Bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi sejak sepuluh menit lalu, tapi Yasmina baru keluar dari kelasnya. Cewek itu berjalan sendiri menuju gerbang sekolah karena teman-temannya sudah pulang sejak tadi. Sejak keluar dari kelas tadi Yasmina beberapa kali hampir terjatuh, anehnya saat tubuhnya akan terjatuh cewek itu justru tidak berusaha mencari pegangan agar tidak terjatuh. Yasmina berhenti sejenak, di otaknya tangannya ingin sekali mencari pegangan tapi kedua tangannya tak kunjung juga bergerak.
Yasmina mengangkat kedua tangannya, menatap kedua telapak tangannya dengan aneh. Ini bukan kali pertama Yasmina seperti ini, hal seperti ini akhir-akhir ini sering terjadi padanya. Yasmina tidak memberitahu ibunya karena merasa hal ini masih wajar tapi semakin hari semakin sering seperti itu. Bahkan kemarin saat di rumah Yasmina terjatuh padahal tidak tersandung apa-apa.
Yasmina melanjutkan berjalan lagi menuju gerbang sekolah karena takut ibunya sudah menunggu di sana. Saat Yasmina sedang berjalan menuju gerbang sekolah tiba-tiba dari belakang ada seorang cowok yang tidak sengaja menabraknya. Cowok itu sedang berlari menghindar dari kejaran temannya membuat Yasmina terjatuh.
Aneh. Yasmina sama sekali tidak mencoba menahan tubuhnya agar tidak menyentuh tanah, akibatnya kedua lututnya berdarah, lengan kirinya juga tergores karena menyentuh tanah dengan keras. Kepalanya sedikit terbentur tanah yang mengakibatkan kepalanya jadi sedikit pusing.
"Eh, maaf! Maaf! Lo nggak pa-pa?" cowok itu membantu Yasmina untuk bangun.
"Nggak pa-pa! Cuma berdarah dikit!" Yasmina berusaha menahan sakitnya.
"Mau ke UKS dulu nggak? Gue obatin luka lo," cowok itu merasa bersalah.
"Nggak usah, nggak pa-pa kok! Kayaknya gue udah dijemput juga! Nanti gue obatin sendiri aja di rumah!" Yasmina tersenyum ramah.
"Beneran? Itu lengan lo juga luka soalnya," cowok ini kira hanya lutut Yasmina saja yang berdarah ternyata lengannya juga.
"Iya beneran nggak pa-pa! Duluan ya!" Yasmina segera pamit.
Sesampainya di depan sekolah ternyata ibunya belum menjemputnya, Yasmina memilih duduk di halte bus dekat sekolahnya. Yasmina mengamati anak-anak STM depan sekolahnya yang keluar dari sekolah mereka. Yasmina masih berpikir tentang tubuhnya yang aneh akhir-akhir ini. Bagaimana tubuhnya setiap berjalan seperti akan terjatuh. Juga bagaimana koordinasi gerak tubuhnya yang buruk. Apakah Yasmina mempunyai penyakit?
Saat Yasmina sedang melamun tiba-tiba ada segerombolan anak dari sekolah lain menyerbu STM depan sekolah Yasmina. Segerombolan anak dari sekolah lain itu mengendarai sepeda motor, mereka melempari tetangga sekolah Yasmina itu dengan apa saja yang mereka bawa. Jalanan cukup sepi saat itu, Yasmina berpikir untuk berlari kembali menuju ke sekolah tapi kedua kakinya tak mau beranjak bahkan berdiri pun tidak.
"Bunda, Yasmina takut!" air matanya luruh begitu saja.
Saat keadaan semakin memburuk karena anak-anak dari sekolah yang dilempari itu membalas melempari dari dalam sekolah. Yasmina melihat sendiri bagaimana batu bisa jatuh tak jauh dari tempatnya saat ini, kalau Yasmina tidak segera pergi bukan tidak mungkin dia akan menjadi korban. Saat itulah kakinya baru bisa digerakkan, Yasmina segera berlari dari tempat itu. Tidak mungkin kembali ke sekolah karena sudah pasti gerbangnya sudah ditutup oleh satpam, Yasmina tidak tahu harus pergi ke mana.
Saat berlari itulah Yasmina kembali terjatuh dan lagi-lagi kedua tangannya tidak mencoba untuk menahan tubuhnya. Hidung dan dagunya menyentuh trotoar mengakibatkan dagunya berdarah dan hidungnya mimisan. Beruntungnya saat itu ada abang ojek online yang menolongnya dan membawanya ke rumah sakit.
***
Sementara itu beberapa menit sebelum penyerangan sekolahnya oleh sekolah lain, Javier dan teman-temannya juga baru saja keluar dari kelas dan hendak pulang. Namun saat tiba di tempat parkir, ada lemparan batu dari luar. Bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Javier ini bukan tipe anak STM yang suka tawuran hanya saja saat ini kondisinya berbeda, jika dia diam saja sekolahnya akan mengalami kerusakan parah.
Dengan inisiatifnya sendiri Javier mengambil batu yang baru saja dilempar dari luar itu dan mengembalikan keluar area sekolah diikuti teman-temannya yang lain. Beberapa teman Javier ada yang terkena lemparan itu membuat Javier mengumpat kasar.
"Kita punya salah apa sih sama mereka? Kenapa mereka tiba-tiba nyerang sekolah kita kayak gini?" tanya Javier geram.
"Kayaknya ini salah paham, sekolah kita nggak pernah ikut tawuran kenapa tiba-tiba diserang?" sahut teman Javier yang lain.
Dari speaker sekolah terdengar kalau ada pemberitahuan yang melarang para siswanya untuk keluar area sekolah dan meminta para siswa yang berada di luar kelas segera kembali ke kelas masing-masing!
"Balik kelas!" perintah Javier karena mereka tidak mungkin bisa menang tanpa persiapan apa-apa.
Teman-teman Javier segera bergegas kembali ke kelas mereka, namun tiba-tiba Javier terjatuh. Javier merasa kepala bagian belakangnya baru saja terhantam sesuatu dengan sangat keras. Kevin yang posisinya paling dekat dengan Javier membantu cowok itu untuk berdiri.
"Jav, baju lo! Darah?" Kevin terkejut saat tiba-tiba baju seragam Javier teraliri darah segar. Javier memegang bagian belakang kepalanya yang ternyata sudah mengeluarkan banyak darah.
"Panggil guru! Javier kena lemparan batu!" seru Kevin panik.
"Kalian balik kelas dulu, biar gue ditemenin Kevin!" pinta Javier saat teman-temannya yang lain hendak menolongnya.
Kevin membantu Javier berdiri, mereka sudah akan pergi saat ada lemparan lagi dari luar yang untungnya tidak mengenai mereka berdua. Posisi mereka lebih dekat dengan pagar sekolah jadi siapa saja bisa terkena lemparan. Kepala Javier terasa pusing.
"Kev, kepala gue pusing!" Javier merintih kesakitan.
"Mau duduk dulu nggak? Kita sembunyi di balik pohon sampe ada guru yang dateng!" tawar Kevin.
Belum sempat Javier menjawab, mata cowok itu sudah gelap dan tidak sanggup lagi berjalan. Kevin ikut berhenti saat Javier menghentikan kakinya.
"Jav, lo nggak pa-pa? Jav! Javier!" Kevin memanggil-manggil Javier tapi cowok itu tidak merespon.
Tepat saat wali kelas mereka pak Agung datang, Javier pingsan. Seragam cowok itu sudah penuh dengan darah, tangan Kevin juga ikut berlumuran darah karena memegangi kepala Javier tadi. Kalau saja tadi mereka langsung kembali ke kelas dan tidak melempar balik, pasti Javier tidak apa-apa.
Pihak sekolah sudah menghubungi kantor polisi setempat dan mereka baru datang dua puluh menit kemudian, banyak siswa yang jadi korban. Kebanyakan mereka dari sekolah Javier karena memang mereka tidak tahu kalau akan ada penyerangan. Para korban itu awalnya sama seperti Javier dan teman-temannya, mereka membalas melempari batu yang sudah mereka lemparkan namun karena mereka kalah jumlah dan kalah senjata jadilah mereka yang jadi korban.
Banyak ambulans berdatangan karena memang banyak yang terluka, sementara Javier langsung dibawa ke rumah sakit menggunakan mobil salah satu guru karena hanya Javier saja yang kondisinya parah, yang lain hanya terkena lemparan ringan sedangkan Javier terkena lemparan batu besar yang mengenai kepala bagian belakangnya. Entah bagaimana reaksi orang tua Javier nanti saat mengetahui anaknya jadi korban tawuran karena Javier tidak pernah ikut tawuran selama ini. Kevin tadi sempat menghubungi kakak Javier, Kevin tidak mungkin langsung menghubungi ibu atau ayah Javier karena takut mereka syok.
***
Yasmina hanya dibawa ke UGD dan sudah ditangani. Kini tinggal menunggu Liliana—ibu Yasmina—menyelesaikan administrasi. Yasmina menunggu di depan ruang UGD atas perintah Liliana dan Yasmina menurut, seketika UGD menjadi ramai sekali saat beberapa ambulans datang. Yasmina mengenali seragam para siswa yang dibawa masuk ke UGD itu. Ya. Seragam milik STM depan sekolahnya. Ternyata banyak yang jadi korban.
Yasmina sedikit bergeser saat ada pasien yang juga dari sekolah itu dibawa masuk dengan kondisi bajunya penuh dengan darah. Tak lama kemudian Liliana datang.
"Dek, ikut bunda ketemu sama temen ayah sebentar ya!" ajak Liliana. Liliana khawatir dengan kondisi putri bungsunya itu setelah mendengar penuturan dokter yang menanganinya tadi.
Yasmina mengangguk, Yasmina tidak tahu siapa teman ayahnya yang dimaksud Liliana ini karena di rumah sakit ini ada banyak teman ayahnya. Liliana dan Yasmina sampai di depan ruang dokter spesialis saraf, setelah mengetuk pintu dan mendapat izin dari pemikik ruangan, mereka berdua masuk. Dokter laki-laki yang usianya sama dengan ayahnya itu menyambut Yasmina dan Liliana ramah.
"Halo, Yasmina!" sapa dokter itu pada Yasmina begitu sudah duduk.
"Iya, Dok!" Yasmina tersenyum kikuk karena belum pernah bertemu dengan teman ayahnya yang satu ini.
"Dek, ceritain ke om Yusuf kenapa kamu bisa jatuh tadi!" pinta Liliana lembut.
"Memangnya Yasmin kenapa, Bunda?" tanya gadis itu tak mengerti.
"Jatuh kamu itu nggak wajar, Sayang! Bunda cuma mau mastiin kalo kamu baik-baik aja!" Liliana membelai kepala putrinya itu lembut.
Kalau Liliana khawatir kan seharusnya dibawa ke ruang CT scan atau MRI, ini kenapa dibawa ke dokter saraf?
"Bisa ceritain ke om gimana kamu bisa jatuh tadi, Cantik?" tanya dokter Yusuf itu ramah.
"Sebenernya Yasmin udah ngerasa aneh akhir-akhir ini, Om! Tubuh Yasmin kadang nggak mau gerak sesuai keinginan Yasmin, kadang juga waktu Yasmin jalan kayak mau jatuh. Terus tadi pas di sekolah Yasmin beberapa kali mau jatuh tapi untungnya nggak sampe jatuh, terus pas pulang sekolah ada cowok yang nggak sengaja nabrak Yasmin. Pas Yasmin jatuh, harusnya kedua tangan Yasmin nopang badan Yasmin biar nggak jatuh tapi ini nggak."
"Apa cuma itu aja? Kegiatan kamu sehari-hari nggak terganggu? Kayak makan misalnya, buat nelen susah nggak?"
Yasmina menggeleng, "cuma kadang badan Yasmin nggak mau gerak sesuai apa yang Yasmin mau. Tadi aja pas STM depan sekolah Yasmin tiba-tiba di serang STM lain, Yasmin pengen lari tapi kaki Yasmin nggak mau gerak. Sekalinya lari langsung jatuh, makanya sampe dagu berdarah sama mimisan karena muka Yasmin kebentur trotoar."
Yusuf tersenyum pada gadis cantik di depannya itu, "Yasmin mau ya menjalani serangkaian pemeriksaan biar tahu Yasmin sakit apa? Soalnya om belum yakin Yasmin sakit apa," dusta Yusuf.
Dokter itu sebenarnya sudah mengetahui penyakit gadis ini, hanya saja Yusuf ingin memastikan saja. Semoga saja vonisnya tidak sama dengan hasil tesnya nanti. Yasmina tidak langsung menjawab, cewek itu menoleh ke arah bundanya. Takut kalau-kalau dirinya mengidap penyakit mematikan.
"Nggak pa-pa, Sayang! Nanti bunda temenin kamu!" Liliana menggenggam tangan putrinya itu erat.
"Diperiksanya sekarang, Om?"
"Nggak sekarang, besok atau lusa Yasmin bisa dateng lagi sama bunda ke sini! Tapi Yasmin harus rawat inap, nggak bisa rawat jalan karena banyak tes yang harus kamu lakukan."
"Nggak bisa rawat jalan aja, Mas? Sehari bisa jalanin satu tes?" Liliana tidak mau anak bungsunya itu dirawat.
"Nggak bisa, Liliana! Selama tes Yasmin harus diawasi sepenuhnya oleh dokter, juga agar kita tahu apa saja yang Yasmin lakukan. Nggak lama, aku yakin kalo Yasmin bisa melewati semua tes itu dengan baik!"
"Yasmin mau, Om! Tapi Yasmin bisa sembuh kan, Om?"
"Kamu nggak sakit, Sayang! Kita cuma mau tes kondisi kesehatanmu aja!" ucap Yusuf menenangkan karena Yasmina terlihat khawatir.
Setelah berbincang cukup lama dengan dokter Yusuf, akhirnya Liliana pamit pulang. Yasmin sudah keluar lebih dulu karena sepertinya ibunya itu masih ingin berbincang dengan dokter Yusuf.
"Yang aku takutin, Yasmin mengidap ataksia, Lil! Makanya aku minta buat ikut serangkaian tes, aku berharap apa yang aku takutin nggak kejadian," dokter Yusuf menyampaikan apa yang dia takuti selama tadi bertanya pada Yasmina.
"Aku juga nggak tahu kalo ternyata dia sering jatuh, aku kira dia jatuh itu karena kesandung. Tadi aku kira dia jatuh ya karena ada tawuran," ucap Liliana. Tadi dia dalam perjalanan menjemput Yasmina saat anaknya itu meneleponnya dan mengatakan sedang dalam perjalanan ke rumah sakit karena jatuh saat menghindari tawuran di depan sekolahnya.
"Kita sama-sama berdoa, semoga Yasmin baik-baik aja! Aku juga akan mengupayakan yang terbaik buat dia, kamu nggak usah khawatir! Juga yakinin Yasmin kalo dia nggak pa-pa, takutnya nanti malah dia jadi kepikiran dan bikin kesehatannya tambah buruk! Kita sama-sama berusaha!"
Setelah itu Liliana benar-benar pamit karena Yasmina sudah menunggu lama di luar ruangan dokter Yusuf.
***