Tiga hari sudah berlalu semenjak insiden kalajengking itu, kami sekarang sudah berjalan cukup jauh. Tidak banyak hal yang dapat menarik perhatianku selama tiga hari perjalanan kami, diluar dari menemui lebih banyak kalajengking-kalajengking lainnya di perjalanan, aku tidak menemui monster lain yang dapat menjadi ancaman besar bagi kami.
Pemandangan padang rumput hijau yang awalnya mengelilingi kami sedikit demi sedikit berubah menjadi daerah persawahan yang membentang luas. Dengan begitu, kami juga mulai menemui orang-orang yang tinggal di sekitar daerah itu.
Orang-orang itu keluar di pagi hari untuk mengurusi ladang mereka yang luas. Petak-petak ladang mereka sangat luas, sampai-sampai aku tidak bisa menghitung berapa banyak lahan-lahan yang ada. Yang terhampar di sekitar kami juga bukan hanya lahan-lahan sawah, tetapi, di kejauhan juga terdapat kebun-kebun anggur yang berjejer dengan rapih. Kalau dilihat-lihat lagi bukankah daerah-daerah ini sangatlah subur? Lalu kenapa Roki sampai harus di korbankan? Ya dan lagi, mungkin saja ini bukan daerah yang dimaksud Roki.
Selama tiga hari berjalan bersama Roki, aku dapat menyimpulkan kalau dia adalah anak yang menarik, sikapnya yang ramah dan sopan, serta percakapan-percakapannya yang penuh dengan antusiasme tinggi, lalu lambaian tangannya yang diikuti dengan sebuah senyuman manis saat ia menyapa orang-orang yang kami temui. Ia dapat melakukan semua itu meskipun ia sendiri telah melalui hal-hal yang berat, aku kagum saat melihatnya bisa memberikan senyumannya kepada orang-orang yang ia temui, mereka yang mungkin tidak akan ia lihat lagi dalam hidupnya, Roki tetap menyapa mereka dengan ramah, seakan ia menjalani hidupnya tanpa ada beban di belakang senyumannya itu.
Meskipun begitu, Roki masih tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya, terutama saat kami bertemu dengan gerobak-gerobak wagon di jalan. Roki selalu bertingkah aneh saat kami melewatinya, ekspresi wajah yang biasanya diisi dengan tawa ceria, tiba-tiba berubah dan diisi dengan rasa takut saat ia melihat gerobak-gerobak itu. Tidak hanya itu, ia juga kadamg mencengkram erat lengan bajuku dengan penuh gemetar saat melihat wagon yang mirip dengan milik ayahnya, aku hanya bisa mengelus-elus rambutnya dan berkata kalau dia akan baik-baik saja.
Disisi lain, aku yang baru saja melihat gerobak-gerobak Wagon itu untuk pertama kalinya, pikiranku diisi dengan rasa penasaran dan ketertarikan yang besar. Bentuk mereka yang terlihat sangat menarik dan nyaman, gerobaknya yang ditarik oleh seekor kuda, serta si kusir yang hanya perlu duduk dan mengarahkan kuda itu, membuat wagon-wagon ini terlihat mudah untuk dinaiki dan nyaman untuk digunakan. Belum lagi ada beberapa gerobak yang memiliki atap, aku benar-benar ingin memiliki satu yang seperti itu, cahaya terik dari matahari benar-benar menyengat selama perjalanan kami, dan itu benar-benar menyebalkan. Aku bahkan sudah dapat membayangkan diriku mati kepanasan ditengah terik matahari ini di kemudian hari. Perjalananku yang masih panjang dan jauh, setidaknya jika aku dapat memiliki gerobak beratap itu, perjalananku akan menjadi sedikit lebih nyaman.
Sekarang kami seharusnya sudah tidak jauh lagi dari desa Han. Kami baru saja melewati sebuah desa yang Roki sebut sebagai desa kerajinan tanah liat, desa itulah yang biasanya ia kunjungi bersama ayahnya saat mereka melakukan perdagangan jarak dekat. Desa yang dinamakan Pedana itu sangat ramai dengan gerobak-gerobak wagon yang mengantri dari pintu masuk desanya. Aku juga dapat melihat bangunan-bangunan kecil yang terbuat dari kayu untuk menjual barang-barang hasil kerajinan mereka tersebar rapih di dalam desa itu.
Kata Roki, kerajinan tangan dari tanah liat belakangan mulai banyak diminati, itu karena mulai sulit dan menipisnya sumber-sumber bahan baku lain seperti bebatuan, besi, tembaga, dan sebagainya. Ini membuat harga barang-barang yang dihasilkan oleh bahan baku yang langka itu harganya naik tajam dan menjadi lebih sulit untuk dibeli, berbeda dengan kerajinan tanah liat ini, mereka dapat menggantikan barang-barang itu, walaupun barangnya lebih rapuh, tetapi, harganya jauh lebih murah dan terjangkau karena bahan bakunya mudah untuk didapati.
Hari sudah menjelang sore saat Roki menepuk-nepuk pundakku sambil menunjuk-nunjuk ke suatu arah, aku memalingkan wajahku ke sebuah desa yang berada di kanan persimpangan yang akan kami lalui.
"Desa Han!" Ucap Roki.
Akhirnya, sebentar lagi kami akan sampai ke desa tempat tinggal Roki.
Bara berbelok mengikuti arah yang Roki tunjuk tadi.
Jika dilihat sekilas dari jauh, tidak ada yang spesial dari desa itu, desanya terlihat tidak terlalu besar, rumah-rumahnya juga terlihat sama-sama saja dengan kebanyakan yang sudah aku lihat sebelumnya. Rumah-rumah kayu kecil yang beratapkan kerajinan tanah liat dengan obor-obor api yang ditanam di depan teras rumah mereka. Rumah-rumah kecil yang sederhana.
Gerbang desa yang terbuat dari tiang-tiang kayu yang dijejer rapih mulai terlihat. Di depan pintu gerbang itu terdapat dua orang laki-laki yang masing-masingnya memegang tombak di tangan kanan mereka, pakaian mereka terlihat sedikit lusuh, ada banyak sobekan disana-sini, mereka masing-masingnya juga mengenakan rompi kulit yang terlihat cukup tebal dengan sebuah lambang sepotong bulu di bagian dada kanan mereka, jika mengingat penjelasan di buku perjalanan orangtuaku, mereka berdua merupakan prajurit kerajaan.
Kami berjalan mendekati kedua pria itu.
"Tahan!" Ucap salah satu dari mereka sembari mengacungkan tombaknya ke arah kami.
Bara menghentikan langkahnya, begitu juga Fana.
Roki melambaikan tangannya, menyapa kedua pria itu.
"Ah, Roki!" Teriak salah satu pria itu.
"Dimana ayahmu?" Tanya salah satunya lagi.
Roki hanya menatap pria itu dalam, dengan ragu ia mengangkat kedua bahunya.
"Kamu tidak tau ayahmu dimana? Lalu siapa gadis yang bersamamu ini?" Pertanyaan yang dilemparkan prajurit itu kali ini terdengar lebih serius.
Terdapat keheningan setelah prajurit itu menanyakan pertanyaan tadi, membuat suasana menjadi agak canggung. Aku memutuskan untuk turun dari punggung Bara dan berjalan mendekati mereka.
Aku menundukkan kepala dan bahuku.
"Perkenalkan, nama saya Aira, keadaannya sulit untuk dijelaskan sekarang, kami baru saja berkelana selama empat hari penuh." Ucapku, mencoba untuk mengurangi ketegangan yang ada.
Salah satu prajurit itu melangkah maju, aku mengulurkan tanganku.
Pria itu menerima jabat tanganku, ia lalu melirik diriku, Bara, dan Fana secara bergantian. Aku dapat melihat kalau dia memiliki kekhawatiran terhadap keberadaan Bara dan Fana, mereka berdua merupakan monster yang cukup berbahaya, jika prajurit ini membiarkan kami masuk begitu saja tanpa ada jaminan keamanan, keselamatan penduduk desa dapat terancam.
"Nona kecil, mohon maaf sebelumnya, apakah mereka berdua Familia milikmu?" Tanyanya sopan sambil melepas jabatan tangan kami.
Aku tidak bisa membuktikan kalau mereka berdua Familia-ku, lagipula aku sendiri masih kurang mengerti konsep familia itu sendiri seperti apa.
Pria itu menatapku dengan kedua matanya yang rasanya semakin seram saja.
"Bara, duduk." Pintaku.
Bara mengerang dan menggelengkan kepalanya.
Ah iya, aku lupa kalau Roki dan barang-barangku masih berada di punggungnya. Aku lantas meminta Roki untuk turun dan membawa barang bawaanku, aku lalu meminta Bara melakukan lagi permintaanku tadi, Bara mengerang dengan nada rendah dan mendudukkan dirinya, Fana juga spontan ikut mendudukkan dirinya.
"Hmm… Aku masih belum sepenuhnya teryakinkan, coba kalian berguling." Perintah pria itu.
Bara mengerang sembari menggelengkan kepalanya. Fana disisi lain terlihat lebih bersemangat dan mulai membolak-balikkan badannya di tanah dengan girang.
Prajurit itu terkekeh-kekeh sebentar sebelum membuka mulutnya.
"Rubah apimu itu lucu juga ya, setidaknya aku bisa lebih tenang setelah melihat mereka bisa patuh seperti itu." Ucap prajurit itu sembari kembali ke gerbang desa dan membukakannya untuk kami.
Aku mengambil barang-barangku dan membawanya dipungguku.
Bara dan Fana megikuti Aku dan Roki dari belakang.
"Namaku Fajra." Ucap prajurit yang tadi berjabat tangan denganku.
"Maaf perkenalanku agak terlambat, untuk alasan keamanan aku akan menemani kalian mengantar Roki kembali ke rumahnya." Tambahnya, Fajra lalu menutup gerbang di belakang kami dan mulai menyusul rombongan kami.
"Jadi bagaimana kamu bisa bertemu Roki?" Tanya Fajra.
Aku menatap Fajra sebentar, memikirkan apakah aku harus mengatakan yang sebenarnya? Bahwa ayah Roki menjualnya dan menanamkan sebuah kutukan kepadanya lalu meninggalkannya di hutan? Setelah lama berfikir, akhirnya yang keluar dari mulutku hanya sepatah kata.
"Rahasia~" Balasku, aku memutuskan untuk tidak memberitahu Fajra tentang hal itu, aku yakin ibu Roki berhak untuk tahu terlebih dahulu tentang apa yang anaknya lalui secara pribadi, aku akan membiarkan ibu Roki memutuskan apa yang akan ia lakukan untuk menghadapi masalah ini, apakah melaporkan suaminya ke prajurit kerajaan? Atau mencoba untuk menyembunyikan masalah ini, karena dilihat bagaimanapun juga, masalah ini dapat dikatakan sebagai sebuah aib keluarga.
Fajra terlihat tidak puas dengan jawabanku, tetapi, aku juga bisa melihat bahwa ia tidak ingin menanyaiku lebih jauh, seakan mengerti kalau aku memiliki alasanku sendiri untuk tidak mengatakan hal itu.
"Kita sebentar lagi sampai." Ucap Fajra sembari menunjuk ke salah satu rumah kayu yang ada di sisi kiri kami.
Di depan rumah tersebut aku dapat melihat seorang perempuan yang sedang menyapu halamannya, perawakannya terlihat tinggi dan gagah, ia memakai pakaian daster panjang yang cukup sederhana, rambut hitamnya menjuntai sepanjang bahunya,
"Mama!!" Teriak Roki sambil berlari menghampiri ibunya itu.
Perempuan itu meletakkan sapu yang ada di tangannya di sisi rumah dan segera menghampiri Roki.
Roki membuka tangannya lebar-lebar dan sesaat setelahnya ia sudah berada di dalam dekapan ibunya.
Aku dan Fajra dengan perlahan mendekati mereka berdua.
"Halo." Ucapku ramah.
Pandangan mata ibunya langsung mengarah kepadaku.
"Halo, maaf kamu siapa ya?" Tanya perempuan itu.
"Aira." Balasku lembut.
"Salam kenal, saya Veila, tapi, maaf dik, suamiku ada dimana ya?" Ucap Veila sambil melihat ke sekitar.
Dia langsung menanyakan itu ya, aku agak sungkan kalau harus menjawabnya disini. Fajra juga terlihat penasaran, menunggu-nunggu jawaban dariku.
Aku mengisyaratkan kepada Veila untuk membicarakan hal itu di dalam rumahnya saja dulu, sementara itu, aku meminta Fajra untuk menemani Bara dan Fana di luar dengan untuk alasan keamanan. Fajra dengan enggan mengiyakan permintaanku itu, meskipun ia sudah melihat sendiri Bara dan Fana bukanlah ancaman besar bagi masyarakat desa.
Veila mengiyakan permintaanku dan menuntunku masuk ke rumahnya.
Rumah Veila terlihat tidaklah begitu besar, tidak ada yang berbeda dengan rumah-rumah lainnya yang ada di sekitar sini.
Roki dan Veila masuk terlebih dahulu.
Aku mengikuti mereka dekat dari belakang, dan perlahan mulai melangkah masuk ke dalam rumah kayu mereka.
Lantainya yang terbuat dari kayu mengeluarkan suara decitan yang cukup keras saat aku melangkah diatasnya.
Ruang tamu mereka diisi dengan banyak perabotan, ada dua buah kursi kayu yang saling berseberangan dipisahkan oleh sebuah meja panjang, serta terdapat kursi panjang di sebelah meja panjang itu. Di sisi-sisi ruangan juga diisi dengan vas-vas besar yang sepertinya terbuat dari tanah liat. Dua buah jendela kaca besar menghiasi area depan rumah, membuatku dapat dengan mudah melihat ke dunia luar, sedangkan di sisi kanan ruang tamu terdapat dua jendela lain yang hanya terbuat dari kayu dan ukurannya jauh lebih kecil.
Di sebelah kiri tempatku berdiri sekarang terdapat dua buah ruangan, dan di seberang jauh dari pintu masuk terdapat sebuah pintu kecil yang sepertinya langsung terhubung dengan dapur, karena dari tempatku berdiri ini aku dapat melihat alat-alat untuk memasak seperti sutil kayu, panci besi, serta sebuah tungku yang sudah diisi dengan banyak kayu bakar.
Setelah masuk ke ruang tamu, Veila lalu mengantarkan Roki ke salah satu ruangan yang ada.
Selagi menunggu, aku memutuskan untuk duduk di salah satu kursi kecil yang ada di ruang tamu.
Aku mulai melirik ke berbagai sisi ruangan, atapnya yang begitu tinggi membuatku merasa kecil saat memandanginya.
Waktu berjalan cukup lambat ketika sedang menunggu seperti ini ya, ditambah aku yang juga sedang tidak melakukan apa-apa. Rasa bosan mulai mengganggu pikiranku, lantas aku mulai penasaran dengan apa yang sedang Veila lakukan.
Apa yang Roki dan ibunya lakukan di kamar mereka? Kenapa lama sekali?
Aku yang penasaran memutuskan untuk berdiri dan mulai berjalan ke ruangan mereka.
Aku mulai membuka pintu kayu ruangan itu, suara derit yang keras terdengar saat aku membuka pintu ruangannya.
Aku dengan pelan melangkah masuk ke ruangan yang terlihat seperti kamar ini.
Kamarnya berukuran cukup kecil, lebih kecil jika dibandingkan dengan kamar milikku, di tengah ruangannya terdapat sebuah kasur kecil yang Roki sedang tiduri, lalu di sudut kanan kamarnya terdapat sebuah lemari kayu besar, dan di sebelah kiriku sekarang terdapat sebuah meja kayu yang diisi dengan berbagai buku diatasnya.
Aku maju beberapa langkah dan berdiri tepat di belakang Veila, ia terlihat sedang memegang lengan kiri anaknya itu.
Aku mendekati Veila.
Aku mulai menyadari ada sebuah cahaya hijau aneh yang memancar dari arah lengan kiri Roki.
Aku berjalan lebih dekat untuk melihat sumber cahaya itu, lalu mencondongkan diriku dan mengintip dari belakang bahu Veila.
Cahaya itu ternyata datang dari genggaman tangan Veila.
Aku terus memperhatikan cahaya itu, penasaran dengan apa yang Veila lakukan.
Veila sepertinya masih belum menyadari keberadaanku disini, meskipun aku masuk dengan suara decitan keras yang bahkan dapat membuat bulu kudukku sendiri berdiri.
Aku mulai memperhatikan lebih dekat dan menyadari kalau bekas-bekas luka yang ada di lengan kiri Roki sedikit demi sedikit mulai menghilang, seakan luka-luka itu tidak pernah ada sebelumnya.
Aku melirik lebih dekat, menyilangkan tanganku di sebelah kasur Roki, lalu terus memandangi cahaya hijau itu menyembuhkan bekas-bekas luka yang ada. Entah kenapa rasanya sangat menenangkan melihat luka-luka itu hilang dengan perlahan.
Aku tidak tahu berapa lama waktu sudah berjalan, tetapi, aku dapat mendengar suara jangkrik dan serangga lainnya mulai bersahutan dan cahaya oranye terpantul di sebagian kamar Roki.
Perutku mulai merasa lapar, suaranya yang menggerutu meminta untuk diisi membuatku merasa malu, bagaimana kalau Veila mendegar suaranya? Begitu pikirku.
Sesaat setelah aku memikirkan itu, aku dapat mendegar desahan nafas panjang dari Veila. Ia lalu meregangkan tubuhnya dan mengalihkan pandangannya kepadaku.
"Sudah menunggu lama?" Tanyanya kepadaku dengan suara lembut.
Aku yang terkejut dengan itu hanya bisa mengangguk menjawab pertanyaannya.
"Ayolah, jangan canggung seperti itu."
Aku yang masih merasa sangat canggung dengan keadaan ini langsung berdiri dan berlari ke ruang tengah. Melarikan diri adalah cara terbaik pada situasi seperti ini.
Veila mengikutiku ke ruang tamu.
"Kami hanya punya teh, tidak apa kan?" Tanyanya sambil berjalan ke arah dapur.
Aku mengiyakan tawarannya dan mulai duduk di kursi panjang yang ada di ruang tamu.
Aku dapat mencium wangi teh datang dari arah dapur, tidak lama setelah itu Veila datang membawa dua buah cangkir berisi teh hangat.
"Maaf merepotkan." Ucapku.
"Tidak apa, harusnya saya yang berkata begitu." Balasnya.
Aku mulai menjelaskan dengan perlahan tentang pertemuanku dengan Roki di perbatasan Hutan Niri, bagaimana Roki terlihat sangat lemas dan benar-benar berada diambang kematian, lalu tentang bagaimana Roki bisa berada di Hutan Niri dengan kondisi seperti itu.
Aku dapat melihat senyum Veila perlahan mulai hilang dan ekspresinya berubah, diisi dengan perasaan marah, meskipun begitu, Veila tidak sekalipun memotong ceritaku dan terus mendengarkannya dengan seksama hingga aku selesai menceritakan semuanya.
Veila kembali menghela nafasnya dalam dan mengelus dadanya.
"Saya memang menyadari ada yang aneh saat kamu membawa Roki tanpa dibarengi sama suami saya. Sewaktu menyembuhkannya tadi… saya juga menemukan sebuah lambang kutukan, tetapi, saya tidak ingin langsung mengambil kesimpulan saya sendiri." Ucap Veila dengan suara yang lirih, kedua matanya menatap dengan kosong ke arahku, mata hitamnya itu dipenuhi dengan kesedihan yang dalam, sementara itu, ia juga mengepalkan kedua tangannya dengan kuat, kedua lengannya juga bergetar dengan kuat diisi oleh amarah.
Aku berdiri dari tempat dudukku dan berjalan mendekati Veila. Ia menengadah dan menatapku, matanya masih diisi dengan tatapan kosong, ia membuka mulutnya, seakan ingin mengatakan sesuatu, namun, tidak ada satupun kata-kata keluar dari mulutnya.
Aku langsung memeluknya dengan erat, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, tetapi, aku mulai teringat tentang apa yang biasanya ibuku lakukan saat aku sedih, atau saat aku melakukan kesalahan yang besar hingga aku tidak bisa berkata-kata. Biasanya ibuku langsung mendekapku dengan erat, membiarkanku menangis sejadi-jadinya, lalu menungguku hingga tenang dan mulai berbicara denganku saat aku lebih tenang.
Aku dapat merasakan tangan Veila membalas pelukanku, kepalanya seakan bersandar dengan nyaman di bahu kananku. Dengan perlahan pelukannya terasa semakin erat, hingga rasanya badanku dihimpit oleh sebuah batu yang besar.
Tubuh Veila bergetar hebat, lalu setelah itu, aku dapat merasakan pundak kananku mulai basah, aku rasa itu air mata Veila, aku menepuk-nepuk pundak Veila dengan lembut.
Suara tangis Veila mulai dapat terdengar, suaranya itu sedikit demi sedikit terus menjadi semakin kencang dan tinggi.
"AAAAAAAGHHHH!!!" Tiba-tiba saja Veila beteriak, teriakannya itu sangat kencang hingga aku harus menutup telinga kananku Tangannya mulai mencengkram punggungku dengan kuat, aku meringis kesakitan dan menutup mulutku dengan tangan kiriku, mencoba untuk tidak mengeluarkan suara berlebihan, takut mengusik Veila yang sedang meluapkan seluruh kesedihannya.
Telinga kananku masih berdengung saat Fajra mendobrak masuk dari pintu depan, memegang tombak panjangnya, ia langsung menatap ke segala arah.
Aku melambaikan tanganku untuk menarik perhatian Fajra. Ia langsung menatapku dan mulai mengerti tentang apa yang terjadi, lantas dengan menggunakan isyarat tangan, aku meminta Fajra untuk pergi keluar tanpa membuat suara.
Veila masih menangis terisak-isak, ia mencoba untuk mengatakan sesuatu, tetapi, aku tidak dapat mengerti sepatah katapun yang ia ucapkan.
Veila kemudian terus menangis hingga matahari sudah membenamkan dirinya. Selama durasi itu, aku terus mencoba untuk menenagnkan Veila, mencoba mengerti apa yang sedang ia lalui dan memberikannya bahu untuk bersandar. Lagipula apa yang sedang ia alami menurutku benar-benar sebuah pengalaman yang sangat mengerikan, saking mengerikannya hingga dapat menggetarkan jiwa seorang ibu. Jika dilihat dari luar, siapapun dapat dengan mudah mengatakan bahwa Veila adalah sosok perempuan yang tangguh dan cakap, melihatnya seperti ini benar-benar membuatku marah dan sedih juga, entahlah, mungkin aku juga mulai dapat merasakan apa yang ia rasakan, meskipun hanya sebagian kecil dari apa yang dirasakan oleh Veila.
Setelah begitu lama menangis, tangisan Veila akhirnya berhenti juga, dekapan tangannya perlahan mengendur, kepalanya terasa semakin berat di bahu kananku.
"Tante?" Tanyaku.
Veila tidak menjawab pertanyaanku, kepalanya terasa semakin berat di pundakku, lantas aku melepaskan pelukanku dan memegang kedua bahu Veila bersamaan dan mencoba untuk memperhatikan keadaan Veila.
Air mata Veila masih mengalir di pipi halusnya, kedua matanya kini sudah menutup, wajahnya terlihat sangat damai, ritme nafasnya juga kembali teratur.
Aku dengan hati-hati menyandarkan tubuh Veila ke kursinya kembali.
"Selamat tidur." Ucapku lembut.