Beberapa hari kemudian Roni mendapatkan surat panggilan dari pengadilan.
"Akhirnya dia ke pengadilan, kan. Sudah kuduga dia bakal bakal seperti ini. Ya baguslah dia juga bukan tipe aku sama sekali," gumam Roni.
Melihat Roni yanh tersenyum sendiri sembari melihat secarik kertas, Sarni mendekati Roni. "Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" tanyanya.
"Ini menantu Ibu sudah menggugat aku, besok aku diundang ke pengadilan," sahut Roni.
"Bagus itu. Kamu nggak usah datang. Biar cepat prosesnya. Kalau kamu datang malah disuruh mediasilah apalah," imbuh Sarni.
"Iya. Siapa juga yang mau datang. Aku sudah nggak mau ketemu sama dia lagi. Lagian nggak bakal ada komunikasi lagi antara aku dan Mosa. Aku sudah berencana untuk mencari perempuan lain yang lebih lebih dari Mosa. Emang apa itu Mosa, dia perempuan cupu," sindir Roni pada Mosa.
"Iya. Perempuan nggak tahu diri. Gaji kecil saja sombong. Mending-mending juga kamu. Banyak perempuan yang mau sama kamu. Cari yang cantik yang bisa dipamerkan ke orang-orang!" perintah Sarni.
"Iya, Bu. Nanti kalau sudah dapat aku juga bakal ngajak dia langsung nikah saja. Kelamaan kalau masih harus pacaran," sahut Roni.
"Iya, Ron. Kelamaan. Ingat umur kamu sudah berapa. Jangan sampai seperti tipe-tipe Mosa pokoknya. Dari wajahnya saja Ibu sudah tidak suka," lanjut Sarni.
"Setelah ini aku mau ke Semarang, karena stok di sana menipis. Mungkin aku akan menginap di sana. Jadi besok aku harus pulang. Ibu tolong jaga rumahku dulu," pinta Roni.
"Iya, nanti Ibu jaga. Di rumah kamu bukannya ada barang-barang pembelian Mosa. Biar Ibu pakai saja. Lagian kalau kamu sudah menikah lagi juga ada istri kamu, kan. Mungkin dia mau masak-masak kamu siapkan semua perlengkapan dapur biar bisa melayani kamu dengan baik," sahut Sarni.
"Iya, ibu ambil saja. Lagian aku juga nggak butuh. Aku bisa beli barang-barang seperti itu juga. Harganya juga tentu murah aku beli 100 pun mampu," ucap Roni dengan arogan.
"Ya sudah kamu berangkat hati-hati!" pesan Sarni.
Sementara itu di rumah Mosa panggilan ke pengadilan Mosa, Mira yang menerimanya. Mira tidak ingin membukanya, ia menbiarkan Mosa saja yang membuka.
Sepulang sekolah Mosa yang mengetahui ada panggilan dari pengadilan segera membuka undangan tersebut. Setekah membacanya Mosa mengirimkan pesan ke kepala sekolah karena esok hari ia tidak bisa mengajar karena urusan pribadi.
Esok harinya, Mosa sudah bersiap untuk berangkat ke pengadilan bersama dengan Mira.
Di sana cukup banyak orang, Mosa mengantri untuk dipanggil masuk ke ruang sidang. Perasaannya berdebar, bukan karena tidak ingin berpisah dengan Roni, tetapi karena baru kali ini ia menginjakkan kaki di pengadilan untuk sidang perceraian dengan Roni.
Padahal Mosa berharap jika pernikahan yang ia impikan dulu menjadi pernikahan yang langgeng, bukan hanya di dunia tetapi sampai di akhirat. Tetapi semua hanya impian, daripada harus tersiksa batin terus menerus mungkin inilah yang terbaik untuk dirinya saat ini.
Mosa ingin semua yang ia lakukan saat ini mendapatkan kelancaran agar tidak menghalangi langkahnya menjadi istri orang tetapi seperti janda. Lebih baik menjadi janda, janda yang terhormat.
Saat panggilan Mosa, Mosa kemudian masuk ke dalam ruang sidang. Sebelumnya ia meminta restu pada Mira agar diberikan kelancaran.
Beberapa menit Mosa di dalam ruang sidang kemudian ia membuka pintu. Mosa menghampiri Mira. Ia menceritakan jika proses tidak bisa sekali waktu. Masih menunggu proses berikutnya. Bahkan Mosa diminta untuk membawa 2 orang saksi untuk dimintai keterangan di panggilan selanjutnya.
Karena tidak ada yang tahu mengenai kejadian di rumah Roni, terpaksa Mosa meminta ibu dan adiknya menjadi saksinya. Adik Mosa di pondok akan diminta pulang untuk menjadi saksi jika sudah tahu kapan panggilan keduanya.
Esok harinya di sekolah Mosa dipanggil kepala sekolah. Di sana kepala sekolah bertanya mengenai masalah Mosa izin kemarin. Karena sekolah juga tidak mau cuma alasan yang tidak penting sampai harus meninggalkan sekolah dan siswanya.
Tok tok tok.
Mosa mengetuk pintu kepala sekolah.
"Masuk!" perintah kepala sekolah.
"Maaf, apa Bapak memanggil saya?" tanya Mosa.
"Iya. Saya memanggil Bu Mosa. Karena ada yang saya tanyakan. Saya dengar Bu Mosa kemarin meminta izin. Sebelumnya pasti Bu Mosa tahu kalau ada urusan pribadi itu dijelaskan agar pihak sekolah tidak berasumsi. Sebenarnya kenapa Bu Mosa libur dan meninggalkan anak-anak?" tanya kepala sekolah.
"Maaf sebelumnya, Pak. Mungkin saya tidak mengutarakan sebelumnya. Tetapi saya sebenarnya malu. Kemarin adalah panggilan perdana saya di pengadilan karena saya sudah mengajukan gugatan atas suami saya," jelas Mosa.
"Loh, kenapa Bu?" tanya kepala sekolah penasaran.
"Ya mungkin semua akan terkejut jika mendengar ini. Saya sebenarnya juga malu. Saya cuti menikah sekitar 1 bulan yang lalu tetapi sudah harus menjalani sidang perceraian. Jadi saya ada masalah dengan suami dan mengharuskan saya untuk melakukan hal ini. Mungkin untuk alasan itu adalah privasi saya. Sehingga saya meminta maaf kepada Bapak tidak memberikan alasan yang lengkap saat izin kemarin," tutur Mosa.
"Baik, Bu Mosa. Saya mengerti sekarang. Saya turut prihatin atas kejadian yang dialami Bu Mosa. Bu Mosa orangnya juga baik dan rajin tetapi mengalami kejadian seperti ini. Mungkin kedepannya bisa mendapatkan jodoh yang lebih baik, Bu. Sekarang Bu Mosa sudah bisa kembali ke kantor," sahut kepala sekolah.
"Terima kasih sebelumnya, Pak. Tetapi saya meminta untuk merahasiakan ini dari teman-teman guru. Saat ini saya masih belum ingin ada yang tahu," pinta Mosa.
"Baik, Bu Mosa. Saya akan merahasiakan ini dari yang lainnya. Selamat bekerja kembali," sahut kepala sekolah.
Mosa kemudian meninggalkan ruang kepala sekolah.
Sementara itu di Semarang, Roni baru saja tiba. Ia langsung menuju gudang tempat menyetok barangnya. Di sana ia melihat ada seorang perempuan berambut panjang. Baju nya cukup seksi. Roni bertanya kepada anak buahnya.
"Siapa itu?" tanya Roni sembari mengarahkan ke perempuan tadi.
"Oh, itu Laila. Dia yang biasanya membantu kami mencatat stok barang di sini," jawab anak buah Roni.
"Oh, jadi dia pegawai di sini juga?" tanya Roni kembali.
"Iya, Pak. Dia memang baru saja bekerja di sini. Karena orang tuanya di desa jadi dia harus ngekost di sini. Kostnya nggak jauh dari sini juga sih. Dia janda tapi belum punya anak," timpal anak buah Roni.
Roni tersenyum mendengar penjelasan anak buahnya. Setelah memastikan stok barangnya, ia menghampiri Laila.
"Siang,'' sapa Roni.
Laila menoleh, "Siang, siapa ya?'' tanyanya.
"Oh perkenalkan saya Roni. Pemasok barang di sini," ucap Roni lalu mengulurkan tangannya.
Laila bersalaman dengan Roni, "Laila, jadi Bapak adalah Pak Roni itu, ya?" tanyanya.
"Iya. Memang kamu sudah tahu saya?" balas Roni.
"Kalau tahu sih belum ini kan juga baru kenalan sama Bapak, saya hanya tahu yang memasok barang di sini namanya Pak Roni. Jadi Bapak ini Pak Roni," sahut Laila.
"Jangan panggil Pak lah, saya berasa tua saja. Panggil saja Mas!" pinta Roni.
"Oh, iya. Mas Roni. Ngomong-ngomong Mas Roni sudah menikah belum?" tanya Laila.
"Sudah bercerai. Mantan istriku meninggalkanku pulang. Padahal aku sama sekali tidak pernah berbuat kasar dan memberikan uang. Tetapi dia malah pergi, ya sudah untuk apa aku mempertahankan orang yang ingin pergi," jawab Roni.
"Wah, sayang sekali. Laki-laki yang tampan dan mapan justru ditinggalkan begitu saja. Kalau saya jadi istri Mas, tentu saya akan bertahan di rumah apa pun yang terjadi. Saya juga begitu, ditinggalkan mantan suami saat pengantin baru. Karena saya tahu saya sedang berhalangan tidak bisa melayani dia, eh tiba-tiba dia langsung pergi dan menceraikan aku," jelas Laila.
"Iya. Boleh kita tukeran nomor telpon, Laila?" tanya Roni.
Laila mengangguk, mereka kemudian saling memberikan nomor telepon masing-masing. Pada pandangan pertama Roni sudah menyukai Laila. Dari cara berpakaian menurut Roni, Laila sungguh mengagumkan.
Memakai blus dan celana jeans yang cukup ketat. Rambutnya terurai indah seperti perawatan di salon.