"Minggu ini adalah waktu terakhir bagi kalian! Ingat itu!" terdengar suara bentakan seorang pria dari dalam toko.
"Kelihatannya mereka datang lagi," bisik seorang pedagang kepada temannya.
"Iya, mereka benar-benar malang," jawab temannya.
Perhatian semua orang terus tertuju kepada toko yang gaduh. Saat Satria menatap nama toko itu dia sangat terkejut karena ternyata itu adalah pandai besi yang dia cari di sekitar sana. Perlahan Satria mulai berjalan mendekati toko pandai besi, namun serombongan pria berwajah sangar dan kekar keluar dari pintu sembari marah-marah.
"Maaf tuan, kami pasti akan segera membayarnya," ucap seorang wanita paruh baya sambil menangis, sementara seorang gadis dengan pakaian seperti pria ikut tertunduk bersama wanita tersebut.
"Seminggu lagi kami akan ke sini, jika kalian tidak bisa membayarnya maka tuan kami akan bertindak tegas!" ancam pria sangar yang membawa pedang.
"Iya tuan. Terima kasih banyak tuan, terima kasih," ucap wanita itu sambil tertunduk menangis.
"Ibu, sudah aku bilang untuk menaikan harganya tapi ibu malah tetap saja tidak setuju," gerutu gadis berambut hitam panjang bersanggul.
Baju gadis itu terlihat kotor seperti terkena arang, wajah dan tangan yang memakai kain bak sarung tangan juga tampak ada bekas hitam seakan terkena arang. Celana panjang dan baju abu kecoklatan dengan bagian lengan digulung ke sikut benar-benar membuatnya terlihat seperti pria, jika Satria tidak melihat dada serta wajahnya mungkin dia akan mengiranya laki-laki.
"Lixia, hasil tempaan dan perbaikanmu itu belum sebanding dengan ayahmu. Kalau kita menaikan harganya tidak mungkin ada yang mau datang ke toko kita lagi," ucap wanita paruh baya itu seraya menyeka air matanya.
"Maaf. Apakah anda nyonya Miria?" sapa Satria sembari mendekati mereka berdua yang masih berdiri di dekat pintu toko.
"Eh, iya," jawab wanita paruh baya itu tampak tersentak kaget dan buru-buru menyeka bekas tangisannya.
"Kebetulan sekali, saya ingin meminta bantuan anda untuk membuat senjata," kata Satria.
"Serahkan saja padaku tuan, senjata seperti apa yang ingin kamu buat? Pisau? Pedang? Tombak? Apapun itu akan kami kerjakan," jawab gadis tomboy bernama Lixia seraya tersenyum.
"Lixia, kamu ini ka-"
"Ayo tuan, silahkan masuk dulu," potong Lixia sebelum ibunya menyelesaikan perkataannya. Lixia langsung menggandeng tangan Satria masuk ke dalam tokonya.
"Inilah toko kami tuan, biasanya di sini kami juga menjual barang-barang tempaan yang kami buat. Tapi akhir-akhir ini petualang yang datang ke sini kebanyakan memang cuma memperbaiki peralatan mereka saja," tutur Lixia sambil memperlihatka isi tokonya, di sana terdapat armor, senjata dan peralatan lainnya.
"Kualitasnya benar-benar buruk, mungkin petualang yang datang kemari juga para petualang pemula doang karena harganya yang murah," batin Satria sambil memeriksa pedang besi tempaan yang dipajang.
"Maaf tuan, sebenarnya putri saya ini masih belum bisa menempa senjata dan semacamnya dengan baik. Jadi kalau untuk menempa mungkin tuan bisa mencari pandai besi lain, kalau untuk memperbaiki mungkin kami bisa melakukannya," tutur Miria dengan ramah.
"Ibu.. kalau begitu bagaimana kita dapat pelanggan," gerutu Lixia yang terlihat tidak setuju.
"Sebenarnya baik buruknya barang tempaan tidak hanya ditentukan keterampilan orang yang membuatnya saja. Bahan dan kualitas peralatan menempa juga ikut menentukan. Kalau boleh saya ingin melihat tempat penempaan senjata di toko ini," kata Satria. Lixia dan Miria terlihat sangat terkejut.
"Si-silahkan tuan," jawab Miria sambil berjalan menuju ruangan di belakang toko. Ternyata di belakang toko tersebut terdapat sebuah ruangan terbuka dengan hanya atap sederhana saja, di atap yang menyambung tersebut juga ada sebuah bangunan sederhana yang jika dilihat dari penampilannya mungkin itu tempat tinggal Lixia dan Miria. Di sekeliling rumah dan toko mereka terdapat tembok-tembok toko lainnya.
"Miris sekali, bahkan tempat tinggal mereka mungkin adalah yang paling buruk di sekitar pasar ini," pikir Satria.
"Di sinilah tempat saya menempa dan memperbaiki peralatan para petualang yang datang," kata Lixia.
"Begitu ya, jujur saja aku kagum kalian masih bisa menempa atau memperbaiki perlengkapan dengan peralatan seperti ini. Kalau begitu aku ingin kamu menempa sebuah pedang untuku dari bahan yang aku bawa ini," kata Satria seraya mengeluarkan dua taring Leviathan dari kain yang dibawanya. Lixia dan Miria terlihat terkejut, karena bagaimanapun itu bukanlah besi atau baja.
"Maaf tuan, tapi apa itu bisa ditempa?" tanya Lixia.
"Mungkin dengan peralatan seperti ini hasilnya tidak akan bagus, tapi bahan ini masih bisa ditempa," jawab Satria.
"Blacksmith," ucap Satria mengubah job classnya. Satria kemudian memegang sebuah palu yang biasa digunakan untuk menempa besi yang masih panas.
"Forging reinforcement," kata Satria menggunakan salah satu tehnik job blacksmith miliknya. Setelah itu sekuat tenaga Satria langsung menghantamkan palu di tangannya ke satu taring yang dia keluarkan.
'Tttraanggg'
Terdengar suara dentingan keras saat palu tersebut menghantam taring, bentuk taring yang awalnya bulat langsung jadi gepeng seketika. Tentu saja hal itu membuat Lixia dan Miria kaget bukan main, sebab untuk menempa besi saja bahan yang akan ditempa harus dibakar dalam suhu yang panas terlebih dahulu agar mudah dibentuk.
"Kelihatannya untuk masalah penempaan masih sama dengan yang biasa dilakukan di dalam game," batin Satria sambil tersenyum.
"Mustahil," ujar Lixia.
"Kelihatannya peralatan di sini tidaklah buruk seperti kelihatannya," ucap Satria sambil tersenyum menatap Lixia dan Miria.
"Apakah tuan juga seorang pandai besi?" tanya Lixia.
"Tidak, aku hanyalah petualang pemula. Tapi aku dipaksa hidup mandiri dan menguasai berbagai keahlian yang ada. Ngomong-ngomong apa pandai besi di sini hanya kamu saja?" tanya Satria sembari menatap Lixia.
"Tidak tuan, sebelumnya putri saya ini hanya membantu pekerjaan ayahnya saja. Sejak lama suami saya menjadi pandai besi di sini dan memiliki banyak pelanggan, tapi kini setelah semua perlengkapan suami saya habis tidak ada lagi yang tertarik datang kemari untuk membeli perlengkapan, hasilnya bisa tuan lihat di toko," jawab Miria mendahului Lixia.
"Lalu di mana suami nyonya saat ini? Kenapa dia tidak menempa barang baru lagi?" tanya Satria. Dia rasa jika memang perlengkapan yang dibuat suaminya sudah habis yang tinggal membuat yang baru lagi kan mudah.
"Suami saya sudah meninggal satu tahun yang lalu. Saat itu dia dan rombongan pedagang Kota Lunar diserang setelah kembali dari Ibukota, dia meninggal di perjalanannya. Kami hanya bisa melihat jasadnya," jawab Miria sembari berusaha menahan tangisnya. Saat itu juga Satria akhirnya mulai paham dan bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya.
"Sejak saat itu Lixia mencoba menggantikan ayahnya, tapi kualitasnya jauh dibawah rata-rata," sambung Miria.
"Begitu rupanya. Karena kualitasnya buruk maka pelanggan lari ke pandai besi lain, mereka akhirnya kekurangan uang dan terpaksa berhutang kepada bos orang-orang sangar tadi. Tapi orang-orang yang serakah itu pasti akan lebih tertarik mengambil tempat ini daripada dibayar hutangnya. Mereka pasti terus mencari cara menekan keluarga Miria agar tidak bisa melunasi hutang dan mengambil tokonya," batin Satria mencoba menebak kejadiannya tanpa bertanya.
"Toko ini memang strategis. Selain berada di area pasar, toko ini juga merupakan toko pandai besi terdekat dari bangunan asosiasi. Tidak heran jika mereka lebih menginginkan tempat ini," pikir Satria sambil melihat semua peralatan di tempat tersebut.
"Sebenarnya aku mempunyai satu tawaran untuk Nyonya, bagaimana kalau anda menjual toko ini kepada saya?" tanya Satria.
"Tidak, ini peninggalan ayahku!" tegas Lixia dengan cepat. Raut wajahnya mulai memerah menahan amarah.
"Begini saja, aku akan membeli bangunan ini. Tapi Nyonya dan putri anda bisa tetap tinggal di sini, kalian juga tetap bisa berjualan dan memperbaiki barang-barang di sini. Tapi bangunannya tetap menjadi milik saya, tapi saya tidak akan mengusir kalian berdua," kata Satria sambil tersenyum.
"Eh?" gumam Lixia kaget. Dia langsung memandang ibunya yang juga terlihat kebingungan, bagaimana bisa tempat mereka dibeli tapi mereka akan tetap tinggal di sana.
"Apa maksud tuan? Saya sama sekali tidak mengerti," tanya Miria.
"Maksudku aku akan membeli toko sekaligus tempat tinggal kalian, tapi nanti kalian masih tetap tinggal di sini dan beraktifitas seperti biasa. Tapi sebagai gantinya kalian akan bekerja untuk diriku di sini, tapi tenang kalian akan tetap mendapatkan bayaran tetap meski nanti tidak ada pelanggan yang datang kemari. Bukankah itu tawaran yang menarik?" jelas Satria.
"Tapi.." gumam Miria sambil menatap putrinya, dia pasti berpikir itu memang sangat menguntungkan bagi mereka. Bahkan rasanya terlalu menguntungkan.
"Tapi apa alasan tuan melakukannya? Bukankah itu terlalu menguntungkan untuk kami?" tanya Lixia, kelihatannya dia memang masih khawatir jika ada maksud lain dari Satria.
"Jika kalian menganggap kalian terlalu diuntungkan maka itu tidak benar, aku sangat tertarik dengan tempat ini karena berada di lokasi yang bagus. Kalian juga akan bekerja untuku diriku jadi tidak merugikanku. Mungkin saat ini keuntungan bagiku belum terlihat, tapi suatu saat nanti kalian akan mengerti kenapa aku ingin membeli tempat ini," jawab Satria.
"Apa yang tuan maksud dengan bekerja untuk tuan?" tanya Lixia.
"Tenang saja kalian tidak akan bekerja yang aneh-aneh. Aku bukanlah orang jahat seperti yang kalian duga, tapi kalian juga jangan menganggapku orang baik. Pekerjaan kalian hanyalah membereskan tempat ini dan memperbaiki perlengkapan serta senjata seperti biasanya. Itu saja," jelas Satria dengan meyakinkan.
"Tapi tuan, kami memiliki hutang kepada salah satu rentenir kota ini. Jika tuan membeli tempat ini namun kami tidak bisa melunasinya maka bukankah itu akan percuma?" tanya Miria.
"Memangnya berapa hutang kalian kepada mereka?" tanya Satria.
"Saat ini sudah 300 koin emas, dengan bunga 600 koin emas. Meski kami membayarnya namun bunganya dengan cepat bertambah selagi kami tidak langsung melunasinya," jawab Lixia sambil tertunduk.
"Benar-benar lintah darat," batin Satria. Tapi jika dia menyia-nyiakan kesempatan entah kapan akan datang lagi.
Menurutnya lokasi saat ini adalah yang terbaik, terlebih jika membeli toko lain pastinya akan lebih mahal. Memanfaatkan orang yang kesusahan memang adalah cara yang jahat, namun dia akan berusaha membuat timbal balik yang setimpal. Saat ini mengumpulkan uang akan sangat penting untuk bertahan hidup, terlebih ke depannya dia ingin fokus mencari keberadaan target balas dendamnya. Karena itu akan lebih baik jika bisa mengumpulkan perbekalannya secepat mungkin.
"Aku akan membayarnya. Tapi itu artinya kalian tidak akan mendapatkan apa-apa dari penjualan tempat ini, namun seperti yang aku bilang kalian tetap bisa tinggal disini dan akan aku beri kalian imbalan 1 koin emas setiap harinya," tawar Satria.
"Eh? Apa tuan serius?" tanya Miria dengan wajah terkejut bukan main.
"Jangan-jangan harga segitu terlalu mahal ya? Sial, aku tidak mencari informasi lebih dulu. Tapi saat ini sudah terlambat, lagipula jika aku perhitungkan seharusnya mencari uang satu koin emas tidaklah terlalu sulit," pikir Satria. Rasanya dia sudah membuat sebuah blunder.
"Ya, tidak masalah. Yang penting kalian bekerja dengan giat, mungkin ke depannya aku akan menambahkan dagangan lain di toko ini," jawab Satria. Miria terlihat menatap Lixia seakan meminta pendapatnya, Lixia hanya mengangguk pelan.
"Kelihatannya kami memang tidak punya pilihan lain, terlebih mengumpulkan uang sebanyak itu rasanya sangat sulit dengan kondisi kami sejauh ini," tutur Miria. Meski dari wajahnya dia terlihat masih kurang percaya dengan Satria.
"Aku akan menyerahkan uang 300 koin emas untuk dibayarkan ke para penagih hutan itu jika nanti mereka datang. Katakan kepada mereka bunganya baru akan aku lunasi setelah aku kembali dari ibukota nanti," kata Satria sambil mengeluarkan kain berisi imbalan dari Gven. Dia langsung menghitung 300 koin emas dibantu oleh Lixia yang tampak tidak percaya petualang berbaju lusuh seperti Satria memiliki uang sebanyak itu.
"Ini adalah 15 koin emas untuk upah kalian lima belas hari dari sekarang. Ini 10 koin emas sebagai tanda jadi, ditambah 40 koin perak dan 22 koin perunggu," tambah Satria menyerahkan uang tambahan kepada Lixia. Kini uang tersisa yang dimiliki Satria hanyalah 62 koin emas, 10 koin perak dan 10 koin perunggu dari sisa imbalan Gven ditambah imbalan quest miliknya.
Satria sengaja memberikan uang itu langsung kepada Lixia dan Miria untuk menarik rasa percaya mereka, ada kemungkinan mereka kabur membawa uang tersebut. Namun taruhan yang besar maka akan beresiko besar juga, sejauh yang Satria perhitungkan saat ini kecil kemungkinan mereka akan kabur.
Bersambung…