Empat belas hari berada dalam pelarian, Fei mencapai sebuah pantai yang indah. Penduduknya terlihat hidup bahagia walau dia melihat mereka sebenarnya berada dalam level kehidupan yang sederhana. Berada di istana sejak dilahirkan membuat Fei mengerti bahwa selama ini dia benar-benar hidup dalam gelimang harta yang tak terkira banyaknya.
Sekarang, dia hanya seorang gelandang, tanpa arah dan tujuan. Dia hanya bisa pasrah pada nasib. Ayahnya menyuruhnya untuk tetap hidup, maka dia akan melakukannya.
"Apa atau siapa yang kau cari? Dari masa asalmu?" tanya seorang kakek yang sudah lama memperhatikan gadis muda itu.
Fei tidak segera menjawab dan hanya terdiam menatap pria tua itu seraya memberikan isyarat dengan gerakan apakah dia yang ditanya atau bukan? Fei adalah putri dan belum terbiasa dipanggil tanpa embel-embel gelar atau ucapan dengan rasa hormat.
Itulah kenapa dia tidak segera menjawabnya.
"Tentu saja aku bertanya padamu, memangnya ada siapa lagi di sini?"
Kakek itu memperjelas pertanyaan. Dia tidak terlihat kasar walau kata-kata tidak selembut atau sesopan bahasa istana.
"Aku hanya melihat-lihat," jawab Fei dengan singkat dan bahasa formal.
Memperhatikan gerak-gerik gadis itu dan kata-katanya yang formal dan halus, si kakek tua mengerti bahwa dia bukan gadis biasa. Mungkin dia dari bangsawan atau setidaknya anak saudagar kaya.
"Baiklah, kutebak kau baru di sini. Bagaimana kau bisa ke sini? Di mana orang tuamu? Lalu akan ke mana?"
Pria yang rambutnya hampir putih semua itu kembali bertanya karena masih penasaran.
Fei terdiam dan tidak tahu harus memulai dari mana. Walau dia anak nakal di antara kakak-kakaknya, berbohong adalah hal yang tidak boleh dilakukan. Dia masih ingat benar semua ajaran ayah dan gurunya.
"Mengapa kau menangis?" tanya pria yang belum mengenalkan dirinya itu lagi.
Fei terkejut dan menghapus air matanya. Dia malu karena sudah meneteskan air mata di hadapan orang asing dan semua karena mengenang masa-masa indah dan terpahit dalam hidupnya. Empat belas hari sebelumnya dia masih baik-baik saja, ayahnya masih hidup, ibunya mencintai dia dan begitu pula para kakaknya yang selalu menyayanginya.
Sekarang, semuanya jelas-jelas sudah berbeda. Tidak ada lagi istana yang nyaman, tidak ada keramaian ketika semua orang panik mencari dirinya atau membujuknya turun dari pohon yang tinggi. Semuanya sudah lenyap.
"Maaf, aku hanya terlalu sedih," jawab Fei lagi-lagi singkat.
Dalam hal ini dia tidak berbohong.
Pria tua itu akhirnya mengambil kesimpulan, mungkin saja gadis ini adalah putri pedagang yang kapalnya dirompak dan dirampok, lalu orang tuanya meninggal dan sisalah hanya dia saja. Kejadian seperti ini bukan pertama kalinya, itulah kenapa si kakek sangat percaya diri bahwa dirinya sudah benar.
"Baiklah, aku tahu, kau pasti sudah melewati hari yang menyedihkan. Memang tidak mudah bagimu," kata si kakek itu lagi.
"Huh?" Fei terkejut dan bingung di saat yang bersamaan. Dia juga takut kalau si kakek mengetahui siapa dia dan akhirnya menjadi bencana bagi hidupnya.
Fei berniat akan pergi saja dan berlari ke tempat lain, tetapi pria itu menghalanginya.
"Jangan takut, aku tahu. Kau sedih dan pasti kesepian. Ini bukan pertama kalinya, beberapa bulan lalu juga ada gadis yang kehilangan segalanya kecuali nyawanya. Perompak itu memang kejam, tetapi tidak semua. Kalau mereka dari sini, dari kota kita mereka tidak akan melakukan itu."
Penjelasan itu membuat Fei bernapas lega, ternyata si kakek tidak memikirkan apa yang dia takutkan.
"Panggil saja aku Kakek Hong, semua memanggilku begitu."
Pria tua bernama Hong itu memperkenalkan dirinya.
"Fe-,' ucap Fei tidak selesai. Sejenak dia berpikir nama apa yang cocok agar tidak mencolok dan lepas dari maut walau hanya sementara.
"Ah, kau tidak perlu memperkenalkan dirimu jika itu tidak menyenangkan. Lebih baik ikut aku ke rumah untuk sementara, istriku pasti senang memiliki teman," ajak si kakek.
Awalnya Fei agak ragu. Orang baik seperti ini mana bisa tidak memiliki niat lain? Namun, ketika dia sedang berpikir untuk kabur, tiba-tiba perutnya berbunyi pertanda dirinya sudah lapar.
Bahkan, air dalam tempat minumnya juga sudah habis. Bagaimana dengan kuda yang dia bawa? Sudah digadaikan untuk menumpang kapal menyeberang. Fei terlalu lugu untuk mengetahui harga kuda mahal dan ongkos menumpang kapal, itulah kenapa dia menukarkan seekor kuda dengan tumpangan.
"Sudahlah, jangan malu-malu, kami akan menganggapmu sebagai cucu atau anak. Kami tidak mempunyai siapa pun," ucap si kakek lagi.
Fei akhirnya mengikuti si kakek ke rumahnya karena dia sudah tidak memiliki pilihan lain. Dia hanya bisa berharap pria itu adalah utusan dewa untuk menyelematkan dirinya.
"Aku berharap semoga dia baik, setidaknya dia tidak berniat membunuhku," pikir gadis itu.
Sepanjang perjalanan dia sangat hati-hati dan waspada.
Sesampainya di rumah yang sederhana, Fei diperkenalkan oleh Kakek Hong kepada istrinya.
"Panggil saja aku Nenek Hong," ucap wanita yang sudah berusia 65 tahun itu.
Dia terlihat cantik di usianya dan jika dikira-kira, masa mudanya dia pastilah sebagai bunga desa, tentu banyak pria yang berebutan mendapatkan dirinya. Lalu pria di sebelahnya itu adalah yang beruntung. Eh, kenapa mereka tidak memiliki anak?
Mungkinkah si nenek ternyata mandul? Ada kutukan di balik keindahan itu? Namun, karena si kakek sudah mendapatkan cintanya maka dia bertahan dengan cintanya.
Fei menduga-duga dalam hatinya. Dia bahkan mengutuk dirinya yang terlihat seperti seorang peramal atau pengarang berita abal-abal.
"Makan dulu, makan yang banyak," ajak Nenek Hong.
Dia sudah menyiapkan makanan menyambut suaminya.
Fei mengangguk dan duduk di kursi yang kosong. Sebenarnya hanya ada dua kursi di sana, jadi si kakek mengambil satunya lagi dari dapur. Fei akhirnya mengerti bahwa mereka memang benar-benar hidup berdua saja.
"Apa kau takut? Jangan malu-malu, makan saja," kata si kakek.
Fei mengangguk dan dia tidak banyak bicara karena si kakek membantunya memperkenalkan diri dan sebagainya dan hal itu sangat membantu. Setelah kedua pasangan itu mulai makan, barulah dia berani makan juga. Di istana dia hanya makan setelah makanan itu dicicipi dan sekarang tidak ada lagi layanan seperti itu. Dia hanya berharap makanan itu tidak ada racunnya.
"Aku tidak mau mati karena makanan," gumam Fei dalam hati sambil berdoa dan berharap pasangan tua ini adalah manusia baik atau setidaknya iblis yang dermawan.
"Makanlah banyak, kau terlihat pucat. Tentu harimu sudah sangat berat," kata Nenek Hong.
Fei hampir menangis ketika makan. Dia hanya makan ikan bakar dengan nasi ditambah dengan sayuran yang direbus. Entah bagaimana makanan itu bisa sangat enak. Kelaparan selama dua pekan dengan mengandalkan makanan seadanya membuat dirinya seperti seseorang yang tidak pernah makan.
Tanpa terasa air matanya menetes pelan.
"Apa kau menangis? Mengapa kau menangis? Apa tidak enak?"
Si nenek buru-buru mengambil sapu tangannya dan menghapus air mata sang putri.
Fei menggeleng dan setelah napasnya kembali normal dia akhirnya mengatakan, "Aku menangis karena makanan ini terlalu enak," ucapnya dengan jujur.
Mendengar itu, pasangan tua itu tertawa terbahak-bahak dan baru kali ini mereka melihat seseorang bisa menangis karena makanan. Biasanya orang akan mengatakan untuk menghabiskan makanan agar makanannya tidak menangis.
Benar-benar sesuatu yang baru pertama kali dia alami.