menyambar, menerangi seluruh wilayah yang aku pijaki sekarang.
Sosok itu muncul kembali, sosok mengerikan yang mengambil dengan paksa sebagian tangan kiriklu. Dua pendaran cahaya itu berpendar semakin terang, menatapku tajam dengan segala perhitungannya.
Tangan kiriku tiba-tiba berdenyut, mengikuti irama jantungku.
Denyutannya perlaham tumbuh menjadi rasa sakit yang luar biasa. Aku menatap lagi sosok naga yang ada di depanku ini, dengan seringai kejamnya, ia membuka mulutnya, bersiap untuk menyemburkan api yang hampir merenggut nyawaku malam itu.
Aku hanya dapat terdiam, kali ini berdiri pasrah menerima kematian yang akan menemuiku.
Naga itu menyemburkan apinya, warna biru dengan aksen ungunya berdansa dengan indah saat melesat mendekatiku.
Aku menutup mataku, sembari memegang erat tangan kiriku, aku menerima dengan lapang dada cahaya hangat yang terus mendekatiku ini.
Aku terbangun, tersentak, dan langsung disapa oleh sebuah struktur atap bangunan, berbentuk susunan bongkahan kayu bersar yang menopang bebatuan diatasnya.
Nafasku masih berderu-deru, dan jantungku masih berdebar-debar saat mataku mulai menjelajahi ruangan asing yang aku tempati ini.
Aku mencoba untuk meraba-raba ranjangku, namun, aku tidak dapat merasakan apapun dari tangan kiriku, tekstur ranjang yang agak kasar, tapi, juga empuk ini dapat dengan mudah aku rasakan dengan tangan kananku.
Aku lalu membangunkan diriku, lalu memeriksa tangan kiriku.
"Benar-benar hilang ya…"
Aku sekali lagi memperhatikan sekelilingku, kali ini lebih seksama.
Aku dapat melihat sebuah meja dan kursi kayu yang ditempatkan di seberang kasurku, lalu tepat di sebelahnya, terdapat sebuah lemari kayu yang cukup besar, dan yang terakhir adalah sebuah jendela kayu yang berada tepat di sebelah kiri ranjangku.
Aku terdiam sesaat, mencoba untuk mencerna apa yang sudah terjadi kepadaku, pikiranku berlari ke berbagai arah, Naga besar itu, lalu, tangan kiriku, kedaan Veila dan Roki, serta dimana aku sekarang berada.
Setelah berpikir terlalu panjang dan tidak mendapatkan kesimpulan apapun, aku memutuskan untuk berdiri dan mendekati meja kayu yang kulihat tadi. Diatas meja kayu itu terdapat sebuah tas, dan setelah aku lihat dari bentuk dan warnnya yang familiar, sepertinya tas itu benar adalah tas milikku.
Aku mulai memeriksa lebih jauh isi tasku, semua kantongnya sudah dalam keadaan kosong, tumbukan herba, tali, serta kulit-kulit kering milikku sudah tidak ada lagi, yang tersisa hanya sebuah kantong kecil yang aku tidak tahu isinya apa. Kantong itu diikat dengan tali yang terbuat dari semacam kain berwarna putih, kantongnya terlihat cukup penuh, tidak benar-benar penuh, tapi, juga tidak sedikit isinya.
Penasaran dengan isi kantong itu, aku lantas mulai membuka ikatannya, kantong itu diisi penuh dengan koin-koin berwarna kuning.
Jadi ini yang namanya koin emas?
Penasaran dengan wujud penuh koin-koin emas ini, aku lantas menumpahkan semua koinnya di atas meja. Aku mengambil salah satu koin emas yang ada di depanku ini, menelitinya dengan seksama, pada kedua sisi koinnya hanya ada lambang bulu burung merpati yang jatuh, permukaan koinnya terasa cukup halus, meskipun begitu, ada beberapa goresan kecil yang dapat aku rasakan. Satu koin ini kalau dipikir-pikir mahal sekali untuk didapat, memangnya harga barang-barang yang ada di dalam tasku segini banyaknya?
Puas melihat-lihat koin emas yang aku miliki, aku merapihkan mereka kembali ke dalam kantongnya.
Aku kemudian memutuskan untuk beranjak dari meja dan membuka jendela kayu yang ada di sisi kamarku ini. Dari luar jendela ini aku dapat mendengar suara gaduh orang-orang, bercampur dengan suara bising lainnya, membuatku tertarik untuk melihat seperti apa kehidupan diluar dari kamarku ini.
Tepat setelah aku membuka jendela kamarku, aku langsung disapa oleh angin hangat yang membawa aroma gandum, baunya yang khas lalu masuk dan seakan langsung memenuhi kamar kecilku ini.
Aku lantas mengintip keluar.
Tepat di bawah jendelaku, aku dapat melihat arus manusia yang berlalu-lalang, sepertinya kamarku ini berada di lantai dua dari sebuah penginapan.
Aku melirik ke kiri dan ke kanan, ada banyak bangunan-bangunan berlantai dua lainnya. Bangunan-bangan itu dibuat dari susunan bongkahan bebatuan besar, disertai dengan kerangka-kerangka kayu yang tidak kalah besar pada tiap sudutnya.
Jalan yang dilewati oleh orang-orang juga bukan lagi jalan yang dibuat dari tanah, kini mereka berjalan di atas jalan yang terbuat dari batu-batu yang berbentuk persegi empat. Bebatuan itu lalu disusun berjejer dengan rapi, membuat jalan yang ada jauh lebih nyaman untuk dilihat.
Wagon demi wagon terus melewati jalan yang cukup besar ini, aku juga dapat mendengar teriakan dari beberapa orang yang berwajah seram, sepertinya mereka menawarkan jasa untuk melindungi para pedagang dalam perjalanan dagang mereka.
Aku lalu menatap ke atas, langit berwarna biru yang diisi dengan awan-awan putih yang membumbung tinggi.
Matahari sudah berada di puncaknya, sepertinya hari sudah beranjak siang, aku tidak tahu kenapa, tapi, saat aku melihat ke arah langit, aku dapat melihat aura berwarna biru yang seakan menyelimuti langit tempat ini.
Tempat ini jauh berbeda dengan desa-desa yang sudah aku lalui sebelumnya, kehidupan disini terlihat jauh lebih sibuk, tetapi, juga terlihat lebih hidup, diisi dengan manusia dari berbagai penjuru dunia dan berbagai kalangan. Tidak salah lagi, ini pasti ibukota kerajaan timur, Klein.
Jika ini benar Klein, sudah berapa lama aku tertidur?
Semenjak insiden Naga hitam pada malam itu, hingga aku yang terbangun disini, sudah berapa hari berlalu?
Aku menutup kembali jendela kayu kamarku dan mulai berjalan ke arah pintu kamarku, meskipun jendela kamarku sudah aku tutup, aroma gandum masih dapat tercium di dalam kamarku ini.
Setelah keluar dari pintu kamarku, aku langsung disambut oleh sebuah balkoni panjang yang di sisi-sisinya berisikan jejeran pintu untuk kamar-kamar lainnya, menyisakan sebuah lobang besar berbentuk persegi empat di tengah lantai dua ini.
Dari atas sini, aku bisa melihat langsung ke bagian bawah penginapan, tempat itu diisi dengan banyak meja-meja makan, orang-orang juga ramai bersantap ria sambil berbicara dengan satu sama lain.
Mataku langsung mencoba untuk mencari Veila dan Roki diantara kerumunan itu, tidak perlu waktu lama bagiku untuk melihat lambaian tangan dari Roki yang sedang duduk makan bersama dengan Veila.
Aku segera mencari tangga, lalu turun ke bawah untuk menemui mereka berdua.
Aku dapat merasakan tatapan-tatapan orang yang melihatku aneh.
Aku sangat merasa tidak nyaman saat ditatap oleh mereka seperti itu, rasanya, mereka tidak benar-benar menatapku, tetapi, mereka menatap tangan kiriku ini.
Aku lalu duduk di sebelah Roki, ia sedang dengan lahap menyantap sebuah sup hangat.
"Selamat pagi putri tidur." Sapa Veila.
"Ini sudah siang." Balas Roki.
"Sepertinya aku sudah tertidur cukup lama ya." Ucapku.
"Begitulah, kira-kira empat hari setelah kejadian itu."
"Empat hari?"
"Iya, perlu aku ulangi lagi?"
"Tidak tidak, lagipula bagaimana aku masih hidup? Bukankah aku tidak makan dan minum selama empat hari?"
"Kalau soal itu, Roki dan aku yang mengurusmu selama empat hari ini."
"Iya kak! Kakak makannya banyak juga walaupun sedang tidur."
Veila terkekeh kecil.
"Omong-omong soal itu, kakak rasanya lapar sekali, bagaimana kalau aku memakan kamu saja Roki?"
"Eh jangan kak!"
"Aku bercanda, terima kasih sudah merawatku ya." Ucapku sambil mengusap kepala Roki.
Roki tersenyum polos.
Aku membalas senyumannya.
"Oh iya, tentang orangtuamu." Ucap Veila.
"Kenapa?"
"Aku baru saja dari Perpustakaan Klein."
"Lalu?"
"Aku menemukan buku yang ditulis ayahmu, ini adalah salinan terbarunya."
Veila menyodorkan sebuah buku yang cukup tebal kepadaku.
Judulnya bertuliskan '-Gartha- Serendrum dan Isinya'.
"Aku tidak menemukan informasi yang mungkin dapat berguna bagi pencarianmu, tapi, aku tidak tau orangtuamu seperti kamu tau mereka, jadi aku pikir kamu mungkin bisa menemukan sesuatu di dalam buku ini."
"Ah, terima kasih banyak sudah mau repot-repot melakukan ini untukku."
"Tidak apa, ah iya, aku membawa satu lagi buku, yang satu ini menjelaskan tentang sejarah Dewi di Serendrum? Entahlah, aku juga tidak begitu tau."
Veila menyodorkan lagi sebuah buku, kali ini bukunya jauh lebih tipis.
Veila sepertinya dapat melihat kalau aku benar-benar tidak tahu apapun tentang sosok Dewi yang ada di Serendrum, mengingat kekuatanku baru benar-benar bangkit empat hari yang lalu.
Aku lihat lagi buku tentang para Dewi yang diberikan oleh Veila, sampul bukunya dihiasi dengan sebuah gambar, di sisi kirinya terdapat gambar matahari dan seorang Dewi, sedangkan di sisi kanannya terdapat gambar bulan dan juga seorang Dewi lainnya.
"Serendrum dan Dua Dewi, judulnya terdengar seperti sebuah dongeng."
"Ahaha, iya memang seperti sebuah cerita dongeng."
"Siapa yang menulis buku ini?"
"Seingatku Izrail, pembawa cahaya pertama."
Setelah Veila mengucapkan nama itu, beberapa orang di sekitar kami tiba-tiba membalikkan tubuh mereka, penasaran dengan siapa yang barusan menyebut nama itu.
Setelah beberapa saat saling tatap satu sama lain, mereka akhirnya kembali ke urusan mereka masing-masing.
"Lalu bagaimana dia bisa tau tentang sejarah Serendrum dan kedua Dewinya?"
"Jadi dulu, saat salah satu Dewi itu turun ke Serendrum, Ia memberikan sebagian kekuatannya kepada Izrail. Dewi itu lalu memberikan detail mengenai Serendrum dan gejolaknya, juga tentang keadaan yang memaksanya untuk turun ke tanah manusia dan merelakan sebagian kekuatannya, lengkapnya kamu bisa baca di dalam buku itu."
"Baiklah, sekali lagi terima kasih banyak."
Aku lalu mencoba untuk mengangkat dua buku tadi dengan kedua tanganku.
Ah…
"Roki, bisa bantu kakak membawa dua buku ini ke kamar kakak?"
Roki mengiyakan permintaanku dan langsung berdiri dari kursinya.
"Kakak membawa yang berat ya, Roki membawa yang ringan saja."
Roki menemaniku naik ke lantai dua dan kembali ke kamarku.
Setelah selesai membantuku, Roki segera keluar dari kamarku, dan sepertinya langsung kembali ke bawah untuk menyelesaikan sesi makan siangnya bersama Veila.
Aku menaruh buku milik ayahku di ranjang dan membuka jendelaku.
Aku lalu duduk di kasurku dan mulai membaca buku yang ditulis ayahku ini.
Kebanyakan dari isinya adalah hal-hal yang sudah aku ketahui, aku langsung membalikkan kertasnya ke halaman-halaman terakhir, mungkin ada hal-hal baru yang tertulis disana.
Sayangnya, tulisan terakhir dari ayahku adalah perjalanannya sebelum ke Hutan Niri, aku tahu ini karena buku jurnal yang aku miliki juga berakhir di tempat yang sama.
Veila benar, tidak ada informasi yang terlalu berguna di buku ini, padahal bukunya tebal sekali.
"Haah…" Keluhku sembari menutup kembali buku tebal dihadapanku ini.
Mungkin tidak akan semudah itu ya untuk mencari mereka, lagipula, mereka pasti terus berada di bawah pengawasan Antares dan Lentira.
Aku lalu berdiri berjalan ke arah meja kayu di kamarku, menurunkan tasku dari mejanya, lalu mulai membaca buku mengenai Dewi dan Serendrum.
Mungkin aku dapat menemukan sesuatu di buku ini.
Bukunya dimulai dari cerita bahwa Serendrum diciptakan oleh dua orang Dewi. Satu diantara mereka memegang cahaya dan satunya lagi hanya dapat hidup memegang bayangan dari cahaya yang dipancarkan.
Ia yang memegang cahaya dapat membuat semua yang tidak hidup, Ia menciptakan tanah yang kita pijak, Ia menciptakan air yang kita minum, Ia menciptakan angin yang kita hirup, Ia yang menciptakan awan yang menaungi kita, Ia yang menciptakan matahari, dan Ia juga yang menciptakan bulan untuk menerangi malam.
Sedangkan, Ia yang memegang kegelapan dapat menciptakan kehidupan. Ia adalah sosok yang menciptakan rerumputan, Ia yang menciptakan pepohonan, Ia juga yang menciptakan binatang dan monster dengan segala kekuatan dan sifat mereka.
Serendrum lahir setelah Semesta menurunkan sepasang manusia pertama ke tanah ini.
Dua Dewi yang ada saling menjaga keseimbangan mereka satu sama lain, mereka yang berdiri setara antara satu dan lainnya, dan mereka yang bersama merawat manusia untuk dapat hidup di tanah Serendrum.
Umat manusia berkembang pesat dengan bantuan dari Dua Dewi yang mengawasi mereka.
Manusia lantas hidup dalam keharmonisan, masalah yang ada dapat diselesaikan dengan bantuan Dua Dewi, sayangnya, keharmonisan ini juga yang menjadi malapetaka bagi keseimbangan yang ada.
Kekuatan Ia yang memegang cahaya menjadi semakin kuat, beriringan dengan kehidupan manusia yang harmonis ini. Sedangkan, kekuatan Ia yang memegang bayangan hanya dapat tumbuh jika adanya penderitaan.
Waktu berlalu cepat dan kekuatan Dewi Cahaya tumbuh semakin kuat, cahayanya yang terang mulai menekan Dewi Malam, keseimbangan yang ada mulai terganggu, dan pada saat seperti inilah kecemburuan menjadi rempah yang sempurna bagi resep bencana yang akan muncul kedepannya.
Dewi Malam, yang posisinya semakin terpojok mulai berunding dengan Dewi Cahaya, mereka akhirnya sampai pada sebuah keputusan, dimana Dewi Malam dapat membuat kontrak kepada manusia yang dipilihnya.
Ketentuan kontrak itu adalah manusia dapat mengorbankan sesamanya dengan sebuah imbalan, bahwa setelah penderitaan yang diakibatkan dirasa setimpal dengan permintaan manusia, Dewi Malam dapat menggunakan sihir kreasi miliknya dan mengabulkan permintaan mereka. Sebuah keputusan yang dianggap menguntungkan dua pihak yang terikat kontrak.
Keseimbangan kekuatan diantara keduanya perlahan kembali pulih, namun, keseimbangan ini tidak dapat berlangsung lama.
Pada saat inilah Dewi Cahaya mengetahui bahwa keserakahan manusia tidak mengenali batas, satu dua orang perlahan berubah menjadi sekelompok orang, kontrak demi kontrak terus terbuat, dan pada akhirnya perang pun pecah.
Penderitaan menyebar seperti epidemi yang tidak dapat dihentikan, Dewi Cahaya kini mulai kehilangan tempatnya. Ia lantas meminta Dewi Malam untuk menghentikan kontrak yang dijalaninya, tetapi, Dewi Malam menolak, membuat Dewi Cahaya semakin terpojok keluar dari zona kekuasaannya.
Manusia yang tidak ingin terlibat dalam peperangan menjauhkan diri mereka ke sisi dunia yang lain. Faksi akhirnya terbentuk, dimana mereka yang berjalan ke Selatan dan Timur membuat kerajaan mereka sendiri. Mereka yang berperang di Barat dan Utara masing-masingnya juga mulai membuat kerajaan mereka sendiri. Dengan perang yang tidak kunjung berhenti, Serendrum akhirnya berubah menjadi tempat suram yang sulit untuk dihidupi.
Dengan kekuatannya yang tersisa, Dewi Cahaya memutuskan untuk turun ke tanah Serendrum. Kerajaan Timur memilih untuk tidak berurusan dengan para Dewi, sedangkan kerajaan Selatan menerima dengan tangan terbuka kedatangan Dewi Cahaya. Dengan kekuatan yang dimiliki-Nya, Dewi Cahaya menciptakan pohon-pohon buatan yang besar di sepanjang perbatasan Kerajaan Selatan, lalu menyelimutinya dengan kabut tebal yang sulit untuk di tembus, melindungi Kerajaan Selatan dari pengawasan dan pengaruh Dewi Kegelapan.
Ia lalu memilih Izrail, sebagai penerus kekuatan cahayanya, seorang pengembara dari Selatan.
Bawalah cahaya ini kembali ke kedudukan tertingginya, angkasa tidak lagi penuh dengan cahaya, pada malam tanpa akhir ini, jadilah cahaya yang menuntun manusia.
Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang Dewi Cahaya ucapkan, sosoknya lalu pergi menjauh, menghilang dan beristirahat di singgasana terakhirnya.
Ceritanya lalu berhenti disana.
Semakin banyak pertanyaan yang muncul di benakku.
Apa yang Izrail lakukan setelah itu? Kemana dia pergi? Apa yang ia lakukan?
Kepalaku berputar-putar memikirkan itu dan aku hanya sampai pada satu jawaban, Izrail pergi untuk menghentikan Dewi Malam. Jika itu benar, maka orangtuaku juga mungkin pergi untuk menghentikan Dewi itu, Dewi Malam yang menciptakan kekacauan di tanah Serendrum ini.
Setidaknya itu sebuah petunjuk tentang kemungkinan kemana orang tuaku pergi. Lalu tentang kekuatanku, aku mulai memahami karakteristiknya dari cerita ini, aku sepertinya dapat menciptakan benda-benda mati berdasarkan imajinasiku. Untuk sekarang, aku hanya dapat meniru benda-benda yang sudah pernah aku lihat, dan sepertinya aku juga bisa meniru sihir orang lain, walaupun kekuatan sihirnya jauh lebih lemah dari aslinya.
Bukankah itu berarti energi sihir itu benda mati? Menarik juga.
Perkataan Veila juga mulai masuk akal setelah membaca cerita ini, semenjak Lentira dapat menciptakan mahluk hidup selain manusia, menciptakan dan mengirim seekor Naga bukanlah suatu hal yang sulit untuk dilakukan-Nya.
Aku penasaran apa yang akan Lentira kirim setelah ini untuk menghentikanku, dengan keadaanku yang sekarang, aku jelas tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menghadapinya.
Aku perlu berlatih, setidaknya sampai aku dapat menjaga diriku sendiri, tidak tahu lagi berapa lama Veila akan terus menemaniku. Aku masih dapat membuka mataku disini juga berkat Veila, jika saja hari itu ia tidak melindungiku, aku jelas sudah tidak akan bisa sampai ke Klein.
Sebuah ketukan terdengar dari pintu kamarku.
Aku beranjak dari tempat tidurku lalu membuka pintu kamarku.
"Halo, lapar?" Ucap Veila.
"Lumayan." Balasku.
Aku mempersilahkan Veila masuk, kali ini Roki tidak bersamanya.
"Dimana Roki?" tanyaku.
"Dia sedang bermain dengan anak kenalanku, dulu aku pernah bekerja di kota ini, jadi ada beberapa orang yang aku kenal."
"Kemana biasanya mereka bermain? Tante tidak khawatir?"
"Ya jelas khawatir, tapi, aku sudah mengenal dia dan anaknya lama, aku rasa Roki aman sama mereka. Oh ya, namanya Rose, siapa tau nanti kamu bertemu dengannya saat berjalan-jalan di luar."
"Akan aku ingat nama itu."
"Ah ya, ini, aku membawakan roti dari bawah."
Veila menyerahkan sebuah keranjang yang berisikan makanan, jadi ini yang dinamakan roti, ini pertama kalinya aku melihat makanan ini.
"Terima kasih!" Ucapku riang.
"Ahaha sama-sama, aku senang melihatmu ceria kembali seperti ini." Ucap Veila, sambil mengusap-usap kepalaku.
Aku langsung mencoba salah satu dari berbagai tumpukan roti yang Veila bawa, bentuknya beragam, ada yang berbentuk bulat dan pipih, ada yang berbentuk lonjong, ada juga yang menyerupai kepala kelinci, lucu sekali.
Aku terkejut saat merasakan ada sesuatu yang manis saat aku memakan roti yang berbentuk kelinci itu, ada sesuatu berwarna merah yang keluar dari sela-sela roti bekas gigitanku.
"Darah?!"
"Bukan bukan, itu selai, manis kan rasanya?"
"Ooh, aku kira…"
"Siapa juga yang mau memakan darah?"
Aku lanjut melahap roti-roti yang ada.
"Oh ya." Ucapku.
"Kenapa Aira?"
"Aku mau meminta untuk diajari bertarung, boleh?"
"Hmm, aku malas."
"Yaaah, jangan begitu dong, aku ingin kuat juga seperti tante."
"Yakin? Aku bukan tipe petarung, sihirku lebih ke tipe pertahanan."
"Justru itu, aku perlu belajar untuk bertahan saat bertarung sambil mencari kelemahan-kelemahan mereka."
"Kalau kamu bersikeras, apa boleh buat, akan aku pikirkan metode yang tepat untuk melatihmu."
"Ehehe terima kasih."
"Katakan itu setelah latihanmu selesai, latihan yang aku berikan tidak akan mudah."
Aku mengangguk gembira.
"Setelah ini, kamu dapat berjalan-jalan di kota, kasihan jika kamu terjebak di kamar ini terus, nanti kamu jadi orang aneh."
"Mnfke."
"Habiskan dulu makananmu, baru berbicara."
Aku mengangguk.
"Oh iya, hampir lupa, aku juga sudah menjual barang-barangmu. Aku rasa kamu dapat membeli barang-barang yang lebih bagus, daripada kamu terus membawa kantong-kantong beban itu kemana-mana."
"Mbfaik."
"Haah… ya sudah, aku keluar dulu ya, nikmati makananmu."
Veila lalu berjalan keluar dari kamarku.
Ia sangat peduli ya kepadaku, padahal aku bukan anaknya, aku jadi rindu dengan ibuku sendiri.
Setelah kenyang memakan roti-roti tadi, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di luar, tidak lupa aku membawa kantong yang berisi koin-koin tadi.
Rasanya berbeda sekali saat aku menginjakkan kaki di jalan batu ini, jalannya jauh lebih keras dari jalanan tanah, tetapi, terasa jauh lebih nyaman untuk dilewati tanpa adanya batu kerikil seperti di jalan tanah.
Aku berjalan mengikuti arus manusia di depanku, penasaran lorong besar ini akan membawaku kemana. Sebagian besar jalan ini diisi oleh gerobak-gerobak Wagon yang membawa bermacam-macam barang, mulai dari sayur mayur dan buah-buahan, bahan-bahan mentah, sampai barang-barang yang sudah jadi.
Untuk Wagon yang aku asumsikan memiliki harga barang yang cukup tinggi, di sekitarnya diikuti oleh orang-orang berwajah seram yang menjaga dan mengikuti gerobak itu.
Anak-anak jarang terlihat di jalan kecil ini, kalaupun ada, mereka biasanya sedang berlari mengikuti arus jalan ini, menghiasi jalan kecil ini dengan gema canda dan tawa mereka.
Aku meneruskan langkahku, dan akhirnya tiba di sebuah bundaran yang besar, dari orang yang lalu-lalang disini, aku mendengar mereka menyebut tempat besar ini sebagai alun-alun Leida.
Tepat di tengah-tengah alun-alun ini terdapat sebuah monumen, dengan pahatan yang berbentuk tiga helai bulu burung yang sedang jatuh, sama seperti yang aku lihat di perisai milik Veila, monumen ini sepertinya dibuat dengan besi khusus, permukaannya yang memantulkan cahaya matahari terlihat sangat anggun.
Monumen itu juga memancarkan aura biru ke sekelilingnya, sepertinya monumen ini juga berfungsi sebagai jangkar, terhubung dengan kubah pelindung yang menyelimuti Klein, mirip seperti perisai Veila saat ia membenamkannya ke tanah.
Tepat di depan monumen itu terdapat sebuah panggung yang terbuat dari kayu. Panggung ini terlihat cukup lebar dan di tengahnya terdapat tiga buah tiang kayu yang berdiri kokoh, atraksi macam apa ya yang mereka pertontonkan di tengah alun-alun ini, pastinya sesuatu yang mengesankan.
Aku lalu berjalan memutar ke bagian belakang monumen.
Tidak jauh dari area belakang monumen, aku dapat melihat sebuah tangga, sepertinya dibuat dari bebatuan yang sama seperti jalan-jalan disini, hanya saja, tangganya terlihat menanjak dan berkelok-kelok. Pada puncaknya, aku dapat melihat sebuah kastil yang berdiri dengan megah, dindingnya yang terbuat dari kristal pantas disebut sebagai kebanggaan dari ibukota Kerajaan Timur.
Aku belum pernah melihat sesuatu yang begitu megah, juga begitu berkilauan di bawah sinar matahari siang, kristal-kristal itu memantulkan cahaya ke berbagai arah, beberapa bahkan mengeluarkan pelangi dari pantulan cahayanya.
Di sekitar tangga-tangga naik ke kastil itu, terdapat banyak bangunan-bangunan besar yang disebut sebagai mansion saat aku bertanya ke orang sekitar. Katanya rumah-rumah besar ini ditujukan bagi mereka yang bekerja dibawah utusan kerajaan, semakin tinggi letak mansion mereka, ukuran rumah dan luas halaman mansionnya juga menjadi semakin besar, menandakan posisi jabatan yang dimiliki oleh penghuni rumahnya.
Aku membalikkan badanku, melewati monumen itu lagi, lalu menghadap lurus ke sebuah jalan yang sangat lebar.
Sepertinya jalan yang ada di depanku ini adalah jalan utama di Klein, jalannya sangat luas, gerobak-gerobak Wagon dapat dengan mudah berlalu-lalang, padahal, di sisi kiri dan kanan dari jalan ini ada banyak sekali toko-toko yang berjejer, menjual berbagai macam barang-barang mereka.
Selain jalan utama, di sekitar alun-alun ini juga terdapat banyak jalan-jalan yang lebih kecil, salah satunya adalah jalan yang menuju ke penginapanku tadi, rasanya seperti masuk ke celah-celah kecil yang ada di kota yang sangat ramai ini.
Aku menjelajahi berbagai toko yang ada, perhatianku tertuju kepada salah satu toko yang menjual pakaian, tempat ini menjual berbagai macam pakaian dan salah satu diantaranya adalah pakaian yang ditujukan untuk para petualang dan pengembara.
Tertarik dengan apa yang aku lihat dari depan toko, aku lantas masuk ke toko pakaian itu dan mulai memilih salah satu set yang menarik perhatianku. Salah satu set pakaian menarik perhatianku, sebuah baju lengan panjang berwarna coklat, campuran antara kain lembut yang aku tidak tahu nama bahannya apa, dengan campuran kulit binatang, kainnya terasa sangat lembut saat aku sentuh, celana panjangnya yang cukup ketat ini juga dibuat dengan campuran bahan yang sama. Satu set pakaian itu dihargai satu koin emas, setahuku satu koin emas setara dengan seratus koin perak dan satu koin perak setara dengan seratus koin perunggu, baju dan celana ini mahal juga ternyata.
Meskipun terkesan mahal, aku akhirnya tetap memutuskan untuk membeli satu set pakaian itu.
Aku lalu melanjutkan perjalananku untuk melihat berbagai toko-toko lain yang ada, kebanyakan toko di sepanjang jalan ini menjual barang-barang mahal, seperti aksesoris perhiasan serta ornamen-ornamen rumah yang begitu mahal, aku bahkan sempat mendapati sebuah cincin yang dihargai dua ratus koin emas, bukankah itu tidak masuk akal?
Aku meneruskan langkahku dan berhenti di depan sebuah toko yang bertuliskan 'Alkimia'. Setahuku alkimia adalah ilmu yang menggabungkan antara pembelajaran dunia dan sihir, alasan aku berhenti di toko ini bukan karena tertarik dengan Alkimia, tetapi, di rak yang menjual barang-barang Alkimia ini terdapat suatu benda yang berbentuk mirip seperti sebuah tangan, dan kalau dilihat lagi itu adalah bagian bawah dari tangan kiri.
"Halo nona manis, ada yang bisa saya bantu?" Tanya seorang laki-laki kepadaku dari belakang konter.
Laki-laki yang ada di depanku ini terlihat sedikit aneh, sekilas dia terlihat seperti manusia, tapi, jari-jari tangannya sedikit terlalu panjang, dan iris matanya mengingatkanku dengan mata Naga yang aku hadapi pada malam itu, mata yang tajam namun penuh dengan perhitungan.
"Ah, anu, er… itu." Ucapku sambil menunjuk barang yang menarik perhatianku tadi.
Ia menatapku, lalu menatap ke arah tangan kiriku, mengangguk sebentar dan mengambil barang itu dari raknya.
"Ini adalah tangan prostetik, sesuatu yang sedang aku kembangkan, dan yang aku pegang sekarang ini adalah tipe kombatan."
"Bagaimana cara kerjanya?"
"Kamu tinggal memasukkan tanganmu saja ke dalam sini, lalu kamu dapat menggerakkannya sesuka hatimu menggunakan pikiranmu."
"Semudah itu?"
"Tentu saja tidak, untuk menggerakkannya perlu energi sihir, karena tangan prostetik ini terbuat dari campuran besi magis. Itu berarti?"
"Berarti?"
"Berarti kamu mengorbankan energi sihirmu untuk menggunakan benda ini, walaupun sudah cukup efisien jika dibandingkan dengan purwarupa milikku sebelumnya, tangan prostetik ini tetap memakan energi yang cukup banyak."
"Tidak apa kok, aku hanya ingin menggunakan tangan kiriku lagi."
"Baiklah kalau kamu berkata begitu, cobalah dulu."
Ia menyerahkan benda itu kepadaku.
Tangan prostetik ini ternyata cukup berat juga.
Aku langsung menyambungkan tangan prostetik itu dengan lengan kiriku, sesaat setelahnya, tangan prostetik ini langsung menyesuaikan bentuknya, dan tidak lama setelah itu, aku dapat melihat jari-jemarinya bergerak sesuai dengan keinginanku.
"Wah! Ini hebat sekali!" Ucapku antusias.
Aku dapat merasakan energi sihirku dengan perlahan diserap oleh tangan prostetik ini setiap kali aku mencoba untuk menggerakkannya.
"Oh ya, aku tadi berkata ini tipe kombatan kan? Coba kamu alirkan energi lebih ke tangan prostetik itu."
Aku menuruti perkataannya dan mulai menyalurkan energi lebih ke tangan besi ini.
Ujung tangannya mulai bergerak dan bergetar, sesaat setelah itu tiba-tiba saja telapak tangannya meluncur ke depan dan menghantam dinding batu toko, aku terkejut, tetapi, aku juga menyadari ada semacam tali yang terhubung antara tangan besi ini dengan telapak tangan yang baru saja meluncur.
"Sekarang pikirkanlah untuk menarik kembali telapak tangan itu."
Aku menuruti perkataannya, walaupun aneh untuk berpikir menarik telapak tanganku sendiri, namun, setelah tidak lama aku memikirkan hal itu, telapak tangannya tertarik kembali dengan mudah.
"Bagaimana?"
"Menakjubkan!"
"Ahaha hebat kan aku?"
"Sangat!"
"Jadi berapa?" tanyaku.
"Hng… untuk harga, aku sebenarnya belum menentukannya, karena ini masih dalam tahap pengembangan, tapi, jika kamu benar-benar ingin membelinya aku dapat menjualnya dengan harga seratus koin emas."
Aku mengambil kantong yang berisi koin-koin emas tadi dan menaruhnya di konter kayu.
"Segini cukup?"
"Biar aku hitung dulu."
Selagi laki-laki itu menghitung koinnya, aku menggerak-gerakkan tangan baruku ini, rasanya sedikit aneh, aku dapat menggerakkan tangan ini sesuai dengan keinginanku, tetapi, saat aku menyentuh tangan buatan ini, aku tidak dapat merasakan apa-apa, rasanya tangan ini menjadi bagian terpisah yang menyatu dengan diriku.
"Ini lebih dari cukup." Ucapnya sembari mengembalikan kantong kulitku, isinya kini sudah banyak berkurang.
"Terima kasih ya!" Ucapku lagi kepadanya.
"Begitu juga dengan saya." Ucapnya sambil melambaikan tangannya kepadaku.
Aku lalu berjalan kembali ke alun-alun dan memasuki jalan kecil untuk kembali ke penginapan.
Sesampainya di penginapan, aku langsung beranjak ke meja penerima tamu dan menanyakan apakah ada tempat untuk membersihkan diri, di penginapan ini ternyata ada tempat pemandian umum yang dipisah antara laki-laki dan perempuan.
Setelah membersihkan diriku dan mencuci pakaianku, aku langsung mengenakan pakaian yang baru aku beli tadi, kemudian aku beranjak ke kamarku, lalu menggantung pakaian basahku di rangka tiang kayu yang ada di kamarku.
Tidak lupa, aku mengunci pintu kamarku dan setelahnya langsung melemparkan diriku ke kasur, hari ini rasanya cukup melelahkan, tidak lama kemudian, aku tertidur lelap.
Irama ketukan yang berulang-ulang membangunkanku dari tidur lelapku.
"Siapa?" Tanyaku.
"Veila."
Aku beranjak dari kasurku dan membuka kunci pintu kamarku.
Sepertinya sudah malam, lilin-lilin kecil sudah dinyalakan di sepanjang lorong kamarku saat aku membuka pintu untuk Veila.
Veila lalu masuk ke kamarku dan menutup pintunya.
"Aira! Ini apa?!" Ucap Veila memegang tangan besiku.
"Tangan prostetik?"
"Dimana kamu membelinya?!"
"Toko Alkemi."
"Jadi kamu sudah bertemu Albert ya, haah… orang satu itu berbuat seenaknya saja."
"Tante kenal dengan dia?"
"Tentu saja, aku menjual barang-barangmu disana."
"Dia terlihat baik, walaupun perawakannya cukup membuatku ngeri."
"Albert itu seorang Eifmir, pada dasarnya dia memang mirip seperti manusia, tapi bukan manusia."
"Eifmir?"
"Iya, mereka adalah ras yang diciptakan oleh Lentira untuk bertarung di daerah perang Barat dan Utara, Lentira tidak dapat menciptakan manusia utuh dan pada akhirnya Eifmir lah yang tercipta, campuran antara manusia dan monster. Lain kali kamu harus berhati-hati saat bertemu mereka."
Aku mengangguk, meresapi perkataan Veila dan mengingatnya baik-baik, walaupun aku masih setengah sadar mendengarkannya berbicara.
"Lalu ada apa?" Tanyaku.
"Sebenarnya aku ingin mengajakmu keluar, tapi, melihat tanganmu itu aku harus berbicara dengan Albert dulu."
"Memangnya kenapa?"
"Katakan padaku, berapa harga yang dia beri untuk tangan prostetik itu?"
"Seratus koin emas."
"Tangan seperti ini biasanya dijual seharga lima ratus koin emas loh!"
"Jadi maksudmu?"
"Albert mungkin memiliki motif lain saat memberikanmu harga serendah itu."
"Lalu sekarang apa?"
"Hmm? Tentu saja menanyakannya langsung, ayo ikut aku."
"Bagaimana dengan Roki?"
"Roki sudah tertidur lelap, lagipula ada Zabu yang menjaganya."
"Tante membawa Zabu masuk?"
"Lebih kepada menyelundupkan, toh orang-orang tidak dapat melihat dia juga."
Veila membuka pintu kamarku dan langsung berjalan keluar. Aku mengikutinya dengan pelan dari belakang, takut membangunkan orang lain yang mungkin sedang tertidur.
Kami kemudian turun dan keluar dari penginapan.
Jalan di luar ternyata sudah dihiasi dengan obor-obor yang sudah dinyalakan, ikut mengubah warna dinding-dinding batu menjadi warna merah jingga.
Monumen yang berdiri kokoh itu juga masih memancarkan aura berwarna birunya, walaupun samar-samar, aku masih dapat melihatnya.
Kami akhirnya sampai di toko Alkemi itu dan Veila langsung mengetuk-ngetuk pintu toko itu.
"Siapa? Maaf kami sudah tutup." Ucap seorang laki-laki dari balik pintu.
"Ini aku." Ucap Veila.
Aku dapat mendengar suara kunci terbuka dengan cepat, dan dari balik pintu itu aku lihat lagi sosok bernama Albert itu.
"Oho, Veila, ada urusan apa? Wah, wah, ada nona manis juga disini."
Aku melambaikan tanganku kepada Albert.
Veila memegang dengan kasar tangan kiriku lalu menunjukkannya kepada Albert.
"Iya, kenapa?" Tanya Albert.
"Jadi apa motifmu?"
"Langsung ke intinya ya, Veila, kamu belum banyak berubah."
"Simpan saja basa basinya untuk nanti."
"Anggap saja itu diskon untuk kelinci percobaan?"
"Beraninya kamu!"
Veila melompat ke depan dan langsung mencengkram dengan erat kerah baju Albert.
"Tunggu dulu, aku rasa itu bukanlah alasan yang buruk, lagipula benda itu tidak ada gunanya di rak tokoku."
Veila melonggarkan cengkramannya sedikit.
"Itu saja?"
"Nona manis ini juga bukan orang biasa kan? Aku dapat melihat aura pendaran cahaya dari tubuhnya."
"Jadi maksudmu tangan besi itu lebih berguna jika diberikan kepada Aira?"
"Anggap saja ini penebusan dosaku."
"Ya sudahlah, untuk sekarang aku akan percaya kata-katamu, aku juga tidak dapat merasakan aura jahat muncul dari tubuhmu."
"Terima kasih sudah mau percaya."
Aku lalu melangkah maju, penasaran dengan perkataannya yang menyebutkan pendaran cahaya.
"Jadi kakak tau darimana aku punya sihir cahaya?"
"Ah, aku kan seorang Eifmir, jadi mataku ini dapat dengan mudah mendeteksi pembawa cahaya."
Masuk akal.
"Ya sudah, maaf mengganggu." Ucap Veila singkat.
"Senang bisa membantu." Balas Albert dengan senyum ramah.
"Ya ya."
Albert lalu menutup pintunya dan kami pun berjalan menyusuri jalan utama kota.
"Tentang latihanmu, kita akan mulai dari hari ini."
"Malam ini juga?"
"Iya, kita akan ke daerah rawa di sekitar sini, kamu suka laba-laba?"
"Tidak bisa dibilang suka."
"Bagus, karena kamu akan berburu banyak laba-laba malam ini."
Kami lalu berjalan melewati jalan utama yang terus saja berbelok-belok, dan akhirnya sampai di gerbang utama Klein, sebuah gerbang kayu besar yang dijaga oleh banyak tentara kerajaan.
"Dimana Bara dan Fana?" Tanyaku karena sedari tadi belum melihat mereka berdua.
"Mereka ada di luar sana." Tunjuk Veila ke arah luar gerbang.
Mataku melirik arah yang Veila tunjuk, memang benar, disana aku dapat melihat sosok Bara dan Fana yang sedang berisitirahat.
"Kenapa mereka di luar?"
"Mereka bukan Familia-mu kan?"
"Er… aku masih tidak mengerti bagaimana konsep itu bekerja."
"Nanti aku bantu, untuk sekarang, selama mereka berdua bukan Familia-mu, mereka tidak dapat masuk ke dalam Klein."
Kasian sekali mereka harus tidur di luar seperti ini.
Setelah berurusan dengan penjaga kerajaan, aku langsung mendatangi Bara dan Fana, aku rindu denngan sosok mereka berdua.
Tapi, aku tidak bisa bercengkrama terlalu lama dengan mereka, setelah berbicara dengan Bara dan Fana tentang keadaanku, mereka berdua mengangguk paham, kami pun berjalan mengikuti arahan Veila dari belakang.
Kami berjalan agak jauh dari Klein sampai akhirnya kami tiba di sebuah rawa, penuh dengan pohon-pohon berwarna hijau tua.
Aku dapat melihat benang-benang yang mirip seperti benang laba-laba menempel dari satu pohon ke pohon lainnya, yang membuatku khawatir adalah ukuran benang-benangnyanya lebih besar dari dahan-dahan yang jatuh di tanah. Apakah kami akan baik-baik saja? Semoga saja begitu.