Télécharger l’application
0.69% BELIEVE IN LOVE / Chapter 2: KIARA LARASATI DARWANTO

Chapitre 2: KIARA LARASATI DARWANTO

Dari kejauhan nampak seorang gadis cantik sedang berlari mengejar bus yang hampir meninggalkannya.

"Pak, pak!" teriaknya berulang kali memanggil bus dari belakang dan berharap akan ada seseorang yang mendengarnya dari dalam.

"Pak, pak berhenti!"

Nasib mujur berpihak kepadanya, supir bus melihat ada seseorang yang berlari mengejar dari kaca spion samping langsung menghentikan busnya dan menunggu gadis cantik itu naik.

"Cepat naik!" perintah kondektur yang sudah berdiri menunggu dipintu bus.

Gadis itu dengan cepat naik ke dalam bus lalu mencari kursi kosong untuk duduk.

Dengan napas yang masih naik turun gadis itu mengambil air minum dari dalam tas yang dibawanya.

"Untunglah aku masih sempat ngejar bus, terlambat sedetik saja masuk kelas, bisa dibantai oleh guru Hitler," celotehnya dalam hati senyum-senyum sendiri membayangkan guru Hitler yang akan mengajarnya nanti.

"Nona ongkosnya?" kondektur yang sudah berdiri di samping duduknya meminta uang ongkos.

"Eh iya, bikin kaget saja Bapak ini. Assalamualaikum, biar aku tidak kaget," jawab gadis itu tersenyum sambil menyerahkan uang ongkos.

"Ah, Nona ada-ada saja," jawab kondektur tersenyum.

"Pagi-pagi jangan banyak melamun, Nona. Ayam tetangga bapak kemarin mati gara-gara banyak melamun," lanjutnya tersenyum.

"O ya, lalu?" tanya gadis itu penasaran.

"Iya. Melamun karena tidak diberi makan, mati karena kelaparan," jawabnya lagi sambil berlalu pergi ke kursi yang lain untuk menagih ongkos.

Penumpang lain yang tidak sengaja mendengar obrolan mereka diam-diam tersenyum mendengar percakapan gadis itu dengan kondektur.

"Bapak ini menyebalkan," gerutu gadis itu bicara sendiri.

Tidak lama kemudian terdengar kondektur berteriak. "Sekolah Harapan Bangsa, ada yang turun di sini?!"

"Ada!"

"Stop Pak Sopir!" teriak gadis itu.

Dengan terburu-buru gadis itu turun dari bus, langsung berlari ke arah gerbang karena melihat penjaga sudah akan mengunci pintu gerbang Sekolah.

"Pak, tunggu! Jangan dikunci!" teriak gadis itu.

Penjaga langsung melihat ke arah suara yang memanggilnya.

"Nona Kiara, kesiangan lagi?" tanya penjaga Sekolah.

"Iya Pak," jawab Kiara.

"Cepat Nona masuk, bel sudah bunyi dari 2 menit yang lalu."

"Terima kasih, Pak."

Kiara langsung masuk ke dalam gerbang dan berlari menuju ke arah ruangan kelasnya.

"Mudah-mudahan guru Hitler itu belum ada di kelas," gumam Kiara.

Setelah melewati beberapa kelas dengan berjalan tergesa-gesa, akhirnya sampai juga di depan kelasnya sendiri.

"Ya Tuhan, tolong aku. Semoga Guru Hitler itu belum ada di kelas," gumamnya dalam hati.

Berdiri di depan kelasnya, Kiara memberanikan diri mengetuk pintu.

Tidak ada jawaban dari dalam kelas, hanya terdengar suara anak-anak seperti sedang berbincang.

Lama tidak ada jawaban dari dalam, Kiara akhirnya membuka pintu ternyata di dalam tidak ada guru.

"Kiara!" teriak suara perempuan cempreng melihat ke arah pintu kelas yang terbuka.

Murid yang lain ikut melihat ke arah pintu. Kiara dengan santai masuk dan berjalan ke arah kursinya.

"Kenapa lagi dengan pagi ini Tuan Putri? Setiap hari kesiangan," salah satu murid bicara dari arah belakang.

"Iya, setiap hari kesiangan. Si Kiara harus mengantar kue terlebih dahulu ke warung-warung," jawab murid yang lain.

Kiara yang diledek teman-temannya hanya diam, tidak menggubris omongan mereka. Baginya hanya buang-buang energi saja jika harus melayani ocehan mereka yang tidak penting.

"Kiara, kenapa kamu terlambat lagi?" tanya perempuan pemilik suara cempreng tadi.

"Biasa," jawab Kiara datar.

"Kamu sudah sarapan?" tanya temannya lagi.

"Belum. Aku tidak sempat sarapan. Pagi-pagi sekali aku harus ke Pasar mengantarkan kue," jawab Kiara menjelaskan.

"Aku bawa roti," kata temannya. "Kalau kamu mau, makan saja," lanjutnya menawarkan.

"Boleh?" tanya Kiara melihat ke arah temannya.

"Tentu saja, masa aku bohong?" jawab temannya mengeluarkan bekal Sekolah yang dibungkus rapi. "Nih makan! Roti bakar buatan Ibuku."

"Terima kasih, Silvi. Kamu sahabatku yang terbaik sedunia," ucap Kiara memeluk sahabatnya erat.

"Gila kamu, sakit tahu! Lepas Kiara!! Pelukan kamu sangat kencang, kamu mau membunuhku?!" protes Silvi berusaha melepaskan diri. "Lepas Kiara! Aku masih normal, masih menyukai laki-laki!"

Kiara hanya tertawa senang melihat sahabatnya menggerutu setelah lepas dari pelukannya.

"Gila, tulang aku hampir patah," ucap Silvi sambil merapikan baju seragam.

"Begitu saja marah," jawab Kiara dengan tangannya bersiap mau mengacak-acak rambut Silvi.

"Kiara berhenti!! Aku ambil lagi makanannya kalau kamu tidak berhenti!" ancam Silvi.

"Ok, ok, i am stop. Aku makan rotinya, thanks." Kiara pun berhenti mengganggu sahabatnya setelah mendapat ancaman roti diambil kembali.

"Hm." Silvi jawab dengan deham.

"Eh, dari tadi kenapa gurunya tidak masuk?" tanya Kiara yang baru tersadar setelah beberapa lama tidak ada guru yang masuk.

"Hari ini guru tidak masuk," jawab Silvi.

"Kenapa?" tanya Kiara lagi.

"Katanya sakit tapi kita diberi tugas untuk mengerjakan beberapa soal," Silvi menjelaskan.

"Oh, begitu ya. Baguslah!" jawab Kiara pelan.

Setelah selesai menghabiskan roti bakar dari Silvi, Kiara langsung mengeluarkan buku pelajarannya dan mengikuti sahabatnya yang telah terlebih dahulu mengerjakan soal-soal yang diberikan Gurunya.

"Hari ini kita terbebas dari Guru Hitler," celetuk seseorang dari bangku belakang.

"iya," jawab yang lain.

"Ada Guru atau tidak juga sama saja," celetuk yang lainnya lagi.

"Si Hitler ini kasih tugas nggak kira-kira, banyak sekali."

"Bukan Hitler kalau nggak memberi tugas banyak, julukannya saja sang Hitler," celetuk yang lain lagi.

Mendengar teman satu kelasnya yang saling bersahutan membicarakan Gurunya, Kiara hanya geleng-geleng kepala mendengarkan saja.

"Hai, kalian tahu tidak!" teriak seorang murid perempuan yang langsung berdiri dari tempat duduknya.

"Tidak!" jawab semua murid kompak.

"Dengarkan!!" sambung seorang murid perempuan tersebut dengan suara keras.

"Aku dengar akan ada murid baru perempuan di kelas kita."

"Cantik tidak?" tanya murid laki-laki yang duduknya paling pojok.

"Dengar kata perempuan, kamu langsung menyambar seperti bensin, Do Do Do ...," ucap gadis itu dengan memanggil nama belakang temannya.

"Bisa tidak? Memanggil namaku tidak usah ditambah-tambahkan seperti itu, Karin," jawab Dodo tidak suka.

"Matematika kali, ah, ditambah tambahin," jawab Karin sambil meledek mengeluarkan lidahnya ke arah Dodo.

"Darimana kamu tahu akan ada murid baru?" tanya yang lain.

"Memangnya kamu tidak tahu? Si Karin ini tukang gosip, biangnya gosip. Kalau dia tidak ada di kelas berarti dia sedang menggosip di kelas yang lain," ledek si Dodo yang langsung disambut gelak tawa teman-temannya yang lain.

"Lihat saja nanti! Jangan panggil aku Karina yang cantik jelita jika aku bohong," jawab Karin tidak mau kalah.

"Iya cantik kalau dilihat dari ujung Monas," jawab Dodo lagi.

Sontak saja semua murid yang mendengarkan perdebatan Karin dengan Dodo tertawa terbahak semuanya.

"Kalian memang pasangan yang cocok," celetuk murid yang ada di depan Dodo.

"Cocok dimananya?" tanya Dodo.

"Seperti anjing dan kucing begitu," jawab yang lain ikut bicara.

"Ya cocok karena sama-sama gila," jawab yang lain diakhiri dengan tawa.

Akhirnya kelas pun begitu ramai, penuh dengan gelak tawa anak-anak yang becanda saling meledek satu sama lain.

Waktu pun terus berjalan, tidak terasa sampai bunyi bel tanda istirahat berbunyi.

Mereka adalah anak-anak kelas 12 yang sebentar lagi akan mengikuti ujian akhir tahun.

Awal di mana jalan hidup yang sesungguhnya sedang menanti di depan mereka. Masa depan yang tidak tahu akan membawa mereka ke mana.

Harapan, keinginan hanyalah bayangan semu yang tidak semua manusia bisa meraihnya. Hanya beberapa manusia beruntung saja di dunia ini yang dapat mewujudkannya.


next chapter
Load failed, please RETRY

Cadeaux

Cadeau -- Cadeau reçu

    État de l’alimentation hebdomadaire

    Rank -- Classement Power Stone
    Stone -- Power stone

    Chapitres de déverrouillage par lots

    Table des matières

    Options d'affichage

    Arrière-plan

    Police

    Taille

    Commentaires sur les chapitres

    Écrire un avis État de lecture: C2
    Échec de la publication. Veuillez réessayer
    • Qualité de l’écriture
    • Stabilité des mises à jour
    • Développement de l’histoire
    • Conception des personnages
    • Contexte du monde

    Le score total 0.0

    Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
    Votez avec Power Stone
    Rank NO.-- Classement de puissance
    Stone -- Pierre de Pouvoir
    signaler du contenu inapproprié
    Astuce d’erreur

    Signaler un abus

    Commentaires de paragraphe

    Connectez-vous