Jika orang lain menganggap rumah adalah tempat yang paling nyaman untuk pulang, itu tidak berlaku baginya. Menurutnya tidak ada rumah yang nyaman. Tidak berlaku kalimat Rumahku Surgaku. Bahkan jika ditanya dimana tempat yang paling membosankan? Dia akan menjawab rumahnya.
Secara kasat mata, kehidupan yang dimilikinya saat ini adalah impian banyak orang. Banyak sekali yang berharap, bahkan terang-terangan bilang ingin ada di posisinya saat ini. Tapi dia sendiri malah tidak menginginkannya sama sekali. Aneh. Sudah berkali-kali kakaknya mengingatkan agar lebih menghargai apa yang dimilikinya. Tapi yang namanya orang tidak peduli, ya tetap saja itu hanya dianggap sebagai angin lalu.
Hari ini kampus selesai pukul 6 sore. Kalau orang normal membutuhkan waktu sekitar 1 jam setengah untuk bisa sampai di rumahnya. Dia hanya butuh waktu kurang dari 1 jam. Karena caranya membawa mobil seperti orang kesetanan.
Paginya, sebelum berangkat ke kampus, Kiki, Asisten Rumah Tangganya, sudah berpesan agar tuan mudanya itu pulang tepat waktu. Karena ada pembicaraan penting di rumah. Tapi agak aneh rasanya kalau lelaki berambut gondrong itu mendadak jadi anak rajin dan disiplin. Tidak ada ceritanya pulang kampus tepat waktu. Yang ada adalah nongkrong setiap waktu dan pulang tak kenal waktu.
Tapi hari ini sedikit berbeda. Entah apa yang mempengaruhi pikirannya. Pukul 20.30, dia sudah sampai rumah. Itu artinya tepat waktu. Bravo.
"Semuanya dimana?"
"Bapak belum pulang. Kalau Mbak Gita sama Mas Rio ada di ruang tengah," kata Kiki setelah membukakan pintu.
Ruang tengah di desain begitu nyaman karena memang untuk kumpul-kumpul. Berhadapan langsung dengan gemercik air mancur dan kolam ikan. Menghadap ke arah barat. Tempat dimana Matahari menenggelamkan diri. Sebuah sofa berwarna coklat membentuk huruf L dan juga kursi pijat yang duduk rapi di sampingnya. Ruangan itu menjadi tempat dimana keluarga berkumpul. Meski saling sibuk satu sama lain, tapi mereka selalu ada waktu untuk quality time. Dengan versi mereka sendiri.
Sebagai keluarga terpandang, mereka selalu dituntut untuk tampil sempurna di depan banyak orang. Menurut mereka menunjukkan kesedihan, sama saja menjual air mata ke publik. Keluarga Abiyaksa. Siapa yang tidak tahu nama besar itu. Pemilik Abiyaksa Holding Company, yang bergerak di bidang construction. Pemilik Abiyaksa University, Abiyaksa Hospital. Dan masih banyak lagi. Baik yang memakai nama Abiyaksa atau nama selain itu.
"Ohooo, ada apa ini?"
Melihat adiknya datang, Gita langsung berdiri untuk menyambut di ikuti oleh Rio, sang suami.
Pelukan hangat yang tidak pernah berubah, sejak dulu hingga saat ini. Gita adalah salah satu orang yang paling dia sayangi, selain sang nenek tercinta. Perempuan yang menyandang nama lengkap Deana Gita Abiyaksa itu juga sangat menyayangi adiknya. Bukan hanya sebagai kakak, tapi layaknya Ibu, tempatnya untuk berlindung dan bercerita.
Sudah 1 jam lebih saling bertukar cerita. Mulai dari bercanda bersama, saling meledek, sampai jenuh, lalu saling diam satu sama lain.
"Terus??"
Gita mengernyitkan kedua alisnya disertai gelengan kepala.
"Iya, terus ngapain kita masih disini? Aku mau ke kamar. Capek."
"Tunggu dulu. Bentar lagi Papa pulang."
"Nggak bakal. Udah, lebih baik Mbak Gita istirahat aja."
Gita dan Rio saling berpandangan tapi tetap enggan meninggalkan tempat duduk. Mereka yakin kalau sebentar lagi Papanya pasti datang. Karena dia sudah bilang bahwa ada hal penting yang akan dibicarakan.
Tak peduli. Baginya saat ini merebahkan diri di kasur sambil mendengarkan lagu adalah hal yang paling menenangkan. Tapi, baru saja akan menaiki tangga, suara dari arah pintu menghentikan langkahnya.
"Papa udah datang. Kita harus bicara."
Tanpa berbicara sepatah kata pun, dia berbalik dan kembali duduk di samping Kakaknya.
"Papa ingin tau apa rencana kamu ke depan?"
"Nggak ada."
"Kamu ini anak laki-laki. Kamu nanti yang akan meneruskan bisnis keluarga kita. Malah kayak gini. Nggak punya tujuan yang jelas. Setiap hari bikin masalah. Kamu nggak bisa kayak gini terus," ucapnya dengan nada tinggi.
Sesuai dugaan. Pasti ini yang akan terjadi. Berada di bawah tekanan dan aturan adalah hal yang paling dia benci. Baginya aturan-aturan di keluarganya itu menyiksa. Ibarat burung yang terkurung di dalam sangkar. Tidak bisa terbang bebas.
Diiringi dengan hembusan napas yang cepat, sebelum beranjak pergi dia menjawab, "Aku nggak peduli. Aku capek. Aku mau istirahat."
Melihat perempuan yang digandeng Papanya saja sudah membuatnya muak. Apalagi harus lama-lama bertatap muka. Itu sangat tidak mungkin.
"Gino! Papa lagi ngomong sama kamu."
Tidak peduli, dia tetap melanjutkan langkahnya.
"Gino. Dengerin Papa!"
"Kamu balik lagi atau Papa akan..."
Dan karena amarahnya terpancing, akhirnya mereka bertengkar. Saling adu mulut, berteriak, dan bahkan memukul.
"Apa! Papa mau apa?! Mau pukul aku? Ayo sini pukul. Papa mau tampar aku? Silahkan Pa. Silahkan." Seakan menantang, Gino kembali menghampiri Papanya dan mendekatkan wajahnya. Gita dan Rio yang sejak tadi berusaha untuk mencegah pun sia-sia.
Pertengkaran tak dapat dihindari lagi. Dengan penuh amarah, Wilan menampar Gino tepat di pipi kirinya. Sangat keras.
"Papa..."
Teriakan Gita menurunkan tangan Wilan yang masih terangkat sejajar dengan wajah Gino. Sementara Gino memilih langsung pergi ke kamarnya, setelah menerima tamparan itu. Meninggalkan amarah yang masih memuncak dalam diri Wilan.
"Apa yang udah Papa lakukan?" Gita membawa Papanya untuk duduk.
"Dia harus berubah. Mau sampai kapan dia seperti itu?"
"Pa, Gita tau maksud Papa itu baik. Tapi nggak dengan cara kayak gini, Pa. Aku dan Mas Rio juga udah coba untuk bicara. Tapi Gino itu perlu waktu. Biarkan dia berpikir dulu."
"Iya Pa. Papa tenang dulu. Jangan terlalu memberi tekanan. Karena semakin Gino merasa tertekan, dia akan semakin berontak. Gino nggak suka ditekan Pa," Rio menimpali.
Begitulah Dean Gino Abiyaksa atau orang-orang biasa memanggilnya Gino, ketika bersama dengan Papanya. Selalu bertengkar. Gino orangnya tidak banyak bicara tapi emosional. Kesabarannya setipis tisu. Dan Wilan juga keras kepala.
Sementara itu di Sofa, seorang perempuan diam-diam tersenyum licik melihat pertengkaran antara Ayah dan Anak. Bahkan dia terkesan tidak peduli atas apa yang baru saja dilihatnya.
Rumah yang indah memang tidak menjamin berisi cerita yang indah pula.