Télécharger l’application
91.66% Alana / Chapter 33: ALANA [33: Sandiwara]

Chapitre 33: ALANA [33: Sandiwara]

Hati itu mewakili dari apa yang kita rasakan dan yang kita inginkan. Sedangkan otak terkadang hanya berisi ambisi dan praduga-praduga.

- - -

Karena Alana yang diperbolehkan pulang, kini terjadi perdebatan antara Alana dan Arya di gerbang sekolah. "Kamu balik ke rumah aja deh Na sama Abang," Pinta Arya yang melihat wajah Alana pucat.

"Nggak Bang, Alana udah tiga hari alfa, Alana juga udah ketinggalan pelajaran." Tolak Alana.

"Tapi wajah kamu pucet."

"Nggak, ini cuma efek kedinginan, Alana kuat kok sekolah." Alana mengangkat kedua tangannya ala ala orang yang sedang menunjukkan ototnya.

"Tapikan Abang khawatir kalo kamu kenapa napa." Arya ragu dengan ungkapan yang baru saja terlontar dari Alana.

"Katanya Abang pernah bilang ke Alana kalo Alana itu kuat, dan sekarang Alana bakal buktiin kalo Alana emang kuat." Kata Alana meyakinkan.

Ted ted ted...

Terdengar dengan nyaringnya suara bel yang sudah tiga hari belakang tak di dengar oleh Alana, yaitu bel sekolah yang menandakan waktu pelajaran akan segera dimulai. "Dah ya Bang, Alana mau masuk dulu udah bel. Ntar keburu gurunya masuk."

Arya pun hanya diam, gagal sudah upayanya membujuk Alana untuk beristirahat di rumah sebelum Alana melakukan terapi.

Cup

Satu kecupan manis mendarat di pipi Arya secara tiba-tiba. Siapa lagi kalo bukan Alana yang melakukannya. "Alana belajar dulu ya, jangan khawatir aku akan baik-baik saja." Kata Alana setelah mengecup pipi Abangnya_Arya.

"Kamu boleh bertingkah seolah-olah tidak ada yang terjadi apa-apa pada dirimu untuk meyakinkan orang di sekitarmu bahwa kamu baik-baik saja. Tapi tidak dengan diriku, aku tidak akan tertipu oleh tingkahmu." Kata hati Arya yang melihat sandiwara Alana.

Tanpa memikirkan Arya yang masih diam Alana langsung berjalan memasuki area sekolah dan dengan segera menuju kelasnya. Berusaha kuat meski sebenarnya rapuh, itulah yang Alana lakukan. Ia tak ingin kakak satu-satunya khawatir. Dengan sempoyongan Alana terus berjalan menuju kelasnya.

"Kamu kuat Na, kamu harus terus berjalan, berjalan seperti biasa. Jangan sampai jatuh." Alana menguatkan dirinya sendiri untuk tetep berjalan tegap.

Tap tap tap

Terdengar suara derap langkah Alana yang masih bisa berjalan meski sempoyongan. Secara mengejutkan, tiba-tiba ada sebuah tangan yang menggenggam tangan Alana untuk membantunya berjalan. Alana yang merasa tangannya digenggam oleh seseorang pun reflek menghentikan langkahnya dan menengok orang yang telah menggenggam tangannya.

"Va_no," sangking terkejutnya Alana melihat orang yang telah menggenggam tangannya, hingga membuatnya terbata-bata menyebut namanya.

"Kenapa berhenti, ayo terus jalan, biar gue bantu jalannya biar nggak sempoyongan kaya orang mabuk." Kata Vano yang berada di samping Alana dengan menggenggam tangan Alana.

"Lepasin tangan gue," Alana menghempaskan tangan Vano begitu saja. Vano yang semula belum melihat Alana kini menatap wajah Alana.

"Wajah lo pucet, lo sakit ya?" Tanya Vano yang melihat wajah Alana.

"Nggak," Alana kembali melanjutkan jalannya.

"Bener nggak sakit?"

"Nggak." Jawab Alana dengan terus berjalan.

"Kalo hatinya sakit nggak?"

"Gaje lo." Cuek Alana yang masih terus saja berjalan.

"Lo kenapa sih? Marah sama gue?"

"Nggak." Jawab Alana singkat.

"Nggak tapi jawabnya gitu, gue minta maaf deh kalo punya salah." Vano mencekal lengan Alana, agar Alana berhenti berjalan.

"Lepas lengan gue," pinta Alana pada Vano. Vano yang diminta pun melepaskan cekalannya, namun setelah itu Alana kembali berjalan meniggalkan Vano.

"Na tungguin gue!" Vano mengikuti Alana. Hingga sampai di dalam kelas Alana pun Vano tetap mengikuti Alana, alhasil itu menjadikan perhatian sekitar tertuju pada Alana dan Vano.

"Na lo kenapa sih diemin gue?"

"Lo tu yang kenapa ngikutin gue?" Balas Alana.

"Gue mau lihat lo setelah tiga hari nggak lihat lo." Cerocos Vano dengan pdnya.

"Bu Diyah datang, bu diyah datang." Seru salah seorang yang memasuki kelas Alana.

"Keluar lo sana, Bu Diyah udah datang." Seru Alana pada Vano yang masih berdiri di samping tempat duduknya.

"Lo ngusir gue, okelah kalo begitu. Asal lo jangan minta gue buat usir nama lo dari hati gue."

"Eeeaaakk..." Gemuruh teman-teman Alana yang mendengar ucapan Vano.

"Nggak lucu, sana keluar." Usir Alana.

"Iya iya, jangan kangen ya, ntar mata gue kedutan." Kata Vano yang sudah mulai berjalan dengan menengok ke arah Alana duduk.

Bukkk

"Vano! Kenapa kamu di sini?!" Tanya Bu Diyah yang tak sengaja ditabrak Vano.

"Eh ibu, saya kesini cuma mau mastiin kalo ibu nggak rindu saya, jangan rindu Bu, rindu itu berat, biar Vano seorang saja." Kata Vano dengan cengingiran.

"Kamu tu ya ditanya serius malah bercanda, sana ke kelas kamu!" peritah Bu Diyah.

"Siap Bu Negara!" Vano berdiri tegap dan hormat di depan Bu Diyah.

"Saya ke kelas dulu ya bu, jangan rindu." Vano langsung berlari keluar dari kelas Alana karena tak ingin mendengar celotehan lebih lanjut dari Bu Diyah.

# # #

Bel tanda pulang belum terdengar, namun Vano sudah seperti satpam. Berdiri sendiri di depan gerbang dengan menyandarkan bahunya pada besi gerbang yang berada di pinggir dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

"Masih lima menit lagi." Gumam Vano yang melihat arloji di tangannya yang menunjukkan bahawa jam pulang masih lima menit lagi. Secara mengejutkan Pak Dodi si guru killer yang sedang patroli menghampiri Vano.

"Ini belum bel kenapa kamu sudah di sini?"

"Saya tadi sudah bisa jawab pertannyaan di kelas makannya saya boleh keluar, Bapak sendiri kanapa bukannya mengajar malah di sini?" Kata Vano menanggapi Pak Dodi.

"Bapak lagi nggak ada jam ngajar, kamu nggak lagi bohong kan sama bapak?" Tanya Pak Dodi yang yang tak percaya pada Vano.

"Buat apa saya bohong pak, kalo nggak percaya bapak ke kelas saya, terus tanya." Seru Vano meyakinkan. Vano memang seperti itu orangnya, suka bertingkah konyol jika ada maunya. Seperti tadi ia meminta soal pada Bu Diyah yang mengajar kelasnya agar ia bisa keluar lebih dulu.

Ted ted ted...

Bel tanda pulang sudah berbunyi, sebentar lagi akan banyak siswa yang berhamburan keluar. "Bapak jangan halangin pandangan saya, ntar orang yang saya tunggu nggak kelihatan pak." Ucap Vano pada Pak Dodi yang berdiri di depannya.

"Kamu ngatain saya gendut!"

"Nggak pak, tapi bapak menghalangi penglihatan saya." Vano mengulangi ucapannya.

"Kamu nggak usah bohong sama saya, kamu_" belum selesai Pak Dodi berbicara datang Bu Diyah.

"Pak Dodi itu saya cari kemana-mana ternyata di sini, bapak bisa kan antar saya pulang sekarang." Kata Bu Diyah dengan cemprengnya.

"Iya," Jawab Pak Dodi pada Bu Diyah.

"Awas ya kamu, untug ada Bu Diyah." Kata Pak Dodi pada Vano dengan berjalan mengikuti Bu Diyah.

"Alana udah lewat apa belum ya?" Gumam Vano setelah Pak Dodi dan Bu Diyah pergi. Pencarian Vano pun dimuai. Ia menanyai Viona yang kebetulan lewat.

"Vi Vi, Alana uadah keluar kelas apa belum?"

"Udah dari tadi malahan."

"Ya udah makasih." Vano langsung berlari menuju motornya yang berada di luar gerbang.

"Kenapa sih tu bocah suka nggak jelas gitu?" Gumam Viona yang melihat polah tingkah Vano.

"Gara-gara Pak Dodi nih jadi nggak tahu kalo Alana udah keluar. Semoga Alana masih di halte." Harap harap cemas Vano dengan mengendarai motornya ke halte yang tak jauh dari sekolah.

Alana Pov

Selalu begini, menunggu Bang Arya yang katanya tadi pagi handak menjemput tapi akhirnya kak Dani yang bakal jemput. Karena biasanya kalo begini bakal lama, aku sudah mengantisipasi dengan selalu membawa earphone untuk menghilangkan kejenuhan. Disaat aku lagi asik asiknya dengerin musik, tiba-tiba datang orang yang sedang berusaha keras untuk aku hindari. Siapa lagi kalo bukan Vano.

"Na, lo belum dijemput?" Tanya Vano yang masih nagkring di motornya padaku. Aku yang ditanyai pun kupalingkan wajahku, pura-pura nggak lihat dan nggak denger. Alhasil Vano turun dari motornya dan menghampiriku.

"Nggak usah pura-pura nggak denger," Katanya dengan menarik earphone di telingaku.

"Gue emang nggak denger." Alibiku.

"Lo pulang bareng gue aja, kayaknya bentar lagi bakal hujan nih." Vano memberiku sebuah helm.

"Gue udah di jemput, jadi gue tunggu jemputan gue datang. Kan kasihan nanti kalo pacar gue kesini nggak ada gue." Tolakku.

"Maafin gue Van, gue terpaksa melakukan ini. Ini demi lo dan demi gue juga." Kataku dalam hati. Kenapa aku melakukan sandiwara ini semua? Itu aku lakukan untuk Vano.

Aku tidak ingin jika suatu hari nanti aku pergi, Vano akan merasa terpukul karena kehilangan orang yang ia sayangi untuk kedua kalinya. Maka dari itu aku akan membuat Vano menjauhiku agar ia tak merasa kehilangan jika suatu hari nanti aku pergi. Toh dengan ini semua, aku juga akan terhindar dari ancaman-ancaman kak Tasya. Aku sebenarnya nggak takut sama kak Tasya, cuma aku nggak mau hanya karena dia tubuhku akan penuh dengan lebam yang butuh waktu lama untuk sembuh.

"Oh iya lo kan udah punya pacar ya." Kata Vano dengan kikuk.

"Tapi lo tenang aja, gue orangnya itu nggak mudah menyerah. Jadi selama janur kuning belum melengkung di depan rumah lo, gue bakal tetap berusaha untuk mendapatkan lo." Ucap Vano dengan santainya. Ini yang gue takutin selama ini dari Vano. Dia itu orangnya gigih, nggak mau berhenti sebelum apa yang ia mau terwujud.

"Nih helmnya pake." Vano kembali menyodorkan helmnya.

"Gue nggak bisa karena pacar gue udah datang."

"Lo ngapain di sini? Godain pacar gue ya?" Kata kak Dani yang baru saja sampai di halte.

"Udahlah kita pulang aja." Aku pun lantas menaiki motor kak Dani. Kak Dani yang tak ingin berlama lama pun langsung menjalankan motornya.

"Sekali lagi maafin gue Van." Lirihku dalam hati.

# # #

Author Pov

Ucapan Vano di halte tadi ternyata benar benar terjadi, karena jarak rumah Alana yang masih cukup jauh Dani memutuskan untuk mengajak Alana berteduh. "Na kita berteduh dulu ya, kayaknya di depan sana ada cafe."

"Iya." Alana pasrah, ia ikut saja kata Dani. Sesampainya di dalam cafe mereka mencari tempat duduk.

" Kak di sana aja ya?" Alana menunjuk tempat dudu yang dekat dengan jendela.

Itu adalah tempat yang Alana sukai, karena dengan duduk di dekat jendela ia dapat melihat hujan dan apa yang terlukis di awan.

"Ternyata sandiwara itu susah ya? Nggak tahu kenapa setiap kali aku berusaha menjauhinya dada aku rasanya sesak." Kata Alana dengan menyesap Hot Chocolate yang ia pesan.

"Itu tandanya kamu itu sayang sama dia, karena disaat otak kamu berusaha menjauh darinya, hati kamu menolak. Itu sebabnya kenapa dada kamu sesak ketika berusaha menjauhinya." Balas Dani dengan menyesap Coffee Lattenya.

Alana kemudian diam. Diamnya mencerna apa yang barusan dikatan Dani mengenai otak dan hati. "Menurut kakak antara otak dan hati apa yang harus aku pilih?" Tanya Alana dengan memandangi hujan yang sudah mulai turun.

"Kalo aku biasanya dalam mengambil suatu keputusan lebih memilih hati, karena biasanya hati itu mewakili dari apa yang kita rasakan dan yang kita inginkan. Sedangkan otak terkadang hanya berisi ambisi dan praduga-praduga." Ucap Dani menyampaikan argumennya.

Alana kembali terdiam, terdiam dalam kebingungannya antara memilih kata hatinya atau kata otaknya. Suasana diantara Alana dan Dani pun kini hening, hening yang mendinginkan karena udara dingin yang ditimbulkan oleh hujan.

# # #


next chapter
Load failed, please RETRY

Cadeaux

Cadeau -- Cadeau reçu

    État de l’alimentation hebdomadaire

    Rank -- Classement Power Stone
    Stone -- Power stone

    Chapitres de déverrouillage par lots

    Table des matières

    Options d'affichage

    Arrière-plan

    Police

    Taille

    Commentaires sur les chapitres

    Écrire un avis État de lecture: C33
    Échec de la publication. Veuillez réessayer
    • Qualité de l’écriture
    • Stabilité des mises à jour
    • Développement de l’histoire
    • Conception des personnages
    • Contexte du monde

    Le score total 0.0

    Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
    Votez avec Power Stone
    Rank NO.-- Classement de puissance
    Stone -- Pierre de Pouvoir
    signaler du contenu inapproprié
    Astuce d’erreur

    Signaler un abus

    Commentaires de paragraphe

    Connectez-vous