Jihan tertawa, "hey. Kau jarang sekali untuk dekat dengan pria, semasa SMA juga. Tidak ada sejarah mencatat jika Carol bisa berpacaran dengan pria. Malahan, sebagian besar teman menganggap kamu menyukai sesama jenis." Ujar Jihan dengan tawa nya.
Carol mendelik, "enak saja. Memang saat SMA, aku sibuk untuk mencapai ranking kelas. Dan ternyata terbukti kan? Aku lolos sebagai salah satu siswi terbaik satu angkatan." Carol menepuk dadanya bangga.
Jihan bersmirk, "jadi? Apa sekarang kalian dengan?" Goda nya sambil menaikkan kedua alisnya.
Carol mendengus, "tidak. Tapi.. ada hal yang terjadi," ujarnya.
Jihan memusatkan atensinya ke arah Carol dengan penasaran. Membuat Carol memutar matanya dengan malas.
"Dulu, saat perusahaanku berada di ambang kehancuran. Dia datang layaknya pahlawan, yeah. Awalnya aku pikir dia butuh imbalan, atau ingin menguasai perusahaan ku. Anggaplah saja ini adalah pemikiran negatifku, yeah. Insting pembisnis, kan?" Lirik Carol pada Jihan.
Jihan ikut mendengus malah kearahnya. Carol sedikit terkekeh.
"Awalnya aku berpikir begitu, tapi kami saat itu bertengkar. Aku bilang padanya, kalau aku akan melunasi seluruh hutang ku. Baiklah, kamu bisa menganggap jika semua yang dia lakukan adalah hutang bagi ku. Bagi seorang Carol, itu adalah bentuk sopan santun dariku saja," dengus Carol.
Jihan menghela nafas malas, "seorang Carol tidak pernah berubah." Ledek Jihan sambil menirukan suara Carol.
Carol mengerutkan alisnya, "hey. Jangan meniru diriku." Ujarnya sambil sedikit mendorong bahu Jihan.
Jihan tertawa, "setelahnya bagaimana? Kalian berkencan?" Tanya Jihan.
Pertanyaan itu sontak membuat Carol membulatkan matanya, "yang benar saja? Kami tidak berkencan. Kami hanya sebatas rekan bisnis." Elaknya sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
Jihan menatap Carol malas, "terus apa? Kau memiliki hal khusus dengannya?"
Carol menggeleng, "tidak ada. Tapi, setelah aku menganggap itu hutang. Dia marah." Carol bercita sambil bermain dengan Baylor.
Jihan yang menyimak perkataan Carol mengerutkan dahinya, "kenapa kalian bertengkar? Bukannya harusnya memang bagus kamu mengganti seluruh aset yang sudah dia korbankan?"
"Yeah, sudah kubilang itu insting pembisnis jihan," Tekan Carol.
Jihan terkekeh, "dan?"
"Dan semuanya terjadi. Dia bilang, tidak usah diganti. Tapi, bayarannya cukup makan malam bersama saja. Terdengar klasik, seperti cerita novel remaja yang menjijikan," ujar Carol dengan marah.
Jihan tiba-tiba memekik riang sambil bertepuk tangan, "itu bagus! Aku mendukung kalian. Pria itu baik, seharusnya kalian segera menikah!"
Carol syok dan menatap Jihan dengan kedua alis menekuk, "hey! Ucapan mu! Dipikir menikah itu semudah berpacaran saat SMA? Tidak. Aku tidak mau menikah sebelum target yang aku inginkan tercapai," final Carol.
Membuat Jihan perlahan kecewa dan mencebikkan bibirnya, "tapi.. umurmu Carol, mau kapan lagi? Menikah itu perlu untuk keberlangsungan keturunan. Aku juga tau kalau ibu selalu menanyakan cucu dan meminta Baylor untuk datang ke rumahnya," Sindir Jihan sambil melirik Carol.
Carol menepuk lengan Jihan dengan iseng, "diamlah. Itu urusanku, lagian juga. Semisal aku menikah, ada banyak plan dan hal yang perlu disiapkan. Dari mental, kesiapan diri, harta warisan masa depan, belum lagi asuransi, belum–"
"Hey hey, kau terlalu jauh untuk berpikir kesana Carol." Sela Jihan sambil memegang bahu Carol.
Temannya menatap Jihan dengan pandangan bingung.
"Ada hal yang perlu kau pikirkan, dibalik seluruh pemikiran realistis itu. Termasuk, cinta." Perkataan terakhir membuat wajah Carol berubah jadi masam.
"Aku tidak suka istilah itu," ujarnya.
Jihan memutar matanya dengan malas, "jadi bagaimana? Kau tidak ingin merasakan bagaimana menghabiskan waktu dengan orang yang di sayang, bagaimana tawa menjadi lepas. Bagaimana nikmatnya berpelukan dan menangis lepas berdua." Jihan memperagakan gesture dengan heboh.
Carol menatap datar ke arah Jihan, "dan?"
Jihan menoleh, "dan kau. Bisa mendapatkan dia." Jihan menunjuk ke arah Baylor.
Seakan-akan alam mendukung, keduanya menatap Baylor dengan pandangan yang membulat. Waktu terasa lambat, bayi kecil itu mengeluarkan pesonanya. Menatap kedua wanita itu dengan pandangan bulat, lalu tertawa dengan gigi yang belum tumbuh.
Jihan dan Carol meleleh dibuatnya, "ahh astaga dia menggemaskan." Ujar Carol sambil memeluk bayi itu dengan gemas.
Jihan melipat tangan sombong didepan sahabatnya, "kamu bisa mendapatkan dia. Makhluk kecil menggemaskan yang bahkan ketika menangis bisa membuat hari-hari mu terasa sangat menyenangkan," kata-kata meyakinkan dari Jihan membuat Carol terdiam.
Jihan tersenyum senang saat melihat Carol seakan-akan tersihir karena kalimatnya.
Carol menatapnya, "aku rasa kau benar,"
"Memang!" Ujar Jihan dengan bangga dan berkacak pinggang.
"Tapi, aku tetap tidak akan menikah untuk sekarang,"
"Tunggu, apa?" Jihan menoleh dengan cepat.
Menatap Carol yang menaikan sebelah alisnya, menandakan bahwa wanita itu sangat keras kepala. Jihan menepuk dahinya, dirinya seketika pusing dengan temannya sendiri. Carol, bisa dibilang adalah wanita yang ambisius, perfeksionis, dan juga merupakan alpha wanita.
Sifat dominan yang ketara dari Carol, membuat anak itu mempunyai aura yang berbeda dari dirinya. Carol memiliki aura tidak terbantah, dengan gaya yang sangat berbeda. Wajahnya bisa dibilang tidak menyeramkan sama sekali, tetapi seluruh perkataan logisnya membuat dirinya tidak bisa terbantahkan untuk sebagian teman sekolah dan lingkungannya.
Sangat disayangkan, Carol terlalu realistis. Bahkan dirinya tidak mempunyai rencana untuk menikah sama sekali. Jihan memandang sendu ke arah Carol yang bermain dengan Baylor.
Rasanya jika Carol terjebak di pekerjaan dan hanya mementingkan masa depan dan uang, takutnya Carol tidak ada waktu untuk menikmati hidupnya lagi.
Apalagi, Carol dan dirinya satu angkatan di sekolah dan memiliki umur yang sama. Jika dirinya sudah menikah dan memiliki satu anak, bagaimana Carol nanti?
"Jangan mengasihani diriku Jihan, aku punya banyak plan dibalik ini." Jihan terkejut mendengar perkataan Carol.
Carol seakan-akan tau dari tatapan kosongnya ke arah wanita itu, bahkan Carol berbicara tanpa menoleh ke arah Jihan dan sibuk bermain dengan bayi laki-laki ditangannya ini.
Carol mendongak dan menatap Jihan, "ada beberapa alasan yang kuat kenapa aku tidak menikah. Alasannya tentang hati, masa depan, dan juga mental. Aku masih bisa menguasai ilmu parenting untuk persiapan ku di masa depan," ujarnya sambil tersenyum.
Jihan memandang Carol, tatapan Carol seakan-akan sangat meyakinkan. Membuatnya perlahan mengangguk, dirinya setengah percaya pada Carol. Mau bagaimana pun, Carol adalah wanita yang penuh perhitungan.
Jadi, untuk masa depan. Tidak mungkin bagi dirinya untuk tidak membangun rencana tersendiri.
Jihan mengangguk dan tersenyum, "aku berharap yang terbaik untukmu, Carol." Ujar Jihan sambil memegang pundak Carol.
Carol mengangguk dan melempar senyum ke arah Jihan, "yeah terimakasih jihan. Aku juga mengharapkan yang terbaik,"
Keduanya memandang satu sama lain sambil tersenyum. Lama sekali mereka tidak berjumpa, membuat Jihan melampiaskan rindunya pada Carol sekarang. Apalagi mereka berdua berbincang banyak, dengan di dominasi topik tentang pria misterius yang mendekati Carol.
Cukup lama ia mengobrol, hingga akhirnya Carol menyeletuk.
"Ahh ya, bagaimana dengan suami mu? Kalian baik?"
Pertanyaan itu membuat senyum Jihan perlahan luntur.
Suaminya, ia menjadi memikirkan hal itu lagi.
.
.
.
Carol tidak menangkap raut wajah Jihan yang telah berubah sedari tadi. Carol, sibuk fokus ke arah bayi di dekapannya yang begitu menyita perhatian. Apalagi bayi laki-laki ditangannya itu sangat tidak terganggu pada hal di sekitarnya. Membuat Carol menjadi gemas sendiri terhadap bayi pintar itu.
Jihan masih sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri, membuat Carol menoleh dan mengerutkan dahi. Menatap temannya yang terlihat sedikit melamun dan memikirkan sesuatu.
"Sedang memikirkan apa?" Pertanyaan Carol, sontak membuat Jihan sedikit terkejut.
Gerak-gerik Jihan yang mencurigakan membuat mata Carol menyipit. Tidak setahun dua tahun mereka berteman, tapi lebih dari beberapa tahun lamanya. Jadi, Carol hafal dengan tingkah Jihan ketika sedang memikirkan sesuatu.
"Jadi, bagaimana? Kamu ada sesuatu yang disembunyikan?" Tanya Carol.
Jihan menoleh dan menggeleng, "tidak ada. Aku dan dia baik, maksudku. Suamiku dan aku baik-baik saja sejauh ini." Ucapnya sambil tersenyum dan mengelus tengkuknya.
Carol mengerutkan dahinya, menatap Jihan dengan pandangan penuh selidik. Apalagi temannya ini seperti sedang sensitif dengan pertanyaan yang ia lontarkan barusan.
"Jangan membohongi ku Jihan, aku tidak berteman denganmu setahun atau dua tahun. Okay? Sudah bertahun-tahun, perlu digaris bawahi. Bertahun-tahun," tekan Carol.
Jihan sedikit meringis saat mengingat hal itu, ia tentu tidak lupa jika Carol adalah sahabat karibnya. Apalagi saat dia merasa terpuruk, Carol lah yang menjadi tempat pilihan pertamanya dulu untuk menangis dan bercerita sejadi-jadinya.
Jihan menghela nafas dan menunduk, "aku tidak tau ini pantas diceritakan atau tidak," ujarnya dengan lesu.
Membuat Carol menaikan sebelah alisnya, "apa maksudmu? Oh, sekarang ada rahasia di antara kita?" Sarkasnya.
Membuat Jihan menoleh ke arah Carol dan menggeleng dengan panik, "tidak. Maksudku, tidak. Seperti kau tadi, ada beberapa hal yang tidak bisa diceritakan. Bukan karena aku lupa dengan mu, tapi ada hal yang mendesak. Dan, membuatku lupa untuk bercerita dan terus terang menjadi–"
"Hey hey, Jihan. Listen, memang ada hal yang tidak perlu diceritakan karena kita berada di kondisi yang mendesak. Kan? Tapi aku disini, aku di depanmu. Menatapmu. Menggendong anak mu. Apa itu kurang?" Sela Carol dengan emosi.
Jihan menatap Carol dengan berkedip, kemudian sesaat setelah itu memilih untuk menghela nafas. Masih menimbang-nimbang, apakah dirinya pantas menceritakan hubungan rumah tangganya dengan Carol.
Jihan menatap Carol dengan dalam, "baiklah. Aku ceritakan sedikit, karena ini belum bisa dipastikan kebenarannya." Jihan mengubah posisi duduknya.
Membuat Carol ikut menjadi serius dibuatnya. Jihan duduk dengan tenang, menarik nafas agar ia bisa leluasa untuk bercerita.
"Baiklah, aku dan smith awalnya memang baik-baik saja. Pernikahan kami direstui oleh kedua orang tua karena perjodohan, dan kami berdua berada di antara ambang yang baik," Jihan menjeda kalimatnya.
"Kemudian singkatnya aku hamil, aku melahirkan, dan dihadapan orang-orang aku terlihat sangat bahagia karena terlihat seperti kehidupan yang sempurna," lanjut Jihan.
"Ahh ya, di kalimat itu aku setuju." Sela Carol sambil menumpu dagu di atas kepala Baylor yang perlahan tertidur.
Jihan mendelik, kemudian menghela nafas dan menunduk. Menatap ke arah bawah dengan sendu sembari memainkan jari jemarinya di atas paha sekal milik bayinya.
"Dan, aku memiliki sebuah firasat. Saat itu, aku sedang hamil. Hamil Baylor, dimana posisinya aku sedang hamil besar dan memang tidak bisa ditinggal. Aku punya banyak pikiran aneh tentang Smith," Jihan menatap Carol.
"Ada apa dengannya?" Tanya Carol.
"Waktu itu, aku mendapat informasi dari salah satu manager di sebuah hotel tentang renovasi hotel itu. Kebetulan pemiliknya adalah rekan ku sendiri, jadi. Kami saling bercerita dan berbagi. Sampai, kami menemukan jika Smith pernah booking kamar disini," lesu Jihan.
Carol membulatkan matanya dengan penasaran, kemudian ia semakin mendekat ke arah Jihan dan memperlihatkan bahwa dirinya sangat penasaran dengan cerita yang dibawakan oleh sahabat lamanya.
"Dan bagaimana?" Desak Carol.
Jihan mengerutkan keningnya, "ya kami sedikit terkejut, kemudian aku menyelidiki semuanya sendiri. Karyawan Smith sangat tidak berguna, mereka sangat tunduk kepada atasannya sendiri," Jihan mendengus.
"Kemudian, aku memilih untuk kembali melanjutkan nya sendiri, meminjam rekaman cctv dan berkas booking kamar milik suamiku. Dan, menurut pernyataan mereka, ternyata ia membawa seorang wanita," wajah Jihan tiba-tiba lesu.
Carol menganga sambil terus memajukan wajahnya. Memperlihatkan ekspresi bodoh yang membuat Jihan menjadi kesal sendiri.
"Kamu kenapa astaga," kesal Jihan.
Carol mendengus, "ya apalagi? Aku terkesima dengan perilaku suami mu. Dia berselingkuh dibelakang mu? Dan apalagi? Itu malah membuatku yakin untuk tidak menikah," smirk Carol terpampang.
Kemudian Jihan mengulum bibirnya dan melanjutkan ceritanya, "entahlah, aku disana masih mendengar kesaksian dari karyawan nya. Untuk pemeriksaan cctv, hotel mereka dalam tahap renovasi. Jadi, aku masih belum memastikan. Tapi, semisal dia memang membawa perempuan. Aku ingin memeriksa siapa wanita itu," Ucapannya sambil melirik Carol dengan tajam.
Carol yang menyimak perkataan Jihan sedari tadi sibuk menganga.
Temannya bisa dibilang lembut, tetapi jika Jihan sudah bertindak. Lebih menyeramkan dari dirinya yang menghajar tiga anak SMA yang menghadang mereka di jalan dan juga menghajar pelaku seksual yang berada di halte busway yang sedang sepi.
Carol meneguk ludah kasar, lalu sedetik kemudian menghela nafas dengan kasar. Ia menunduk, menimang bayi di tangannya yang telah terlelap.
"Mungkin kau harus berbicara pada suami mu. Ini juga demi kepentingan Baylor,"
Carol sibuk menatap bayi di tangannya yang telah pulas. Melihat hal itu, Jihan terpaku sejenak. Membiarkan temannya menimang anaknya dengan lembut, sembari mengelus rambut bayinya. Carol terlihat mengeluarkan aura keibuannya.
Hati Jihan menghangat, rasanya ia ingin segera menarik jodoh Carol secepat mungkin. Apalagi, usia mereka bisa dibilang berbeda beberapa bulan saja, membuat Jihan mengkhawatirkan Carol sedemikian rupa.
Beberapa saat keduanya terdiam, Carol menoleh dan menatap ke arah Jihan.
"Dan, apa yang kau lakukan?" Pertanyaan itu segera menyadarkan Jihan.
Kemudian Jihan mengulum bibirnya, seperti tengah berfikir keras tentang sesuatu.
"Aku selama ini terus menghormati privasi nya sebagai seorang pria, apa aku boleh untuk mengecek handphone pribadi miliknya?" Pertanyaan yang mirip dengan monolog itu membuat Carol geram.
"Bodoh, tentu saja bisa. Kau kan istrinya, lagipula. Suami mana yang tidak memperbolehkan istrinya untuk meminjam dan memeriksa telpon genggamnya?" Cecar Carol.
Sedetik kemudian, tawa Jihan pecah. Membuat Carol emosi adalah hal yang paling menyenangkan.
Jihan mengangguk kencang, "baiklah-baiklah. Akan kulakukan,"
"Hari perlahan sudah siang, saatnya aku harus pulang ke rumah. Menyiapkan diri untuk menyambut suamiku pulang ke rumah untuk makan siang," ujar Jihan.
Jihan berdiri, merapikan pakaiannya sambil menarik kereta bayi milik Baylor. Carol ikut berdiri, sambil menggendong buntalan hidup di tangannya. Ia perlahan memberikan Baylor kepada ibunya.
Jihan tersenyum kepada Carol.
"Jihan, jangan lupa hubungi aku. Malam ini, ya?" Pinta Carol.
Jihan menoleh dan tersenyum tipis, "akan ku hubungi. Sepertinya, semisal senggang. Aku akan bertanya banyak hal perihal ini."
Carol tersenyum, sepertinya Jihan banyak berubah sekarang.
.
.
.
Vous aimerez peut-être aussi
Commentaire de paragraphe
La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.
De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.
OK