Télécharger l’application

Chapitre 11: 011. Berbagi

Malam musim dingin di Siberia tidaklah benar-benar gelap. Cahaya aurora yang berkilauan menggantikan sinar bulan yang seharusnya ada di langit, dan dalam suasana tersebut, Kiana pulang ke rumah kecilnya. Dia mendorong pintu kayu rumah, mengeluarkan pistol dari saku mantelnya, dan menyalakan lampu penunjuk untuk menerangi ruangan.

Setelah menutup pintu dengan rapat untuk menahan angin dingin yang menusuk, Kiana menyalakan lampu minyak di meja, sehingga cahaya lembut menerangi ruangan yang sederhana itu. Namun, walaupun pintu berhasil menahan angin dingin, ruangan tetap terasa dingin. Karena itu, Kiana segera menuju perapian dan menambahkan arang baru untuk memastikan ruangan akan terasa lebih hangat.

Tak lama kemudian, suara api yang menghangatkan dari perapian terdengar merdu. Setelah memastikan ruangan cukup hangat, Kiana membuka salah satu barang yang dia bawa pulang—sebuah wadah berisi sup daging rusa yang dibungkus rapat dari restoran Thomas. Dia membuka segelnya dan menaruh kendi tersebut di atas kompor untuk menghangatkan kembali hidangan yang lezat itu.

Biasanya, restoran tidak menyediakan jasa bungkus, karena mayoritas orang tinggal sangat dekat. Namun, kali ini Thomas khusus meminjamkan wadah untuk Kiana agar dia bisa membawa pulang sup tersebut.

"Shirin, kau ada di sini?" Kiana, yang biasanya tidak memanggil nama itu, mencoba memanggil nama Shirin dengan lembut di rumah yang sepi.

"Aku di sini," jawab Shirin sambil muncul tepat di samping Kiana. Dengan senyum lembut, ia menatap Kiana dan berkata, "Ada yang bisa kubantu, Kiana?"

"Ah, bukan apa-apa," jawab Kiana dengan wajah sedikit memerah. "Aku hanya merasa sedikit kesepian. Aku ingin berbicara dengan seseorang."

"Itu kebetulan, karena aku juga ingin berbicara denganmu. Pasti ada banyak pertanyaan yang ingin kau tanyakan, bukan?" Shirin ikut duduk di lantai kayu di dekat perapian, tersenyum hangat pada Kiana.

Kiana tampak berpikir sejenak, lalu dengan tatapan penasaran dia bertanya, "Hei, Shirin, waktu itu kau bilang bahwa kita adalah bagian dari satu kesatuan. Maksudnya bagaimana?"

Shirin menatap Kiana dengan lembut sambil menjelaskan, "Artinya adalah kita pernah menjadi satu kesatuan, satu pribadi yang utuh. Namun, karena sebuah peristiwa yang sangat menyakitkan, jiwa kita terbagi menjadi dua—aku dan kau."

Shirin melanjutkan, "Kau masih ingat apa yang dikatakan ayahmu, Siegfried? Dia pernah mengatakan bahwa kau mengalami cedera di kepala sewaktu kecil, yang membuatmu lupa akan masa lalumu, bukan?"

Kiana mengangguk sambil berpikir. "Benar, ayah memang pernah bilang seperti itu."

"Ya, itu benar. Kau memang tidak bisa mengingatnya, tetapi aku masih mengingat segalanya," jawab Shirin dengan lembut. "Kau bisa menganggapku sebagai masa lalumu. Karena itu, aku tahu segalanya tentang dirimu, sementara kau tidak tahu tentang keberadaanku."

Wajah Kiana berubah senang mendengar penjelasan tersebut. "Wah, kalau begitu, bisakah kau menceritakan seperti apa aku di masa lalu? Bagaimana kehidupan kita bersama ayah di markas Schicksal? Dan bagaimana sosok ibuku?"

Pertanyaan Kiana sejenak membuat Shirin terdiam. Dia memang menyimpan ingatan tentang masa lalu mereka, tetapi kenangan itu tidaklah seindah yang Kiana bayangkan. Di dalam ingatannya, dia mengenal Siegfried dan Cecilia, tetapi sebagian besar waktu mereka bersama bukanlah dalam suasana keluarga bahagia, melainkan penuh konflik dan pertempuran di medan perang. Namun, Shirin tidak ingin membebani Kiana dengan kenyataan pahit tersebut, jadi dia hanya menjawab, "Maaf, Kiana, saat ini aku belum bisa menceritakan semua itu padamu."

"Kenapa?" tanya Kiana dengan sedikit kecewa.

"Sebab, hal-hal yang terjadi di masa lalu terlalu menyakitkan. Aku tidak ingin kau kembali merasakan kepedihan itu sebelum kau benar-benar siap menghadapinya," jelas Shirin lembut. "Namun, tenang saja. Seiring berjalannya waktu, saat kau menjadi lebih kuat, kisah-kisah masa lalu itu akan menjadi sesuatu yang tidak begitu berat bagimu."

"Begitu ya," kata Kiana dengan wajah sedikit lesu. Namun, dia segera bersemangat kembali dan bertanya, "Ngomong-ngomong, Shirin, ke mana saja kau saat aku tidak bisa melihatmu?"

Shirin tersenyum kecil, lalu menjelaskan, "Sebagian besar waktu, aku berada di dalam tubuhmu atau ada di dekatmu. Sebenarnya, aku hanya membuat diriku tak terlihat darimu. Selain itu, terkadang aku memilih tinggal di dalam dirimu, tetapi dalam kondisi seperti itu aku hanya bisa mendengar suara hati dan pikiranmu."

Kiana terdiam sejenak dan merenung. "Jadi, waktu aku berlari pulang tadi, kau diam-diam ikut memperhatikan, ya?"

Shirin mengangguk, meskipun ada sedikit senyum di bibirnya. "Maaf, Kiana. Tapi kau pasti tahu, bukan? Akan terlihat aneh jika kau berbicara dengan seseorang yang tidak bisa dilihat oleh orang lain."

Kiana pun mengangguk dan setuju dengan penjelasan tersebut. "Hmm, masuk akal juga sih." Lalu tiba-tiba dia teringat sesuatu yang membuatnya sedikit bingung. "Sebentar, kalau begitu, apa orang lain benar-benar tidak bisa melihatmu?"

"Tentu saja, karena aku hanya eksis sebagai wujud roh. Sebenarnya, tubuh ini milikmu, jadi kau adalah jiwa utama, sementara aku hanyalah entitas pendamping," Shirin menjelaskan sambil tersenyum.

"Astaga, kalau begitu, kau tidak bisa makan ya?" Wajah Kiana mendadak berubah murung karena menyadari hal tersebut. "Padahal aku khusus membawa makanan ini untukmu."

Kiana menatap kendi berisi sup daging rusa yang sedang dipanaskan di atas kompor. Sup tersebut merupakan hidangan khas Siberia, yang dibuat dari daging rusa yang lembut untuk menghangatkan tubuh di tengah cuaca dingin.

Shirin menatap Kiana dengan mata lembut. "Kau memang gadis yang baik, Kiana. Tapi aku tidak perlu khawatir soal makanan. Saat kau makan, aku pun bisa merasakan rasanya."

"Serius? Jadi, semua yang kulihat, kudengar, dan kucium juga bisa kau rasakan?" tanya Kiana semakin bingung, sambil mencoba memahami bagaimana mekanisme indra tersebut bekerja bagi mereka berdua.

"Tidak semuanya, Kiana. Aku sebenarnya hanya bisa melihat dari perspektifmu saat aku muncul, dan mendengar melalui telingamu. Tetapi, aku tidak bisa merasakan selain itu," jelas Shirin. "Yang kudengar hanyalah suara hatimu, dan apa yang kau dengar adalah suara hatiku yang kuarahkan langsung kepadamu."

"Oh, begitu ya?" Kiana merenung sejenak, lalu tiba-tiba tersenyum. "Kalau begitu, bagaimana caranya agar kau bisa merasakan rasa makanan ini?"

Shirin tersenyum sambil menjelaskan, "Sederhana saja. Kau hanya perlu menyerahkan kendali tubuhmu padaku sejenak. Maka, aku pun bisa merasakan seluruh inderamu." Dia menambahkan, "Kau masih ingat, kan, bagaimana aku pernah mengambil alih tubuhmu ketika aku menyelamatkanmu waktu itu?"

Kiana mengangguk, lalu bertanya dengan penuh penasaran, "Jadi, apa yang harus kulakukan?"

"Dalam kondisi normal, kau hanya perlu tertidur atau berada dalam kondisi tidak sadar agar aku bisa melakukannya," jawab Shirin. "Tetapi, jika kau bersedia, aku bisa mencobanya sekarang, asalkan kau tidak melawan."

Shirin mengulurkan tangannya pada Kiana, dan dengan senyum hangat ia bertanya, "Kiana, bolehkah aku meminjam tubuhmu sejenak, untuk merasakan kelezatan makanan ini bersamamu?"

Di dalam hati, Shirin pun menambahkan harapan lain yang lebih dalam, yaitu berbagi setiap momen kehidupan Kiana di masa depan.

"Tentu, aku bersedia," jawab Kiana tulus.


Load failed, please RETRY

État de l’alimentation hebdomadaire

Rank -- Classement Power Stone
Stone -- Power stone

Chapitres de déverrouillage par lots

Table des matières

Options d'affichage

Arrière-plan

Police

Taille

Commentaires sur les chapitres

Écrire un avis État de lecture: C11
Échec de la publication. Veuillez réessayer
  • Qualité de l’écriture
  • Stabilité des mises à jour
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte du monde

Le score total 0.0

Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
Votez avec Power Stone
Rank NO.-- Classement de puissance
Stone -- Pierre de Pouvoir
signaler du contenu inapproprié
Astuce d’erreur

Signaler un abus

Commentaires de paragraphe

Connectez-vous