Télécharger l’application
10% Death Agreement / Chapter 3: 03. Teman Lama

Chapitre 3: 03. Teman Lama

"Aku ingin sekali mati, tapi semesta tak mengabulkannya, apa ini hukuman untuk seorang pendosa? Yang bahkan neraka pun enggan menampungnya."

Langit malam terlalu gelap bagi bulan muda untuk memantulkan sinarnya, udara semakin dingin sepanjang detik berputar. Aroma tanah hutan yang lembap mendominasi indra penciumanku, sementara suara jangkrik dan burung hantu mengalir tak pernah berhenti. Mataku terpejam, bukan tertidur, hanya saja jijik untuk melihat kenyataan. Seorang gadis yang sempat mengisi hari-hariku itu kini bersimbah darah di lantai manor.

Ya, Victoria Black memang sudah tiada. Namun, kutukannya memilih bangkit seperti sedia kala dan Giny menjadi korban pertama setelah 10 tahun lamanya.

Sebongkah batu besar seperti membenam di hatiku, rasanya sesak meski masih menyisakan ruang-ruang kosong. Kehilangan bukanlah sesuatu yang diharapkan, hadirnya kerap memaksa dan menenggelamkan orang-orang dalam palung kesedihan. Sejenak aku bisa merasakannya, duka yang teramat dalam dan air mata tak sanggup keluar.

Semilir angin sama sekali tak bertiup, tetapi udara sangatlah dingin. Aku tak bisa tenang kala langkah kaki seseorang terdengar menginjak dedaunan kering di lantai hutan. Ia semakin dekat, merangsang bulir-bulir keringat menuruni dahiku, kedua alis tanpa sengaja bertaut seluruh tubuhku dirundungi rasa takut.

Gelapnya malam selalu menyembunyikan sosok hitam, nyatanya benar, dari kejauhan pembunuh Giny itu melangkah ke arahku. Setiap jarak yang mendekat membuat nafasku semakin tercekat, sementara kedua tanganku di belakang berusaha kuat agar lepas dari tali yang mengikat. Namun, usaha itu teramat sia-sia, meski perih sudah terasa, tapi tanganku sama sekali tak terbebas.

Akibatnya, sosok bertopeng itu kini benar-benar dekat denganku, ia melepaskan tali yang menyatukan pohon dengan tubuhku sambil berkata,

"Sekarang giliranmu nona muda,"

Badanku langsung gemetar mendengarnya, sementara bibirku tak sanggup berkata apa-apa. Setelah tanganku terbebas, aku langsung mencuri kesempatan untuk bangkit dan berlari menjauh, tetapi sosok itu tak tinggal diam.

Ia mengejarku, tanah yang agak basah dan tumpukan daun kering dimana-mana mempersulit langkahku untuk bergerak. Di tengah udara yang dingin kupaksa seluruh tubuhku untuk memanas, saking takut dan terniatnya untuk kabur aku sampai tak sempat melepas kain yang menutup mulutku.

Kepalaku tak berani menoleh ke belakang seiring langkah lain terdengar mengejarku. Tiba-tiba,

Buukhh!

Lagi, hantaman itu mendarat di pangkal leherku, aku terdiam, dalam sekejap rasanya tubuhku lumpuh total. Lalu sosok bertopeng menyeret kakiku dan membiarkan punggung ini menyapu lantai hutan. Benar, aku memang tak bisa berbuat apa-apa, rasa nyeri di sekujur tulang belakang menjadi fokus utama. Hanya langit malam penuh bintang diatas sana yang tertangkap di lensa mataku, apakah itu view terakhir yang bisa kulihat sepanjang hidup?

Menjengkelkan.

***

Mataku terpejam cukup lama sebelum membuka dengan sendirinya, langit bukan lagi berwarna biru, udara sekitar terasa lembap berbaur dengan aroma tanah.

Tuhan... Benarkah aku sudah tertimbun di liang kubur?

Tapi tunggu, aku masih bisa bernapas dan,

"Aaww," sakit, aku masih hidup. Kaki dan tanganku tak bisa bebas, sudah kuduga aku akan bangun dalam keadaan terikat. Tiba-tiba sosok kepala bertopeng dengan jaket hitam menjulang di atasku,

"Hey!"

Bisa kurasakan keras sol sepatunya menyentuh pipiku.

"Sudah siapkah engkau untuk menjemput ajalmu?"

Aku tak menjawab, tenggorokan yang terasa kering tak mampu mengeluarkan kata-kata. Badanku bergetar mendengar "ajal" terucap dari mulut si pria bertopeng dan memoriku menolak lupa betapa kejinya ia menghabisi Giny.

Sungguh tak bisa dibayangkan jika aku mati nanti, jasad Giny mungkin akan ditemukan cepat atau lambat di lantai manor, sedangkan aku? Dimana ini? Kemungkinan besar aku tak pernah ditemukan dan dikabarkan hilang untuk selama-lamanya. Tanpa sadar, tetes demi tetes air mata meluncur pelan, sejenak dunia membuatku seperti orang paling menyesal. Apa yang sudah terjadi enggan untuk ditarik kembali, mendadak telapak tanganku dingin meski angin pun tak berhembus di sarang titan itu.

Tangan kasar sosok bertopeng dengan sembrono menyentuh bahu sebelum memaksaku dalam posisi duduk. Mata kami sejajar lekat-lekat,

"Siapa sebenarnya sosok di hadapanku ini?" tanyaku dalam hati. Apa dia yang menjadikan kisah Victoria Black menjadi kenyataan?

"Nona, mungkin kau tidak perlu alasan untuk dipertemukan denganku," ucapnya memulai sembari mendongakkan daguku sedikit menghadap ke atas.

"Sesuai hukum abadi, yang ditakdirkan mati haruslah mati, kau akan melewatinya sebentar lagi,"

"Jangan takut nona, Aku akan membebaskanku dari kepalsuan dunia ini,"

Kedua rahangku menyatu terlalu rapat, namun aku terpaksa membuka celah pada bibir untuk bersuara,

"Aku tidak pernah takut, bahkan pada kematian, BUNUH AKU!"

Sosok itu tak menjawab.

"Ya, BUNUH SAJA AKU!" teriakku kembali dengan suara parau tak beraturan. Aku ingat tatapannya kala itu, kedua manik mata terbakar nafsu yang berniat mengahabisi nyawaku.

Hanya perlu beberapa detik saja baginya untuk mengeluarkan benda tajam yang masih bernoda darah. Aku ingat betul bagaimana tangan tak berdosa itu menyambar nyawa Giny hanya dalam satu goresan. Ia mengangkat paksa kedua tanganku yang terikat ke atas, lalu...

Slassh..

"Arrghhh," teriakku dalam hati. Perih. Ia melukai salah satu pergelangan tangan, bisa kurasakan darah yang mengalir turun seiring rasa sakit yang menyayat, dalam kondisi itu aku tak bisa menentukan kanan atau kiri yang menjadi korban.

Aku mengepalkan tangan kuat-kuat untuk menahan rasa sakit yang seiring berjalannya menit mulai menghilang. Langkah sosok itu mundur bersamaan dengan jatuhnya kedua tanganku ke tempat semula. Tampaknya cairan merah itu berlomba-lomba untuk bebas dari dalam pembuluhku. Aku tidak peduli lagi dengan darah yang mengotori celana atau rasa perih yang sedang menyerang. Benar sekali, aku sudah pasrah, tak ada lagi sesuatu istimewa yang kuharapkan dari dunia ini, jadi pergi mungkin akan lebih baik.

Dari remang-remang cahaya obor yang menempel di dinding batu, untuk terakhir kalinya aku melihat sosok itu. Ia menunduk bukannya tertawa puas, sangat berbeda saat menghabisi Giny tadi. Mata yang semula gigih membunuhku terlihat lesu tak bercahaya,

Tunggu... kenapa begitu?

Dan untuk sekali dalam seumur hidup, aku menyaksikan sosok itu membuka topeng berkarakter badut yang lucu. Namun, mengerikan. Tak ada lagi daya untuk bersuara, pandanganku seperti kamera yang kehilangan resolusi tertingginya. Badanku ambruk. Oh tidak, dia adalah... teman lama.

#bersambung#


next chapter
Load failed, please RETRY

Cadeaux

Cadeau -- Cadeau reçu

    État de l’alimentation hebdomadaire

    Rank -- Classement Power Stone
    Stone -- Power stone

    Chapitres de déverrouillage par lots

    Table des matières

    Options d'affichage

    Arrière-plan

    Police

    Taille

    Commentaires sur les chapitres

    Écrire un avis État de lecture: C3
    Échec de la publication. Veuillez réessayer
    • Qualité de l’écriture
    • Stabilité des mises à jour
    • Développement de l’histoire
    • Conception des personnages
    • Contexte du monde

    Le score total 0.0

    Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
    Votez avec Power Stone
    Rank NO.-- Classement de puissance
    Stone -- Pierre de Pouvoir
    signaler du contenu inapproprié
    Astuce d’erreur

    Signaler un abus

    Commentaires de paragraphe

    Connectez-vous