Thrid POV
Di pagi hari, di hari sekolah mulai kembali. Aozora membuka loker sepatunya untuk menyimpan sepatunya, tapi terhenti karena sebuah surat tersimpan di atas sendalnya. Aozora mengambilnya, lalu membukanya.
'Selesai sekolah, tolong temui aku di belakang sekolah. Ada yang ingin aku katakan.' Itulah isi surat itu.
Kemudian Aozora menutup surat itu dan menyimpannya ke tasnya. Lalu, dia berpikir sejenap. Ini pertama kalinya bagi Aozora mendapatkan surat yang berbau 'cinta', jadi dia bingung apakah akan menemui orang yang membuat surat itu nanti atau membiarkannya. Inginnya dia meminta pendapat kepada seorang teman, tapi di kelasnya Aozora tidak punya teman untuk dimintai pendapat.
Bel pun berbunyi, Aozora langsung memakai sendalnya dan berjalan cepat menuju kelas. Sesampainya di kelas, kedatangan Aozora tidak disapa atau diperhatikan oleh teman-teman sekelasnya, padahal dia sudah mengucapkan sapaan selamat pagi saat memasuki kelas. Walau begitu, Aozora tidak terlalu dibawa ke hati dan melanjutkan perjalanan menuju tempat duduknya.
Jam makan siang pun tiba. Semua teman sekelas Aozora langsung berkumpul bersama temannya untuk makan bersama. Beda dengan Aozora, dia berjalan keluar dengan kotak makan di tangan. Biasanya Aozora makan sendiri atau bersama Tanakashi, itu pun kalau Tanakashi tidak sibuk.
Sore hari pun tiba, waktunya pulang. Aozora memutuskan untuk ke belakang sekolah, menemui orang yang membuat surat itu. Tanpa berpikir kemungkinan itu hanyalah surat iseng. Padahal Aozora tidak terlalu disukai teman-teman sekelasnya, bahkan kebanyakan siswa-siswi sekolah juga.
Sesampainya di sana, Aozora bisa melihat seorang siswa berbadan tinggi berdiri di sana. Lalu, Aozora berjalan mendekati siswa itu.
"Te-Terima kasih karena sudah mau datang kemari!" ucap siswa itu gugup.
"Menjawab. Sama-sama," balas Aozora. "Bertanya. Ada keperluan apa Anda memanggil saya?"
"Mu-Mungkin i-ini mendadak, tapi ada yang ingin aku katakan! A-Aku tidak terlalu dekat denganmu, tapi aku…aku jatuh cinta kepadamu! Tolong berkencanlah denganku!" jawab siswa itu sambil membungkukkan badannya.
"Menjawab. Aku menghargai perasaan Anda, tapi maaf, saya tidak bisa menerimanya."
Perlahan kepala siswa itu diangkat, ekpresi putus asa tergambar di wajahnya. "Ke-Kenapa…?"
"Menjawab. Karena…" Kalimat Aozora terhenti, karena tiba-tiba terbayang seseorang. "Pamit. Saya permisi!" Aozora langsung pergi meninggalkan siswa itu dengan lari kecil.
Di perjalan pulang, Aozora merasakan tubuhnya panas sekali, jantung berdetak cepat, dan pikiran tidak karuan. Gara-gara munculnya gejala yang belum pernah dialaminya, Aozora tidak bisa konsentrasi ke jalanan sehingga sering menyenggol atau menabrak orang. Aozora pun memutuskan untuk berhenti, lalu duduk di kursi panjang yang tersedia di trotoar.
"Bingung. Ke-Kenapa ini? A-Apa aku akan demam?" gumam Aozora sambil memegang dahinya yang terasa panas.
Sementara itu, di sekolah lain, di lorong. Kiki dan Karuto berjalan bersama untuk pulang. Mereka sedang berbincang.
"Terima kasih dan maaf merepotkanmu, Karuto. Karena mau menggantikanku melakukan tugasku, jadi aku bisa datang ke festival sekolah Naruka tanpa harus balik lagi ke sekolah untuk membersihkan kelas," ucap Kiki.
"Sudah kubilang, kan. Aku akan membantumu dalam menaklukkan rute harem-mu," balas Karuto. "Lagipula, berkat itu aku mendapatkan hadiah dari pacarku. Itu adalah pengalaman pertama kami… Ah, mengingatnya begitu enak sekali."
"Hah? Apa itu?"
Karuto mendekati daun telinga Kiki. Dia membisikkan sesuatu dan setelah selesai wajah Kiki memerah dengan wajah terkejut.
"Se-Seriusan?" kaget Kiki.
"Asal kau tahu saja, rasanya begitu nikmat. Bahkan adegannya masih tersimpan di kepalaku."
"Woi! Padahal cuma dicium di pipi, tapi diibaratkan kaya yang melakukan 'itu'!"
"Sudahlah, jangan marah begitu. Kalau nanti kau dicium pertama kali oleh orang yang kau cintai, rasanya begitu indah dan lembut sekali. Kau tidak akan pernah melupakannya," ucap Karuto. "Yah, seharusnya yang kesal itu aku. Kau itu kan banyak kandidat harem, jadi nantinya kau mendapatkan pengalaman yang indah dengan gadis yang berbeda-beda dan rasa yang beda."
"Woi, jangan mengatakan seolah mereka seperti makanan jenis yang sama tapi beda rasa! Lagipula, aku tidak akan melakukan itu!"
"Ohh…" Karuto mendekatkan wajahnya ke wajah Kiki. "Jadi, kau sudah menentukan pilihan, ya?"
Kiki langsung memukul perut Karuto. "Menjauhlah! Menjijikan!"
"Adududuh…" Karuto memegang perutnya dan mundur beberapa langkah. "Jangan terlalu berlebihan begitu, aku kan sudah punya pacar, jadi kenormalanku sudah terjamin."
"Tapi tetap saja itu bahaya! Gimana kalau ada yang melihatnya?! Bisa-bisa namaku tercemar!"
"Maaf-maaf. Jadi, siapa gadis yang kau pilih?"
Kiki mengalihkan pandangannya, dia tidak ingin wajah memerahnya dilihat oleh Karuto. "Kau tidak perlu tahu!"
"Ehhh… Ya sudah, kalau kau butuh bantuan, aku tidak akan menolongmu."
"Baiklah-baiklah!" Kiki langsung melihat ke arah Karuto, wajahnya sudah sangat merah sekali. "A…A…Aozora…"
"Hm, apa? Aku tidak mendengarnya. Suaramu terlalu kecil," goda Karuto.
"Aozora!! Ao-zo-ra!!" teriak Kiki. "Puas?!"
"Hahahah, iya-iya, aku dengar. Kalau begitu, cepat tembak dia!"
"Hah?! I-Itu terlalu cepat! Aku belum siap!"
"Hei-hei." Karuto merangkul Kiki. "Dengar, Kiyomizu-chan itu gadis yang cantik sekali. Di kelasnya pasti banyak sekali laki-laki yang mengincarnya, terlebih dadanya besar. Kau harus segera mendapatkannya, sebelum direbut oleh orang lain. Penyesalan datang di akhir, loh."
Kiki pun mengalihkan pandangannya, mempertimbangkan kalimat Karuto. "Ku-Kurasa… aku akan segera menembaknnya… Ti-Tidak masalah kalau ternyata dia tidak menyukaiku! Hm, aku harus berjuang!"
"Jangan pesimis begitu, belum juga ditembak udah langsung menyerah begitu. Yah, aku pun mengalaminya, jadi aku tahu rasanya."
"Ngomong-ngomong, kau pilih menjauh dengan sendirinya atau menunggu tinjuan dariku?"
"Woww, maaf-maaf." Karuto langsung menjauh. "Kalau begitu, aku pergi. Aku tunggu kabar baiknya. Dah!" Karuto pun pergi.
Kiki masih saja 'panas', apalagi sekarang dia sedang memikirkan kalimat yang pas untuk menembak Aozora, semakin panas saja tubuhnya. Karena terlalu fokus berpikir, tanpa sadar Kiki sudah sampai di gerbang. Kiki sadar dirinya sudah ada di depan gerbang, setelah mendengar panggilan dari seseorang.
"Menyapa… Selamat sore, Kiki-kun."
Kiki meloncat ke belakang, dengan ekpresi terkejut. "Oh, Aozora! Hm, selamat sore!" balas Kiki salting. "Ke-Kenapa kau ada di sini, Aozora?!"
"Menjawab… Entah kenapa… aku ingin pulang bersama dengan Kiki-kun… Bertanya… Apa tidak boleh?"
"Eh, boleh! Sangat boleh!"
Mereka berdua pun pulang bersama. Selama di perjalanan tidak ada pembicaraan di antara mereka berdua, karena sebuah dinding besar bernama malu menghalangi mereka. Malah mereka berdua saling mengalihkan pandangan dengan wajah yang sudah memerah. Jantung mereka sama-sama berdetak dengan cepat sekali dan badan mereka juga sama-sama panas.
"A-Anu… Aozora…" ucap Kiki menghancurkan dinding malu yang menghalanginya. "Ada yang ingin aku katakan…"
"Bertanya. A-Apa itu?"
"Eto… aku…aku… sebenarnya… suka… suka dengan telur gulung manis! Iya, aku suka sekali dengan telur gulung manis!"
"Menanggapi. Be-Begitu… Menawarkan. Bagaimana kalau besok aku membuatkan telur gulung manis untuk bekalmu?"
"Be-Benarkah?! Mau. Tolong, ya!"
"Menjawab. Baiklah."
"Hm, aku tu- Bukan itu!" Kiki menghentikan langkahnya, diikuti Aozora. "Aku… eto… suka…"
Kiki diam, mengumpulkan semua keberaniannya dan menenangkan diri agar tidak salah mengatakannya lagi. Sedangkan Aozora memperhatikan tingkah Kiki dengan serius dan perasaan tegang.
"Sebenarnya aku…a-"
*Onii-chan, ada pesan~
Ungkapan Kiki terhenti karena mendengar nada dering handphonenya itu. Dengan panik, Kiki mengambil handphonenya. Setelah dilihat, itu adalah sebuah pesan dari Ruka, berisi tentang dia sedang menunggu Kiki untuk memasak makan malam.
"Bertanya. Pesan dari siapa?" tanya Aozora.
"I-Ini… dari Ruka, dia menungguku. Sekarang aku tugas memasak makan malam…" balas Kiki. "Eto… na-nanti kita lanjutkan, sebaiknya kita segera pulang."
"Menanggapi. Baiklah."
Akhirnya mereka berdua pun melanjutkan perjalan pulang. Saat di pertengahan jalan, Kiki mulai menyesal dengan keputusannya untuk mundur di tengah jalan menembaknya. Seharusnya dia tidak terjerumus dalam skenario 'batal menembak karena ada yang mengganggu', padahal dia sendiri yang selalu kesal dan bertekad agar tidak seperti itu kalau mengalaminya. Namun, nasi sudah menjadi bubur, Kiki hanya bisa menyesalinya saja.
***
Keesokan harinya, di sore hari, di sekolah. Aozora mendapatkan surat lagi, sama isinya untuk meminta Aozora menemui sang penulis surat. Penulis itu menunggunya di gudang olahraga. Aozora pun pergi ke sana, tanpa berpikir terlebih dahulu.
Setelah sampai di sana, Aozora melihat seorang siswa yang sebelumnya mengungkapkan perasaannya ke Aozora sedang berdiri di depan daun pintu gudang yang terbuka. Dia langsung membungkukkan badannya setelah melihat Aozora datang.
"Aku mohon, berkencanlah denganku!" mohonnya.
"Menjawab. Saya kan sudah bilang, saya tidak bisa menerimamu."
Siswa itu mengangkat kepalanya. "Kenapa?"
"Menjawab. Karena aku… mencintai laki-laki lain…" jawab Aozora dengan wajah yang memerah.
"Begitu… Baiklah, kalau aku tidak bisa memiliki hatimu…"
Tiba-tiba sebuah tangan membungkam mulut Aozora dari belakang dan kedua tangannya dicengkram keras. Aozora langsung meronta-ronta dan melihat ke belakang, dapat dilihat dua siswa yang melakukan itu kepadanya.
"Aku akan memiliki tubuhmu!"
Kedua siswa itu membawa paksa Aozora yang sedari tadi meronta-ronta ke dalam gudang. Setelah di dalam, Aozora langsung dilempar ke atas matras. Lalu, pintu gudang ditutup. Mereka bertiga pun berdiri menatap Aozora yang tergeletak diam dengan nafsu.
"Heheheh, lihat tubuhnya," ucap salah satu. "Dilihat baik-baik, dia memiliki tubuh yang seksi."
"Iya, apalagi dadanya. Wuuu, besar sekali," balas satunya lagi. "Tidak disangka, gadis robot ini begitu menggoda. Seharusnya aku tidak mengucilnya juga."
"Hei, kalian. Ingat janjinya, aku dulu yang menikmatinya. Baru kalian," peringat siswa si penulis surat.
"Tenang saja, bro. Kami ingat, kok."
"Ayo cepat, kita tidak sabar!"
Aozora ketakutan, dia gemetar melihat ketiga laki-laki itu. Dia ingin berteriak, tapi dia sadar itu hal yang percuma, terlebih sekolah sudah sepi. Tapi, di saat keputusasaannya, dia teringat dengan kalimat yang membuatnya senang. Kalimat dari orang yang dicintainya dan kalimat itu juga menjadi kunci agar dia bisa selamat.
Aozora pun langsung merogoh isi tasnya. Melihat itu, ketiga pria itu langsung was-was. "Hei, sepertinya dia akan menghubungi seseorang!"
"Cepat am-" Perintah siswa si penulis surat terhenti, karena melihat Aozora mengeluarkan sebuah kantung kecil yang dapat dikenal sebagai jimat keberuntungan. "Hahahah, ternyata hanya sebuah jimat!"
"Bikin kaget saja!"
"Tapi, sebaiknya kau ambil saja tasnya. Mungkin nanti dia mengambil handphonenya dan menghubungi seseorang."
Siswa yang membungkam Aozora sebelumnya langsung mendekati Aozora dan mengambil paksa tas Aozora, tapi tidak dengan jimat yang sudah digenggam Aozora. Kemudian, tas itu dilempar sembarang dan siswa itu semakin mendekati Aozora.
"Hei! Jangan sentuh dia!" peringat siswa si penulis surat. "Aku yang pertama!"
"Iya-iya, santai saja." Siswa itu pun berjalan ke tempat mereka.
Perlahan siswa si penulis surat menghampiri Aozora. "Heheheh, jangan takut begitu. Aku akan melakukannya dengan lembut, jadi santai saja."
Aozora menutup matanya, memeluk jimatnya erat-erat. "Memanggil. Ki-Kiki…-kun…"
*DHURR