Jadi apa yang bisa kulakukan, selain mengikuti permainan mereka? Tanya nya !
Greasy SAE tahu kami tidak punya ikatan darah, tapi tampaknya beberapa orang yang telah mengenal kami selama bertahun-tahun sepertinya lupa.
"Aku tidak sabar menunggu semua ini berakhir," bisikku.
"Aku tahu," kata Greasy SAE. "Tapi kau harus melewati semua ini sampai akhir. Sebaiknya kau tidak terlambat."
Salju mulai turun sedikit ketika aku berjalan menuju desa penenang titik jaraknya tidak sampai 1 km dari alun-alun di pusat kota, tapi tempat ini seperti ada di dunia lain titik desa ini adalah wilayah terpisah yang dibangun mengelilingi taman bunga indah dan pohon-pohon hijau. Ada 12 rumah di sini, masing-masing rumah bisa menampung 10 rumah tempatku dibesarkan titik 9 rumah berdiri 0,0 sudah sejak lama. Dan 3 rumah yang digunakan milik Haymitch, peta, dan aku.
Rumah yang dihuni oleh keluargaku dan keluarga kita memancarkan cahaya kehidupan yang hangat. Jendela-jendela yang diterangi lampu bonggol jagung berwarna cerah dipasang di pintu depan sebagai hiasan menjelang festival panen. namun, rumah Haymitch, meskipun dirawat oleh pengurus rumah, mengeluarkan udara rumah yang terabaikan dan terbelaka itu dibuatkan diriku di pintu depan karena atau aku bakal mencium bau tangi, lalu aku melangkah masuk.
Hidungku masuk menyernyit jijik. Haymitch menolak mengijinkan siapapun masuk dan membersihkannya, dia yang membersihkannya sendiri titik selama bertahun-tahun bahwa minuman keras dan muntahan, kalau rebus dan daging yang terbakar, pakaian yang tak dicuci serta kotoran tikus telah menciptakan bau busuk yang membuatku mataku berakhir. Aku menyeberangi kotoran yang terdiri atas bekas kertas pembungkus pecahan gelas, dan tulang berulang untuk tahu di mana Haymitch berada.
Dia duduk di meja dapur, tangannya melintang di atas meja, wajahnya terpuruk di atas genangan minuman keras, dan dengkurannya terdengar jelas.
Aku sodok bahunya. "Bangun!" Kataku dengan suara kerasku makanan aku sudah belajar tak ada cara halus untuk membekukannya. Dan ukurannya berhenti sejenak, seakan-akan bingung, lalu dengkurannya berlanjut titik kudorong dia lebih keras. "Bangun, Haymitch. Ini hari turun! "Ku buka paksa jendela rumah Haymitch , kuhirup udara segar dari luar. Kakiku mengais-nya sampai di lantai gema dan aku menemukan poci kopi dari kalian lalu mengisinya dengan air keran titik api di kompor tidak benar-benar padam Dan aku berhasil membuat beberapa buah batubara yang masih membara menyalakan api titik kutuang biji kopi yang sudah dibilang ke dalam posisi secukupnya agar menghasilkan seduhan kopi yang nikmat dan mantap lalu ku taruh poci di atas kompor.
Haymitch masih di alam lain titik karena acaraku sebelumnya tak berhasil, aku mengisi baskom dengan air dingin, menyiramkan air itu ke kepalanya, dan langsung melompat jauh. Geraman buas terlantar dari mulutnya. Dia telanjang, menendang kursinya ke belakang sampai sejauh 3 m dan pisau termos di tangannya. Aku lupa Haymitch selalu tidur dengan satu tangan menggenggam pisau titik seharusnya aku melepaskan pisau itu lebih dulu dari jemarinya aku mah tapi aku terlalu banyak pikiran untuk mengingatnya. Haymitch memuntahkan sejumlah makian tak senonoh, bahkan mengibas udara dengan pisaunya sebelumnya dari apa yang terjadi titik dia menjaga wajahnya dengan legan baju lalu menoleh ke ambang jendela, tempat aku duduk sekalian bersiap-siap jika aku perlu cepat kabur.
"Apa yang kau lakukan?" Bentaknya.
"Kau menyuruhku membangunkanmu satu jam sebelum kamera-kamera itu datang," jawabku.
"Apa?" Tanyanya.
"Kau yang memintak kok," aku berkeras.
Haymitch tampak sudah ingat. "Kenapa aku basah begini? "
"Aku tidak bisa membangunkanmu walaupun sudah mengguncang-guncang tubuhmu" kataku titik "dengar, kalau kau mau dibangunkan dengan cara disayang-sayang, kau seharusnya menyuruh peta."
"Menyuruhku apa?" Mendengar suaranya saja sudah membuat perutku mulas dengan berbagai perasaan yang tak menyenangkan seperti rasa bersalah kau maka kesedihan, dan ketakutan. Juga rindu. Aku harus mengakui bahwa ada sedikit perasaan itu juga. Hanya saja perasaan itu ditimbun dengan berbagai perasaan lain sehingga tak pernah bisa terlihat.
Aku memperhatikan peta berjalan menyeberangi meja, sinar matahari dari jendela menyoroti serpihan-serpihan salju di rambut pirangnya. Dia tampak kuat dan sehat jauh berbeda dari anak lelaki yang sakit dan kelaparan yang kukenal di arena pertarungan, bahkan kakinya sudah tidak terlihat pincang titik peta menaruh sebongkah roti yang baru dipanggang di atas meja dan menggulurkan tangannya pada Haymitch.
"Menyuruhmu membangunkanku tanpa kena radang paru-paru" sahut saymitch, menyerahkan bisanya pada peta titik demi melepaskan gausnya yang kotor, di baliknya ada kaos dalam yang sama kotornya, lalu dia menyeka wajahnya dengan bagian kaosnya yang kering.
Peta tersenyum lalu mencelupkan pisau Haymitch dek dalam cairan bening yang berasal dari botol di lantai titik dia mengeringkan mata pisau dengan ujung kemejanya lalu mengiris roti. PT memastikan agar kami semua makan roti yang segar baru dipanggang aku berburu. dia memanggang.
Haymitch minum. Kami punya cara masing-masing untuk tetap sibuk, untuk menjauhkan diri dari memikirkan masa-masa sekali sebagai peserta dalam hunger games baru ketika kita memberikan pinggiran roti pada Haymitch , dia menoleh memandangku untuk pertama kalinya. "Kau mau?".
"Tidak aku sudah makan di hop," jawabku. "Terima kasih." Suaraku terdengar asing, begitu formal. Seperti itulah cara bicaraku dengan peta sejak kamera berhenti menuruti kepulangan kami yang membahagiakan dan kembali kehidupan nyata kami masing-masing.
"Sama-sama," balas Beta sama kakunya.
Haymitch melempar pakaiannya keunggulan yang berantakan. "Brrr kalian harus banyak pemanasan sebelum acara dimulai."
Tentu saja Haymitch betul. Penonton akan mengharapkan penampilan sepasang kekasih di mabuk asmara yang jadi pemenang di hunger games bukan dua orang yang nyaris tidak sanggup saling memandang titik tapi aku malah berkata, "mandi sana, Haymitch "kemudian aku melompat keluar dari jendela menjejakan kaki ke tanah, lalu berjalan melewati taman ke arah rumahku.
Salju mulai membasahi tanah dan aku meninggalkan jejak jejak kakiku di belakang titik di pintu depanku aku berhenti untuk membersihkan sepatuku yang basah sebelum masuk ke rumah. Ibuku sudah bekerja siang dan malam agar menghasilkan penampilan yang sempurna bagi kamera jadi aku tidak boleh mengatur lantainya yang berkilau cemerlang aku belum lagi mengerjakan kaki di dalam rumah ketika ibuku muncul memagangi tanganku seakan ingin menghentikanku.
"Jangan kuatir, aku sudah melepaskannya di sana," kataku, meninggalkan sepatuku di keset.
Ibuku tertawa aneh dan terdengar dipaksakan lalu mengambil taktik dari guruku yang penuh dengan persediaan makanan dari bahuku. "Cuma salju. Bagaimana jalan-jalan mau menyenangkan? "
"Jalan-jalan?" Ibuku tahu aku ada di hutan nyari simalamaan. Lalu aku melihat ada laki-laki yang berdiri di belakangnya diambang pintu dapur titik sekali lihat pakaiannya yang dibuat khusus dan susuk wajahnya sempurna aku tahu dia orang capital. Ada yang salah di sini. "Lebih mirip skating daripada jalan-jalan titik licin sekali di luar. "
"Ada tamu yang ingin bertemu denganmu" kata ibuku titik wajahnya terlalu pucat dan aku bisa mendengar kecemasan yang berusaha disembunyikannya.
" Kupikir mereka baru datang tengah hari nanti. "Aku pura-pura tidak memperhatikan keadaan ibuku." Apakah Cina datang lebih awal untuk membantuku bersiap-siap?"
"Bukan, Katniss, yang. . . " Ibuku hendak menjelaskan.
"Silakan, lewat sini, Miss everden," kata pria itu. Dia mengarahkan jalanku diruang depan. Rasanya aneh diantar seperti tamu dirumah sendiri, tapi aku tahu lebih baik aku tidak berkomentar.
Sambil berjalan, aku menoleh kebelakang memberikan senyum pada ibuku. "Mungkin instruksi lebih lanjut tentang tur." Mereka mengirim ku berbagai macam hal tentang perjalananku dan protokol seperti apa yang harus dilaksanakan disetiap distrik. Tapi ketika aku berjalan menuju ruang belajar, pintu yang tak pernah kulihat berpacum siapa di dalam sana ? Apa yang mereka inginkan? Kenapa ibuku tampak sangat pucat?
"Silakan masuk," kata pria dari Capitol, yang mengikutiku sejak dari ruang depan.
Ku putar Canon logam kuningan itu dan kulangkahkan kaki ke dalam. Hidungku mencium perpaduan aroma bunga mawar dan darah titik seorang pria bertubuh kecil dan berambut putih yang tampaknya tidak asing lagi sedang membaca buku di sana. Dia mengangkat jarinya seakan berkata, "tunggu sebentar." Kemudian dia berbalik dan jantungku mencelos.
Aku memandang langsung ke mata presiden snow yang selicik ular.